Panciku Datang!

"Neng Winda! Neng!"

Ceu Rodiah masih saja memanggil-manggil dari depan, aku yang ada di dapur langsung berjalan menghampiri sumber suara sebelum kang Iwan marah.

Kulirik suamiku yang sedang cemberut sambil nonton TV, mungkin masih bete karena kue-kuenya basi. Salah sendiri, tiap malam kulkas harus dicabut dengan alasan hemat listrik.

Padahal menurut neng Santi yang pegawai kecamatan, justru yang bikin boros listrik itu gara-gara sering cabut colok listrik. Kalau barang elektronik sudah tersambung, tarikan listrikna normal dan malah lebih hemat.

Tapi memangnya kang Iwan mau dengar? Tak akan. Dia cuma mau dengar apa yang emih katakan. Mau benar mau salah, pokoknya emih yang paling tahu.

"Iya Ceu.." kataku, sambil menutup pintu depan. Sengaja, biar kang Iwan tak mendengar obrolan kami.

Ceu Rodiah tersenyum melihatku,

"Kirain teh enggak ada di rumah, Neng! Biasaa setoran mingguan."

"Sst Ceu, jangan keras-keras!" tegurku, sambil meletakkan telunjuk di depan bibir.

Kulirik ke belakang, takutnya kang Iwan mengintip tapi sepertinya tidak.

Suara ceu Rodiah ini memang sangat menggelegar, bicara dari rumah sini bisa terdengar hingga empat rumah di sana.

"Eh kenapa?"

"Yaa kang Iwan barusan lagi tidur, hehe." sahutku berbohong sedikit.

"Oh begitu, ya udah.. Gimana setorannya, udah ada?"

Aku menganggukkan kepala, dan kurogoh saku rok yang kukenakan, ada selembar sepuluh ribuan yang tersimpan di dalamnya.

"Ini Ceu, setoran ke berapa ya ini?"

"Sebentar ya Neng, dicek dulu."

Ceu Rodiah lantas mengambil buku catatan kecil di dalam tas yang disampirkan di bahunya, mengecek lembar per lembar milik para pelanggan.

"Ini, punya Neng Winda udah masuk minggu ke 15, 15 minggu lagi ya Neng? Nanti malem, barangnya Euceu bawa ya."

"Ohh iya, siap Ceu."

Senyumku mengembang, rasanya senang bisa meminang panci idamanku selama ini.

Satu set panci teflon berwarna ungu, ada panci untuk memasak sayur dan panci datar untuk menumis. Tinggal hitungan jam saja, maka aku bisa memeggunakannya untuk memasak, rasanya sangat puas dan tak sabar.

"Ya udah Neng, Euceu permisi dulu ya?"

"Iya Ceu.. Makasih ya! Eh iya Ceu.. Nanti kalo bisa pas nganterin panci, jangan sampai kang Iwan tau ya?"

Ceu Rodiah mengerutkan kening, "Emangnya kenapa Neng?"

"Ah pokoknya, jangan. Nanti panggil aja kayak biasa.. Terus jangan dulu diliatin pancinya ya? Sembunyiin dulu."

Ceu Rodiah nampak masih bingung, tapi dia tetap mengangguk mengiyakan permintaanku. Setelah itu dia pun pergi.

Aku segera kembali ke dalam rumah, dan kang Iwan menatapku curiga,

"Ngapain itu tukang kredit ke rumah, Win?"

"Ngg.. Enggak Kang, cuma nanya-nanya." Jawabku asal.

"Nanya apaan?"

"Yaa nanya gitu, gitu-gitu aja ngobrol biasa."

Aku buru-buru ke dapur, sebelum kang Iwan makin mendesakku untuk mengatakan yang sebenarnya. Aku jelas tak bisa mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, karena memang aku menyicil panci itu diam-diam tanpa sepengetahuan dia.

Kentang-kentang yang tergeletak di lantai dapur lekas kukupas, aku harus segera menyelesaikan semua ini sehingga bisa segera bersantai dan siap-siap sebelum ceu Rodiah datang mengantarkan panci.

"Win, bikinin kopi!"

"Aduh, istri lagi sibuk selalu aja ada yang diminta." Tak sadar aku menggerutu, memang kang Iwan ini tak bisa jika tak menyuruhku ini dan itu.

Akhirnya kubuatkan segelas kopi, dan cara membuat kopinya tidak boleh berbeda dari yang emih lakukan. Satu sachet kopi hitam dengan gula, langsung disiram air panas tanpa diaduk.

"Ini Kang, kopinya." Kataku, sambil meletakkan segelas kopi di atas meja.

"Kenapa senyum-senyum begitu? Bikin geli aja." Celetuk kang Iwan, dan aku yang memang tak sadar sedang senyum-senyum langsung memberengut.

Maklum, aku sedang senang karena akan memiliki panci idaman. Satu set panci yang kuimpikan sejak lama.

Pertama kulihat di rumah teh Rina, hanya saja beda warna dan beda merk. Kalau tak salah punya teh Rina lebih mahal, 400 atau 500 ribuan. Maklum, suaminya pegawai bank yang gajinya besar.

"Ini hadiah buatku, Win. Dia kasih surpres, sambil bilang makasih mami, udah jadi istri terbaik buat papi." Kata teh Rina waktu itu dengan bangga.

Dia memamerkan set pancinya seperti bocah memamerkan baju baru, dan aku pun memang terlihat seperti bocah yang iri.

Ingin coba pegang, dan merasakan seperti apa rasanya panci mahal, tapi takut rusak. Akhirnya hanya melihat saja sambil mengaguminya.

"Sekarang aku juga bakalan punya! Walau harganya lebih murah sedikit.. Yang penting kan fungsinya tetap sama." batinku girang luar biasa.

Aku diam-diam menyicil pada ceu Rodiah, sebab aku tahu suamiku yang pelit itu tak akan pernah mau membelikannya untukku.

Apalagi jika tak ada rekomendasi dari emih, wajan jadul pun tak akan pernah kang Iwan belikan untukku di dapur.

"Oke, sekarang masak rendang.. Sama sambel goreng ati, udah gitu bersih-bersih dan santai deh!"

Aku mengerjakan semua tugasku hari itu dengan semangat, sebab terbayang kedua panci yang kuidamkan akan segera datang.

Sekitar tiga jam kemudian, rendang sudah matang dan sambel goreng ati pun sudah jadi. Keduanya masih di atas wajan, menunggu agak dingin untuk kumasukkan ke dalam rantang.

"Kok perutku keroncongan ya? Eh, aku belum makan dari pagi.. Ya ampun, nyampe kelupaan begini."

Aku menepuk jidat, saking semangatnya memasak sampai lupa jika aku belum makan sama sekali.

Aku ingat jika kang Iwan menghukumku gara-gara kue yang basi, dan tak boleh makan rendang katanya. Tapi dia sedang ngorok di depan TV, jika aku makan sekarang pun sepertinya tak akan ketahuan.

"Maaf ya Kang, aku diem-diem begini.. Kan kata pak ustaz juga kalo suami kelewat pelit, diem-diem ngambil begini juga enggak apa-apa."

Aku mengoceh sendiri sambil mengambil piring, nasi dan sepotong rendang. Hmm aromanya wangi sekali, aku memasaknya dengan santan yang melimpah dan bumbu yang banyak, sehingga hasil masakannya juga sudah pasti mantap.

Kalau sampai aku tak mencicipi, rasanya agak rugi juga. Hehe.

Aku duduk di sudut dapur, buru-buru makan karena sudah mulai gemetar dan mulai pusing.

"Masyaallah, enak banget ya Allah ini rendangnya." Gumamku sambil terus menyuap nasi dan secuil rendang.

Tak tahu kenapa tiba-tiba mataku terasa panas, batinku terasa sakit mengingat nasibku sendiri. Makan rendang saja harus curi-curi, menyicil panci juga curi-curi, bayar setorannya dari menyisihkan seribu dua ribu dari uang belanja yang hanya 35 ribu sehari.

Jika diingat-ingat, kapan terakhir kali aku makan enak? Paling hanya saat menjelang puasa, dan lebaran. Itu pun dijatah cuma sedikit oleh suamiku sendiri.

"Jangan kebanyakan makan enak! Nanti manja, wnggak mau makan kangkung lagi, enggak mau tempe!" katanya beralasan.

Padahal dia sendiri akan makan sepuasnya sampai kenyang, bersama dengan emih dan kakak-kakaknya.

"Ahh udahlah!"

Kuseka air mata, dan buru-buru menyelesaikan makan sebelum kang Iwan bangun. Tapi belum juga aku selesai makan, tiba-tiba..

"Neng Winda! Nih pancinya datang!!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!