"Hah?" Tivana menoleh, baru saja ada sesuatu yang terdengar oleh gendang telinganya.
Apa itu tadi? Batin gadis ini, bingung. Menoleh kesana kemari, hal tersebut mengundang perhatian dari teman yang berada tepat disampingnya.
"Ada apa Tivana?" tanya Rachel, mengikuti pandangan Tivana yang terlihat seperti meneliti setiap jengkal pemandangan pantai didepan sana.
Tak ada jawaban. Tivana seolah asik sendiri dengan kegiatan yang ia lakukan, bahkan kedua matanya menjadi sangat sipit guna mempertajam penglihatan.
Rachel yang terabaikan kembali menoleh kearah Tivana, jelas tidak ada apapun didepan sana selain bibir pantai yang diterjang ombak serta lautan luas.
"Tivana?" panggil Rachel.
Gadis pemilik nama Tivana tersebut akhirnya menoleh; kearah temannya. Terdapat jeda kosong sebelum gadis tersebut bicara.
"Kau mendengar nyanyian Rachel?" tanyanya kemudian. Jelas mengabaikan semua pertanyaan yang Rachel lontarkan.
Kening Rachel berkerut, bingung. Apa yang gadis disampingnya ini katakan? Nyanyian? Nyanyian apa? Rachel tidak mendengar apapun selain suara dari burung-burung camar yang berterbangan disore hari.
"Ti... tidak..." sahut Rachel bingung.
Rona muka Tivana yang sebelumnya terlihat sangat serius berubah menjadi santai setelah mendengar ucapan dari Rachel, temannya.
"Benarkah?" beo gadis itu, lugu.
"Mungkin aku salah dengar, tadi itu aku mendengar suara seperti nyanyian Rachel..." ungkapnya lagi. Rachel yang duduk tepat disamping gadis tersebut merotasi mata, dia kemudian buka suara.
"Sungguh?"
Tivana menggangguk.
"Ya!" jawabnya singkat.
Rachel terdiam sejenak.
"Mungkin karena kelelahan, makanya kau mendengar suara-suara aneh..." komentar Rachel kemudian. Tivana menggangguk setuju, mungkin pernyataan yang temannya itu katakan benar.
Dia kelelahan, begitu juga Rachel; makanya—mereka jadi tertahan disebuah pondok kecil di tepi pantai dengan pemandangan matahari terbenam yang sangat indah tersaji tepat didepan mata.
"Haruskah kita menyusul mereka atau kembali ke penginapan saja?" tanya Rachel, menunjuk kearah lain di mana teman-teman seangkatannya berada; berjarak lumayan jauh dari pondok atau lebih tepat berada dekat bibir pantai. Mereka sedang melakukan kegiatan pengambilan sampel zoobenthos disana.
Kelopak mata Tivana terpejam.
"Hah~" hela napas berat terdengar.
"Ku rasa, lebih baik kita kesana." putusnya.
...***...
"Aku dengar kau pernah tinggal disini Tivana?" Johan bertanya, Tivana dan Rachel yang mendengar spontan menoleh kearah lelaki tersebut. Kegiatan makan malam meraka tertahan berkatnya.
Rachel tampak ikut tertarik setelah mendengar ucapan Johan.
"Benar, kau pernah bercerita pada ku soal itu sebelum kita berangkat kesini melakukan penelitian..." ucapnya, membumbui perkataan Johan. Teman-teman seangkatan yang semula asik menikmati makanan mereka ikut menjatuhkan minat, termasuk dosen pendamping dari kegiatan penelitian ini.
"Woah? Tak heran banyak masyarakat sini menyapa kita dengan hangat..." ungkap dosen pendamping muda itu, sir Liam.
Tivana menggeleng, dia mencoba membantah kabar hoax yang sedang Johan sebarkan.
"Tidak begitu sir!" bantahnya. Semua mata kali ini benar-benar tertuju kearah Tivana, hal itu membuatnya menghela napas panjang. Sial, decih Tivana dalam batin. Tak terlalu senang harus menceritakan masa lalu kepada teman-teman kampusnya, terlebih lagi dihadapan dosen pendamping berparas tampan yang sejujurnya Tivana kagumi ini. Tapi, mau bagaimana lagi—ya sudahlah.
