Bab 3

Untuk beberapa saat Amara mematung, antara percaya dan tidak dengan yang terlihat di depan mata. Kemudian, Amara mengerjap saat lelaki itu kian mendekat.

Melihat dia hadir di sini berhasil membuat semua itu terasa seperti mimpi bagi Amara. Benarkah dia adalah lelaki yang dirindukan sepanjang malam-malam Amara yang begitu sepi?

Lelaki itu berhenti ketika jarak antara mereka tersisa dua langkah saja. Sementara Amara mematung— dengan tubuh membeku dan lidah yang begitu kelu.

Amara memindai wajah pria itu dengan saksama, seolah-olah memastikan bahwa benar dia yang ada di depan matanya saat ini. Bukan mimpi atau halusinasi.

Entah karena pantulan dari kaus putih berlengan panjang yang digulung hingga siku yang membuat wajahnya tampak bersih, atau mungkin pria itu memang terlanjur tampan, tetapi pria itu tampak lebih segar dari pada terakhir kali mereka bertemu.

Rambut yang dulu agak ikal kini tersisir rapi ke belakang, tak berbeda dengan bulu-bulu kasar di sekitar dagu dan kumis yang tampaknya baru dicukur dua hari lalu.

Tak banyak yang berubah dari pria itu. Gurat kematangan justru membuat dia terlihat semakin memesona saja. Dalam pandangan Amara, tentu saja.

“Amara ...” Sambil menatap tak percaya, tangan pria itu sedikit terangkat, seolah ingin segera memeluk Amara.

Untuk sejenak, alam bawah sadar Amara berkelana jauh. Melewati labirin waktu beberapa bulan yang lalu, kala terakhir kali bertemu.

Apakah Amara masih ada dalam ingatan dan hati pria itu, sampai dia tidak perlu basa-basi saat menyebutkan namanya?

Sementara Amara? Suara itu ... mendengar suara pria itu lagi, rasanya masih terasa seperti mimpi. Bahkan hingga kakinya terasa tak lagi menapak ubin yang dingin.

Tangan pria itu masih melayang di hadapan Amara. Ingin rasanya Amara langsung menubrukkan diri ke dalam pelukan Bian, tetapi Amara terlalu takut pria itu bisa merasakan tubuhnya yang kini menggigil gemetaran.

Bertemu dengan pria itu setelah terpisah berbulan-bulan ... entah mengapa Amara merasakan jantungnya berdebar-debar. Seperti gadis yang baru diterpa cinta pertama.

"Ra ..."

Suara pria itu saat menyebut namanya membuat Amara tergagap. Melihat pria itu hadir bersama bapak Amara, rasanya tak bijak jika dia harus marah, dan dia memang tak ingin marah saat situasi seperti ini.

Terutama ketika di rumah bidan itu juga ada sepasang suami istri yang sama-sama menanti proses persalinan. Walau bagaimana pun, melihat kehadiran pria itu sekarang bagaikan menemukan oase di padang pasir.

"Kenapa baru dateng?" Akhirnya Amara kembali menemukan suaranya meski dengan sedikit gemetaran, dan entah mengapa tiga kata itu tiba-tiba meluncur begitu saja dari bibir Amara.

Amara masih berdiri di penghujung salah satu ranjang dalam ruangan yang luas, ibunya melangkah melesat keluar menghampiri bapak yang menunggu di teras.

Untuk beberapa detik, Amara tak bisa melakukan apa pun, hanya berpegangan pada ujung ranjang besi, sementara sebelah tangannya diletakkan di perutnya yang buncit. Namun, Amara tahu, ada kerinduan tak terbantahkan yang terpancar dari sorot mata pria itu.

Jadi, ketika Bian mengulurkan tangan untuk membelai pipi Amara, wanita itu langsung bergumam, "Peluk."

Bian tak membuang waktu lebih lama lagi, dia langsung merengkuh Amara ke dalam pelukan. Ada rasa nyeri yang mencuat melihat wajah Amara begitu lemah.

Dari milyaran kata yang bisa diucapkan, Bian tak bisa menemukan satu kata pun untuk menjawab pertanyaan Amara. Kenapa dia baru datang?

Amara membiarkan pria itu mendekapnya dengan erat, tahu bahwa saat ini dia butuh pelukan pria itu. Mata Amara terpejam ketika merasakan tubuh Bian memeluknya dengan cara yang selalu pria itu lakukan. Tubuhnya yang besar dan kokoh menaungi Amara, memberikan banyak kenyamanan yang dia butuhkan.

"Maaf."

Akhirnya Amara bisa mendengar suara Bian lagi, terdengar sedikit gemetar saat dagunya bergerak di atas kepala Amara. Untuk beberapa detik, Amara tak ingin mengucapkan apa pun. Dia membenamkan kepala di dada Bian, mendengar irama detak jantung pria itu yang sama-sama terdengar lebih cepat, seperti Amara.

"Usapin pinggangnya," bisik Amara dalam gumaman lirih. "Panas."

Kemudian dia merasakan pria itu melakukannya, sebelah tangannya bergerak naik turun di sekitar pinggang dan punggung. Sementara sebelah tangannya lagi masih merengkuh kepala Amara di dadanya.

"Maafin," kata Bian yang kini menciumi puncak kepala Amara. Lagi-lagi hanya satu kata itu yang bisa dia ucapkan.

"Pengen ngomong kasar, tapi lagi hamil. Jadi mau nunggu sampe lahiran aja, " gumam Amara sambil menciumi dada Bian, lalu terdiam sebentar. "Tapi takut nggak ada umur buat nyumpahin kamu lagi."

Bian bisa merasakan emosional dan keputusasaan yang mewarnai suara Amara ketika mengatakan hal itu.

"Kalau gitu, ngomong sekarang," kata Bian. "Kalau mau marah, kamu marah aja."

"Kamu mah anj*ng." Akhirnya Amara bisa membisikkan kata itu dengan hati yang nyeri. "Kamu mah b*ngs*t. Kamu mah lebih sadis dari Firaun, lebih zalim dari Namrud. Kamu mah ibl*s ... Kamu mah b*bi, kamu mah ..."

Ucapan Amara terputus, mulai terisak-isak seolah dia baru saja meluapkan apa yang selama ini bergemuruh dalam dada. Namun, rasanya dia belum puas mengata-ngatai Bian dengan berbagai makian kasar.

Menyadari Bian masih tenang, detik berikutnya bibir Amara kembali bergumam, "Aku benci kamu. Aku nggak mau kangen kamu lagi. Aku capek. Aku sakit."

"Aku tau," gumam Bian akhirnya dengan suara tersendat. "Apa yang mau kamu aku lakuin buat nebus rasa sakit kamu, Ra?"

Amara menelan ludah, kemudian kepalanya bergerak pada lengan kanan Bian yang kokoh. Dia kembali bergumam dengan gemetaran, "Abis lahiran, aku mau bunuh kamu."

Dan tubuh Bian menegang saat Amara menggigit lengannya dengan kuat, seolah begitulah cara wanita itu meluapkan semua emosi dan kemarahan yang ada dalam dadanya.

Tangan Bian berhenti bergerak di punggung Amara, tetapi dia tak berniat melepas pelukannya. Justru, semakin kuat Amara menggigitnya, kian erat Bian memeluk Amara.

Sekali lagi Bian kehabisan kata-kata, dan tak berdaya mendapati cara Amara menggigitnya untuk waktu yang lama. Perlahan gigitan Amara mengendur, tubuh wanita itu gemetaran sebelum akhirnya bahu Amara berguncang hebat dan menangis sesenggukan.

Bian tak tahu sejak kapan pipinya basah, menyadari betapa besar luka yang dia torehkan pada wanita itu. Dan ketika Amara mendongak menatapnya sambil terisak-isak, Bian bisa melihat sorot wanita itu bukan saja hanya menampilkan bahwa dia sangat terluka, tetapi hancur.

"Maaf," kata Bian sambil mengusap air mata Amara yang bercucuran. "Kamu boleh ngelakuin apa aja selama itu bisa mengurangi rasa sakit kamu."

"Aku sakit hati. Kamu tau nggak?" kata Amara sambil terisak-isak. "Aku pengen bunuh kamu. Kamu ngerti nggak, Fabian Khadafi?!"

"Iya, aku tau," kata Bian sambil menciumi dahi Amara. "Kan aku bilang, kamu boleh ngelakuin apa aja yang kamu mau kalau memang itu bisa ngobatin rasa sakit kamu."

"Sekalipun kamu mati?"

"Iya, apa pun."

Amara tak bisa membalas ucapan Bian lagi, karena di detik berikutnya perut Amara semakin nyeri sampai dia berpegangan erat pada Bian ketika merasakan cairan merembes di pahanya.

Lalu, dia menjerit-jerit panik sebelum akhirnya sang bidan muncul dan meminta Amara dibawa ke ruang bersalin. Bian langsung menggendong Amara, mengikuti instruksi sang bidan agar membaringkan wanita itu di atas brankar.

Bian tak tahu kenapa dia tiba-tiba ketakutan saat melihat Amara menangis kesakitan. Bahkan, lututnya sedikit gemetar, dan dia tak ingin menjauh dari wanita itu— terutama ketika Amara terus mengatakan agar Bian tetap berada di sampingnya.

"Kamunya tenang, Sayang," kata Bian sambil membungkuk dan memegangi wajah Amara, tahu bahwa wanita itu sama sekali tak mendengar apa yang diinstruksikan si bidan.

"aku takut mati!" pekik Amara dengan suara tercekik, panik. Sementara kontraksinya semakin hebat, tubuh Amara semakin tegang. "Kalau aku mati, jangan ambil bayinya. Jangan diurus sama istri kamu. Ibu sama ade-ade aku yang bakalan ngurus. Jangan diambil ...."

Ucapan Amara terputus ketika napasnya terengah-engah, tetapi samar-samar dia bisa mendengar suara bidan yang mengatakan agar dia rileks. Namun, Amara belum bisa tenang, belum bisa mengendalikan dan mengatur napas seperti yang diinstruksikan si bidan.

"Kalau kamu bawa bayinya setelah aku mati," kata Amara sekali lagi. Dia menggapai apa saja untuk berpegangan. Memegang besi di sisi ranjang rasanya tak cukup memberinya kekuatan.

Jadi, Amara berpegangan pada leher Bian dengan erat sambil terus bergumam dengan tersengal-sengal, "Aku bakalan bangkit dari kuburan buat nyekik kamu, Fabian Khadafi!"

Bian menciumi pipi Amara, berupaya meredam ketakutan yang merayapi hatinya saat Amara terus membahas kematian.

"Kalau gitu, kamu nggak usah mati," kata Bian akhirnya dengan tegas dan meyakinkan. "Kamu harus tetep hidup buat nyaksiin kalau aku nggak akan ngambil anak kita dan ngasiin dia ke orang lain. Kita rawat dia bareng-bareng, Oke? Sekarang tenang, dengerin apa yang dibilang Bu bidan, ya?"

Mengejutkan kenapa ucapan tegas Bian berhasil membujuk Amara, seolah menghipnotis wanita itu agar bisa lebih rileks menjalani proses persalinan.

Namun, kini giliran Bian yang tak bisa rileks. Bahkan, dia tak sadar bagaimana cara Amara berpegangan di lehernya. Kuku-kuku wanita itu menancap, menusuk kulit lehernya dan membuat beberapa luka cakaran yang panjang.

Seumur hidup, ini pertama kali bagi Bian menyaksikan proses persalinan. Dan wanita itu akan melahirkan bayinya, alasan yang membuat ketakutan Bian semakin berlipat ganda.

Jadi, ketika beberapa menit kemudian terdengar tangisan bayi sementara napas Amara tersengal-sengal di telinganya, Bian tahu bahwa proses ketegangan itu sudah berakhir.

Tanpa bisa dikendalikan, bahu Bian bergetar hebat sebelum akhirnya tersungkur di bahu Amara. "Kamu wanita hebat," bisik Bian sambil terisak-isak. "Maaf kalau kamu harus berjuang sendirian selama ini."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!