Hingga sampai ke lokasi bazaar, aku dan Hasan tak bicara apapun. Dia langsung membantuku menyusun barang jualan.
"Wih. Udah rame.. Kemarin juga rame Win, di sin. Yang nanyain lapakmu juga banyak."
"Iyakah?"
"Iyaa.. Katanya kok ayam ketumbarnya enggak buka. Gitu."
"Kok kamu tau?"
"Tau lah, aku kan ke sini juga mau beli.. Tapi gaada."
Aku tersenyum tipis,
"Ya udah, sekarang kan ada. Beli lah."
"Iya dong. Bungkusin lima dong, buat orang rumah juga." katanya.
Aku segera membungkus pesanan Hasan, mengemasnya dengan baik dalam box kertas yang dialasi kertas nasi.
"24."
"Lho.. Bukannya 40?"
"Duanya bonus, kamu kan udah nganterin ke sini dan bahkan udah bantu nyiapin jualan juga."
"Jangan gitu, aku ka cuma bantu.. Urusan jualan ya beda lagi."
"Enggak, udahlah. Jangan ditolak lho!"
"Ya gak mau. Masa enggak bayar. Nih.."
Dia menyodorkan uang 50 ribu, aku meraba saku untuk mencari kembalian.
"Jangan dikasih kembalian, awas aja." ancamnya, bercanda pura-pura marah.
Aku tertawa kecil,
"Ya udah, sok atuh ngambil apa lagi yang mau. Masa enggak pake sayur-sayuran?"
"Aku gak terlalu suka sayur, rasanya aneh."
"Hmm belom nyoba tumisan buatan aku sih, nih.. Ambil ini, sama ini juga. Enakk banget!"
Kujejalkan sebungkus tumis kecipir dan ulukutek leunca ke dalam kreseknya.
"Beneran nih enak?"
"Enaaak, coba aja!" aku percaya diri.
Senang juga karena dia tak menolak. Walau tetap saja jika dihitung-hitung uang yang dia berikan masih harus kuberi kembalian 4ribu.
"Kamu sendirian jualannya?"
Kuanggukkan kepala, sambil duduk nyaman di atas kursi plastik yang memang sudah tersedia di lokasi bazaar.
"Ibu ke mana?"
"Kurang tau, kayaknya sih keluar sama pak Sofyan."
"Ohh.. enggak nyangka lho, ternyata mereka teman pas kecil."
"Iya, aku juga enggak nyangka mereka malah nikah." sahutku, tak tertarik karena aku tak suka dengan pernikahan mereka.
Suasana bazaar ramai, banyak keluarga yang sengaja datang berjalan-jalan sore hari, belanja aneka jajanan, mengajak anak main.
Kutatap salah satu keluarga yang melintas, ayah, ibu dan seorang anak balita. Mereka nampak bahagia.
"Ya Allah, andai saja pernikahanku normal seperti yang lain.. Mungkin aku juga seperti itu." batinku nelangsa.
Kuusap perutku, masih sangat rata tak nampak bahwa aku sedang hamil sama sekali.
"Duh Nak, yang sabar ya? Walau cuma berdua sama mamah.."
"Kenapa, Win? Kamu laper?"
"E-eh.. Enggak. Kenapa kamu nanya gitu?"
"Itu, kamu megang perut."
Aku tertawa miris dan menggeleng, dia tak tahu kalau aku sedang bicara dalam hati dengan calon bayiku.
Seorang pembeli datang, disusul pembeli-pembeli lainnya. Jualanku langsung laris banyak dalam hitungan belasan menit.
Senyum sumringah terlukis di bibirku, senang sekali. Kuhitung diam-diam uang yang kudapat, jumlahnya sudah lebih dari modal yang kukeluarkan, berarti sisanya adalah untung untukku dan bahkan jualannya belum habis semua.
Alhamdulillah, pintu rezeki yang terbuka lebar lewat berjualan.
"Wih jualan ternyata si Winda."
DEG.
Suara itu.
Saat kudongakkan kepala, nampak emih dan teh Rina bersama dua orang anaknya.
Mereka berjalan menghampiri lapak jualanku, melihat-lihat apa yang kujual dengan ekspresi sinis.
"Jualan apaan, cuma segini doang.. Siapa yang mau beli sih?" celetuk emih.
"Yang beli paling yang kasian aja. Liat muka dia, muka janda fakir miskin."
Teh Rina tertawa dengan cemoohan yang baru dia lontarkan padaku, emih juga.
"Mih, Teh.. Tolong minggir sedikit, ngalangin yang mau beli.." usirku tanpa basa basi.
Mereka malah tertawa,
"Siapa atuh Win, yang mau beli jualan corengcang begini? Cuman berapa biji lagi."
"Iya, liat aja oseng-osengan murahan aja cuma bisa bikin enam bungkus, yang ini malahan kosong kotaknya. Ngapain masih dipanjang?"
"Nih, Emih kasih tau ya.. Kalo mau jualan laris, harus banyak nyetok dagangan biar yang liat tuh tertarik beli. Kalo begini sih.. Hadehh, mendingan pulang!"
Mereka kembali tertawa, anaknya teh Rina memainkan capitan ayam ketumbar, dia mengacak-acak jualanku dan kutahan tangannya.
"Aa Gibran, jangan diacak-acak ya? Ini kan jualannya Bibi, kalo mau bilang sama mami." tegurku halus.
Wajah teh Rina langsung memberengut,
"Idih! Siapa yang mau? Anakku enggak mungkin mau makanan kampungan begini!"
"Mi, mau ini.."
"Gibran!"
"Aku juga mau, Mi!" sekarang Elisa, anak keduanya juga ikut merengek.
Teh Rina melirikku dengan kesal, lalu merebut capitan dan menjauhkannya dari tangan anak-anak.
"Enggak! Nanti beli di tempat lain yang bersih!"
"Lho, ini kan bersih juga Teh. Emangnya tempat yang lain kayak gimana? Sama aja."
Teh Rina malah mencibir,
"Takut kena guna-guna!"
Kuelus dada mendengar jawabannya, guna-guna apa?
"Ya sudah kalo begitu.. Silahkan pergi Teh, tuh ada yang mau beli, kehalang sama Teteh." tegurku.
Memang ada pembeli yang datang, dia langsung memilih ayam ketumbar.
"Teh, 5 ya? Enak banget ini ayamnya.. Kriuk, lembut di dalam, wangi banget."
"Alhamdulillah Teh, kalo suka."
Aku bangga mendengar pembeli memuji masakanku, tepat di depan dua orang yang baru meremehkan jualanku.
"Tambahin sama lalapan sambelnya dong Teh, biar tambah mantap."
"Oh iya Teh, siap. Besok ya?"
"Beneran ya Teh besok jualan? Jangan kayak kemaren libur, aku kan ngidam pengen ayam ketumbar eeh Tetehnya malah gak jualan."
"Hehe, iya Teh. Maaf ya, besok jualan, Insyaallah."
Senyumanku mengembang lebar, puas sekali rasanya. Apalagi melihat wajah emih dan teh Rina saat mendengar pembeli memuji masakanku sedemikian rupa.
Bukan cuma satu, muncul lagi dua orang pembeli lainnya membeli ayam ketumbarku dan oseng-oseng, serta takjil yang kubuat.
Seketika jualanku tinggal berapa biji saja, padahal jam lima pun belum.
"Alhamdulillah, tinggal sedikit." gumamku sambil memasukkan uang hasil jualan ke dalam tas kecil yang kuselempangkan di bahu.
Kulihat teh Rina menyikut emih, mereka melihat uang-uang yang berdesakan dalam tasku.
Emih berdehem,
"Kok bisa sih orang-orang suka masakanmu, Win? Dikasih jampe-jampe ya?!" tudingnya.
Aku cuma menghela napas,
"Jampe-jampe apaan, Mih? Aku cuma baca bismillah sebelum masak." sahutku tak acuh.
Kurapikan box jualan yang sudah kosong, kususun di bawah. Hasan nampaknya ingin membantu, tetapi dia sengaja diam dan duduk agak jauh. Mungkin tahu keberadaannya di sini akan membuat gosip baru di mata mantan mertua dan iparku.
"Mi.. Mau ayamnya, beli Mi.. Udah mau abis itu!"
Gibran kembali merengek, sambil menarik-narik ujung kemeja yang dipakai ibunya.
Teh Rina menepis tangan Gibran, bunyinya keras dan anak itu meringis nyeri.
"Ya udah sih Teh, kasian aa Gibran sama dede Elisa. Nih, buat buka nanti yaa.. Seorang satu."
Aku cekatan membungkus dua potong ayam, dan kuserahkan pada Gibran.
"E-ehh jangan! Aku enggak mau beli! Jangan jual paksa gini dong!"
"Aku enggak jual paksa Teh, ini ngasih buat aa dan dede." Sahutku tanpa gentar.
Teh Rina memutar bola matanya, tak berterima kasih.
"Ayo pergi! Katanya mau beli es boba yang mahal itu, kenapa lama-lama di sini sih?!"
Dia menarik tangan kedua anaknya, sambil melangkah cepat. Mantan mertuaku masih di depan lapak, dia menatap kotak ayam ketumbar yang tersisa lima potong lagi.
"Eh Win, bungkusin tiga dong sekalian buat Emih dan Iwan. Tes rasa aja.. Apa bener seenak itu."
Kutatap emih sekilas, lalu membungkus tiga potong ayam.
"Jangan yang itu, yang gedean dikit.. Nah itu. Udah."
Dia menerima bungkusan berisi ayam, lalu melengos pergi.
"Eh Mih, belum bayar.."
Dia malah mendelik,
"Pelit banget jadi orang! Aku ini mantan mertuamu, bukan orang lain! Apa susahnya kasih gratisan, buat nyicipin rasa!" sahutnya ketus sambil melangkah pergi.
Ya Allah ya Rabbi..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Richa Ucha
mertua gak ngotak itu
2023-07-28
0