"Kang, kamu talak aku cuma gara-gara masalah sepele?!"
Aku masih berusaha untuk mempertahankan rumah tangga, walau talak sudah terlanjur jatuh.
"Sepele apanya, Winda? Kamu udah bohong dan ngelawan sama suami, itu tandanya udah dosa besar. Durhaka kamu!" malah mertuaku yang menjawab.
Kang Iwan memalingkan mukanya,
"Sana pergi, Winda. Muak aku ngeliat mukamu itu." katanya.
"Kang.."
"Kamu budek, Win? Anakku udah talak kamu, mendingan sekarang kamu keluar, pulang sana!"
"Mih, ini urusanku sama kang Iwan. Kenapa Emih manas-manasin juga?"
"Kurang ajar! Berani kamu ngebentak emih?"
Kang Iwan lalu meraih lenganku, menyeretku keluar tanpa ampun dan mendorongku sampai jatuh di teras.
"Kang! Kenapa Akang setega itu sama aku?!"
"Semua gara-gara kamu istri durhaka! Gak tau diuntung, manja dan boros! Kamu juga kurang ajar sama emih. Pergi sana perempuan enggak berguna!!"
Tak puas sampai di situ, kang Iwan meludahi aku.
Ya, dia meludahi aku.
Setelah menghinaku, dia lalu pergi ke dalam. Membanting pintu rumah dengan keras, sampai-sampai nyaris runtuh rumah ini dibuatnya.
Hatiku yang semula masih ingin berikhtiar untuk mempertahankan rumah tangga, kini sudah menyerah. Penghinaan ini adalah puncaknya.
Aku berdiri,
"Baiklah Kang. Terserah kamu mau ngomong apa." kataku sambil berbalik dan turun dari teras. Aku akan pergi ke rumah ibuku.
"Tunggu!"
Emih berteriak, menyuruhku untuk berhenti dan menunggu. Mau apa lagi dia?
"Nih, bawa rongsokanmu semua. Jangan sampai jadi alesan buat balik lagi ke mari!"
Beberapa pakaianku dilempar ke luar, berjatuhan di halaman dan terkena tanah. Tak lupa HP kentangku pun dilemparkan oleh perempuan berjilbab besar itu.
Emih, perempuan yang selalu rajin pengajian dan sudah umroh, tapi tak pernah mengamalkan semua hasil mengajinya sama sekali.
"Sudah, pergi sana!"
"Panciku. Mana panciku?!" teriakku tanpa malu, sudah terlampau malu juga karena para tetangga sudah menonton dari rumahnya masing-masing.
Bahkan ada juga yang sampai berdiri di teras, bikin malu tapi apa daya.
"Panci apa?"
"Panci ungu yang baru, gara-gara panci itu kang Iwan menalak aku. Mana pancinya?!"
Emih malah menyeringai sinis,
"Panci itu dibeli pake duit anakku, terus kenapa mau dibawa? Emih yang lebih berhak pake barang itu ketimbang kamu!"
"Apa?!"
Darahku mendidih, mungkin uap panasnya sudah sampai ke puncak kepalaku.
Panci yang kucicil berminggu-minggu, yang katanya emih tak pernah suka dengan alat masak teflon karena bahannya tak awet dan segala macam argumentasi primitifnya, sekarang malah mau menyita panci teflonku?
"Pergi sana! Kalo enggak, Emih panggilin polisi sekalian biar kamu diseret pergi!"
Kubereskan semua pakaianku, kuikat jadi satu dengan kerudungku dan bergegas meninggalkan rumah tanpa menoleh lagi.
Sudah cukup penghinaan ini Winda.
Jangan mengemis, kamu punya harga diri!
Tapi tak urung, air mata menetes juga. Tanganku gemetar dan kakiku lunglai, padahal aku sangat marah dan ingin mengamuk.
Tapi aku tak ada tenaga sama sekali, sepanjang jalan aku menangis.
"Neng Winda, mau ke mana bawa gembolan?"
Sebuah motor berhenti di sebelahku, bu RT yang baru menjemput anaknya pulang dari TPA.
"Pulang Bu."
"Pulang ke mana? Lagi berantem sama jang Iwan? Ayo ke rumah Ibu aja dulu.. Tenangin hatinya. Biar jernih pikirannya, jangan kabur begini. Yuk?"
Aku menggelengkan kepala,
"Enggak Bu, enggak ada yang bisa dipertahanin lagi. Aku udah ditalak, jadi enggak ada alasan lagi aku di sini."
"Astagfirullahaladzim.. Ditalak?! Ya Allah ada-ada aja, kenapa awalnya Neng?!"
Kugelengkan lagi kepala, menyeka air mata yang terus saja meleleh dari kedua belah mataku.
"Maaf aku enggak bisa cerita Bu, dan maaf aku enggak bisa ngobrol banyak. Aku mau pulang ke rumah ibu.. Permisi."
"Ehh tunggu, tunggu! Ayo, biar Ibu anterin ya? Ayo naik!"
Bu RT menyuruhku naik motor, aku tak enak hati. Rumah ibuku di kampung sebelah, cukup jauh. Jadinya kutolak saja namun bu RT tetap memaksa.
"Ayo, enggak usah ditolak. Ibu emang pengen anterin kamu sambil jalan-jalan. Ayo!" paksanya.
Aku pun mau dibonceng dan diantarkan pulang, sepanjang perjalanan melintasi kampung, aku menangis lagi.
Aku menikah dengannya memang tak berlandaskan cinta, melainkan karena baktiku kepada orangtua.
Tak kusangka akan jadi begini, rasanya hancur lebur. Sudah dipaksa menikah, tidak diberi nafkah dengan layak, dihina dan ditalak pula!
"Sudah sampai Neng.." kata bu RT, motornya berhenti di depan rumah ibuku.
Rumahnya masih sama, rumah sederhana dengan lantai semen dan dinding bilik.
"Makasih Bu RT, mari masuk dulu.. Biar dibikinin minum."
Perempuan itu tersenyum dan menggelengkan kepala, "Enggak usah, Neng. Ibu permisi ya? Yang tabah, yang kuat, masalahnya pasti cepat selesai kok." hiburnya.
Aku cuma bisa menganggukkan kepala, berusaha untuk tetap tersenyum walaupun hatiku sama sekali tak mau melakukannya.
Setelah bu RT pulang, aku berjalan gontai ke rumah dan tak kudapati ibuku di rumah. Bahkan pintu masuknya saja dikunci,
"Ke mana Ibu? Apa lagi pengajian?" gumamku, bertanya pada diri sendiri.
Akhirnya aku duduk di depan rumah, di atas bangku kayu panjang buatan mendiang bapak. Bangkunya masih kokoh, walau usianya sudah puluhan tahun.
"Eh Winda, kamu dateng?"
Sapa seseorang, dan saat aku menoleh ke arah suara ternyata itu Cicih. Sahabat masa kecilku.
Dia tersenyum lebar, dan menghampiri aku
"Apa kabar?! Lama banget kita enggak ketemu sejak kamu nikah!"
Cicih memelukku dengan girang, senyumannya tersungging lebar dan nampak jelas dia benar-benar senang melihatku.
Memang setelah aku menikah dengan kang Iwan, hampir tak pernah aku ke rumah ibu. Padahal terbilang dekat, hanya beda kampung saja.
Memang keterlaluan suamiku itu, saking pelitnya sampai mengeluarkan bensin yang tak seberapa untuk mengantar istrinya ke rumah ibunya pun tak mau.
"Iya Cih, banyak kerjaan di rumah." jawabku bohong, beralasan.
"Eh iya, kamu kok kayaknya kurusan? Apa.lagi sakit?"
Aku tersenyum samar, lalu menunduk menatap kedua tanganku sendiri. Pergelangan tangannya kurus, berbanding terbalik dengan Cicih.
Dia nampak berisi dan terurus, bahkan dia pakai gelang dan cincin emas yang bagus.
"Biasa lah, kecapean. Tapi enggak apa kok, sehat."
"Syukur atuh kalo begitu, ayo main ke rumahku.. kita ngobrol-ngobrol banyak, kayak waktu kita masih gadis!" ajaknya antusias.
Aku cuma bisa mengangguk canggung, aku minder sekali di hadapan sahabat masa kecilku ini.
Dia hidup bahagia dan diratukan, walau cuma istri keempat dari aki-aki bangkotan.
Tapi itulah untungnya, walau menikah dengan kakek-kakek, dia adalah pengusaha kaya dan mampu menghidupi semua istrinya dalam gelimang harta. Sementara aku?
"Buka pintunya! Itu yang di depan rumah! Awas!"
"Awas! Jangan ngalangin pintu!"
Terdengar suara ribut-ribut di depan, dekat jalan. Aku berdiri melihat apa yang sedang terjadi.
Beberapa lelaki nampak menggotong seseorang,
"Ibu!" teriakku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments