Aku tak sabar menunggu ibuku pulang dari hajatan, sehingga aku pun memilih untuk datang ke tempat hajjah Euis.
Rumahnya cukup jauh, tapi semua orang tahu rumahnya yang mana. Tak akan ada yang kesasar juga, karena satu-satunya rumah besar dengan gerbang tinggi seperti istana presiden ya hanya rumah beliau itu.
Dari kejauhan rumahnya sudah nampak, gerbang besinya yang tinggi dan dicat hitam dibuka lebar, ada tenda besar dan soundsystem juga. Ramai orang lalu lalang dengan baju bagus.
"Eh, Winda.. Kapan datang?" sapa seseorang.
Saat kutolehkan kepala, ternyata teman sekolahku dulu. Namanya Hasan, dia mengenakan kemeja batik dan celana bahan yang rapi, tersenyum padaku.
"Eh Hasan, kemarin sore. Kamu sendiri lagi pulang kampung? Katanya kerja di kapal pesiar?"
Aku ingat betul, Hasan ini terkenal di kampungku karena satu-satunya pelaut. Kerja di kapal pesiar mewah dan sudah keliling dunia.
"Iya, lagi cuti tiga bulan. Katanya kamu udah nikah, udah punya anak?"
Kugelengkan kepala, "Belum, hehe."
Kusambung lagi dalam hati, nikahnya juga sudah bubar jadi aku tak mungkin juga hamil. Siapa yang akan menghamili aku?
"Kamu udah nikah?" tak tahu kenapa, mulutku malah gatal bertanya macam itu. Padahal aku dan Hasan tak seberapa akrab.
Ah biarlah, cuma pertanyaan basa basi saja.
"Belum. Belum nemu yang tepat aja.. Pada enggak mau ditinggal bulanan melaut." sahut Hasan sambil tertawa kecil.
Aku ikut tertawa, ingin rasanya menawarkan diri jadi istrinya. Hasan ganteng dan gagah, dia juga punya pekerjaan bagus dan reputasinya bagus sekali di tengah masyarakat.
Anak soleh yang cinta keluarga, pasti akan memperlakukan istrinya dengan baik juga. Walau jarang bertemu, tapi nafkah lancar dan orangnya pasti baik.
Tapi tahu diri saja, memangnya aku siapa sampai-sampai berani agresif macam itu? Secantik apa aku?
Masih perawan saja dia belum tentu mau, apalagi sekarang?
"Masa sih enggak ada yang mau sama kamu, San? Ditinggal sebentar mah enggak apa-apa kali, kan lagi cari nafkah."
Hasan terkekeh, "Ya emang begitu, pada enggak mau. Diajakin juga tetep enggak mau."
"Ah masa sih? Coba lagi ajak yang lain, siapa tau sekarang mau."
"Haha, masa gitu. Dulu mau ngajakin kamu nikah, ehh malah nikah duluan sama orang."
Aku jadi geer mendengar ucapan Hasan, tapi aku tahu itu hanya candaan saja jadi tak usah kuanggap lebih.
"Ada-ada aja kamu. Ya udah yah, aku mau nyari ibuku. Kamu liat gak?"
"Ohh bi Neni? Tadi di prasmanan sih.. Ke sana aja."
"Ya udah, makasih ya?"
"E-ehh Win, minta nomormu dong. Enggak apa-apa kan? Suamimu gak bakalan marah?"
Kugelengkan kepala dengan cepat, "Enggak bakal, lagian suamiku.."
"Kenapa suamimu?"
"Ah enggak. Catat aja nomerku.. 089xxxx."
Setelah saling bertukar nomor, aku masuk ke halaman rumah hajjah Euis, lalu mencari ibu di area prasmanan. Nampak ibuku sedang melayani tamu yang mengantre makan.
"Winda, sini! Makan!" ibu melihat kedatanganku, melambaikan tangannya menyuruh untuk mengantre mengambil makan.
Sebenarnya aku tak ada nafsu makan, apalagi saat ingat gunjingan tetangga tadi di warung.
Tetapi perutku lapar, karena terakhir makan adalah sepotong rendang di rumah kang Iwan. Itupun makanku tak habis.
"Bu, nanti aku mau bicara serius sama Ibu soal pak dewan." kataku, saat berdiri di depan ibu yang menyodor-nyodorkan piring untuk tamu.
Kulihat ibuku sesaat kaget, namun kemudian mengangguk dan tersenyum samar.
Setelah mengambil makan dengan lauk gurame pedas manis, sop bakso, mustofa kentang dan kerupuk udang, aku duduk di salah satu bangku di pinggir tenda. Agak malu juga karena yang lain bajunya rapi dan bergaya, sementara pakaianku lusuh, tapi sudahlah lagipula memang tadinya aku tak berniat untuk ke hajatan dan berdandan.
