Bian tidak membiarkan Amara pergi sendiri dari villanya, tidak ketika wanita itu berjalan cepat sambil menangis, ditambah posisinya yang menggendong Biandra.
Terutama Bian tahu benar Amara tidak datang bersama Zack, bahkan sebelumnya dia mendengar deru motor yang membawa Amara langsung pergi setelah wanita itu masuk villa.
Jadi, ketika Amara keluar dari villanya tanpa sedikit pun menoleh ke belakang, Bian pun mengikuti wanita itu tanpa suara.
Lalu, ketika melihat Amara berhenti melangkah di depan gerbang dengan tubuh yang sedikit limbung, tentu saja Bian melangkah cepat ke arahnya.
Sebelum Bian mengulurkan tangan untuk menarik Amara yang tampaknya tak menyadari keberadaan Bian, dia melihat bahu wanita itu bergetar semakin hebat— sementara tangisnya semakin pilu.
Bian menduga Amara akan memberontak ketika dia tak bisa menahan diri lagi untuk menarik Amara agar berbalik, kemudian merengkuh wanita itu dan Biandra tanpa kata.
Namun, alih-alih memberontak, tangisan Amara justru semakin pecah di pelukan Bian. Terutama ketika Bian menciumi puncak kepala Amara dengan penuh sesal.
"Maafin aku, Ra," bisik Bian sambil mengusap-usap punggung Amara. "Aku nggak bermaksud bikin kamu sedih. Aku cuma nggak tahan liat kamu sama Zack. Jadi aku langsung—"
"Anterin pulang," pungkas Amara di tengah isakannya sambil melepaskan diri dari pelukan Bian.
Saat ini, rasanya Amara sudah kehabisan kata-kata untuk berbicara dengan Bian. Bahkan, untuk sekedar mendongak dan menatap wajah pria itu saja rasanya dia tak sanggup.
Walau bagaimana pun, apa yang baru saja terjadi benar-benar membuat Amara merasa sakit luar biasa.
Kendati demikian, walaupun saat ini Amara tak ingin melihat Bian, tetapi Amara tak bisa egois dengan membawa Biandra dengan berjalan kaki menuju jalan raya.
Seharusnya dia malu untuk meminta Bian mengantarnya pulang setelah beberapa menit lalu mengatakan agar Bian tak datang ke rumahnya, atau muncul di hadapannya. Sejujurnya, dia memang tak ingin berurusan dengan Bian lagi.
Namun, dia sadar bahwa sejak dulu, Bian sudah menguras habis harga diri Amara hingga ke akar-akar.
"Tungguin bentar."
Jadi, Amara berdiri menunggu Bian sementara pria itu berbalik masuk ke dalam villa. Tak lama kemudian pintu gerbang yang menjulang itu terbuka lebar, beriringan dengan deru Fortuner hitam yang perlahan keluar dari dalam villa.
Bian berhenti di dekat Amara, lalu turun dan mengitari mobil ke sisi penumpang. Bian tahu, Amara tak bisa membuka kakinya dan melangkah lebih lebar untuk masuk mobil.
Amara tak memberontak ketika Bian mengangkat dia ke dalam mobil dan mendudukkan di kursi samping kemudi. Tak lama kemudian, Bian sudah duduk di samping Amara dan memanuver persneling dengan gerakan mantap.
Namun, semenjak mobil yang mereka tumpangi mulai melaju meninggalkan villa, sejak itu pula Amara membisu.
Dia tak memedulikan apa pun selain menunduk dan mengamati Biandra yang tertidur di pangkuannya. Bahkan, Amara nyaris tak melihat bahwa jalanan cukup macet dan berjejal.
Biasanya, Bian tak suka pergi dengan mobil di hari Sabtu dan Minggu karena banyaknya wisatawan yang memadati lalu lintas menuju pelabuhan.
Namun, ketika melihat langit sedikit gelap sore itu, Bian tak ingin mengambil resiko Amara dan Biandra akan kehujanan.
Lagi pula, lima jam lalu dia ke vila dijemput oleh asistennya dengan menggunakan mobil, dan mana mungkin rela dia membawa bayinya yang baru berusia satu minggu itu dengan menggunakan sepeda motor?
Ketika mendengar bunyi klakson mobil yang saling bersahutan, barulah saat itu Amara mengangkat pandangan menatap ke depan. Lalu menyadari bahwa mereka sudah memasukinya jalan raya yang luar biasa macet.
Sebenarnya, ketika Amara menempuh perjalanan ke villa pun memang sudah macet, untuk itulah dia datang dengan ojek, dan jelas menolak diantar Zack setelah menerima pesan ancaman dari Bian— yang tak akan membukakan pintu jika dia datang bersama pria itu.
"Ra, laper nggak?" tanya Bian sambil menyandarkan punggung. Jemarinya yang ramping mengetuk-ngetuk setir, terlalu malas melihat pemandangan deretan mobil di depannya yang tak bergerak sedikit pun.
Ketika Amara masih terdiam, Bian menoleh sambil menambahkan dengan lembut, "Tadi pagi waktu di rumah, aku belum sempet masak. Kamu udah makan siang?"
Apakah Amara masih terpikirkan untuk makan saat Bian membawa Biandra pergi begitu saja dan membuat dia khawatir?
"Belum," sahut Amara singkat dan kembali menunduk.
Telunjuk Amara menyusuri wajah lembut Biandra, bergerak menyentuh alisnya yang samar, hidungnya yang kecil, dan bibirnya yang mungil.
"Om ...," panggil Amara untuk pertama kalinya dengan begitu sendu. "Jangan bawa dia kayak gini lagi, ya?"
Dan untuk pertama kalinya pula bagi Bian jantungnya seolah berdentam tak karuan ketika Amara memanggilnya dengan nama dan suara seperti itu.
Untuk sepersekian detik, Bian masih terpaku memandangi Amara tanpa bisa berkata-kata.
Kemudian tatapannya berubah sedikit tegang ketika wanita itu menoleh dan menatapnya dengan penuh harap.
"Aku nggak minta kamu ngucapin janji untuk nggak ngelakuin hal ini lagi," kata Amara dalam gumaman lirih. "Lagian, kamu juga nggak pernah nepatin janji. Dulu kamu ingkar janji untuk ngasih waktu seharian buat aku. Terus, minggu lalu, kamu bilang nggak bakalan bawa Biandra kalau aku nggak ngebatasin kamu sama Biandra. Tapi nyatanya Biandra dibawa pergi diem-diem ..."
Amara menjeda kalimatnya ketika melihat sorot mata Bian menyiratkan penyesalan, lalu melanjutkan, "Sekarang, aku bener-bener minta tolong sama kamu. Jangan kayak gini lagi, ya? Kalau nggak bisa janji, seengaknya, kasian sama Mora dikit aja, bisa 'kan? Aku masih belum bisa pergi jauh-jauh setelah ngelahirin. Rasanya sekarang badanku gampang banget sakit. Tapi, hari ini—"
"Ra, maafin," tukas Bian sambil mengulurkan tangan dan memegangi bahu Amara.
Sekali lagi Bian menyesal karena tidak memikirkan dampak dari perbuatannya pada wanita itu. Ketika dia melihat mata sayu Amara yang dibingkai bulu mata lentik dan kelopak mata sedikit bengkak, ulu hati Bian terasa luar biasa nyeri.
Bagaimana mungkin dia baru saja bertindak sebegitu egois hanya karena kecemburuan luar biasa, hingga tak sadar bahwa sekali lagi dia melukai orang yang tak ingin dia lukai lagi?
Di samping itu, Bian tahu benar bahwa Amara sangat jarang butuh dikasihani oleh orang lain. Namun, lihat bagaimana wanita itu sekarang? Tampaknya, Amara benar-benar merasa sedang berada di titik terendah, sehingga wanita itu menekan harga dirinya dengan menatap Bian penuh permohonan.
Amara memilih membisu, kemudian kembali memalingkan wajahnya dari tatapan Bian.
"Aku lapar," kata Amara kemudian, meski sebenarnya dia sedikit pun tak bernafsu untuk memikirkan makanan. Semua itu hanya demi mengalihkan perhatian, karena dia juga tak ingin terlalu larut dalam kesedihan akibat kejadian itu.
"Mau makan apa?" tanya Bian ragu, tahu bahwa saat ini mereka terjebak dalam kemacetan lalu lintas yang membuat mobilnya tak bisa bergerak.
Kemudian dia menurunkan kaca jendela dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Berharap menemukan tempat makan di sekitar yang mudah dijangkau.
Ketika tatapannya tertuju ke arah kedai kecil yang tampaknya menjual mie rebus, saat itu Amara tiba-tiba berkata, "Mochi aja. Itu ada ada pedagang asongan."
Kemudian Bian menoleh pada Amara yang mulai menurunkan kaca jendela untuk memanggil pedagang asongan yang menawarkan dagangan ke mobil di depan mereka.
"Mochi?" Bian berkerut suram. "Ngotorin gigi doang atuh makan mochi mah, Ra. Mana kenyang makan kayak gitu?"
"Buat ganjel laper kan bisa," kata Amara singkat, kemudian melongokkan kepala dan melambaikan tangan pada pedagang asongan tersebut dan meminta beberapa bungkus mochi.
"Mau rasa apa, Neng?" kata si pedagang tersebut sambil menunjukkan dagangannya. "Ada rasa duren, coklat, kacang, kacang ijo, original, sama pisang."
"Semua rasa aja," kata Amara hingga membuat si pedagang semangat.
"Mau berapa bungkus, Neng?" tanya si pedagang lagi sambil memisahkan yang dipesan Amara.
Setelah menanyakan harga mochi keranjang tersebut, Amara menoleh pada Bian yang mengulum senyum melihat wanita itu bernegosiasi.
"Minta uang," kata Amara sambil menengadahkan sebelah tangan pada Bian. "Aku beli semuanya. Kamu bukain jendela belakang, biar si amang yang jualannya langsung simpen di kursi belakang aja."
Bian terkekeh geli mendengar ucapan Amara. Sebenarnya, tanpa perlu Amara menjelaskan pun Bian sudah mendengar percakapan wanita itu dengan si pedagang asongan. Hanya saja, dia tak menduga Amara akan membeli semua mochi keranjang yang dijual.
Bian merogoh dompet kulit dari saku dan membuka untuk mengambil beberapa lembar uang. "Kamu nggak salah beli sampe dua puluh bungkus gitu? Itu tiap bungkus isinya lima boks lho, Ra. Segitu sukanya sama mochi, ya?"
Tanpa menjawab pertanyaan Bian, Amara mengambil lembaran uang seratus ribu dari pria itu, kemudian memberikan pada si pedagang yang sudah menyimpan mochinya di kursi belakang.
"Ini satu bungkusnya dua puluh lima ribu, berati total dua puluh boks harganya lima ratus ribu, ya, Pak?" kata Amara sambil menyodorkan uang tersebut.
"Nggak apa-apa dikurangin, Neng," sahut si pedagang dengan gembira. "Dua puluh ribu aja perbungkusnya. Si Neng dari tadi nggak nawar sama sekali soalnya. Jadi totalnya empat ratus ribu—"
"Enggak apa-apa, Pak, ambil aja," sahut Amara dengan senyum tipis. "Kan yang bayar bukan aku. Ada yang khawatir aku nggak kenyang soalnya kalau makan mochi doang."
Setelah pedagang asongan tersebut berlalu pergi, Amara menyadari Bian sedang tertawa terkekeh-kekeh.
"Kamu kayaknya dendam banget sama aku, Ra?" goda Bian sambil tertawa jahil. "Ada yang mau dibeli lagi?"
"Ada," kata Amara tanpa ekspresi, kemudian pandangannya seolah mencari pedagang asongan lain yang menjual apa saja. "Nah, itu tukang tahu," ujar Amara dengan senyum jahat. "Tapi itu ada yang jual manisan mangga, sama kacang goreng, tapi air minumnya juga perlu."
Kemudian, Bian hanya menggeleng-gelengkan kepala ketika Amara menguras separuh isi dompet Bian hanya untuk membeli makanan di pedagang asongan.
Bukan masalah berapa banyak uang yang Amara habiskan, tetapi karena makanan yang berada di mobil Bian nyaris memenuhi kursi belakang. Belum lagi berbotol-botol air mineral yang Bian yakini cukup untuk Biandra berendam di bak mandi.
Setelah Amara terlihat tampak puas melihat makanan di kursi belakang, Bian kembali mengulum senyum ketika wanita itu membuka sebotol air mineral terlebih dulu.
"Makanan sebanyak itu buat apa, Ra?" tanya Bian dengan sorot geli.
"Buat ngotorin gigi kan kata kamu tadi?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments