Bab 19

Kebisuan Amara di sepanjang perjalanan berhasil membuat Bian gelisah dan serba salah. Atau, lebih tepatnya merasa bersalah.

Bukan tanpa alasan, tetapi setelah amarahnya terkendali, Bian tersadar bahwa dia memang tak seharusnya memarahi Amara— terutama setelah wanita itu dipermalukan di muka umum.

Berulang kali Bian mencoba mengajukan beberapa pertanyaan, berharap dapat memecah keheningan mengerikan yang menyeruak dalam mobil.

Jika sebelumnya Bian selalu kesal mendapati umpatan-umpatan kurang ajar yang sering dilontarkan Amara, tetapi saat situasi seperti ini, harus Bian akui bahwa dia lebih baik melihat Amara marah-marah dari pada membisu seribu bahasa.

Terutama karena Bian tahu bahwa Amara berupaya keras menyembunyikan kondisinya yang tampak begitu terpukul. Wanita itu memusatkan perhatian sepenuhnya hanya pada Biandra.

Meski sesekali Bian melihat Amara berupaya tersenyum sambil mengelus-elus Biandra, tetapi dia tahu benar bahwa senyum yang terukir di bibirnya terlalu dipaksakan.

Ketika satu jam kemudian mereka tiba di salah satu villa Bian, Amara terdengar mengembuskan napas panjang— yang menunjukkan bahwa wanita itu lega karena Bian tak membawanya ke villa tadi siang.

Bian mematikan mesin dan segera keluar, lalu membantu Amara turun dari mobil dan membimbing wanita itu memasuki bangunan dua lantai yang didominasi cat berwarna kuning cerah.

"Ini masih villa Om juga?" tanya Amara ketika Bian mendorong pintu bergandengan berpelitur hitam hingga terbuka lebar.

Bian tahu, pertanyaan Amara hanya basa-basi belaka, yang bahkan suara wanita itu terdengar sangat dipaksakan. Kendati demikian, Bian tetap berupaya menanggapi pertanyaan tersebut dengan santai.

"Ya," jawab Bian singkat, lalu menatap Amara dan menjelaskan, "Ada dua kamar di lantai atas, dua kamar di lantai bawah. Kamu tidur di kamar atas—"

"Di bawah aja," tukas Amara buru-buru. "Ribet naik turun tangganya."

"Di atas aja biar kamu lebih nyaman. Selain biar nggak keganggu kalau para pekerjaku mau bersiin villa, di kamar atas ada balkon yang view-nya bagus, yang bakalan bikin kamu nyaman kalau ngajak Biandra berjemur pagi-pagi, dan kamar itu lebih luas. Jadi aku bisa pasang tempat tidur Biandra di kamar yang kamu tempat—"

"Besok juga aku pulang 'kan?" pungkas Amara dengan alis berkerut samar. "Ngapain repot-repot harus ngerakit tempat tidur Biandra?"

Ucapan Amara berhasil membuat Bian terdiam, seolah baru saja disadarkan tentang status mereka yang bukan sebagai suami istri.

Bian menelan ludah dengan susah payah, lalu mengangguk dan akhirnya pasrah untuk menggiring Amara ke salah satu kamar di lantai bawah.

Sambil membukakan pintu dan membimbing Amara masuk, Bian menjelaskan, "Kalau kamu mau mandi, handuk bersihnya ada di rak kamar mandi. Kalau kamu butuh apa-apa, aku ada di kamar sebelah, pintunya aku biarin kebuka khawatir nggak denger kalau Biandra kebangun tengah malem."

"Kalau mau tidur mah tidur aja," kata Amara sambil berjalan menuju tempat tidur berukuran besar, lalu membaringkan Biandra dengan hati-hati di atas hamparan kasur bersprei putih. "Malem ini Biandra biar minum ASI aja. Biar kamu nggak perlu repot bangun cuma buat bikinin susu—"

"Repot apanya sih?" gerutu Bian sedikit tak senang saat memungkas ucapan Amara. "Kebiasaan kamu mah kalau ngomong suka seenak jidat sendiri."

Bian meletakkan beberapa kantong belanjaan berisi pakaian serta kebutuhan Amara dan Biandra yang baru mereka beli.

Terlepas dari peristiwa tak mengenakan sepanjang hari ini, tetapi Bian patut bersyukur, karena akhirnya kejadian itu membuat Amara sendiri memutuskan untuk bersedia pulang ke villanya.

Terutama karena Bian tak perlu bersusah payah atau berdebat terlebih dulu untuk mengajak Amara ke villa, hal yang sangat jarang terjadi— mengingat wanita itu cukup keras kepala.

Amara tak berniat menanggapi argumen Bian, tetapi dia menoleh dan menatap Bian sambil bergumam pelan, "Aku mau mandi, kamu jangan dulu keluar. Jagain Biandra sebentar, ya?"

Melihat sorot redup dan lelah yang terpancar di mata sayu Amara, hal itu berhasil membuat Bian tertegun sekali lagi.

Ketika Bian hanya mengangguk, Amara berjalan dan mengambil satu set piyama dari kantong belanjaan dan segera bergegas ke kamar mandi.

Setelah menutup pintu di belakangnya, barulah saat itu Amara menangis terisak-isak, meluapkan seluruh emosi yang coba dia pendam sejak tadi.

Bohong jika Amara tak merasa terpukul dengan apa yang terjadi dalam kurun waktu dua belas jam terakhir.

Tak dapat dia pungkiri bahwa hari ini menjadi hari yang terberat bagi Amara. Setelah melewati kejadian tak mengenakan karena Biandra dibawa pergi, Amara sedikit bisa terhibur ketika Bian mencoba memanjakan Bianda— meski sebenarnya hal itu bukanlah suatu penghiburan yang patut dia banggakan.

Terutama karena Biandra memang sepatutnya mendapat perhatian dari ayahnya sendiri, mengingat anak itu tak pernah sekali pun mendapat belaian lembut sewaktu dikandung — seperti yang dilakukan kebanyakan ayah yang dengan bangga menantikan kehadiran calon buah hatinya.

'Yang jadi pertanyaan saya, Amara mana yang mau pria itu nikahi?'

Ucapan Bian tadi siang seolah kembali berdengung di telinga Amara, terutama ketika teringat bagaimana ekspresi Zack saat mendengar pengakuan Chandra tentang 'wanita malam'.

'Amara si gadis lemah lembut yang dia kenal di masa lalu, atau sisi lain dari seorang Amara yang kamu sembunyiin dari semua orang?'

'Aku yakin kamu nggak bener-bener terbuka tentang siapa diri kamu...'

'Perlu kamu tau, semakin seorang pria itu ngerasa dirinya suci, makin tinggi juga kriteria calon istri yang dia inginkan. Bahkan, nggak sedikit cowok ngerasa kecewa kalau dia nemuin sesuatu yang nggak pernah dia tahu...'

Amara tertawa pahit dalam isakannya, mengingat betapa bodohnya dia pernah berpikir bahwa Zack tak akan mengendus bangkai yang coba dia tutup rapat-rapat.

Seharusnya Amara sadar, dulu dia memutuskan Zack karena sadar dirinya bukanlah 'gadis suci'— yang jelas tak akan layak bersanding dengan pria seperti Zack.

Kini, bukan potensi batalnya pernikahan dia dengan Zack yang membuat Amara merasa terpukul, tetapi karena ucapan yang dilontarkan Chandra yang membuat Amara luar biasa nyeri.

'Bukan kenal lagi, gue pernah booking dia beberapa bulan lalu.'

'Sumpah mati gue pernah tidur sama dia!'

'Dia nggak ngelak kalau dia memang bukan wanita baik-baik seperti yang kamu bilang barusan.'

'Wah, luar biasa sekali kamu belain Amara.'

'Amara istrimu? Situ suaminya? Atau salah satu pria yang udah bertekuk lutut setelah tidur sama Amara ...'

Amara tak tahu kenapa tangisnya tak dapat dihentikan. Entah seberapa kuat dia menyingkirkan setiap ucapan-ucapan tajam yang terus berkerumun dalam otaknya, tetapi upayanya tetap saja gagal.

Air mata Amara semakin deras bercucuran. Entah itu karena busa shampo yang mengalir mengenai matanya ketika dia membilas rambut di bawah kucuran shower, atau karena hatinya yang saat ini terlalu perih— hingga air matanya keluar begitu saja. Seolah mewakilkan isi hati Amara, yang terlalu banyak menimbun kekecewaan dan rasa sakit yang tak bisa dia luapkan dalam bentuk kata-kata.

Satu-satunya hal yang dia sadari dari peristiwa hari ini adalah, tak peduli seberapa kuat dia mencoba melakukan upaya memperbaiki masa lalu terkelamnya, hal itu tak menghasilkan perubahan apa pun— tidak ada yang berubah sedikit pun.

Stigma 'wanita malam' tetaplah melekat pada Amara, dan hal itu membuat dia melaung perih dalam kebisuan, berharap seluruh dunia bisa mendengar bahwa dia tak pernah 'memesan' untuk memikul kehidupan yang luar biasa pahit.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!