Bab 18

"Teh Eca?"

Entah karena terlalu lelah setelah berkeliling, atau karena terlalu berkonsentrasi mencari tempat duduk— sehingga Amara tak menyadari keberadaan Eca yang duduk tak jauh dari kursi Amara.

Yang lebih mengejutkan Amara, rupanya Eca tak hanya datang seorang diri. Amara baru sadar bahwa wanita berperangai ramah itu juga datang bersama suaminya, Zack, adik sepupunya yang jutek yang Amara kenal sebagai Niken, dan seorang pria yang membuat jantung Amara nyaris tak bisa berdetak untuk beberapa detik.

Bukan karena pria yang duduk di samping Zack itu berwajah tampan, tetapi karena Amara pernah bertemu dengan pria itu.

Zack beranjak berdiri dari tempat duduk dan menghampiri Amara sambil berkata, "Akhirnya Biandra bisa sama kamu lagi. Bian nggak berbuat macem-macem 'kan tadi sama kamu, Ra?"

Pertanyaan Zack berhasil menarik perhatian Amara yang sedikit gugup, bahkan tangannya yang masih memegangi pegangan stroller kini sedikit berkeringat.

Untuk beberapa detik, Amara tampak sedikit kesulitan untuk membuka mulut dan menjawab pertanyaan Zack. Lagi-lagi semua itu karena pria yang berada di samping Zack, dan tatapan pria itu tak lepas dari memindai Amara.

Amara berupaya tenang, bersiap untuk bersikap pura-pura tidak mengenal pria.

Dia berupaya memusatkan perhatiannya pada Eca yang kini membungkuk di depan stroller dan membungkuk pada Biandra sambil berseru ceria, "Ya ampun, ini anak kemarin sore udah mau diajak makan ayam goreng, ya, Ra?"

"Si Teteh bisa bisa aja bercandanya," sahut Amara dengan senyum kaku, dan dia tak berniat untuk menanggapi pertanyaan Zack sebelumnya yang membahas Bian.

Amara berupaya tersenyum ramah saat menyapa suami Eca, dan Niken— sepupu Zack sebaya Amara.

Amara masih sedikit gugup ketika Zack tiba-tiba berkata, "Ra, kenalin, ini Chandra— temen kerjaku yang kebetulan datang mau liburan."

Zack mengedikkan kepala pada temannya yang sejak tadi masih mengamati Amara dengan tatapan menyelidik, lalu kembali berseru dengan nada sedikit pamer, "Chan, nah, ini dia Amara ... calon bini yang sering gue—"

"Lu serius ini calon istrimu, Zack?" tukas Chandra dengan tatapan tak percaya. "Lu nggak salah ngenalin orang 'kan?"

Pernyataan itu berhasil membuat Amara semakin tegang, bahkan Eca dan keluarga Zack yang lain pun turut menoleh pada Chandra dengan tatapan terheran.

"Nggak salah lah," ujar Zack bingung. "Kenapa? Lu ngomongnya kenapa gitu banget sih? Kenal sama dia?"

"Bukan kenal lagi, gue pernah booking dia beberapa bulan lalu waktu party ulang tahunnya mandor Dhanu setaun lalu, Zack. Ya ampun, lu yang bener aja mau nikah sama cewek malem, Zack?"

Ucapan spontan itu berhasil membuat ulu hati Amara seolah baru saja dihantam ghada, rasanya luar biasa nyeri, dan dia benar-benar merasa dunianya akan segera hancur detik itu juga.

Ketika semua orang yang berada di meja itu menatap Amara dengan tak percaya, Niken tiba-tiba bergumam, "Ya ampun, Ra? Kamu jadi cewek bookingan? Aku nggak lagi salah denger—"

"Nggak mungkin!" Zack spontan membantah tudingan Chandra dengan tegas. "Lu salah orang kali, Chan. Gue tau bener kalau Amara wanita baik-baik dan nggak mungkin—"

"Sumpah mati gue pernah tidur sama dia!" tukas Chandra sambil memandang Amara dengan tatapan menyelidik, "Amara, Amara ... gue yakin lu nggak mungkin lupa kalau kita pernah tidur bareng 'kan, Ra?"

Kini Zack menatap Amara seolah dia ingin mendengar bantahan, dan meyakinkan diri bahwa ucapan Chandra keliru.

Eca dengan nada hati-hati mulai berkomentar, "Amara, itu nggak bener 'kan?"

Amara menatap hampa pada Eca dan Zack sambil berkata dengan susah payah, "Teh, A, aku bisa jelasin semuanya kalau—"

Belum selesai Amara berbicara, Chandra kembali berceloteh, "Nah, Zack, dia nggak ngelak kalau dia memang bukan wanita baik-baik seperti yang kamu bilang barusan—"

Ucapan Chandra terputus ketika seseorang tiba-tiba menepuk dan menarik bahu pria itu.

