"Kentangnya udah dikupas?" tanya kang Iwan-suamiku, sambil masuk ke dapur.
Kutunjukkan baskom berisi tumpukan kentang yang sudah kukupas, kurang lebih sekitar sekilo setengah. Masih ada setengah kilo lagi yang belum dikupas.
"Ngupasnya pake apa itu?"
"Ya pake ini lah, biar cepat Kang." Jawabku sambil mengacungkan pengupas kentang di tangan.
Kudengar kang Iwan mendecakkan lidahnya dan bergegas menghampiriku. Dia mengecek kulit kentang yang menumpuk di hadapanku, lalu mengamatinya beberapa detik, dan diletakkan kembali setengah dibanting.
"Hadeh, udah dibilangin ngupas kentang itu jangan pake begituan!"
"Lho, kenapa enggak boleh sih, Kang?"
"Tuh liat sendiri pake matamu, ketebelan! Kan sayang kentangnya jadi kecil, kebuang, mubazir!"
Aku cuma terdiam mendengar bentakan suamiku, ketebelan katanya. Padahal aku juga mengupas kentang dengan cara yang wajar, memangnya setebal apa daging kentang yang ikut terkupas kulitnya?
"Pake ini!"
Dia melemparkan sebuah sendok ke hadapanku, iya.. Sebuah sendok.
"Ya Allah, digimanain pake sendok Kang?"
"Dikerok! Aku udah ngasih tau berkali-kali. Punya kuping kagak dipake ya gitu!"
Hatiku tersayat mendengarnya, bisa-bisanya lelaki yang baru menikah denganku selama dua tahun ini membentakku sedemikian rupa, hanya karena perkara mengupas kentang!
"Buruan dikerok! Sebelum ashar harus udah kelar itu masak! Emih udah nunggu makanannya!"
Kang Iwan mengatakan hal itu sambil berlalu, meninggalkan aku yang masih duduk tergugu menahan rasa pilu.
Jangankan mau berdiskusi dan mengalah perkara mengupas kentang, untuk minta maaf karena sudah membentakku pun dia tak akan mau.
Malah menyuruhku buru-buru memasak, karena emih sudah menunggu kiriman masakan dari anaknya.
"Enggak kuat aku begini terus.." batinku sambil meraih sendok yang tergeletak agak jauh dari tempatku duduk.
Lalu mulai mengerok kulit kentang seperti apa yang suamiku minta. Persis seperti apa yang kukira sebelumnya, mengerok kentang dengan sendok itu merepotkan!
"Ya ampun, kapan mau selesainya ini kerjaanku kalo pake sendok macam begini? Siapa sih yang ngupas kentang pake sendok?!"
Sekarang aku yang kesal dan marah, suami cuma tahu beres urusan dapur tapi mengatur ini itu, termasuk caraku mengupas sayuran!
Jika aku mengupas sayuran dan memotongnya tak sesuai dengan yang emih lakukan, maka aku akan dibentak dan dimaki bodoh, boros. Semacam itu.
Sakit memang dia.
"Win, ambilin kueh yang semalam di kulkas!" teriak kang Iwan, menyuruhku lagi.
Padahal tadi dia ke dapur, kenapa tak ambil sendiri sih?
Walau begitu, aku tetap mengambilkan kue yang dia maksudkan. Kue lapis dan kue sus yang didapat dari hajatan tetangga kemarin siang.
"Ini Kang kuenya." Kataku sambil meletakkan piring berisi kue di atas meja.
Suamiku sedang nonton TV, berbaring santai di atas kursi panjang tanpa peduli istrinya sedang repot sendirian di dapur.
Lusa adalah hari pertama puasa, jadi sekarang harus memasak untuk hantaran ke keluarganya. Itu tradisi turun temurun di keluarga kang Iwan.
Aku harus memasak banyak makanan untuk dikirim ke emih (mertuaku), teh Rina dan kang Dian (kedua iparku).
Sebagai anak bungsu, konon memang harus sehormat itu pada kakak-kakak, dan mengirimkan makanan seperti ini adalah salah satu cara menghormati mereka.
Mereka selalu menuntut rasa hormat, tapi tak pernah bersikap seperti seseorang yang layak dihormati. Okelah, pada adiknya memang mereka baik dan cenderung memanjakan.
Namun sebagai gantinya, aku yang harus membalas budi. Jadi pesuruh mereka, disuruh ini, disuruh itu, tak boleh menolak.
"Hh.. Sudahlah, emangnya aku bisa apa?"
Hanya bisa membatin, dan tak ada pilihan lain selain menurut saja. Maklum, aku cuma anak seorang janda miskin. Sementara kang Iwan anak pensiunan bank, mungkin karena itu juga keluarganya memperlakukan aku seperti makhluk rendahan.
"Puih!! Kuehnya basi Win!" teriak kang Iwan lagi, dan aku yang baru saja duduk untuk mengupas kentang harus bangun lagi.
"Basi? Masa sih, Kang?"
"Enggak percaya? Nih, makan sendiri!"
Lelaki itu melemparkan sebuah kue ke tubuhku, dan saat kucicipi memang sudah agak asam.
"Mungkin gara-gara kulkasnya dicabut semalam, Kang. Makanya kuenya basi."
Kang Iwan membeliakkan matanya padaku, "Jadi kamu nyalahin aku, hah?!"
"Ya enggak, Kang. Maksudnya.."
"Kamu kan tau aku nyabut kulkas malem-malem itu biar hemat listrik?! Kenapa malah nyalahin aku?! Padahal aku cuma mau berusaha bikin pengeluaran kita lebih hemat!"
Aku menggigut bibir, salah bicara lagi rupanya. Aku harusnya diam saja, biarkan dia mengomel soal kue yang basi.
"Kalo tau kuehnya bakalan basi, harusnya kamu cari akal dong, Winda! Gimana caranya supaya itu kueh enggak basi!"
Kuusap dadaku,
"Gimana caranya, Kang? Kue begini kan enggak bisa diangetin.. "
"Ya mikir lah caranya! Punya otak tuh makanya pake! Emih aja bisa tuh nyimpen kueh nyampe besok tetep enak. Padahal enggak pake kulkas!"
Emih lagi, emih lagi.
Selalu saja begini, setiap kali ada hal yang membuatnya kesal pasti membandingkanku dengan emihnya.
"Ya udah, lain kali taroh makananmu di rumah emih aja, Kang!"
Ingin rasanya kukatakan hal itu, tapi aku tak berani. Aku takut kena amuk, lelaki ini jadi berubah beringas dan nampak sifat aslina setelah apih meninggal.
Saat apih masih ada, semua anggota keluarganya baik ladaku. Karena apih juga memang baik dan tulus padaku. Namun setelah beliau meninggal, barulah nampak semua kebobrokan keluarga itu.
"Ya udah Kang, sini aku buangin aja kuenya. Udah enggak bisa dimakan kan?"
"Enak aja main buang, boros banget sih?!" Bentaknya.
"Kamu tuh, udah miskin tapi masih aja belagu buang-buang makanan. Makanya keluarga kamu miskin terus!"
"Kang, udahlah.."
"Enggak mau tau, kamu abisin kueh ini. Jangan dibuang! Kueh ini buat makananmu seharian, nanti enggak usah makan rendang. Kan udah makan kueh."
"Akang, masa begitu?"
"Apaa? Enggak mau? Mau ngelawan aku kamu, hah?! Ini kan salahmu, gara-gara enggak becus nyimpen makanan, jadi kamu harus tanggung jawab!"
"Kang.. Tapi.."
Aku tak bisa melanjutkan ucapanku, mata kang Iwan sudah melotot seperti mau melompat keluar dan aku tak berani menyanggah lagi.
Dengan hati pedih kuambil piring berisi kue-kue, lalu kubawa ke dapur. Makanan ini sebenarnya masih bisa dimakan walau sudah sedikit basi, tapi tetap saja jika dipaksa seperti itu, apalagi tanpa diberi makanan lain yang layak sama saja seperti memberi makan babi.
Tak kusangka nasibku jadi begini, padahal saat ada apih aku ini menantu kesayangan.
Bahkan tak jarang menantu-menantu lainnya cemburu padaku. Merasa apih pilih kasih, padahal apih juga baik pada yang lain. Mereka saja yang selalu minta lebih.
"Punten! Neng Winda, ada di rumah?!"
Aduh! Kenapa saat tegang begini ceu Rodiah malah datang ke mari?! Dia pasti mau menagih cicilan panciku.
Celaka, kang Iwan pasti marah besar!
"Neng Winda! Neng!"
Ceu Rodiah masih saja memanggil-manggil dari depan, aku yang ada di dapur langsung berjalan menghampiri sumber suara sebelum kang Iwan marah.
Kulirik suamiku yang sedang cemberut sambil nonton TV, mungkin masih bete karena kue-kuenya basi. Salah sendiri, tiap malam kulkas harus dicabut dengan alasan hemat listrik.
Padahal menurut neng Santi yang pegawai kecamatan, justru yang bikin boros listrik itu gara-gara sering cabut colok listrik. Kalau barang elektronik sudah tersambung, tarikan listrikna normal dan malah lebih hemat.
Tapi memangnya kang Iwan mau dengar? Tak akan. Dia cuma mau dengar apa yang emih katakan. Mau benar mau salah, pokoknya emih yang paling tahu.
"Iya Ceu.." kataku, sambil menutup pintu depan. Sengaja, biar kang Iwan tak mendengar obrolan kami.
Ceu Rodiah tersenyum melihatku,
"Kirain teh enggak ada di rumah, Neng! Biasaa setoran mingguan."
"Sst Ceu, jangan keras-keras!" tegurku, sambil meletakkan telunjuk di depan bibir.
Kulirik ke belakang, takutnya kang Iwan mengintip tapi sepertinya tidak.
Suara ceu Rodiah ini memang sangat menggelegar, bicara dari rumah sini bisa terdengar hingga empat rumah di sana.
"Eh kenapa?"
"Yaa kang Iwan barusan lagi tidur, hehe." sahutku berbohong sedikit.
"Oh begitu, ya udah.. Gimana setorannya, udah ada?"
Aku menganggukkan kepala, dan kurogoh saku rok yang kukenakan, ada selembar sepuluh ribuan yang tersimpan di dalamnya.
"Ini Ceu, setoran ke berapa ya ini?"
"Sebentar ya Neng, dicek dulu."
Ceu Rodiah lantas mengambil buku catatan kecil di dalam tas yang disampirkan di bahunya, mengecek lembar per lembar milik para pelanggan.
"Ini, punya Neng Winda udah masuk minggu ke 15, 15 minggu lagi ya Neng? Nanti malem, barangnya Euceu bawa ya."
"Ohh iya, siap Ceu."
Senyumku mengembang, rasanya senang bisa meminang panci idamanku selama ini.
Satu set panci teflon berwarna ungu, ada panci untuk memasak sayur dan panci datar untuk menumis. Tinggal hitungan jam saja, maka aku bisa memeggunakannya untuk memasak, rasanya sangat puas dan tak sabar.
"Ya udah Neng, Euceu permisi dulu ya?"
"Iya Ceu.. Makasih ya! Eh iya Ceu.. Nanti kalo bisa pas nganterin panci, jangan sampai kang Iwan tau ya?"
Ceu Rodiah mengerutkan kening, "Emangnya kenapa Neng?"
"Ah pokoknya, jangan. Nanti panggil aja kayak biasa.. Terus jangan dulu diliatin pancinya ya? Sembunyiin dulu."
Ceu Rodiah nampak masih bingung, tapi dia tetap mengangguk mengiyakan permintaanku. Setelah itu dia pun pergi.
Aku segera kembali ke dalam rumah, dan kang Iwan menatapku curiga,
"Ngapain itu tukang kredit ke rumah, Win?"
"Ngg.. Enggak Kang, cuma nanya-nanya." Jawabku asal.
"Nanya apaan?"
"Yaa nanya gitu, gitu-gitu aja ngobrol biasa."
Aku buru-buru ke dapur, sebelum kang Iwan makin mendesakku untuk mengatakan yang sebenarnya. Aku jelas tak bisa mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, karena memang aku menyicil panci itu diam-diam tanpa sepengetahuan dia.
Kentang-kentang yang tergeletak di lantai dapur lekas kukupas, aku harus segera menyelesaikan semua ini sehingga bisa segera bersantai dan siap-siap sebelum ceu Rodiah datang mengantarkan panci.
"Win, bikinin kopi!"
"Aduh, istri lagi sibuk selalu aja ada yang diminta." Tak sadar aku menggerutu, memang kang Iwan ini tak bisa jika tak menyuruhku ini dan itu.
Akhirnya kubuatkan segelas kopi, dan cara membuat kopinya tidak boleh berbeda dari yang emih lakukan. Satu sachet kopi hitam dengan gula, langsung disiram air panas tanpa diaduk.
"Ini Kang, kopinya." Kataku, sambil meletakkan segelas kopi di atas meja.
"Kenapa senyum-senyum begitu? Bikin geli aja." Celetuk kang Iwan, dan aku yang memang tak sadar sedang senyum-senyum langsung memberengut.
Maklum, aku sedang senang karena akan memiliki panci idaman. Satu set panci yang kuimpikan sejak lama.
Pertama kulihat di rumah teh Rina, hanya saja beda warna dan beda merk. Kalau tak salah punya teh Rina lebih mahal, 400 atau 500 ribuan. Maklum, suaminya pegawai bank yang gajinya besar.
"Ini hadiah buatku, Win. Dia kasih surpres, sambil bilang makasih mami, udah jadi istri terbaik buat papi." Kata teh Rina waktu itu dengan bangga.
Dia memamerkan set pancinya seperti bocah memamerkan baju baru, dan aku pun memang terlihat seperti bocah yang iri.
Ingin coba pegang, dan merasakan seperti apa rasanya panci mahal, tapi takut rusak. Akhirnya hanya melihat saja sambil mengaguminya.
"Sekarang aku juga bakalan punya! Walau harganya lebih murah sedikit.. Yang penting kan fungsinya tetap sama." batinku girang luar biasa.
Aku diam-diam menyicil pada ceu Rodiah, sebab aku tahu suamiku yang pelit itu tak akan pernah mau membelikannya untukku.
Apalagi jika tak ada rekomendasi dari emih, wajan jadul pun tak akan pernah kang Iwan belikan untukku di dapur.
"Oke, sekarang masak rendang.. Sama sambel goreng ati, udah gitu bersih-bersih dan santai deh!"
Aku mengerjakan semua tugasku hari itu dengan semangat, sebab terbayang kedua panci yang kuidamkan akan segera datang.
Sekitar tiga jam kemudian, rendang sudah matang dan sambel goreng ati pun sudah jadi. Keduanya masih di atas wajan, menunggu agak dingin untuk kumasukkan ke dalam rantang.
"Kok perutku keroncongan ya? Eh, aku belum makan dari pagi.. Ya ampun, nyampe kelupaan begini."
Aku menepuk jidat, saking semangatnya memasak sampai lupa jika aku belum makan sama sekali.
Aku ingat jika kang Iwan menghukumku gara-gara kue yang basi, dan tak boleh makan rendang katanya. Tapi dia sedang ngorok di depan TV, jika aku makan sekarang pun sepertinya tak akan ketahuan.
"Maaf ya Kang, aku diem-diem begini.. Kan kata pak ustaz juga kalo suami kelewat pelit, diem-diem ngambil begini juga enggak apa-apa."
Aku mengoceh sendiri sambil mengambil piring, nasi dan sepotong rendang. Hmm aromanya wangi sekali, aku memasaknya dengan santan yang melimpah dan bumbu yang banyak, sehingga hasil masakannya juga sudah pasti mantap.
Kalau sampai aku tak mencicipi, rasanya agak rugi juga. Hehe.
Aku duduk di sudut dapur, buru-buru makan karena sudah mulai gemetar dan mulai pusing.
"Masyaallah, enak banget ya Allah ini rendangnya." Gumamku sambil terus menyuap nasi dan secuil rendang.
Tak tahu kenapa tiba-tiba mataku terasa panas, batinku terasa sakit mengingat nasibku sendiri. Makan rendang saja harus curi-curi, menyicil panci juga curi-curi, bayar setorannya dari menyisihkan seribu dua ribu dari uang belanja yang hanya 35 ribu sehari.
Jika diingat-ingat, kapan terakhir kali aku makan enak? Paling hanya saat menjelang puasa, dan lebaran. Itu pun dijatah cuma sedikit oleh suamiku sendiri.
"Jangan kebanyakan makan enak! Nanti manja, wnggak mau makan kangkung lagi, enggak mau tempe!" katanya beralasan.
Padahal dia sendiri akan makan sepuasnya sampai kenyang, bersama dengan emih dan kakak-kakaknya.
"Ahh udahlah!"
Kuseka air mata, dan buru-buru menyelesaikan makan sebelum kang Iwan bangun. Tapi belum juga aku selesai makan, tiba-tiba..
"Neng Winda! Nih pancinya datang!!"
Jantungku langsung berdebar sangat kencang mendengar teriakan ceu Rodiah, perempuan bertubuh gempal itu agaknya sudah lupa dengan apa yang kuamanatkan tadi.
"Aduh, bisa repot ini kalo sampai kanh Iwan denger!"
Aku buru-buru ke depan rumah dengan perasaan tak karuan, kulihat kang Iwan masih tertidur di depan TV. Sedikit rasa lega menjalar di dadaku.
"Aduhh Ceu, udah dibilangin jangan nyampe suamiku tau!"
Kuletakkan jari telunjukku di depan bibir, ekspresi panik karena benar-benar takut jika kang Iwan terbangun tiba-tiba.
"Lupa Neng, maafin Euceu ya!"
Ceu Rodiah meminta maaf sambil tersenyum canggung, dia buru-buru menyodorkan kotak besar kepadaku. Ada gambar panci teflon yang kudamba-damba di bagian depannya.
"Nih pancinya, sok selamat memasak yah!"
"Iya, iya Ceu.. Makasih ya udah dianterin." kataku sambil mengecilkan suaraku.
Kulirik ke belakang, belum ada tanda-tanda kang Iwan bangun. Semoga saja tak usah terbangun, sebelum aku menyembunyikan panci-panci ini.
"Ya udah, Euceu pulang dulu yah! Maafin tadi berisik, hehe."
"Iya Ceu.. Enggak apa-apa."
Ceu Rodiah pun meninggalkan aku, dan setelah perempuan itu pergi segera kubawa kotak panciku ke dalam rumah.
Kudekap erat di dada, sambil berjalan berjingkat di depan TV supaya tak menimbulkan suara apapun.
"Jangan dulu bangun.. Kalo nyampe keburu bangun, bisa berabe." batinku takut.
Kalau sampai kang Iwan bangun, bisa bahaya ini. Dia bisa memarahiku habis-habisan soal panci, dan pasti akan membawa-bawa emih.
"Aduh, cantiknya panci-panciku. Sesuai sama yang kumau.. Mirip lah sama punya teh Rina."
Tak henti kukagumi panci baruku, yang tinggal 15 kali cicilan ini. Rasanya bangga bisa menyisihkan seperak dua perak dari uang belanja yang tak seberapa itu. Untuk membeli alat dapur idamanku.
"Panci siapa itu?"
DEG.
Rasanya copot jantungku mendengar pertanyaan itu kang Iwan bangun!
Aku berniat menyembunyikan dus panci, tapi jelas terlambat karena kang Iwan sudah terlanjur melihatnya.
"I-ini, ini punya.."
"Punyamu ya? Siapa yang suruh beli panci beginian, hah?!" Hardiknya, sambil meraih dus panci dengan kasar.
"Jangan Kang! Jangan diambil!" teriakku spontan, karena kaget dan takut.
Karuan saja kang Iwan membeliakkan matanya dengan marah,
"Beli dari mana ini? Dari si tukang kredit itu?!"
Aku cuma bisa mengangguk pasrah, sambil gemetar ketakutan.
"Berapa duit ini?"
"10 ribu seminggu Kang, selama 30 minggu.."
"Apa?! Beginian doang 300 rebu?! Aduh bloon banget kamu jadi perempuan itu, Winda!"
Batinku nyeri mendengar penghinaan itu, kang Iwan menatapku dengan kening mengerut. Ditunjuk-tunjuknya dus panciku dengan ekspresi kesal,
"Coba kalo kamu enggak sok tau beli ginian, bisa beli katel bagus selemari! Apaan kayak beginian 300 rebu! Sok kaya kamu hah?!"
BRAK!
Dia membantingkan dus panciku ke lantai dapur, dan aku cuma bisa melongo dengan batin terluka.
"Duit dari mana kamu bisa beli begini? Nyolong di dompet ya?! Ahh pantesan duitku suka kurang terus. Ternyata kamu sekarang nyolong?!"
"Enggak, Kanh! Enggak! ini dari ngumpulin sisa belanja.. Ini.."
"Apa sih ribut-ribut? Nyampe kedengeran ke luar segala."
Lututku langsung lunglai saat mendengar suara emih, mertua perempuanku itu tiba-tiba masuk ke dalam rumah. Tak tahu kapan datangnya, dia juga tak memberi tahu bahwa dia akan datang.
"Mih, udah dateng?"
Kang Iwan mencium tangan ibunya, aku yang masih gemetar juga menyalaminya. Perempuan itu menatapku angkuh,
"Kenapa lagi si Winda?"
Dia langsung menghakimi aku, bukannya bertanya senetral mungkin.
"Tuh, dia beli panci enggak ngomong dulu. Kurang ajar emang dia. Pantesan aja tiap kukasih uang belanja dia bilang kurang, kurang, kurang melulu!" sahut suamiku, mengomel.
Kugelengkan kepala, tapi tak bisa membantah. Uang belanja yang hanya 35 ribu sehari itu memang kurang, apalagi jika kang Iwan mintanya lauk yang enak-enak atau pas gas dan bumbu dapur lainnya habis.
Tapi dengan memutar otak, aku bisa mengirit biaya bumbu dapur dan menyisihkan untuk beli panci.
"Ckk ckk. Emih nih, seumur-umur belum pernah ngomong begitu sama apih. Enggak pernah Emih mah bikin suami marah kayak kamu Winda!" cetusnya, dengan ekspresi menghina.
"Enggak pernah diem-diem beli barang tanpa sepengetahuan apih, karena Emih menghargai apih sebagai suami. Lah kamu?! Ckk ckk, gak habis pikir Emih!" sambungnya.
Padahal aku tahu, apih tak akan tega memberikan emih uang belanja cuma 35 ribu karena dia pria yang bertanggung jawab. Gajinya juga besar.
Jadi sudah pasti kebutuhan dapur tercukupi dan emih tak perlu menyicil barang dapur idaman secara diam-diam begini.
Tinggal bilang ke apih, dan apih pasti belikan.
Sementara aku?
Kulirik suamiku, lelaki itu nampak marah sekali hanya karena masalah sepele ini. Dia berkacak pinggang, lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling dapur dan pandangannya tertuju ke piring di pojok ruangan.
Matanya melotot lagi,
"Kamu makan rendangnya, Winda?!"
Aduh, celaka dua kali! Aku lupa belum menghabiskan makanku!
"Ini.. Kamu kenapa makan rendang hah?! Kamu kan lagi kuhukum cuma boleh makan kueh yang tadi!"
Kang Iwan mengangkat piring, menunjukkannya ke mukaku lalu membantingkannya ke bak cuci piring. Padahal masih ada setengahnya lagi rendang yang belum kuhabiskan.
"Tapi Kang.. Aku kan.."
"Haduh Winda, Winda. Jadi istri kok enggak nurut banget sama suami? Enggak bisa kamu tuh nyenengin hati aku sekali aja?!"
Emih menatapku dengan sinis, lalu mengusap-usap punggung anaknya.
"Sabar ya Wan, kan udah Emih bilangin kalo istri kurang pinter kayak si Winda ini pasti bakalan bikin capek. Makan ati tiap hari.. Ckk andai aja dulu apih enggak maksa-maksa supaya si Winda dijodohin sama kamu.."
Kulirik mertuaku, dia pasti mau cerita masa lalu. Ketika apih begitu antusias menjodohkan aku dengan anaknya.
Saat itu aku sebenarnya sedang berpacaran dengan kang Nata, tetapi bapak memaksaku menikahi anak apih karena mereka bersahabat dan bapak berhutang budi pada apih.
Akhirnya begini, kang Iwan selalu memandangku sebelah mata, aku pun tak bahagia.
".. Pasti kamu udah bahagia menikah sama Vera. Dia itu sarjana, kerja kantoran, cantik, pinter ngurus badan, pinter dandan. Enggak kayak si Winda, taunya nyusahin suami aja!"
Kutundukkan kepalaku dalam-dalam, hatiku rasanya seperti dicabik-cabik tak karuan. Perkara panci, merembet ke mana-mana.
Kang Iwan menghadapkan tubuhnya padaku, lalu menunjuk mukaku dengan bengis,
"Winda, aku capek banget sama kelakuanmu yang kurang ajar ini. Saat ini juga aku talak kamu!"
DEG!
Jantungku terasa berhenti, dan aku tak sanggup berkata-kata lagi. Aku ditalak? Di depan mertuaku yang tersenyum girang dan melirikku penuh cemooh.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!