"Dulu waktu masih kecil, saya pernah tinggal disini selama 3 tahun. Tepatnya saya dititipkan ketempat kakek dan nenek yang tinggal di sini karena orang tua saya sedang melakukan ekspedisi ke Antartika, itu kenapa kebanyakan masyarakat di sini mengenali saya..." terang Tivana. Teman seangkatannya ber 'oh ria ketika mendengar, mereka tampak takjub dengan kisah kedua orang tua Tivana. Tak heran Tivana memilih jurusan biologi, karena dari kecil dia sudah dikenalkan dengan alam.
"Lalu kenapa kita tidak menyapa kakek nenek mu Tivana?" sela Rachel tiba-tiba, yang lain tampak setuju. Padahalkan jika tahu begini mereka tak perlu repot-repot menyewa penginapan, cukup menumpang hidup di rumah kakek nenek-nya Tivana. Toh kegiatan praktikum untuk mata kuliah mereka kali ini hanya dilakukan selama kurang dari 5 hari. Lebih hemat jadinya.
Mendengar itu membuat Tivana terkekeh, dia canggung untuk menceritakannya tapi demi menghilangkan kesalahpahaman mau tak mau gadis berusia 21 tahun ini angkat suara.
"Kakek dan nenek ku sudah meninggal... dan rumah mereka dijual oleh orang tua ku..." ucapnya, sembari mencubit pipi Rachel dengan tampang gemas. Gara-gara gadis tersebut dia harus bercerita.
"Ya ampun... turut berduka cita Tivana..." sahut sir Liam. Tivana tersenyum kecil, dia mengangguk sudah biasa menanggapi reaksi semacam itu.
Menyudahi kegiatan bercerita akhirnya makan malam yang tadinya tertunda dapat kembali dilanjutkan. Begitu juga Tivana, dia kembali menyuap sesuap makanan kedalam mulutnya. Mereka perlu tenaga, sebelum melanjutkan kegiatan praktikum keluar lapangan tersebut.
"Jangan lupa laporannya yah!" seru sir Liam tiba-tiba yang berhasil membuat seluruh mahasiswa disana melenguh lemas. Termasuk Tivana.
"Hah—!"
Hm~
DEG!
Tivana tersentak, sesuatu baru saja menerobos masuk kedalam gendang telinganya. Persis seperti apa yang ia dengar tadi sore. Gadis tersebut lantas mengedarkan pandangan, melihat kesegala arah guna mencari tahu sumber dari suara yang baru saja ia dengar meski nihil. Dia hanya mendapatkan pemandangan dari teman-teman seangkatannya yang sibuk menghabiskan makan malam mereka di ruang makan out door penginapan.
"Ada apa?" tanya Johan, tampak kembali menaruh minat kepada Tivana. Gadis yang baru saja mendapat teguran tersebut menggeleng. Tak ada sahutnya tanpa suara sembari menyipitkan mata kearah bibir pantai tepat di ujung pandang sana.
Dari kejauhan, hanya ada kegelapan dari lautan tanpa adanya cahaya. Rembulan pun tampak enggang memunculkan wujudnya.
Diantara kegelapan lautan tersebut ada sesuatu seperti menilik kecil di sudut sana. Maniknya berkilat, cukup lama sebelum akhirnya perlahan menghilang.
...________________________...
...Roar of the Ocean...
...________________________...
..._____________...
..._____...
..._...
"Èàh~ Ăñæ... hīŕə." suaranya terdengar seperti menggeram. Sesuatu tampak berhasil membuat sosok tersebut menjadi tegang, Õsedian menyeringai. Senang bukan main hingga menampilkan deretan gigi runcing karnivora miliknya.
Terkikik geli sebelum akhirnya kembali menggeram.
"Īĺ wīĺL pîčk ýø ūpà..."
Lalu menghilang; pergi dari sana menyatu dengan lautan.
...***...
"Ana..."
Tivana menoleh.
"Ya nek?" sahutnya. Penasaran kenapa sang nenek tiba-tiba memanggil namanya.
Sang nenek tersebut tersenyum, dia lalu mengelus pelan kepala Tivana yang saat ini baru berusia 10 tahun. Terdapat jeda sebentar sebelum wanita tua itu bicara.
Tangan yang semula mengelus kepala Tivana berpindah, menunjuk sesuatu tepat diujung sana. Hal ini membuat Tivana ikut menatap apa yang neneknya ingin tunjukkan.
Lautan luas berombak tenang.
"Jika Ana mendengar nyanyian, menjauh dari bibir pantai..." ucapnya kemudian yang jelas menghadirkan sebuah tanda tanya besar.
Apa maksudnya? Batin Tivana—penasaran.
DEG!
...***...
...T B C...
...Cerita ini hanya bersifat fiksi atau karangan saja, jika terdapat kesamaan dalam bentuk apapun—mungkin karena ketidaksengajaan semata....
...Jangan lupa klik like, vote, dan comments diakhir cerita sebagai wujud apresiasi terhadap karya penulis....
...PERHATIAN!...
...Cerita dibuat semata-mata untuk hiburan, tidak membenarkan apa lagi mewajarkan suatu tindakan. Harap menjadi pembaca yang bijaksana....
...Terima kasih,...
...ketemu lagi nanti....
...Bye...
...:3...
...Perhatian!...
...Cerita ini hanya bersifat fiksi atau karangan saja, jika terdapat kesamaan dalam bentuk apapun—mungkin karena ketidaksengajaan semata....
...Jangan lupa klik like, vote, dan comments diakhir cerita sebagai wujud apresiasi terhadap karya penulis....
...Terima kasih,...
...selamat membaca....
...____________________...
...Roar of the Ocean...
...____________________...
..._________...
...____...
..._...
"Argh!" Tivana melenguh, kepalanya tiba-tiba saja merasakan sakit yang luar biasa. Alhasil gadis tersebut memilih membuka kedua kelopak mata miliknya dengan cepat, cahaya temaram menghiasi penglihatan Tivana.
Gadis yang semula berbaring kini mengubah posisi menjadi duduk setengah bersandar. Diedarkannya pandangan, terlihat pemandangan dari teman-teman sekamarnya yang masih tampak terlelap dengan tampang lelah termasuk gadis disampingnya—Rachel.
Mereka baru saja bisa tidur setelah serentetan kegiatan praktikum lapangan. Hah~ ini melelahkan, keluh Tivana sembari mengangkat tangannya menuju kening agar bisa memijit benda tersebut.
Rasa sakit seperti ditimpa berton-ton besi membuat Tivana kesal. Gadis tersebut lalu beranjak dari tempatnya tidur, mungkin segelas air putih dapat meredamkan rasa sakit di kepalanya ini. Kira-kira itulah yang Tivana pikirkan.
Karena sudah terbiasa dengan keadaan remang, gadis tersebut tidak mengalami kesulitan dalam berjalan dikeadaan gelap minim pencahayaan.
Pukul berapa ini? Batin Tivana, mengedarkan pandangan. Selain gelap suasana penginapan tempat mereka menginap benar-benar senyap. Hal tersebut mengundang perasaan tidak enak, Tivana tiba-tiba merinding bukan main.
Lebih baik dia cepat-cepat mencari ransel Rachel yang selalu memiliki cemilan ataupun air mineral didalamnya. Tapi? Omong-omong di mana benda itu?
Cukup puas Tivana melihat kesekitar kamar hingga lorong luar kamar. Selain tas Rachel, tasnya juga menghilang.
"Di mana aku meletakan benda itu?!" gumam Tivana, mulai merasa gemas sendiri. Haruskah ia membangunkan Rachel untuk menemaninya mencari kedua benda tersebut? Setidaknya itu yang Tivana pikirkan sebelum sekelebat ingatan terlintas didalam benak.
Tak!
Tepuk Tivana pada keningnya. Gadis tersebut terkekeh hambar menertawakan kebodohan yang ia lakukan.
Dia ingat, tas yang sedang dicari-cari itu ada di ruang tengah. Karena konsep penginapan di sini adalah berbentuk rumah, jadi sebagaian besar barang ditinggalkan di ruang tengah agar tidak membuat kamar menjadi sempit.
Dengan keyakinan mantap tersebut Tivana akhirnya memilih keluar kamar, berjalan di lorong panjang sampai dia menjumpai ruangan besar berisikan berbagai macam tas milik teman-teman seangkatannya. Tak perlu waktu lama, gadis ini sudah dapat menjumpai ransel milik Rachel—tanpa pikir panjang Tivana langsung membukanya. Mencari sebotol air mineral lalu meminum beda cair tersebut.
Dahaga hilang, tapi sakit kepala yang dirasa masih ada. Tivana menghela napas lelah.
"Hah..."
Haruskah dia ke kamar lalu kembali tidur? Atau—?
BRAK!
DEGH!
Tivana terperanjat, kaget bukan main. Suara gaduh yang baru saja terdengar membuatnya takut, cepat-cepat Tivana menoleh—kearah sumber suara yang menghasilkan dentuman keras tersebut.
Tak jauh dari tempat ia berdiri, terdapat sebuah jendela yang lumayan besar. Gorden-gorden penutup dari jendela tersebut berkibar kedalam, angin kencang beraroma laut tercium disana.
Sebelah alis Tivana menukik, antara takut dan bingung. Mengapa benda tersebut terbuka? Ujarnya dalam hati saat ia benar-benar yakin bahwa sebelumnya jendela tersebut tertutup cukup rapat.
Alih-alih pergi dari sana, Tivana malah melangkahkan kaki menuju jendela tersebut. Menilik keluar benda itu yang menyajikan pemandangan gelap bibir pantai juga lautan.
Surai-surai rambut milik Tivana yang tidak dikuncir melambai, mengikuti arus angin yang berembus cukup kencang.
Digapainya jendela; ingin menutupnya.
Namun sebelum Tivana menutup kembali benda tersebut, dia melihat siluet aneh dari kejauhan.
"Apa itu?" gumamnya. Penasaran.
...***...
Sebenarnya apa yang sedang aku lakukan disini? Dewi batin Tivana berucap, gadis yang hanya mengenakan baju kaos berwarna putih dengan celana kargo tersebut menghentikan langkah tepat di bibir pantai. Udara dingin seakan menggigit permukaan kulitnya.
Tivana menggigil.
Hanya karena rasa penasaran, gadis tersebut dengan bodohnya berani keluar dari penginapan lalu berjalan seorang diri menuju tepi pantai tempat dia melihat siluet aneh barusan. Bahkan tanpa pikir panjang.
Lucunya, berkat rasa penasaran yang Tivana miliki rasa sakit kepala yang ia alami sebelumnya seakan lenyap—digantikan oleh keingintahuan yang sangat tinggi terhadap objek janggal tersebut. Alhasil berakhirlah Tivana di sini, berdiri seorang diri memandangi lautan tepat di tepi pantai.
Suara deburan ombak menghiasi keadaan. Daun dari pohon-pohon kelapa melambai, angin berembus sangat kencang.
Tidak ada apapun di sana. Itu yang Tivana dapatkan.
"Apa aku tadi salah lihat?" gumamnya. Meneliti dalam riak ombak lautan di depan sana. Tak puas dengan apa yang Tivana dapat, gadis tersebut lantas melepaskan sendal miliknya lalu berjalan kearah pasir yang tengah dijilat oleh lautan. Kaki-kaki telanjang itu perlahan basah, rasa dingin dari air laut tak menggentarkan langkah Tivana untuk tetap berjalan hingga akhirnya air tersebut melahap dirinya sampai kearea paha.
Bermodalkan pantulan cahaya bulan yang baru saja muncul, Tivana menyipitkan matanya.
Ada sesuatu disana. Dia membatin, menemukan kejanggalan berjarak 10 meter dari tempat ia berpijak.
Bayangan aneh, berwarna terang seperti—
"Sisik."
Hmmm~
Hmmm... hm~
Deg!
Tivana mendengok, nyanyian kembali terdengar bahkan kali ini terasa lebih jelas. Gadis tersebut lantas mengedarkan pandangannya kesetiap jengkal pemandangan. Hanya lautan dan cuma lautan. Itu saja! Tidak apapun disana yang dapat memicu suara semacam nyanyian.
Sudut bibir Tivana berkedut, sekarang dia benar-benar sangat yakin bahwa nyanyian tersebut nyata. Meski ia tak tahu penyebab dari nyanyian tersebut apa atau lebih tepatnya siapa.
Haruskah Tivana beranjak dari sini? Pikir gadis itu yang siap-siap ingin keluar dari air laut namun tiba-tiba nyanyian aneh bersuara merdu itu berhenti.
Hal ini membuat langkah Tivana berhenti. Suasana berubah menjadi sangat senyap, gadis tersebut ikut mematung—entah kenapa tapi ia merasa ada sesuatu seperti tengah memperhatikan dirinya. Dari kejauhan atau? Dari kedalaman?
Glek!
Tivana menelan saliva kasar. Membalikkan tubuh kembali menghadap lautan. Embusan angin yang sebelumnya kencang kini berubah menjadi pelan, membelai geli pipi Tivana; membuat si empunya meremang.
Sial!
Tivana rasa ia mulai takut.
"Lebih baik pergi dari sini." gumamnya, bersiap berbalik lalu lari dari sana. Namun sebelum ide tersebut terealisasikan, kaki Tivana tiba-tiba saja oleng. Hal ini membuat dirinya jatuh tersungkur kedalam air.
Mata gadis tersebut menjadi perih, berkat air garam memasuki matanya. Tivana terpejam, menahan napas. Gelembung udara sesekali keluar dari sela bibir gadis itu, dia mencoba untuk tidak panik. Kedalaman air tempatnya berpijak cukup dangkal. Hanya ada pasir dan beberapa kerang disana, ya setidaknya itu yang Tivana pikirkan sebelum dia merasakan sesuatu menarik kakinya.
Kasar dan aneh.
Spontan Tivana membuka kedua kelopak mata, sesuatu menyambutnya; di kedalaman air laut tersebut.
Cukup mengejutkan.
Apa itu?
Deg?!
"Hmmp!"
MONSTER?
...***...
...Tbc...
...Jangan lupa like, vote, dan comments...
...Terima kasih...
...Ketemu lagi nanti...
...Bye...
...:3...
...Perhatian!...
...Cerita ini hanya bersifat fiksi atau karangan saja, jika terdapat kesamaan dalam bentuk apapun—mungkin karena ketidaksengajaan semata....
...Jangan lupa klik like, vote, dan comments diakhir cerita sebagai wujud apresiasi terhadap karya penulis....
...Terima kasih,...
...selamat membaca....
...____________________...
...Roar of the Ocean...
...____________________...
...__________...
...____...
..._...
Deg!
Apa itu?!
Bentuknya seperti manusia tapi—! Apa-apaan itu! Kenapa sekujur tubuhnya dipenuhi dengan sisik?! Nyaris seperti ikan tapi bukan ikan. Tivana yang melihat terbelalak kaget.
Tak sengaja berteriak di dalam air hingga menyebabkan gelembung udara di dalam paru-parunya keluar.
MONSTER!
Ucapnya.
Panik.
Berusaha bangkit dari sana tapi apalah daya, jari-jari berkuku tajam dan terlihat berselaput tersebut menahan pergelangan kakinya. Tivana menendang. Dia menutup kembali mulut untuk menyimpan secuil oksigen yang masih tersisa.
Sial! Saat ini gadis tersebut sangatlah ketakutan. Ia berusaha melepaskan sesuatu yang menjerat kakinya dengan cara menendang-nendang secara brutal. Harap-harap sesuatu yang menyerupai tangan tersebut melepaskannya, meski usaha Tivana berakhir nihil.
Bukannya lepas ia malah merasakan tubuhnya terseret kedalam perairan laut yang lebih dalam. Jantung Tivana berdebar sangat kencang, seakan siap meledak. Dengan keberanian sebesar kacang, Tivana berbalik. Posisi air saat ini benar-benar dalam, dia bertaruh nasip—bertarung melawan makhluk yang mencoba menyeretnya semakin dalam dengan cara berenang melawan arah.
Seakan tahu apa yang sedang Tivana lakukan, makhluk tersebut tiba-tiba mengentakan tubuh gadis itu. Tivana terdorong, mendekati sosok bersisik yang menyeret tubuhnya. Dengan kelopak mata yang terbuka lebar, Tivana menyaksikan—dengan jelas sosok apakah tersebut.
Tingginya mungkin sekitar 3 meter, dari kepala sampai kepinggang; menyerupai manusia hanya saja ditutupi oleh sisik serta memiliki alat semacam insang. Bagian bawah dari makhluk tersebut adalah ikan, bersirip juga memiliki ekor yang begitu indah. Gambaran tersebut mengingatkan Tivana pada perwujudan sosok yang hidup didalam sebuah negeri dongeng dan itu adalah mermaid.
Biasanya mermaid digambarkan sebagai putri setengah ikan yang cantik jelita. Pakaiannya terbuat dari kerang, tapi! Alih-alih cantik jelita—Tivana rasa sosok mermaid yang berada tepat didepan matanya ini adalah JANTAN!
Dan itu bukannya cantik! Lebih kearah ngeri karena ia baru saja menyeringai menampilkan deretan gigi tajam khas seperti ikan pemangsa. Ada apa dengan makhluk itu!
Tivana merinding.
Belum sampai di situ, gadis yang saat ini surai rambutnya melambai-lambai terbawa arus malah dikejutkan oleh ekor dari makhluk setengah ikan tersebut. Dia melilit kedua pergelangan kaki Tivana lalu membawa tubuhnya kedalam sebuah?
Pelukan?
AAAARGHHHH!
Tivana ingin menjerit tapi ia menyayangi sisa oksigen didalam tubuhnya.
"Ænà..." tiba-tiba terdengar suara. Gadis itu spontan menoleh, kearah makhluk tersebut yang jelas-jelas menjadi pemicu dari suara tersebut. Terdengar familiar, Tivana cukup yakin ia pernah mendengar suaranya. Dimana? Kapan?
Biar Tivana ingat.
"Mîßß ýo~"
Deg!
Ia ingat. Dengan tampang setengah horor Tivana meyakini bahwa makhluk inilah pelaku sebenarnya dari nyanyian aneh yang selalu Tivana dengar. Terjawab sudah rasa penasaran.
Ya, meski hanya saja Tivana tidak tahu apakah ia dapat keluar dari situasi aneh ini untuk memberitahukan pada dunia kalau makhluk semacam mermaid itu ternyata—nyata dan benar adanya. Mungkin ia lebih cepat menjemput ajal a.k.a mati karena kehabisan oksigen di dalam air atau menjadi santapan dari makhluk mengerikan yang tengah memeluknya tersebut. Haruskah Tivana pasrah?
TENTU TIDAK!
Saat ini saja Tivana masih berusaha untuk lepas meski usaha tersebut jelas tidak bernilai apa-apa. Rasa pusing dan lemas mulai menjalar, inikah batasnya? Batin Tivana yang perlahan kehabisan udara.
Karena tidak kuat lagi mempertahankannya—mulut Tivana akhirnya terbuka, oksigen terakhir yang ada di dalam tubuh gadis tersebut keluar dengan cepat digantikan oleh air laut yang merangsek masuk melalui rongga mulut dan hidung. Hal ini menyebabkan rasa sesak luar biasa.
Apakah aku akan mati? Dewi batin Tivana bicara.
Pikiran negatif soal kematiannya berseliweran, setidaknya sebelum fenomena janggal dan aneh lainnya muncul.
DEGH!
Tivana tersentak, mata gadis tersebut membola dengan sempurna. Sesuatu baru saja mengganjal mulutnya, benda panjang bertekstur kasar menggeliat tepat didalam sana.
Haruskah Tivana menyebut itu sebagai ciuman?
Atau—apa?!
Karena percaya atau tidak, makhluk yang memiliki gigi taring seperti ikan karnivora tersebut tengah menciumnya! Begitu dalam! Bahkan sampai-sampai lidahnya bermain-main disana. Tivana ingin muntah, lendir aneh seperti saliva terdorong kedalam kerongkongan. Sial! Apa yang coba makhluk ini lakukan padanya?!
Kedua benda menyerupai tangan dengan kuku yang panjang menggeliat tepat di belakang punggungnya. Memasuki kaos lalu merobeknya dengan kasar.
Aneh, padahal taring dan kuku dari makhluk itu sangatlah tajam—tapi dari pada menyakiti lebih kearah geli. Seolah menggelitik.
Tidak kuat dengan lendir-lendir yang ada dimulut dan sepertinya makhluk itu tak memiliki niatan untuk melepaskan bibirnya mau tak mau Tivana menelan semua benda itu. Rasanya aneh. Menjijikan.
Setelah yakin bahwa Tivana menelan habis semua saliva barulah tautan bibir di antara mereka terlepas. Tangan-tangan yang membelai punggung telanjang Tivana berpindah. Bergerak menuju bawah, tepatnya celana kargo yang Tivana kenakan. Mengetahui ide gila dari makhluk tersebut Tivana bergidik ngeri. Sudah cukup!
Dia benar-benar merasa seperti tengah dilecehkan! Entah datang dari mana, yang pasti Tivana mendapatkan sumber kekuatan. Dia menyentak kakinya hingga terlepas dari ekor mermaid tersebut lalu menendang perutnya.
Makhluk berukuran besar tersebut terdorong, melihat ada celah disana Tivana langsung berbalik. Berenang dengan kuat dengan seluruh tenaga yang ia punya.
Tanpa sedikitpun menoleh kebelakang, ia tahu sosok itu pasti tengah mengejarnya. Persetan!
Perairan laut yang lebih dangkal terlihat, Tivana bernapas lega. Dia bergerak keatas permukaan air untuk mencapai oksigen. Pasir-pasir di tepi pantai terlihat dari kejauhan, ada seseorang berdiri di sana. Ia kenal sosok siluet tersebut.
Itu Johan!
Tivana yang sudah benar-benar berada di air dangkal langsung berlari dengan cepat, hal ini membuat Johan menyadari keberadaan sosok itu; lantas ia ikut berlari—mendekati gadis tersebut yang terlihat begitu ketakutan.
"TIVANA?!" teriaknya.
Napas Tivana terengah. Dia tak punya tenaga lagi untuk bicara, gadis tersebut tanpa aba-aba secara tiba-tiba memeluk Johan begitu ia benar-benar sudah dapat mencapainya.
Ya Tuhan! Aku pikir aku akan mati! Batin Tivana memeluk erat tubuh lelaki itu. Baru saja beberapa detik merasa lega sesuatu kembali menarik kakinya.
Tivana maupun Johan terkejut, berbeda dengan situasi sebelumnya—cengkeraman yang Tivana dapatkan begitu kuat. Johan yang menyadari kejanggalan tersebut mengangkat tubuh Tivana; menggendongnya lalu menendang air laut di bawah kakinya yang entah menyimpan sesuatu di dalam sana.
Tes!
Titikkan darah menetes dari pergelangan kaki Tivana. Tangisan terdengar, gadis tersebut terisak dengan kuat. Susana berisik tadi tiba-tiba berubah senyap. Johan yang semula siap melawan apapun didalam air laut tersebut mengalihkan pandangan.
Lebih baik mereka pergi dari sini. Sambil menggendong Tivana layaknya bayi, Johan berlari menuju pantai.
Meninggalkan sosok Õsedian yang mendesis dari kejauhan, lalu menghilang dari sana.
Tch!
...***...
...T B C...
...Jangan lupa like, vote, dan comments...
...Terima kasih...
...Ketemu lagi nanti...
...Bye...
...:3...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!