Bab 6

"Ih, kenapa harus repot-repot bawa ginian segala sih, Teh?" kata Amara saat menerima sebuah tote bag pemberian tamu wanitanya yang masuk ke kamar tak lama setelah Bian keluar. "Mau jenguk mah jenguk aja atuh, Teh Eca, nggak perlu—"

"Hust, jangan nolak rezeki," pungkas wanita berkerudung putih berparas cantik yang berdiri di samping Amara. Dia kemudian mengulurkan kedua tangan pada bayi di pangkuan Amara. "Coba Teteh pengen gendong calon ponakanku."

Dan setelah bayi itu berpindah tangan, wanita berperangai ramah itu kembali berseru, "Aduh, gemesnya ... Teteh jadi pengen bawa pulang, Ra. Ini idungnya mirip kamu, ya? Kecil, kaya cherry."

Amara tersenyum merona atas pujian yang diucapkan wanita tersebut. Kemudian melirik sekilas pada Zack yang sejak tadi hanya berdiri di depan pintu kamar, tetapi matanya jelas-jelas mengamati interaksi Amara dan kakak perempuannya.

"Kamu sehat 'kan, Ra?"

"Alhamdulillah." Amara mengangguk sambil tersenyum sopan. "Gimana sebaliknya?"

"Selalu baik," sahut Zack ringan. "Kuharap."

Amara mengamati Zack sekilas. Sejak dulu, pria itu tak pernah mengubah penampilannya, selalu tampil rapi dan bersih. Seperti saat ini, Zack mengenakan kemeja biru tua semi formal yang dipadu celana chino krem.

Mungkin karena tuntutan pekerjaannya sebagai akuntan di salah satu pabrik di Jakarta yang mengharuskan dia selalu berpenampilan rapi.

Dulu, Zack menjadi pria tertampan di hati Amara — Tak peduli meski pada akhirnya mereka tak bisa bersatu.

Namun, setelah bertemu Bian, entah mengapa rasanya ketampanan Zack tak bisa dibandingkan dengan mantan suami singkatnya itu.

Kendati demikian, sikap dan perilaku Zack yang ramah dan santun tetap saja membuat pria itu memiliki kelebihan tersendiri— tak peduli meski kini statusnya sebagai seorang duda, sama seperti Amara yang lagi-lagi menjadi janda.

"Eh, Ra ... itu coba kamu buka dulu. Teteh sengaja nggak bungkus kertas kado, takutnya kamu nggak suka warnanya, biar bisa langsung dituker," ujar wanita bernama Eca itu sambil mengedikkan kepala pada tote bag di samping Amara.

Kemudian, dia mendelik pada adik lelakinya sambil menggerutu, "Tadi Teteh mau ambil warna pink, tapi si Zack bilang kamu nggak suka warna itu. Jadinya ikutin saran dia ambil warna putih. Padahal kan lucu banget kayaknya kalau bayi cewek pake warna pink."

Sekali lagi Amara melirik Zack yang kali ini senyumnya tampak salah tingkah. Jadi, apakah pria itu masih mengingat apa yang Amara suka dan tidak suka, bahkan hingga hal terkecil seperti itu?

Amara tak ingin terpaku pada senyum Zack, yang sejak dulu selalu dikagumi kaum wanita. Dia membuka tote bag tersebut dan mengeluarkan satu set gaun dengan bando pita dan sepatu kecil, sweater rajut halus yang begitu feminim, juga piyama sederhana berkain lembut dengan motif dolphin— nyaris semuanya berwarna putih tulang.

"Ya ampun, Teh ... ini lucu banget," puji Amara sambil membentangkan gaun kecil yang hanya berukuran dua jengkal. "Bisa dipake buat aqiqah pas empat puluh hari ini mah."

"Warnanya nggak mau dituker, Ra?"

Pertanyaan Zack berhasil menarik perhatian Amara dari kegiatannya mengacak-acak hadiah yang dibawa mereka.

"Nggak. Aku suka banget ini. Semuanya lucu," ujar Amara gembira, senyum yang tersungging di bibirnya semakin lebar saat menoleh pada Eca dan Zack bergantian. "Makasih, A, Teh ..."

"Ngomong-ngomong, mau dikasih nama siapa bayinya?" tanya Eca sambil memainkan hidung kecil si bayi.

Amara terdiam sejenak, terbersit beberapa daftar nama yang sebelumnya dia inginkan untuk anak perempuannya.

Namun, mengingat kemarin Bian menemani dia melahirkan, dan melihat bagaimana pria itu saat memeluk bayinya dengan penuh pemujaan, entah mengapa dia merasa mungkin harus meminta pendapat pada Bian tentang pilihan nama yang cocok.

Sebenarnya, bisa saja dia tak perlu berdiskusi dengan pria itu jika mengingat dia sendiri menderita saat mengandung bayinya.

Namun, harus diakui bahwa lelaki itu adalah ayah dari putrinya— meski pada akhirnya nanti Amara sendirilah yang akan menentukan nama bayi itu, tak peduli meski Bian tak menyukainya.

"Ada beberapa nama sih yang udah ditulis," kata Amara akhirnya. "Tapi belum mastiin mana yang mau diambil, mau minta pendapat ayahnya dulu—"

"Ayahnya?" Zack mengulangi dengan ekspresi ganjil, tetapi pria itu masih berbicara dengan nada rendah. "Emang kamu berencana mau ngabarin laki-laki nggak bertanggung jawab itu, Ra?"

"Yang barusan pulang itu ayahnya anakku," Amara menjelaskan dengan tenang, meski dalam hatinya sedikit tak senang mendengar perkataan Zack yang menyebutkan Bian adalah pria yang tidak bertanggung jawab.

Walau bagaimana pun, Amara cukup tahu bahwa Bian adalah pria bertanggung jawab— meski dia hanya berumah tangga singkat dengan pria itu.

Namun, semua yang dilakukan Bian adalah jelas-jelas bentuk nyata dari tanggung jawab seorang suami pada istrinya.

Perhatian, penuh cinta, bersikap lembut, dan tentu saja mencukupi kebutuhan hidup Amara. Ada pun yang membuat Bian terlihat tak bertanggung jawab pada bayi yang dikandungnya, bukankah itu karena ketakutan Amara yang dulu pernah berpikir bahwa Bian mungkin tidak akan mempercayai bayi itu adalah anaknya?

Fakta kedatangan Bian saat dia melahirkan sudah cukup menjadi jawaban bahwa keputusannya untuk tidak mengabari Bian ternyata keliru.

Terlalu jelas kebanggaan dan haru biru yang muncul dari sorot mata Bian saat kemarin mengadzani bayi itu.

Lalu, kemudian Amara teringat pengakuan Bian yang pernah mengatakan bahwa Alif adalah putra kakaknya.

Jadi, apakah itu alasan kenapa Bian menangis saat pertama kali mendengar tangisan bayi ketika menemaninya melahirkan?

Sependek pengetahuan Amara, seorang lelaki sangat sulit mengeluarkan air mata. Namun, entah mengapa saat kemarin Bian ambruk di bahunya dan menumpahkan air mata penuh sesal sambil menggumamkan kata maaf, Amara menyadari bahwa pria itu tampak rapuh.

Ada sedikit rasa bersalah yang diam-diam menyelinap ke dalam hati Amara untuk alasan yang tidak bisa dia jelaskan.

"Itu ayahnya?" Suara Zack yang terdengar sedikit tak senang berhasil membuyarkan lamunan Amara. "Pria yang tampangnya kayak preman itu? Kok kamu bisa ngizinin dia liat bayi kamu sih, Ra?"

Ada sesuatu yang membuat Amara sedikit gelisah mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Zack.

"Anakku perempuan, dan semua anak perempuan butuh ayah." Amara menjaga suaranya agar tetap tenang.

"Walaupun dia sama sekali nggak ada di sisi kamu saat kamu hamil?"

"Itu karena dia nggak tau kalau aku lagi hamil," sahut Amara, masih menjaga nada bicaranya tetap rendah. Mengimbangi bagaimana Zack atau kakak perempuannya yang selalu berbicara dengan nada dan bahasa lembut.

"Kamu bilang kamu nggak mau ketemu dia lagi? Nyatanya malah dia yang jadi orang pertama nyambut anak kamu. Aku calon ayahnya lho, Ra."

"Dia ayah biologisnya," sahut Amara setelah mengembuskan napas berat. "Kita belum sepakat bakalan nikah kan, A? Aku belum jawab iya."

"Tapi kamu bilang abis lahiran mau kasih—"

"Nggak sehari setelah lahiran juga harus langsung jawab—"

"Setahun lalu kamu bilang belum bisa buka hati lagi setelah gagal rumah tangga?" pungkas Zack pahit. "Nyatanya apa? Kamu malah nikah sama orang lain terus langsung hamil? Aku kamu anggap apa, Ra?"

Amara menelan ludah dengan susah payah saat menyahut, "Tapi saat itu kamu juga baru nikah 'kan sama Winda?"

"Aku kira aku bakal bisa lupain kamu kalau nikah sama orang lain. Faktanya rumah tanggaku malah jadi kayak main-main, yang akhirnya cerei saat pernikahan itu baru seumur jagung. Nggak fair juga kan buat Winda kalau aku cuma jadiin dia pelampiasan?"

Amara menghela napas pelan sebelum menjawab, "Kamu nggak ngerti gimana situasinya, A. Kamu nggak paham sama kondisiku."

"Coba kamu kasih tau gimana kondisi kamu biar aku ngertiin kamu sepenuhnya?" Zack tersenyum samar. "Dua taun kita pacaran, bukannya kita udah saling terbuka saat itu? Keluargaku udah respect sama kamu, Ra. Nggak ada yang masalahin apa pun dari kita. Kamu bilang mau nikah di usia dua puluh tahun. Faktanya apa, Ra? Usia sembilan belas kamu malah nerima tawaran nikah itu, sama duda punya dua anak—"

"Zack Iskandar!" tegur kakak perempuannya dengan hati-hati. "Jangan bahas ini dulu, ya? Kasian atuh Amara-nya. Kita ke sini bukan mau ribut 'kan?"

"Kita nggak lagi ribut, Teh," kata Amara sambil tersenyum. "Mana ada nada bicara kita yang sama-sama tinggi? Cuma ngobrol."

"Ah, dari dulu juga kalian mah kan gitu berantemnya. Cuma bisik-bisik." Eca terkekeh geli melihat pipi Amara sedikit merona. "Ngomong-ngomong, ngelahirin sakit nggak, Ra? Teteh kok sampe sekarang masih takut buat pulang anak, ya ... Padahal udah umur 31, suami juga udah ngomong terus pengen punya anak."

"Sakit apa nggak, ya," gumam Amara pelan. Tentu saja dia tak bisa menjelaskan bagaimana rasanya melahirkan, karena setiap orang pasti memiliki perbedaan dalam menggambarkan rasa sakit.

Sambil mengedip-ngedipkan mata pada Eca, Amara kembali berkata, "Mending Teteh lepas KB aja, terus rasain sendiri gimana nikmatnya ngelahirin. Sedep pokoknya ..."

"Sedep katanya, Zack?" Eca menoleh pada Zack sambil tertawa terkekeh-kekeh, sama seperti yang dilakukan pria itu. "Ah, kode mau punya banyak anak itu mah, Zack. Si mama pasti seneng tuh kalau punya banyak cucu. Buruan lah jadiin istri, ntar ilang lagi baru tau rasa."

"Gimana, Ra?" Sekali lagi Zack membahas hal itu. "Tiga bulan lagi ramadhan, kalau nikahan pas bulan Syawal gimana? Kamu siap?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!