Saat Chandra menoleh ke belakang, sebuah tinjuan keras menghantam telak wajah Chandra hingga nyaris tersungkur dan membuat semua orang memekik terkejut.

Kemudian Amara baru sadar bahwa orang yang baru saja memukul Chandra adalah Bian, yang entah sejak kapan pria itu berada di antara mereka.

Ketika Bian melihat wajah Chandra, kemarahannya berlipat ganda seolah dia baru saja teringat sesuatu.

Lalu, bayangan tentang sosok seorang pria mabuk di Club D'grey beberapa bulan lalu tiba-tiba muncul dalam benaknya.

Bian ingat betul pria itu adalah orang yang pernah mencari keributan— yang mengaku-ngaku sebagai pacar Amara saat itu.

"Lu apaan sih tiba-tiba dateng maen nyerang temen gue, Bian?" Zack mendorong Bian, sementara Chandra berupaya bangkit dibantu Eca dan suaminya.

Kemarahan kian menyelimuti Bian ketika mendengar Zack mengatakan pria yang baru saja menghina Amara itu adalah temannya.

"Oh, pria tolol yang nggak bisa jaga b*cotnya ini temenmu?" Bian mendengkus dan menatap dingin pada Chandra sekilas, seolah dia masih ingin menghajar pria itu.

Lalu, Bian kembali menatap Zack sebelum berkata dengan tegas, "Dan kamu, Zack Iskandar— yang tadi siang berani gertak saya di telepon karena ngerasa menjadi orang penting bagi Amara sebagai 'calon suaminya'. Saya ingetin sekali lagi, ya, jangan coba-coba muncul dan berharap kamu bisa nikahin Amara sekaligus jadi ayah pengganti buat Biandra, kalau kamu masih lebih belain temenmu yang kayak banci ini— dari pada belain Amara yang jelas-jelas udah dibikin malu di depan umum kayak gini!"

Chandra yang baru tersadar dengan insiden barusan kini menyadari siapa yang baru saja menghajarnya dengan tiba-tiba. Kemudian Chandra sedikit emosi saat mengingat Bian pernah menghajarnya beberapa bulan lalu.

Meski waktu itu dirinya sedang mabuk, tetapi tampaknya Chandra tak pernah lupa dengan perlakuan Bian malam ini yang menghajarnya, dan membuat beberapa petugas club melemparnya keluar karena dianggap mencari keributan.

"Oh, lu preman arogan yang waktu itu juga mukul gue saat lagi sama Amara," kata Chandra sinis, kemudian Chandra kembali menatap Zack dan menambahkan, "Asal kamu tau aja, Zack, waktu itu juga gue ketemu Amara sama pria kasar ini di Club D'grey. Lu tau 'kan kalau gue emang demen banget pergi ke—"

"Jaga ucapanmu kalau nggak mau saya hajar lagi," pungkas Bian sambil menatap tajam pada Chandra, yang sebenarnya ingin dia cekik jika saja tidak banyak pengunjung yang tampak panik menyaksikan pertengkaran mereka.

Mungkin Chandra terlalu dendam pada Bian atas kejadian malam itu.

Terutama ketika mengingat Amara pernah menolak ajakannya sewaktu dia ingin membookingnya lagi, sehingga dia kembali mencibir Bian dengan ketus, "Wah, luar biasa sekali kamu belain Amara. Padahal Zack yang calon suaminya aja nggak ngotot. Amara istrimu? Situ suaminya? Atau salah satu pria yang udah bertekuk lutut setelah tidur sama Amara hingga—"

"Sialan!" Akhirnya Bian tak bisa lagi mengendalikan diri, dia mendorong Zack dan suami Eca yang sejak tadi berupaya melerai mereka. Kemudian, hantaman keras kembali melayang di wajah Chandra.

Sebenarnya, Bian masih tak puas memberi pelajaran pada pria yang tak bisa menjaga mulutnya itu. Namun, Zack dan suami Eca buru-buru menarik Bian yang semakin tak bisa membendung emosinya, sementara Amara dan kedua perempuan keluarga Zack hanya memekik panik menyaksikan insiden tersebut.

Ketika mereka berhasil dipisahkan, Bian berkata dengan amarah bergemuruh dalam dada, "Saya nggak tau dendam apa yang kamu punya sama Amara, sampe bisa-bisanya kamu bikin malu wanita di depan umum! Perlu kamu tahu, Amara bukan istri saya, dan saya bukan suaminya. Tapi, wanita itu ibunya anak saya, dan saya belain dia karena nggak akan biarin satu orang pun ngehina ibunya anak saya! Sekali lagi kamu bikin masalah sama ibunya anak saya, saya pastikan kamu tak akan aman berkeliaran di kota ini. Paham?"

Setelah melontarkan ancaman diplomatis yang penuh penegasan itu, Bian langsung menyambar tangan Amara dan menarik stroller sebelum akhirnya keluar dari restoran tersebut.

Sebenarnya, Bian sama sekali tidak tahu bahwa Amara bertemu Zack dan keluarganya di sana. Awalnya, sebelum mengantri dan memesan makanan, dia menyusul Amara karena lupa mempertanyakan minuman apa yang yang diinginkan wanita itu.

Meski dari kejauhan dia mulai melihat dengan siapa Amara berbicara, tetapi tentu saja Bian tidak bisa mendengar apa yang mereka bahas.

Ketika Bian mulai berjalan mendekat, saat itu dia mendengar Chandra yang menyebutkan bahwa Amara bukan wanita baik-baik.

Entah mengapa pernyataan itu membuat Bian seolah dihantam sesuatu yang membuat hatinya nyeri.

Jadi, tanpa banyak berpikir lagi, dia langsung menarik bahu pria itu dan melayangkan tinjuan, lalu mendapati orang yang menghina Amara adalah pria yang pernah membuat perkara di Klub D'grey beberapa bulan lalu.

"Sakit, ih, pelan-pelan atuh," ujar Amara sambil berupaya melepaskan tangannya dari cengkraman Bian.

Hal itu berhasil membuat Bian tersadar bahwa dia masih diselimuti emosi— meski saat ini mereka sudah berada di parkiran.

"Kamu bisa marah-marah sama saya, tapi kenapa kamu nggak bisa bela diri saat orang tolol itu ngehina kamu kayak gitu?" bentak Bian sambil memelototi Amara. "Harusnya kamu keluarin taring kamu kayak ke aku saat ngadepin orang kayak gitu, kenapa malah diem?"

"Siapa yang diem?" Amara berupaya membela diri. "Tadi aku udah mau coba ngomong ke Zack sama teh Eca kalau aku bisa jelasin apa yang dibilang cowok itu, tapi itu cowok malah bikin aku makin terpojok, terus kamu tiba-tiba dateng dan—"

"Dan kalau aku nggak datang, kamu bakalan biarin cowok kurang ajar itu ngehina kamu lebih banyak lagi di depan umum, gitu? Hah?" Suara dan tatapan Bian semakin galak, dan hal itu berhasil membuat Amara sedikit gemetar ketakutan.

"Kamu pikir aku mau dihina kayak gini? Emangnya aku tau bakal ketemu mereka di sini?"

Getaran dalam suara Amara membuat Bian tersadar bahwa sekarang bukan waktunya untuk memarahi wanita itu.

Bahkan, Bian seolah ditampar kenyataan yang membuat dia sadar, bahwa tak seharusnya dia memarahi Amara.

Terutama setelah menyaksikan bagaimana wanita itu dibuat malu di depan keluarga calon suaminya sendiri.

Akhirnya Bian berupaya mengendalikan diri. Dia mengangkat Biandra dari stroller dan memberikan pada Amara, lalu melipat stroller tersebut dan menjejalkan di jok belakang.

Tak lama kemudian mereka sudah berada dalam mobil.

Ketika Bian menyalakan mesin dan memanuver mobil untuk keluar dari pelataran parkir, Amara tiba-tiba bergumam lirih, "Aku nggak mau pulang ke rumah. Niken pasti nyebarin apa yang baru aja terjadi. Aku belum tau gimana jelasinnya kalau berita ini sampe ke telinga bapak sama ibuku."

"Siapa Niken?" tanya Bian sambil mengemudi perlahan.

"Dia sepupunya Zack. Rumahnya nggak jauh dari rumah bapakku, dan dia suka banget ngegosip bareng ibu-ibu."

"Nanti aku yang nyoba jelasin ke bapak sama ibu," kata Bian setelah beberapa saat, meski dia pun tak tahu dari mana harus memulai jika sampai Niken benar-benar menyebarkan berita tentang Amara.

Terlebih lagi, mereka tak akan tahu seberapa banyak Niken akan bergosip tentang Amara.

"Tapi aku juga nggak mau pulang ke villa kamu lagi," Amara buru-buru menambahkan saat teringat hal pahit yang terjadi tadi siang ketika mereka bertengkar.

Dan harus Amara akui, menginjak villa itu rasanya sama saja seperti di menginjak duri tajam.

Bian menghela napas panjang, lalu dia sadar bahwa Amara saat ini sedikit panik. Jadi, dia berupaya menenangkan Amara dengan berkata, "Kita pulang ke villaku yang lain."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!