Roar Of The Ocean
"Hah?" Tivana menoleh, baru saja ada sesuatu yang terdengar oleh gendang telinganya.
Apa itu tadi? Batin gadis ini, bingung. Menoleh kesana kemari, hal tersebut mengundang perhatian dari teman yang berada tepat disampingnya.
"Ada apa Tivana?" tanya Rachel, mengikuti pandangan Tivana yang terlihat seperti meneliti setiap jengkal pemandangan pantai didepan sana.
Tak ada jawaban. Tivana seolah asik sendiri dengan kegiatan yang ia lakukan, bahkan kedua matanya menjadi sangat sipit guna mempertajam penglihatan.
Rachel yang terabaikan kembali menoleh kearah Tivana, jelas tidak ada apapun didepan sana selain bibir pantai yang diterjang ombak serta lautan luas.
"Tivana?" panggil Rachel.
Gadis pemilik nama Tivana tersebut akhirnya menoleh; kearah temannya. Terdapat jeda kosong sebelum gadis tersebut bicara.
"Kau mendengar nyanyian Rachel?" tanyanya kemudian. Jelas mengabaikan semua pertanyaan yang Rachel lontarkan.
Kening Rachel berkerut, bingung. Apa yang gadis disampingnya ini katakan? Nyanyian? Nyanyian apa? Rachel tidak mendengar apapun selain suara dari burung-burung camar yang berterbangan disore hari.
"Ti... tidak..." sahut Rachel bingung.
Rona muka Tivana yang sebelumnya terlihat sangat serius berubah menjadi santai setelah mendengar ucapan dari Rachel, temannya.
"Benarkah?" beo gadis itu, lugu.
"Mungkin aku salah dengar, tadi itu aku mendengar suara seperti nyanyian Rachel..." ungkapnya lagi. Rachel yang duduk tepat disamping gadis tersebut merotasi mata, dia kemudian buka suara.
"Sungguh?"
Tivana menggangguk.
"Ya!" jawabnya singkat.
Rachel terdiam sejenak.
"Mungkin karena kelelahan, makanya kau mendengar suara-suara aneh..." komentar Rachel kemudian. Tivana menggangguk setuju, mungkin pernyataan yang temannya itu katakan benar.
Dia kelelahan, begitu juga Rachel; makanya—mereka jadi tertahan disebuah pondok kecil di tepi pantai dengan pemandangan matahari terbenam yang sangat indah tersaji tepat didepan mata.
"Haruskah kita menyusul mereka atau kembali ke penginapan saja?" tanya Rachel, menunjuk kearah lain di mana teman-teman seangkatannya berada; berjarak lumayan jauh dari pondok atau lebih tepat berada dekat bibir pantai. Mereka sedang melakukan kegiatan pengambilan sampel zoobenthos disana.
Kelopak mata Tivana terpejam.
"Hah~" hela napas berat terdengar.
"Ku rasa, lebih baik kita kesana." putusnya.
...***...
"Aku dengar kau pernah tinggal disini Tivana?" Johan bertanya, Tivana dan Rachel yang mendengar spontan menoleh kearah lelaki tersebut. Kegiatan makan malam meraka tertahan berkatnya.
Rachel tampak ikut tertarik setelah mendengar ucapan Johan.
"Benar, kau pernah bercerita pada ku soal itu sebelum kita berangkat kesini melakukan penelitian..." ucapnya, membumbui perkataan Johan. Teman-teman seangkatan yang semula asik menikmati makanan mereka ikut menjatuhkan minat, termasuk dosen pendamping dari kegiatan penelitian ini.
"Woah? Tak heran banyak masyarakat sini menyapa kita dengan hangat..." ungkap dosen pendamping muda itu, sir Liam.
Tivana menggeleng, dia mencoba membantah kabar hoax yang sedang Johan sebarkan.
"Tidak begitu sir!" bantahnya. Semua mata kali ini benar-benar tertuju kearah Tivana, hal itu membuatnya menghela napas panjang. Sial, decih Tivana dalam batin. Tak terlalu senang harus menceritakan masa lalu kepada teman-teman kampusnya, terlebih lagi dihadapan dosen pendamping berparas tampan yang sejujurnya Tivana kagumi ini. Tapi, mau bagaimana lagi—ya sudahlah.
"Dulu waktu masih kecil, saya pernah tinggal disini selama 3 tahun. Tepatnya saya dititipkan ketempat kakek dan nenek yang tinggal di sini karena orang tua saya sedang melakukan ekspedisi ke Antartika, itu kenapa kebanyakan masyarakat di sini mengenali saya..." terang Tivana. Teman seangkatannya ber 'oh ria ketika mendengar, mereka tampak takjub dengan kisah kedua orang tua Tivana. Tak heran Tivana memilih jurusan biologi, karena dari kecil dia sudah dikenalkan dengan alam.
"Lalu kenapa kita tidak menyapa kakek nenek mu Tivana?" sela Rachel tiba-tiba, yang lain tampak setuju. Padahalkan jika tahu begini mereka tak perlu repot-repot menyewa penginapan, cukup menumpang hidup di rumah kakek nenek-nya Tivana. Toh kegiatan praktikum untuk mata kuliah mereka kali ini hanya dilakukan selama kurang dari 5 hari. Lebih hemat jadinya.
Mendengar itu membuat Tivana terkekeh, dia canggung untuk menceritakannya tapi demi menghilangkan kesalahpahaman mau tak mau gadis berusia 21 tahun ini angkat suara.
"Kakek dan nenek ku sudah meninggal... dan rumah mereka dijual oleh orang tua ku..." ucapnya, sembari mencubit pipi Rachel dengan tampang gemas. Gara-gara gadis tersebut dia harus bercerita.
"Ya ampun... turut berduka cita Tivana..." sahut sir Liam. Tivana tersenyum kecil, dia mengangguk sudah biasa menanggapi reaksi semacam itu.
Menyudahi kegiatan bercerita akhirnya makan malam yang tadinya tertunda dapat kembali dilanjutkan. Begitu juga Tivana, dia kembali menyuap sesuap makanan kedalam mulutnya. Mereka perlu tenaga, sebelum melanjutkan kegiatan praktikum keluar lapangan tersebut.
"Jangan lupa laporannya yah!" seru sir Liam tiba-tiba yang berhasil membuat seluruh mahasiswa disana melenguh lemas. Termasuk Tivana.
"Hah—!"
Hm~
DEG!
Tivana tersentak, sesuatu baru saja menerobos masuk kedalam gendang telinganya. Persis seperti apa yang ia dengar tadi sore. Gadis tersebut lantas mengedarkan pandangan, melihat kesegala arah guna mencari tahu sumber dari suara yang baru saja ia dengar meski nihil. Dia hanya mendapatkan pemandangan dari teman-teman seangkatannya yang sibuk menghabiskan makan malam mereka di ruang makan out door penginapan.
"Ada apa?" tanya Johan, tampak kembali menaruh minat kepada Tivana. Gadis yang baru saja mendapat teguran tersebut menggeleng. Tak ada sahutnya tanpa suara sembari menyipitkan mata kearah bibir pantai tepat di ujung pandang sana.
Dari kejauhan, hanya ada kegelapan dari lautan tanpa adanya cahaya. Rembulan pun tampak enggang memunculkan wujudnya.
Diantara kegelapan lautan tersebut ada sesuatu seperti menilik kecil di sudut sana. Maniknya berkilat, cukup lama sebelum akhirnya perlahan menghilang.
...________________________...
...Roar of the Ocean...
...________________________...
..._____________...
..._____...
..._...
"Èàh~ Ăñæ... hīŕə." suaranya terdengar seperti menggeram. Sesuatu tampak berhasil membuat sosok tersebut menjadi tegang, Õsedian menyeringai. Senang bukan main hingga menampilkan deretan gigi runcing karnivora miliknya.
Terkikik geli sebelum akhirnya kembali menggeram.
"Īĺ wīĺL pîčk ýø ūpà..."
Lalu menghilang; pergi dari sana menyatu dengan lautan.
...***...
"Ana..."
Tivana menoleh.
"Ya nek?" sahutnya. Penasaran kenapa sang nenek tiba-tiba memanggil namanya.
Sang nenek tersebut tersenyum, dia lalu mengelus pelan kepala Tivana yang saat ini baru berusia 10 tahun. Terdapat jeda sebentar sebelum wanita tua itu bicara.
Tangan yang semula mengelus kepala Tivana berpindah, menunjuk sesuatu tepat diujung sana. Hal ini membuat Tivana ikut menatap apa yang neneknya ingin tunjukkan.
Lautan luas berombak tenang.
"Jika Ana mendengar nyanyian, menjauh dari bibir pantai..." ucapnya kemudian yang jelas menghadirkan sebuah tanda tanya besar.
Apa maksudnya? Batin Tivana—penasaran.
DEG!
...***...
...T B C...
...Cerita ini hanya bersifat fiksi atau karangan saja, jika terdapat kesamaan dalam bentuk apapun—mungkin karena ketidaksengajaan semata....
...Jangan lupa klik like, vote, dan comments diakhir cerita sebagai wujud apresiasi terhadap karya penulis....
...PERHATIAN!...
...Cerita dibuat semata-mata untuk hiburan, tidak membenarkan apa lagi mewajarkan suatu tindakan. Harap menjadi pembaca yang bijaksana....
...Terima kasih,...
...ketemu lagi nanti....
...Bye...
...:3...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Lisa Z
hai kak, aku mampir
jangan lupa mampir juga di cerita nya author Chocooya judul nya Falling Into Your Trap
2023-10-08
0
Husna15🐅
hm hemat sih, tpi kan ngerepotin org😅
2023-07-03
2
Husna15🐅
mungkinkah dia indogo
2023-07-03
1