Bab 11

Ketika terdengar deru motor yang menjauh, Amara menduga bahwa Bian memutuskan untuk pulang tak lama setelah pria itu keluar kamar.

Namun, melihat ransel hitam Bian masih berada di dalam kamar, Amara tak bisa menebak ke mana pria itu akan pergi. Dia tak ingin memikirkannya, itu bukan urusan Amara.

Kendati demikian, tetap saja kalimat Bian terasa masih berdengung di telinganya yang mengatakan, 'Semua terjadi tanpa bisa aku kendalikan.'

Hanya saja, rasa sakit dari luka yang tak pernah kering dalam hatinya seolah-olah menolak untuk memikirkan hal tersebut.

Sepersekian detik berikutnya, dampak dari rasa sakit karena merindukan Bian selama berbulan-bulan itu berhasil mengalahkan logika Amara untuk berpikir jernih.

Jadi, dia segera mengenyahkan kemelut otaknya jauh-jauh.

Keputusan sudah dibuat, dia akan menikah dengan Zack— sang mantan sekaligus cinta pertama.

Dan mengingat selama ini dia tak pernah beruntung dalam urusan percintaan, tak heran jika sekarang Amara berharap dirinya bisa bahagia dengan pria itu.

Amara tak tahu seberapa lama dia melamun, tetapi tak lama kemudian deru motor Bian terdengar berhenti di pelataran rumah. Amara mengernyit sambil melihat jam yang menggantung di dinding, hanya setengah jam pria itu pergi— dan Amara masih duduk termenung di samping putrinya yang terlelap.

Tak lama kemudian terdengar pintu depan yang terbuka dan tertutup sebelum akhirnya sosok Bian kembali muncul di ambang pintu kamar.

"Dari mana sih?" tanya Amara, tetapi dia bisa melihat Bian menenteng kantung belanjaan.

"Beli rokok," sahut Bian singkat, kemudian melirik pada bayinya yang masih tertidur. "Sekalian beli susu formula buat dia."

"Susu formula?" Keterkejutan mewarnai suara Amara saat mengulangi ucapan Bian. "Kan aku bilang mau kasih dia ASI eksklusif sampe usia dua tahun. Kamu kenapa berani banget maen ambil keputusan buat ngasih dia susu—"

"Simulasi kalau kamu udah nikah." Suara Bian acuh tak acuh, dan ketika Amara tampak tercengang, Bian menambahkan dengan nada tak menerima bantahan, "Bukannya aku juga udah bilang bakal bawa bayinya kalau kamu tetep ngeyel ngebatasin aku sama dia? Atau, apa kamu mau ke depannya aku terus recokin rumah tangga kamu sama mantanmu tercinta itu cuma buat 'minta ASI'?"

Bian berhasil membuat Amara tertegun dan nyaris tak bisa membuka mulut untuk berkomentar. Untuk pertama kalinya Amara tidak memikirkan konsekuensi yang sudah dia putuskan untuk menikah dengan Zack.

"Tapi kamu kan tetep bisa ketemu dia walaupun aku udah nikah!" Akhirnya Amara berhasil menemukan suaranya kembali setelah beberapa detik kemudian.

"Ketemu aja nggak cukup." Bian memandang Amara dengan tatapan serius. "Apa kamu pikir aku ini patung yang bisa terus diem saat liat kamu bermesraan sama suami kamu hanya demi bisa ketemu anakku?"

Amara baru saja membuka mulut untuk bersuara, tetapi lagi-lagi Bian menukas lebih dulu dengan menambahkan, "Sama kayak yang sering kamu bilang, ini hati— bukan dunia fantasi."

Amara menelan ludah dengan susah payah saat berasumsi bahwa Bian kemungkinan memang akan membawa bayinya ketika dia bersama Zack, dan itu membuat tenggorokan Amara seolah tersumbat biji kedondong.

"Tapi aku nggak rela jauh dari dia." Amara masih berupaya mengajukan negosiasi. "Jangan coba-coba mikir untuk bawa anakku pergi walaupun sehari—"

"Dan kamu juga jangan coba-coba bikin anakku kekurangan kasih sayang dari ayahnya!" tukas Bian tegas sebelum melesat pergi meninggalkan perdebatan yang tak pernah menemukan ujung.

Dia pergi ke dapur dan berjibaku untuk mensterilkan botol serta dot, dan itu bukan hal baru bagi Bian— mengingat dia memiliki pengalaman saat mengurus Alif.

Amara hanya bisa menggeram kesal ketika dua jam berikutnya Bian mulai melatih bayinya dengan memberi susu formula. Melihat bibir bayi mencoba beradaptasi dengan dot khusus untuk bayi baru lahir, hal itu membuat hati Amara nyeri.

Bahkan, pergerakan dari bibir mungil si bayi itu saja seolah membuat payudara Amara merangsang otak untuk melepaskan hormon prolaktin, yang kemudian ASI-nya mulai menetes, hingga bra menyusui yang dipakainya mulai basah.

Tak tahan lagi menyaksikan hal itu lebih lama, Amara mendorong bahu Bian yang membungkuk menanungi bayinya sambil memegangi botol yang kini dihisap si bayi.

"Kamu mah ayah tersadis di dunia, tau nggak?!" pekik Amara ketika Bian hanya menoleh dan menatapnya dengan alis berkerut samar. "Orang mah nggak ngasih anaknya ASI karena emang nggak keluar. ASI-ku subur, kamu malah ngehalangin dia buat dapetin hak—"

"Kamu yang maksa," kata Bian sambil kembali ke posisinya, menaungi si bayi sambil memegangi botol susu.

Tanpa memedulikan Amara yang terus memukuli punggung Bian dengan bantal, pria itu justru terkekeh ketika melihat bayinya menyusu dengan gesit. "Bunda kamu rese banget, ya? Nggak bisa liat kamu seneng kayaknya."

"Kamu yang rese!" umpat Amara sambil beringsut mendekat.

Amara ingin menendang Bian agar menjauh, tetapi stagen sialan yang melilit di perut hingga ke pahanya itu membuat dia kesulitan menggerakkan kakinya. Jadi, mau tak mau Amara meninju punggung Bian hingga menimbulkan suara hantaman keras.

Ketika pria itu hanya memberingis tanpa bergerak dari posisinya, menghalangi Amara agar tak mengehentikan aktivitasnya, wanita itu semakin kesal. Dia kemudian menggigit bahu Bian hingga urat-urat lehernya mengencang, barulah saat itu Bian bereaksi.

"Sakit, Ra," keluh Bian sambil menoleh dan berupaya menjauhkan kepala Amara dengan hati-hati. "Bekas gigitan kamu waktu ngelahirin aja belum ilang. Biru semua pasti badanku kalau kamu—"

"Atuh makanya kamu ke sana, ini ASI aku netes terus," bentak Amara kesal. "Dia mau ASI, bukan susu botol!"

Dengan hati-hati Bian melepaskan susu botol yang dinikmati bayinya. Bian hanya membuat susu sebanyak tiga puluh mili, sekarang bahkan belum habis setengah dari yang dia buat. Ketika botol itu berhasil terlepas, bibir si bayi masih bergerak, seolah belum kenyang.

Bian menghela napas dalam-dalam, merasa serba salah harus berbuat apa. Sejujurnya, dia juga tak tega memberikan susu formula pada anaknya, terutama ketika ASI Amara memang subur.

Namun, dia juga tak ingin berjauhan dengan bayinya jika beberapa bulan kemudian Amara menikah. Jadi, hanya itu upaya yang bisa dia lakukan saat ini, mencoba berdamai dengan keadaan.

Dia tahu, tak akan bijak jika terus memaksa Amara kembali rujuk demi si buah hati agar mendapat perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya.

Namun, penolakan Amara terlalu terang-terangan. Dan sikapnya yang seperti itu seolah menunjukkan bahwa Bian pria terburuk— yang tak mungkin bisa memberikan kehidupan rumah tangga yang layak bagi wanita itu.

Mungkin Amara benar, dan bukan salah wanita itu jika berasumsi demikian tentang Bian. Setelah mengetahui bahwa Amara sudah membuat keputusan untuk menikah, Bian tahu bahwa kesempatannya semakin kecil untuk mengajak Amara rujuk.

Sejenak, terlintas dalam benak Bian untuk terus mendesak Amara agar tak langsung menikah dalam waktu dekat.

Bukan, sebenernya bukan itu yang Bian inginkan. Jika Amara memang tak ingin kembali padanya, Bian sempat berpikir setidaknya Amara tetap sendiri.

Membayangkan Amara bersanding dengan pria lain saja sudah membuat ulu hatinya nyeri. Namun, satu-satunya penghiburan Bian saat ini adalah bayinya.

Dan Bian sadar, terlalu egois jika dia menghalangi keinginan Amara untuk berumah tangga dengan lelaki yang mungkin bisa memberinya kebahagiaan utuh.

Pergerakan Amara yang merengkuh bayinya ke dalam pelukan membuat lamunan Bian buyar. Kemudian mengamati Amara yang mulai menyusui bayinya.

"Ra," kata Bian dalam gumaman lirih. "Siangnya dia minum ASI, kalau malam tetep belajar susu botol, ya? Biar beradaptasi sama—"

"Biar apa sih kayak gitu?" Amara mendengkus. "Masa nggak paham juga kalau yang dibutuhin anak ini cuma ASI?"

"Tapi dia juga butuh kasih sayang ayahnya, Ra. Saya ayahnya!" Bian menahan agar suaranya tetap tenang, meski sebenarnya ada rasa nyeri yang begitu nyelekit di hatinya. "Oke, mungkin calon suami kamu bisa gantiin posisiku. Tapi aku berani jamin kalau kasih sayang kita nggak sama. Dia anak pertama yang aku punya, Ra. Ada masanya aku pengen bawa dia ke keluargaku, dan aku nggak mungkin bawa kamu kalau kamu udah jadi istri orang. Kamu ngerti nggak posisiku?"

"Dari dulu harus aku yang selalu ngerti posisi kamu!"

"Terus aku harus apa?" Bian menatap Amara lekat-lekat. "Aku nggak larang kamu nikah sama orang lain, yang aku mau cuma jangan ngehalangin aku ngasih kasih sayang ke anakku."

"Kamu emang nggak ada hak buat larang aku nikah. Kamu pikir kamu siapa?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!