"Hajjah Euis memang dermawan ya? Munggahan aja dibikin acara gede-gedean begini."
"Iya, semua tetangga diundang datang. Mana nanti malem ada pengajian sama ustaz kondang!"
"Ohh ustaz yang suka di TV itu ya?"
"Iya! Wah, wajib datang ini mah!"
Tak sengaja kucuri dengar obrolan dua orang di dekatku. Mereka mengobrol sambil makan.
Ah, akhirnya aku tahu jika hajatan ini adalah munggahan. Hajjah Euis ini memang sangat dermawan dan suka berbagi, makanya tiap tahun kekayaan beliau sepertinya terus bertambah saja.
Tiba-tiba aku mencium aroma parfum dari belakang, saat kulihat ternyata seseorang menyemprotkan parfum ke pakaiannya dan entah kenapa bau sekali.
"Ugh, kenapa baunya jadi enggak enak begini?" keluhku sambil segera menutup hidung.
"Duh mual banget."
Perutku rasanya bergejolak tiba-tiba, lalu sepertinya semua makanan yang telah aku santap mau keluar lagi.
"Aduh, bahaya ini kalo aku sampai muntah di sini!"
Kututup mulutku, dan buru-buru keluar dari tenda, menjauh dari bau parfum yang tiba-tiba membuatku mual parah.
"Huwek! Huwek!"
Aku tak tahan, kumuntahkan sebagian makanan yang sudah kusantap di kebun belakang rumah hajjah Euis. Untung saja tak ada yang melihat.
"Kenapa ya? Apa aku masuk angin?" batinku.
Entah kenapa tiba-tiba aku ingat, jika aku belum haid bulan ini. Kuhitung-hitung, aku memang belum haid sama sekali.
"Ya Allah, aku belum mens terus aku mual-mual begini.. Apa jangan-jangan.."
".. Ah mana mungkin! Kang Iwan itu nyaris enggak pernah menyentuhku. Mana mungkin aku hamil!" aku berusaha menghilangkan pikiran yang menghantui saat ini.
Aku takut hamil.
Selama aku menikah dengan kang Iwan, sama sekali tak ada pembicaraan soal punya anak. Maklum lah, tak saling cinta.
Tapi aku tetap berusaha melayani kang Iwan sesuai kemauannya, aku cuma tak mau durhaka saja.
"Aduh, gimana ini.. Aku baru inget terakhir itu enggak pakai pengaman. Aku juga enggak KB karena memang jarang hubungan sama dia."
Tubuhku tiba-tiba menggigil, rasanya dingin tak karuan. Perutku sudah tak mual lagi tapi rasanya merinding parah. Aku takut.
"Beli tespek aja kali ya? Kalo enggak salah masih ada kembalian dari bi Yuli tadi.."
Kurogoh saku rok yang kukenakan, ada selembar sepuluh ribu sisa belanja tadi. Aku bergegas jalan kaki menuju jalanan kampung, tinggal berjalan sedikit ada balai desa dan di dekat sana ada apotek sehingga aku bisa beli tespek di sana.
"Tespek satu, yang murah aja." kataku pada pelayan yang berjaga, dia menyerahkan sebuah tespek.
"Dua ribu lima ratus."
Kusodorkan uang, dan dia memberikan barang beserta kembalian.
"Eh Winda, beli apa?"
"Ha-Hasan! Eh ini, anu.. Beli.."
Reflek kusembunyikan tespek yang kubeli, dan Hasan tak banyak bertanya lagi.
"Mau pulang? Kuantar aja, gimana?"
Sontak aku menggelengkan kepala, apa yang orang-orang kampung bilang nanti?
Sudah menjanda saja kalau dibonceng lelaki pasti mikirnya negatif, apalagi saat statusnya masih istri orang?
Setelah sampai di rumah, aku buru-buru menggunakan tespeknya. Kutampung air kencingku dalam gelas plastik bekas air mineral, dan kumasukkan stik tipis itu.
"Semoga enggak hamil, semoga enggak hamil!" doaku dalam hati sambil menunggu muncul hasil di permukaan stik.
Doaku terus kupanjatkan, berharap apa yang kukhawatirkan tak perlu terjadi.
Namun rupanya takdir malah berkata lain, perlahan-lahan aku melihat satu garis lagi muncul setelah garis pertama nampak di permukaan tespek.
"Ha-hamil.. Aku hamil?" tanyaku tak percaya, tubuhku langsung lunglai seketika.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments