Lho Kamu Janda?

"Bu, tapi aku enggak punya uang buat modalnya.. Ibu punya dari mas kawin kan? Boleh aku pinjam?"

Ya, aku memang modal nekat, belum juga punya modal sudah bilang mau meneruskan jualan.

Ibu tersenyum,

"Enggak usah pinjem, hitung-hitung Ibu bantu modalin yah? Ibu juga emang udah niat pengen jualan di bazaar lagi.. Tapi kata bapak jangan dulu, jadi kamu aja dulu.. Nanti Ibu bantuin masak."

Aku tak menjawab, namun kuterima uang 500 ribu yang ibu berikan.

"Ibu dikasih lima juta buat keperluan pribadi, di luar uang belanja bulanan rumah tangga. Jadi Insyaallah tiap bulan Ibu punya uang dingin, nanti simpen ya Win? Buat nabung anakmu."

Kata ibu, sambil mengusap-usap lenganku.

"Buat aku? Itu kan uang Ibu. Simpan saja sama Ibu."

"Bapak ngomel nanti katanya kalo uangnya Ibu tabung sendiri, katanya harus dihabiskan buat apa aja terserah. Jadi ketimbang Ibu foya-foya, mendingan buat cucuku ini, kan?"

Ibu sumringah sekali saat menjelaskan hal itu, dan entah kenapa aku malah muak mendengarnya.

Apa Ibu pernah sebahagia ini saat menceritakan keuangan keluarga? Saat menceritakan ayahku?

"Dulu.. Ayah suka kasih berapa Bu, per bulan?"

Air muka ibu berubah saat aku menyebut ayah, dia melepas pegangannya dan memalingkan muka,

"Udahlah, Win.. dulu atau sekarang, Ibu ya begini-begininya.. Menghargai semua pemberian suami dengan tulus. Besar atau kecilnya, Ibu bersyukur."

Aku tak menjawab, hanya menghela napas sambil terbayang wajah ayah. Lelaki penyabar dan tak pernah malu untuk bekerja apapun, asalkan halal.

Aku segera berangkat ke pasar, naik ojek yang ada di depan jalan sana. Dekat mesjid, ongkosnya cuma 7 ribu karena memang jarak pasar kecamatan tak seberapa jauh.

"Habis dari mana kamu, Win?" tanya Yulia, tiba-tiba saja dia muncul di pintu dapur.

Matanya awas memperhatikan semua belanjaan yang kugelar di lantai dapur kotor.

"Dari pasar."

"Buat apa belanja sebanyak itu? Di sini kan banyak bahan masakan. Ngapain belanja-belanja lagi?"

"Ini buat jualan.. Aku pinjam modal ke ibu, nanti kucicil kalo jualannya laris. Laris enggak laris aku bayar hutangnya."

Yulia mengerutkan dahi, "Aku enggak nanya duitnya dari mana."

"Ya.. Takutnya kamu berpikir aku minta uangnya ke pak Soyfan, enggak kok.. Minjem aja."

Yulia tak menanggapi ucapanku, dia tetap berdiri di ambang pintu tanpa bergerak sama sekali.

"Sampai ke bumbunya juga beli? Kenapa enggak pake yang ada aja sih?" protes Yulia, melihatku mengeluarkan bumbu-bumbu.

"Karena ini buat jualanku. Aku enggak enak pakai bahan untuk masak sehari-hari.. Walaupun aku bukan orang pinter, tapi aku cukup tau diri kok."

"Apa sih?" Yulia nampak tak enak mendengar ucapanku. Mungkin karena gaya bicaraku dan juga ucapanku menohoknya mungkin.

Ah biar saja, biar dia tahu kalau aku bukan yang mudah dirundung, apalagi direndahkan. Capek aku mengalah terus.

Dia lantas pergi, kemudian tak lama bik Ijah masuk ke dapur.

"Wah Neng, ini semua mau dimasak sekarang? Emangnya Neng kuat?" tanya bik Ijah, langsung membantuku menyiangi kangkung.

"Bisa Bik, demi jualan kan." sahutku sambil tersenyum.

Aku membeli empat ekor ayam broiler, aneka sayuran segar, bumbu-bumbu, minyak goreng dan gula. Sebisanya aku lengkapi bumbu-bumbunya, tak mau memakai bahan yang ada di rumah ini.

"Ya udah, sini Bibik bantuin yah!"

"Enggak usah Bik, kasihan nanti Bibik kan harus masak juga buat orang-orang rumah."

"Enggak Neng, kata neng Yulia hari ini mau pesan makan.. Soalnya suaminya lagi ke kabupaten, jadi nanti beli makanan banyak."

"Iyakah?"

"Iya Neng, jadi Bibik mendingan masak aja bantuin Neng."

Akhirnya aku pun memasak bersama ART rumah ini, dia orang yang supel dan ramah. Nyaman sekali berada di dekatnya.

Aku tak tahu ke mana ibu, mungkin pergi bersama pak Sofyan. Hendri dan istrinya sudah pulang, sementara Yulia masih menginap di sini.

Pas ashar, semua makanan sudah selesai dibungkus. Aku shalat ashar dan siap berangkat ke tempat bazaar.

Tring!

Ada pesan dari Hasan,

[Win, kamu enggak jualan lagi di bazaar? Aku pengen ayam ketumbar, nih!]

Bibirku tak sadar menyunggingkan senyuman,

[Hari ini jualan kok, ini siap berangkat ke bazaar. Aku bikin ayam ketumbar.]

Hasan cepat sekali membalas,

[Mantap! Sama siapa ke bazaar? Ibu?]

[Sendirian aja, naik ojek.]

[Aku aja yang jemput ya! aku jemput sekarang.. Aku ke rumahmu.]

Aduh, ini bocah apa-apaan sih? Mau apa dia menjemputku?

[Jangan, aku sekarang di rumah pak Sofyan. Aku naik ojek saja.]

[Ohh aku tau rumah pak Sofyan. Aku berangkat sekarang, tunggu!]

Aku tak mau dia datang menjemputku, tapi entah kenapa aku malah diam saja menunggunya. Hingga 15 menit kemudian, dia pun benar-benar datang.

Senyumnya lebar,

"Ayo! Mana yang mau dibawa semua? Ini?" dengan cekatan dia mengangkat kotak-kotak berisi lauk matang yang sudah siap angkut.

"Hasan, kenapa kamu mau bela-belain begini?"

"Huh? Kenapa? Ya karena aku pengen buru-buru beli ayam ketumbar lah!" sahutnya sambil tertawa.

Aku ikut tertawa, walau miris sedikit.

Aku takut sekali jika orang-orang memikirkan yang aneh-aneh tentang kami.

Walau aku dan Hasan benar-benar hanya teman, juga tak berminat untuk melangkah ke jenjang lain. Tapi le dapat orang kadang sekejam itu. Seenak hati.

"Kamu enggak takut orang ngomongin kamu?"

"Hah? Ngomongin kenapa?"

"Ya.. Apa kek, omongan miring."

Hasan menatapku sesaat, lalu dia malah tertawa.

"Ya biarin aja sih, kamu tuh kayaknya tipe orang yang mikirin omongan orang ya? Santai ajalah. Cuma bantu temen, salahnya di mana?"

Memang benar ucapannya, aku ini terlalu memikirkan omongan orang. Padahal aku tak melakukan kesalahan apapun, kenapa harus takut?

"Ayo, udah siap." kata Hasan, dia sudah selesai merapikan kotak-kotak makanan ditumpuk di depan.

Aku membawa dua kotak berisi candil dan bubur sumsum.

Setelah aku duduk di boncengannya, mobil merah kecil berhenti di depan rumah, kaca jendelanya dibuka.

"Widih, ke mana Teh? Sama cowok.. apa ini suaminya Teteh?" tanya Rensi, dia menyetir mobil sendiri.

Aku langsung panik mendengar pertanyaan polos Rensi, dia sepertinya memang tak tahu apa-apa soal rumah tanggaku. Pak Sofyan sendiri juga mungkin tak tahu karena kami tak pernah mengobrol akrab.

"E-eh.. Bu-bukan! Bukan, ini temenku.. Temen sekolah, iya kan Hasan?" aku sampai terbata-bata, saking gugup dan malu.

Hasan sendiri cuma senyum saja, dan Rensi menatapku dengan ekspresi aneh.

"Lhoo.. Kok malah pergi sama cowok lain? Emang suamimu ke mana Teh? Apa dia enggak marah? Apa udah biasa kayak gini?"

DEG.

Pertanyaannya sinis sekali, padahal ekspresi wajah Rensi nampak polos sekali. Aku sampai bingung apakah dia sedang menyindir, atau memang benar-benar polos?

"A-aku.. soal itu, aku udah pisah sama suami." jawabku akhirnya, dengan suara yang sangat pelan. Malu.

"Ohh Teteh udah janda. Kenapa enggak ngasih tau? Pantesan Teteh ikut sama ibu ke mari.."

Muak sekali, aku ingin lari dari situasi ini.

"Ya udah Teh, kayaknya lagi buru-buru. Aku juga buru-buru nih.. Gerah banget hari ini, pengen mandi. Dadah!"

Remaja perempuan berparas cantik itu melambaikan tangannya sambil tersenyum, lalu memarkirkan mobilnya.

"Ayo pergi, Hasan.." ajakku dengan suara pelan.

Rasanya malu sekali pada temanku ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!