A Little Dandelion
Holla, dengan Donat Ubi di sini! Terimakasih udah mampir, jangan lupa kasih like, comment dan subscribe. Follow ya juga ehe(づ ̄ ³ ̄)づ
🐾🐾🐾
“Ini, semoga kita bisa berteman!” ucap gadis kecil berkepang dua sembari memberikan bingkisan cokelat berpita biru kepada bocah lelaki yang malu-malu menerimanya.
“Terima kasih, a-aku ingin menjadi temanmu!"
•••••••
Bel tanda pelajaran dimulai berbunyi nyaring, menghamburkan para pelajar yang tergesa-gesa masuk kelas. Tetapi tidak dengan gadis yang masih tenang memakan semangkuk bakso dan berbincang santai bersama ibu-ibu kantin.
Gadis itu tidak menghiraukan jika kelas sudah dimulai. Toh, dia masih lapar pikirnya.
“Feina!” Suara lantang terdengar dari jauh, tampak seorang pria berbadan besar dan tegap berjalan keluar dari koridor sekolah.
Langkahnya mantap, menapaki lantai putih sekolah menuju kantin. Tempat di mana gadis dengan ikat kuda itu sedang menikmati baksonya.
“Mampus! Jemputan udah pada nyamperin, buk saya utang dulu, ya?" Tanpa pikir panjang Feina beranjak dari tempat dia duduk. Merelakan baksonya yang tinggal beberapa suapan demi menghindari sang jemputan maut.
Pak Bambang, nama guru yang sering menegur Feina untuk segera masuk kelas. Diiringi suara khasnya. Beliau seorang guru yang tegas, dikenal karena kegarangannya. Tak elak hampir seluruh murid takut pada pak Bambang.
“Eh! yang kemarin itu belum dibayar loh!” Teriak salah satu ibu kantin pada Feina. Tetapi Feina tidak peduli, dia malah berjalan cepat keluar kantin. Mencari pintu keluar yang berbeda agar Pak Bambang sulit mengejarnya.
Napasnya terengah, rambutnya acak-acakan tapi gadis itu tersenyum bangga karena mampu menghindari kejaran penjemput maut. Namun, keberuntungan tidak lama berpihak padanya.
Pak Bambang yang ia pikir masih di belakang, kini sudah ada di depan mata. Sedang duduk di bangku gazebo sambil memejamkan matanya.
“Feina, sudah kenyang nak?” tanya pak Bambang masih terpejam, yang ditanya hanya tersenyum kikuk sembari merapikan rambutnya.
“Eh, Pak Bambang. Pagi Pak, tadi saya nggak sarapan pak, jadi sarapan di sekolah sekalian mau bayar utang rencananya. Udah numpuk Pak," katanya penuh pembelaan.
“Terus begitu saja nduk, sarapan di sekolah biar jadi rezeki ibu kantin.” Lelaki paruh baya itu berdiri dari tempat ia duduk. Berjalan perlahan mendekati gadis berkuncir kuda yang tidak jauh darinya.
“Oh, siap Pak! Saya bisa dapet pahala loh Pak!” katanya tak berdosa.
Guru yang sedari tadi sibuk mengejarnya, kini berdiri tepat di hadapan. Dia menghela napas panjang sebelum menjewer gadis bernama Feina di depannya.
“Tapi bukan begitu konsepnya Feina! Kamu tuh, sudah berapa kali bapak bilang. Jangan telat masuk kelas, malah bandel begini!” ia menjewer kuat telinga Feina, tidak peduli jika Feina kesakitan, “sekarang ikut bapak ke ruang bk !” lanjut pak Bambang, melepaskan jewerannya.
Feina Laurent Anggara, gadis tomboi 18 tahun yang baru menduduki bangku kelas tiga SMA. Dia pribadi yang sering membuat onar, meski begitu dia sosok gadis yang rajin dan lumayan cantik dengan gaya rambut khas miliknya. Rambut berhias pita biru.
Feina, meskipun dia terkesan seorang gadis yang bandel, tetapi dia termasuk siswi yang lumayan pintar. Apalagi ia memiliki beberapa kemampuan dalam bidang tertentu.
Guru-guru menyebut Feina gadis bak bunga Raflesia. Memang itu adalah bunga bangkai yang bahkan kupu-kupu enggan mendekat. Tetapi apa mau dikata, bunga itu adalah bunga yang patut dijaga.
Meski Feina adalah bocah yang sering membuat resah para guru, tetapi berkat sisi kepintarannya dia dianggap sebagai permata sekolah.
Pak Bambang berjalan melewati koridor diikuti oleh gadis yang tak sabar ingin cepat masuk kelas. Menuju ruang bk yang bertempat di tengah halaman sekolah, tepatnya di samping ruang tamu sekolah.
Feina berjalan malas mengikuti guru di depannya, sesekali memelankan langkah saat bertemu guru-guru lain.
Netranya tertuju pada punggung laki-laki yang duduk di dalam sofa ruang tamu. Tiga orang lelaki berbincang santai tanpa menghilangkan rasa sopan sedikit pun, salah satunya adalah kepala sekolah.
Feina sempat tersenyum manis pada pak Ilham, guru fisika sekaligus kepala sekolah.
“Setelah ini langsung masuk kelas! Jangan diulangi lagi, selesai jam pelajaran jangan lupa bersihkan kamar mandi! Mengerti?!”
Beribu omelan didapatkan gadis dengan manik bulat itu, sebelum ia kembali ke kelas lalu membiarkan waktu hingga tiba saatnya dia membersihkan kamar mandi cewek. Menyusahkan batinnya, tetapi mau bagaimana lagi dia sendiri yang salah.
Menit demi menit terlewati, jam yang bertengger di dinding kelas tak berhenti berdetak. Selang beberapa menit, pintu kelas berbunyi.
Suara ketukan dari luar berhasil mengalihkan perhatian para murid yang sedari tadi sibuk menilik rumus matematika yang tertulis di papan.
“Silakan masuk!” ujar guru dalam kelas sedikit berteriak.
Pintu terbuka, suara decitan mengiringinya. Terlihat sosok tak asing di balik pintu, seorang pria berbadan tegap. Berpakaian amat rapi memasuki ruangan menghampiri guru matematika yang tengah duduk santai memperhatikan para muridnya.
Sosok tak asing itu, tidak lain adalah pak Ilham, kepala sekolah yang dikenal sangat ramah kepada siapa saja. Dia berbisik seraya mencondongkan tubuhnya agak mendekat pada guru yang duduk di hadapan.
Kedua pria itu lalu menganggukkan kepala, membuat seisi ruang kelas penasaran. Tak perlu waktu lama pak Ilham kembali memasuki kelas, diikuti lelaki yang sangat asing bagi para pelajar.
Dia lelaki yang rupawan, tubuh tinggi, tatapan sayu namun teduh dipandang. Membuat siapa pun terpesona melihatnya.
“Assalamualaikum anak-anak, kalian akan memiliki teman baru. Murid pindahan dari kota, bapak harap kalian bisa berteman dengan baik," jelas pak Ilham, menjawab rasa penasaran para murid yang sempat bersinggah.
Setiap mata tertuju kepada lelaki asing di depan mereka, para gadis tak segan mengatakan rasa kagum secara blak-blakan sedangkan para siswa hanya memandangnya sekejap. Lain halnya dengan gadis yang duduk di pojok belakang, dia tidak berkutik dari buku di depannya.
Tangannya lihai menciptakan garis-garis di atas kertas, sesekali memandang ke luar jendela berbingkai kayu di kelasnya.
Gambar indah sebuah bunga teratai menghias kertas putih yang semula kosong, pandangan Feina tak beralih pada imaji yang ia ciptakan.
“Namaku Kairav Byakta, kalian bisa memanggilku Kairav." Lelaki itu memperkenalkan diri secara singkat. Kemudian segera melangkah menuju tempat duduk setelah dipersilakan oleh pria berbaju batik yang merupakan guru matematika itu.
Kursi kosong di barisan tengah menjadi tempat duduknya. Ia terdiam sejenak, kemudian mengambil alat tulis dari dalam tasnya.
Kairav Byakta, nama yang unik bukan? Nama yang diberikan oleh kakeknya, dengan harapan dia akan menjadi seseorang yang mampu menjadi dirinya sendiri, selalu bersinar dan tak pantang putus asa. Arti namanya juga sangat unik, teratai putih yang nyata.
Jam pelajaran matematika telah berakhir, tinggal dua jam pelajaran sebelum pulang, dan sebelum Feina Laurent menemui nerakanya.
Wajahnya masam, membayangkan bagaimana susahnya membersihkan toilet sendirian dan di jam pulang sekolah pula. Bukan berarti dirinya penakut karena di jam-jam itu akan sangat sepi, hanya saja dia tidak terbiasa berlama-lama di sekolah saat pembelajaran sudah selesai.
Langkahnya gontai, kedua tangannya penuh memegang alat pel dan kaleng. Gadis itu berjalan menuju toilet dengan langkah malas, rambutnya menari bergoyang ke kanan dan ke kiri saat ia berjalan dengan langkah menekan.
Batinnya sangat kesal, bagaimana bisa dia membersihkan toilet seorang diri? Sungguh pak Bambang memang keterlaluan, ia tak berhenti menggerutu.
Sekolah kini sepi, hanya ada satu—dua pelajar yang masih berlalu-lalang di halaman sekolah. Sedangkan gadis berambut hitam legam itu masih saja berdiri diam di depan pintu masuk kamar mandi, entah apa yang dia lakukan.
Pikirnya malas untuk membersihkan. Tapi jika dia lari, bukankah dia hanya menghindar dari tanggung jawab dan kesalahannya?
Akhirnya Feina membulatkan tekad, memasuki toilet meski berat hati. Mulai dari kaca hingga lantai kamar mandi sudah ia bersihkan.
Kini bau tak sedap yang menjadi ciri khas kamar mandi telah luluh pada aroma wangi pewangi lantai. Ia menghela napas sembari membelai ke belakang rambutnya yang berjatuhan, lepas dari ikatan.
Gadis delapan belas tahun itu berjalan keluar kamar mandi, wajah lelah terlukis jelas bahkan senyum sombongnya memilih diam dan tidak menampakkan lengkungannya. Setelah semua hukuman dia selesaikan. Feina memutuskan pulang melangkah tertatih.
Bus berjalan cepat sore ini, melewati hiruk pikuk kota yang menampakkan sejuta wajah lelah penghuninya. Terlihat sesosok lelaki yang masih berpakaian sekolah duduk di pinggir jendela bus.
Wajahnya masam, tubuhnya lesu setelah seharian harus memutar otak untuk pelajaran sekolah. Untungnya dia pribadi yang cukup cerdas.
Kairav Byakta, teratai putih dan segala keunikannya. Dia baru pindah sekolah di kota, setelah sang kakek wafat. Menempati kediaman lama dari keluarga sang bunda.
Lelaki pendiam yang cukup pedas perkataannya, sampai-sampai ia mendapat julukan si mulut iblis.
Hari ini akan menjadi hari paling melelahkan bagi Kairav, karena biasanya dia akan langsung berbaring sepulang sekolah.
Namun, kini dia akan melakukan latihan. Latihan untuk menciptakan alunan melodi yang akan menyihir para pendengarnya.
Bermain piano, satu hal yang tidak akan hilang dari Kairav. Cowok yang memang sudah dibesarkan oleh irama yang dikeluarkan melalui piano. Layaknya sudah mendarah daging dalam jiwa.
“Assalamualaikum ....” Suara Kairav mereda.
Di rumah tidak ada siapa pun kecuali Moki, nama kucing kesayangannya. Dia pikir ibu dan ayah sedang di luar rumah, menengok tetangga atau mungkin pergi berbelanja.
Lelaki itu berjalan menaiki tangga menuju lantai dua, ia segera merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang empuk itu.
Pandangannya fokus ke langit-langit kamar, melihat warna biru cerah dengan lukisan awan. Ia berpikir sejenak tentang kenangan yang pernah ia ukir di ruangan ini.
Lelaki itu pergi ke ruang kecil di samping kamarnya, membuka pintu yang sedikit berdecit, lalu duduk di kursi kayu. Jemarinya yang lentik, lihai memainkan tuts-tuts piano menciptakan alunan suara yang menentramkan.
Di tengah fokusnya pada piano, sayup-sayup terdengar suara bel berbunyi. Namun tidak Kairav hiraukan, lelaki bertubuh jangkung itu masih sibuk pada permainan pianonya.
Bukannya Kairav tidak mendengar, hanya saja Kairav selalu tenggelam pada permainan pianonya sendiri.
“Kairav! Pintu rumah dikunci, bunda tidak bisa masuk, nak.” Suara lembut terdengar merdu, sesosok wanita anggun dengan balutan dress dan kerudung berhias bunga tampak begitu indah.
Ranti, perempuan yang telah mengandung Kairav selama sembilan bulan lamanya.
Selang beberapa menit, Kairav turun membuka pintu. Terlihat seorang wanita dan pria dewasa yang berdiri di samping Ranti membawa beberapa bingkisan. Sejenak netra Kairav mengamati bingkisan, menebak apa isinya.
“Ayah belikan donat, di toko biasa milik mbak Nurul. Donat Bu Dian favorit mu dulu. Juga sekalian ketemu teman lama," ungkapnya sambil menyodorkan bingkisan pada Kairav.
Kairav yang diberi hanya tersenyum simpul meski dalam hatinya terasa begitu bahagia, mata berbinar itu buktinya.
Kairav Byakta, pelajar SMA kelas tiga itu sangat menyukai donat, usia delapan belas tahun tidak bisa menghalanginya bertingkah kekanakan jika sudah dihadapkan donat.
Bukan lagi hal asing bagi Ranti dan Damar melihat tingkah kekanakan anaknya itu.
Malam semakin larut, namun Kairav masih betah di ruang musik. Tangannya lihai membolak-balikkan buku mozart yang akan ia pentaskan pada malam purnama nanti.
Malam purnama di November yang dingin akan menjadi permainan piano pertama kalinya bagi Kairav tanpa adanya sang kakek.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Everlynnie❤️
artinya GG cuy
2024-04-19
0
Everlynnie❤️
untung ibu kantin nya sabar
2024-04-19
0
Neldes Novber
Semangat thor.. saling suport ya thor..💪
2023-10-01
1