"Waktu dia datang dan denger ibu kamu nyebutin nama Zack, aku baru inget beberapa bulan lalu saat bawa hp kamu, aku sempet liat dia di sosial media kamu. Terus liat postingan foto pernikahan dia," Bian mengakui dengan jujur. "Jangan nikah sama laki-laki yang udah punya istri lagi, Ra. Katanya—"
"Zack udah cerei, rumah tangganya hanya bertahan tiga bulan," tukas Amara, kemudian terdiam sejenak.
Melihat satu-satunya reaksi dan tanggapan Bian hanya ketenangan, Amara sedikit kesal kenapa pria itu tak terlihat cemburu. Entah mengapa, terbersit dalam benak Amara untuk memberitahu Bian tentang siapakah Zack baginya.
"Dia mantan pacarku sebelum aku nikah." Lalu Amara melihat mata Bian tampak terkejut, hanya sekilas sebelum akhirnya pria itu kembali santai. "Aku putusin dia dan minta bapak cari calon suami. Waktu itu, kebetulan ada kolega jauh keluarga almarhum ibuku. Kaya jadi makelar perjodohan gitu, terus aku dikenalin sama Angga. Pertemuan berikutnya aku langsung nikah, nggak mikir apa-apa, yang penting aku nikah."
"Waktu itu usia kamu baru sembilan belas 'kan, Ra?" komentar Bian dengan alis berkerut heran. "Kenapa ngebet banget nikah di usia segitu?
"Ada beberapa hal yang nggak bisa aku jelasin, sekarang." Amara meninggikan bahu dengan acuh tak acuh.
Bian kembali bertanya, "Dulu kamu sama Zack pacaran sama-sama lajang kan? Berapa lama kalian pacaran?"
Amara menggerakkan bola mata, seolah-olah mengingat-ingat hal yang tak pernah dia lupakan.
"Aku suka dia sejak kecil," gumam Amara pelan.
Alis Bian semakin bertautan, sedikit geli mendengar pengakuan Amara. Namun, karena sekarang tak ada yang ingin Bian lakukan, akhirnya dia memilih untuk menjadi pendengar bagi Amara.
"Lalu?" Akhirnya Bian bertanya, dengan penuh minat— sedikit ingin mengetahui apakah ada alasan kuat bagi Amara hingga memutuskan akan menikah dengan Zack. "Waktu itu kamu berati masih kecil, seukuran kurcaci, Ra?"
"Nggak gitu juga maksudnya," gerutu Amara penuh rajukan. "Usiaku tujuh tahun waktu aku pindah ke kampung ini. Mulai masuk SD juga pas tinggal di sini. Terus sorenya sekolah agama. Nah, Zack ini anaknya yang punya madrasah itu. Dia baik. Suaranya bagus kalau lagi ngaji sama adzan ..."
Suara Amara menjadi bisikan pelan saat melanjutkan, "Pas aku lulus SD, aku nggak lanjut sekolah. Terus aku kerja di tempat orang tua dia—"
"Kamu kerja apaan di usia segitu, Ra?" Bian tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Kenapa nggak lanjutin sekolah SMP?"
"Kalau bukan karena nggak punya uang buat biaya daftar, SPP bulanan, beli baju seragam, peralatan sekolah, sama ongkos ke depannya, apa lagi?" Amara meninggikan bahu. "Jadi aku kerja di madrasah itu, bantu-bantu bersiin kelas sampe magrib. Saat itu bulan puasa, Zack ini sering kasih takjil kalau aku mau pulang. Tapi nggak lama kerja di sana, cuma tiga bulan. Abis taun baru aku ikut kerja sama orang, di Bantar Gebang—Bekasi, terus ..."
"Ya ampun, Ra. Kok bisa orang tua kamu ngebiarin kerja? Itu usia kamu tiga belas tahun—"
"Tapi kondisi kami saat itu sulit dijelaskan, kamu harus ngerasain dulu gimana rasanya benar-benar susah, sampe kelaparan, baru kamu akan paham," pungkas Amara pahit. "Ada momen saat ibu mau ngutang beras ke warung juga nggak dikasih karena takut bapak nggak mampu bayar, dan kami juga belum lama ada di kampung ini."
Baiklah, Bian sadar bahwa sisi keluguan Amara saat ini kembali muncul. Jadi, Bian kembali berupaya fokus mendengar cerita Amara— dan sebenarnya Bian memang ingin tahu sejarah hidup Amara yang tampaknya terdengar miris.
Walaupun Bian pernah menjadi suami Amara, meski begitu singkat. Namun, tentu saja sebelumnya Amara tak pernah memberitahu bahwa dia tak bersekolah.
Bian kembali mengingat pertemuan mereka, tentang bagaimana dulu sikap Amara.
Terlepas dari bagaimana cara mereka pertama kali bertemu, tetapi cara Amara bertutur kata, bersikap sopan, dan rasanya sulit dipercaya bahwa wanita itu memang minim pendidikan.
Jadi, tak heran jika Bian benar-benar terkejut mendengar masa kecil Amara.
Bagaimana tidak? Di usianya yang seperti itu, di saat seharusnya kebanyakan anak mendapatkan haknya untuk belajar dan bermain, Amara justru harus bersahabat dengan pekerjaan, dan kehilangan masa-masa remaja yang seharusnya menyenangkan.
"Oke, aku ngerti ...," kata Bian sambil tersenyum lembut. "Kerja apa kamu di sana? Berapa lama?"
Bian merasa hatinya berdentam-dentam nyeri, untuk alasan yang tak bisa dia mengerti. Terutama setelah mendengar masa kanak-kanak Amara.
Namun, Bian tak ingin menunjukkan kepeduliannya dengan berlebihan, karena dia tahu terkadang Amara tak ingin hidup di bawah belas kasihan orang-orang.
"Jadi pengasuh anak umur tiga taun, ibu sama bapaknya kerja. Tapi bukan aku doang, yang ngasuh ada dua, pembantunya beda lagi. Tapi nggak lama, cuma dua bulan, aku pulang," Amara menjelaskan. "Saat umur tujuh belas, aku nyoba lagi kerja di tempat orang tua Zack. Tapi Zack-nya saat itu nggak ada, dia udah kerja di Jakarta. Terus, pas dia pulang, dia bilang suka sama aku. Yaudah kita jadian gitu aja, pacaran selama dua tahun, aku—"
"Kenapa kamu dulu nggak langsung nikah aja sama dia?" komentar Bian, mencoba untuk bersikap santai— terutama ketika mendengar nada bicara Amara seolah menganggap Bian seperti seorang teman. "Kan oon banget kedengarannya, pacaran sama orang yang kita suka, terus tiba-tiba nikah sama orang lain?"
Ekspresi Amara berubah sedikit janggal dan kaku. Dia menggigit bibir sejenak. Lalu kembali terdiam, seolah-olah baru saja disadarkan, kenapa dia harus menceritakan masa-masa itu pada Bian?
"Ah, intinya sekarang aku mau nikah sama dia," ujar Amara akhirnya.
"Kenapa harus dia sih, Ra?" tanya Bian dengan aksen lambat-lambat. "Kenapa bukan aku aja? Aku juga nggak punya istri sekarang, aku bisa ngasih—"
"Akunya yang nggak mau lagi sama kamu, B*ngs*t!" timpal Amara dengan nada sedikit tinggi. "Kan aku udah bilang, sesayang-sayangnya aku sama kamu, aku nggak akan biarin kamu nyakitin aku terus. Kalau aku nerima kamu lagi, bukan nggak mungkin ke depannya kamu bakalan nyakitin aku lagi. Dicerein kayak gitu, sakitnya masih kerasa sampe sekarang!"
Bian tak tahu bagaimana dia harus menanggapi ucapan Amara. Wanita itu selalu berhasil membuat ulu hatinya nyeri, dan setiap kata-katanya seolah memang ditujukan untuk menampar Bian.
Bohong jika Bian tak merasa tertusuk dengan setiap kalimat yang diucapkan Amara dengan gigi bergemeretak, seolah menunjukkan luka yang dia torehkan di hatinya karena perceraian itu, mungkin lukanya tak pernah kering.
Sekali lagi Bian ditampar realita, membuat dia sadar bahwa kembali bersama Amara adalah hal mustahil. Seharusnya dia sadar, saat itu Amara protes dan menolak untuk diceraikan. Lalu, bagaimana mungkin sekarang Bian berpikir Amara bisa menerima dia begitu saja? Apa dia lupa sudah mencabik-cabik hati Amara?
Sejenak, Bian berupaya mengingat apa yang membuat perasaan dan harapan itu kembali muncul dalam hatinya. Berharap bisa kembali bersama dengan Amara, memperbaiki kesalahan yang dia lakukan, membasuh luka yang dia torehkan karena menceraikannya.
Lalu Bian teringat, harapan untuk kembali itu mulai membesar saat pertama kali melihat Amara di bidan. Melihat sorot mata wanita itu yang memancarkan sinar penuh kerinduan luar biasa, dan Bian yakin itulah satu-satunya alasan mengapa dia sempat menduga bahwa Amara masih mencintainya.
Namun, rupanya dia salah, bahkan terlalu salah mengartikan percakapannya dengan Amara ketika mereka di ruang bersalin.
'Kalau Mora mati, jangan ambil bayinya. Jangan diurus sama istri kamu. Ibu sama ade-ade Mora yang bakalan ngurus. Jangan diambil ...."
'Kalau kamu bawa bayinya setelah aku mati ... Aku bakalan bangkit dari kuburan buat nyekik kamu, Fabian Khadafi!'
'Kalau gitu, kamu nggak usah mati. Kamu harus tetep hidup buat nyaksiin kalau aku nggak akan ngambil anak kita dan ngasiin dia ke orang lain. Kita rawat dia bareng-bareng, Oke?'
Saat itu Amara tak lagi menyahut, memokuskan diri mendengarkan bidan. Sepertinya Bian salah mengartikan semua arti percakapan tersebut. Dia pikir, Amara mengiyakan ucapannya untuk merawat bayi mereka bersama-sama. Namun, tampaknya Amara hanya butuh meyakinkan diri bahwa Bian tak akan mengambilnya.
Bian tertawa dalam hati. Menertawakan ketololannya yang berharap Amara bisa dengan mudah memaafkannya. Dari semua orang, seharusnya Bian yang paling mengetahui bahwa wanita itu tak mungkin memaafkan dia.
Tak ingin terpaku dengan keadaan yang tiba-tiba berubah canggung. Bian memilih beranjak sambil membawa nampan berisi piring dan gelas kotor.
Namun, langkahnya terhenti sejenak di ambang pintu, dia mencoba menahan dadanya yang bergemuruh agar tidak memengaruhi suasana hatinya. Terutama ketika rasa sesal kembali mencuat, membuat sekujur tubuh Bian terasa nyeri.
Bian menghela napas dalam-dalam. Lalu, tanpa menoleh ke belakang pada Amara, Bian berkata dengan suara tersendat, "Sebangsat-bangsatnya aku, nyakitin kamu nggak pernah ada dalam rencanaku. Semua terjadi tanpa bisa aku kendalikan. Di antara semua orang, harusnya kamu yang paling tau kalau aku nggak niat main-main saat nikahin kamu— meski hanya sebagai istri kedua."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments