Gara-Gara Panci Aku Ditalak Suami
"Kentangnya udah dikupas?" tanya kang Iwan-suamiku, sambil masuk ke dapur.
Kutunjukkan baskom berisi tumpukan kentang yang sudah kukupas, kurang lebih sekitar sekilo setengah. Masih ada setengah kilo lagi yang belum dikupas.
"Ngupasnya pake apa itu?"
"Ya pake ini lah, biar cepat Kang." Jawabku sambil mengacungkan pengupas kentang di tangan.
Kudengar kang Iwan mendecakkan lidahnya dan bergegas menghampiriku. Dia mengecek kulit kentang yang menumpuk di hadapanku, lalu mengamatinya beberapa detik, dan diletakkan kembali setengah dibanting.
"Hadeh, udah dibilangin ngupas kentang itu jangan pake begituan!"
"Lho, kenapa enggak boleh sih, Kang?"
"Tuh liat sendiri pake matamu, ketebelan! Kan sayang kentangnya jadi kecil, kebuang, mubazir!"
Aku cuma terdiam mendengar bentakan suamiku, ketebelan katanya. Padahal aku juga mengupas kentang dengan cara yang wajar, memangnya setebal apa daging kentang yang ikut terkupas kulitnya?
"Pake ini!"
Dia melemparkan sebuah sendok ke hadapanku, iya.. Sebuah sendok.
"Ya Allah, digimanain pake sendok Kang?"
"Dikerok! Aku udah ngasih tau berkali-kali. Punya kuping kagak dipake ya gitu!"
Hatiku tersayat mendengarnya, bisa-bisanya lelaki yang baru menikah denganku selama dua tahun ini membentakku sedemikian rupa, hanya karena perkara mengupas kentang!
"Buruan dikerok! Sebelum ashar harus udah kelar itu masak! Emih udah nunggu makanannya!"
Kang Iwan mengatakan hal itu sambil berlalu, meninggalkan aku yang masih duduk tergugu menahan rasa pilu.
Jangankan mau berdiskusi dan mengalah perkara mengupas kentang, untuk minta maaf karena sudah membentakku pun dia tak akan mau.
Malah menyuruhku buru-buru memasak, karena emih sudah menunggu kiriman masakan dari anaknya.
"Enggak kuat aku begini terus.." batinku sambil meraih sendok yang tergeletak agak jauh dari tempatku duduk.
Lalu mulai mengerok kulit kentang seperti apa yang suamiku minta. Persis seperti apa yang kukira sebelumnya, mengerok kentang dengan sendok itu merepotkan!
"Ya ampun, kapan mau selesainya ini kerjaanku kalo pake sendok macam begini? Siapa sih yang ngupas kentang pake sendok?!"
Sekarang aku yang kesal dan marah, suami cuma tahu beres urusan dapur tapi mengatur ini itu, termasuk caraku mengupas sayuran!
Jika aku mengupas sayuran dan memotongnya tak sesuai dengan yang emih lakukan, maka aku akan dibentak dan dimaki bodoh, boros. Semacam itu.
Sakit memang dia.
"Win, ambilin kueh yang semalam di kulkas!" teriak kang Iwan, menyuruhku lagi.
Padahal tadi dia ke dapur, kenapa tak ambil sendiri sih?
Walau begitu, aku tetap mengambilkan kue yang dia maksudkan. Kue lapis dan kue sus yang didapat dari hajatan tetangga kemarin siang.
"Ini Kang kuenya." Kataku sambil meletakkan piring berisi kue di atas meja.
Suamiku sedang nonton TV, berbaring santai di atas kursi panjang tanpa peduli istrinya sedang repot sendirian di dapur.
Lusa adalah hari pertama puasa, jadi sekarang harus memasak untuk hantaran ke keluarganya. Itu tradisi turun temurun di keluarga kang Iwan.
Aku harus memasak banyak makanan untuk dikirim ke emih (mertuaku), teh Rina dan kang Dian (kedua iparku).
Sebagai anak bungsu, konon memang harus sehormat itu pada kakak-kakak, dan mengirimkan makanan seperti ini adalah salah satu cara menghormati mereka.
Mereka selalu menuntut rasa hormat, tapi tak pernah bersikap seperti seseorang yang layak dihormati. Okelah, pada adiknya memang mereka baik dan cenderung memanjakan.
Namun sebagai gantinya, aku yang harus membalas budi. Jadi pesuruh mereka, disuruh ini, disuruh itu, tak boleh menolak.
"Hh.. Sudahlah, emangnya aku bisa apa?"
Hanya bisa membatin, dan tak ada pilihan lain selain menurut saja. Maklum, aku cuma anak seorang janda miskin. Sementara kang Iwan anak pensiunan bank, mungkin karena itu juga keluarganya memperlakukan aku seperti makhluk rendahan.
"Puih!! Kuehnya basi Win!" teriak kang Iwan lagi, dan aku yang baru saja duduk untuk mengupas kentang harus bangun lagi.
"Basi? Masa sih, Kang?"
"Enggak percaya? Nih, makan sendiri!"
Lelaki itu melemparkan sebuah kue ke tubuhku, dan saat kucicipi memang sudah agak asam.
"Mungkin gara-gara kulkasnya dicabut semalam, Kang. Makanya kuenya basi."
Kang Iwan membeliakkan matanya padaku, "Jadi kamu nyalahin aku, hah?!"
"Ya enggak, Kang. Maksudnya.."
"Kamu kan tau aku nyabut kulkas malem-malem itu biar hemat listrik?! Kenapa malah nyalahin aku?! Padahal aku cuma mau berusaha bikin pengeluaran kita lebih hemat!"
Aku menggigut bibir, salah bicara lagi rupanya. Aku harusnya diam saja, biarkan dia mengomel soal kue yang basi.
"Kalo tau kuehnya bakalan basi, harusnya kamu cari akal dong, Winda! Gimana caranya supaya itu kueh enggak basi!"
Kuusap dadaku,
"Gimana caranya, Kang? Kue begini kan enggak bisa diangetin.. "
"Ya mikir lah caranya! Punya otak tuh makanya pake! Emih aja bisa tuh nyimpen kueh nyampe besok tetep enak. Padahal enggak pake kulkas!"
Emih lagi, emih lagi.
Selalu saja begini, setiap kali ada hal yang membuatnya kesal pasti membandingkanku dengan emihnya.
"Ya udah, lain kali taroh makananmu di rumah emih aja, Kang!"
Ingin rasanya kukatakan hal itu, tapi aku tak berani. Aku takut kena amuk, lelaki ini jadi berubah beringas dan nampak sifat aslina setelah apih meninggal.
Saat apih masih ada, semua anggota keluarganya baik ladaku. Karena apih juga memang baik dan tulus padaku. Namun setelah beliau meninggal, barulah nampak semua kebobrokan keluarga itu.
"Ya udah Kang, sini aku buangin aja kuenya. Udah enggak bisa dimakan kan?"
"Enak aja main buang, boros banget sih?!" Bentaknya.
"Kamu tuh, udah miskin tapi masih aja belagu buang-buang makanan. Makanya keluarga kamu miskin terus!"
"Kang, udahlah.."
"Enggak mau tau, kamu abisin kueh ini. Jangan dibuang! Kueh ini buat makananmu seharian, nanti enggak usah makan rendang. Kan udah makan kueh."
"Akang, masa begitu?"
"Apaa? Enggak mau? Mau ngelawan aku kamu, hah?! Ini kan salahmu, gara-gara enggak becus nyimpen makanan, jadi kamu harus tanggung jawab!"
"Kang.. Tapi.."
Aku tak bisa melanjutkan ucapanku, mata kang Iwan sudah melotot seperti mau melompat keluar dan aku tak berani menyanggah lagi.
Dengan hati pedih kuambil piring berisi kue-kue, lalu kubawa ke dapur. Makanan ini sebenarnya masih bisa dimakan walau sudah sedikit basi, tapi tetap saja jika dipaksa seperti itu, apalagi tanpa diberi makanan lain yang layak sama saja seperti memberi makan babi.
Tak kusangka nasibku jadi begini, padahal saat ada apih aku ini menantu kesayangan.
Bahkan tak jarang menantu-menantu lainnya cemburu padaku. Merasa apih pilih kasih, padahal apih juga baik pada yang lain. Mereka saja yang selalu minta lebih.
"Punten! Neng Winda, ada di rumah?!"
Aduh! Kenapa saat tegang begini ceu Rodiah malah datang ke mari?! Dia pasti mau menagih cicilan panciku.
Celaka, kang Iwan pasti marah besar!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments