Feina menelan ludah, ia menatap kaget lelaki di depannya. Sejak kapan ia ada di sini? Bukan! Bukan itu yang membuatnya penasaran. Tetapi, mengapa cowok itu mengetahui tempat ini?
Mereka berdua saling diam. Satunya menatap ke bawah, satunya lagi mendongak seraya bermuka datar. Kairav tidak tahu jika gudang ini adalah tempat persembunyian Feina.
"Kenapa kau ke sini?" tubuh Kairav beranjak berdiri. Memandangi Feina yang berbadan pendek di depannya.
Feina berpaling muka, "malah nanya! Seharusnya itu jadi pertanyaan ku! Kenapa kau malah ada di sini? Dan sejak kapan kau tahu tentang gudang ini?" kilau mentari menerpa wajahnya ketika ia dekatkan posisi ke tempat Kairav berdiri.
"Kemarin, waktu kita bicara di jalan menuju gazebo belakang," suara Kairav terdengar tanpa beban.
"Terus yang kemarin marah-marah gak jelas itu buat apa, coba?" Feina mendengus kesal. Dalam jarak yang terpisah sekitar 1 meter itu, ia mengangkat dagu.
Rasanya, ingin sekali Feina menampar lelaki itu. Tetapi, ia teringat dengan perkataan Annisa tentangnya. Tentang betapa banyak orang yang mengagumi Kairav diam-diam.
Dengan berat hati, Feina mengurungkan niat. Tidak mau tahu soal Kairav yang pandai bicara. Apalagi, tampang rupawan nya membuat gadis bermanik bulat itu menyayangkan aksinya.
Mulut Feina kembali mengoceh, "hah ... jadi, kemarin itu kau buat kesempatan?! Mengamati sekeliling padahal dalam keadaan bad mood." Tangan Feina mengibas ke belakang rambutnya.
"Sorry lagi, deh. Maaf untuk kesekian kalinya, emang aku labil. Nggak bisa jaga suasana, bad mood mulu dari kemarin," sergah Kairav dengan mata berbinar-binar. Lalu ia melanjutkan, nada suaranya berubah lembut, "maaf, ya Fefe? Anggap aja semua nggak pernah terjadi, bisa kan kau jadi temanku lagi?"
Tidak sadar Feina mengangguk-angguk saat mendengar ucapan Kairav yang menatapnya sendu. Gadis mana yang tak akan luluh dengan suara berat namun lembut itu. Suara dari cowok tampan, lagi!
Feina tersenyum, "oke, kita jalani hari-hari seperti biasa. Layaknya teman yang tidak pernah terjadi apa-apa."
Wah! Tahu dari mana cewek itu mengenai kalimat yang kesannya romantis ini? Feina malah terlihat seperti seseorang yang sedang ditolak.
Senyum menawan pun terlukis di wajah Kairav. Dia lega karena sudah berhasil menyudahi acuhnya terhadap Feina. Walaupun masih ada satu hal yang ingin ia pastikan.
Pandangannya mengedar ke luar jendela gudang yang terletak di atas. Jendela berukuran tidak terlalu besar, tetapi mampu menyalurkan cahaya sang Surya.
Setelah itu, Kairav menarik napas panjang kemudian bergumam, "bisakah kau memberi tahuku? Hubungan apa yang pernah kau jalin dengan Dafa?" tekan Kairav langsung ke inti pertanyaan.
Tahu, kan? Bagaimana rasanya dihujani ribuan anak panah dan puluhan mata pedang yang menembus langsung ke dalam dada.
Seperti itulah perasaan Feina saat ini, dia kaget bukan main. Jadi, selama ini Kairav mengacuhkannya hanya karena masalah Dafa. Mungkinkah langkah bedebah itu sudah semakin jauh?
Kantong plastik berisi makanan sontak ia jatuhkan ke lantai. Feina kehilangan keseimbangan, kaki ramping gadis itu bergetar hingga membuatnya mundur ke belakang.
"Kenapa kau selalu bertanya soal Dafa?!" pekik Feina, memejamkan mata dan melempar pandangan ke lantai yang ia pijak.
"Fefe, kumohon. Tidak bisakah kau melepaskan semuanya? Jangan terlalu lama menyimpan keluhmu, Fe!" bukan lagi kaget yang menyergap Kairav saat ini, melainkan gejolak penasaran atas sikap Feina yang semakin menjadi-jadi.
Tangan Feina mengarah ke mukanya, menutup kedua mata yang sudah tergenang cairan bening itu.
"Kal ...," lirihnya, "kau tahu? Bagaimana perasaanku selama ini. Cowok brengsek itu sudah merenggut orang yang ku sayangi, dia juga pernah melakukan ...."
Feina tidak bisa meneruskan bicaranya, suara lemah gadis ini tersendat. Ia coba sekuat mungkin menenangkan pikiran.
Sebelum mulai berbicara lagi Feina menatap sedih Kairav, "dia pernah membuat temanku menderita, Kal!" isak tangis Feina mulai terdengar, "mana mungkin aku bisa keluar dari semua ini. Sementara aku juga berhutang nyawa kepadanya."
Kairav mempertahankan rautnya yang tenang, sementara hati Kairav sakit mendengar ucapan sang gadis. Kepalan tangan cowok itu mengerat.
Derap langkah kecil Kairav mempersempit jarak. Sehingga membuat tubuhnya hampir menyentuh tubuh mungil di hadapan.
Tangan ia ulurkan, menarik lembut tubuh Feina dalam dekapannya. Tanpa ia sadar pun, Kairav mencium pangkal rambut Feina.
"Udah, berhenti nangis! Aku di sini, Fe. Atau kau mau tangisanmu aku bocorin ke anak kelas? Mumpung aku bawa ponsel, jadi bisa ngerekam suaramu," kekeh Kairav mencairkan suasana.
"Anj, bodoh amat! Ada gila-gilanya, ya nih anak!" ia mendorong kuat tubuh Kairav dari memeluknya. Feina mengusap bekas air matanya. Segera, Feina ambil bungkusan makanan yang tergeletak di lantai.
Beberapa saat kemudian, suara canda tawa terdengar memenuhi gudang. Sambil mengemil beberapa Snack yang Feina bagi bersama Kairav.
Selalu seperti itu, jika memang sudah berteman baik. Sebesar apa pun pertengkaran, pastilah menemui titik terang.
Di lain sisi, taman depan sanding gerbang sekolah. Dua pelajar uring-uringan. Sama-sama tidak mau kalah, saling meninggikan ego masing-masing.
"Punya masalah apa, sih aku ke kamu? Ngotot banget jadi cowok!" Risa melotot ganas, dia mendekapkan tangan.
Lelaki blasteran Belanda itu melipat bibir, sorot tatapannya jatuh pada kecantikan Risa yang semakin jelas, bahkan saat Risa marah sekalipun.
"Risa, aku kan suka kamu. Aku juga mau mastiin, selama ini kamu dapet sesuatu dari orang mis ... terius, nggak?" Firza gusar, gerak-geriknya menjadi kikuk.
Niatnya akan menanyakan perihal puluhan surat yang sudah ia tulis. Tetapi, jika Firza langsung mengaku dia akan sangat malu. Mau dibawa ke mana mukanya ini?
"Apaan, hah?! Gak jelas! Buang-buang waktu aja. Udahan lah, mau balik. Males ngeladenin cowok menye-menye kayak kamu!" sungutnya, menunjuk ke dahi Firza.
Firza mengacak asal rambutnya, senyum pahit tergambar di bibirnya. Dia mengembuskan napas sabar, melihat kepergian Risa yang makin menjauh.
Percuma Firza menyeret cewek itu sampai sejauh ini. Hanya malu yang ia dapat, karena dilihat anak-anak lain yang memang berada tak jauh dari tempatnya berdiri.
Bel masuk pun berbunyi, menghasilkan kekecewaan hampir semua murid karena harus memulai memutar otaknya. Entah mengapa waktu istirahat mereka serasa sangat cepat.
Gurauan turut menemani Feina dan Kairav menuju kelas. Tak elak sesekali Feina mencubit bahkan melancarkan bogem ke lengan atas Kairav.
Baru, setelah mereka menginjakkan kaki di dalam kelas. Beberapa pasang mata menatap penuh arti pada keduanya.
Teman sekelas Feina pun Kairav menatap keheranan, terutama beberapa teman dekatnya. Bagaimana, tidak? Dua insan yang semula saling menjauh, sekarang sudah berbagi tawa lagi.
Firza menghampiri dua anak itu, matanya menatap satu per satu. "Udah baikkan? Cepet banget! Percuma kalian marahan! Nggak guna!" selorohnya tiba-tiba.
Bukan main, benar kata Firza. Dua remaja itu memang tak terpisahkan dari oroknya. Feina dan Kairav layaknya sebuah perangko.
Walaupun batin Firza terus menggerutu, kenapa hubungannya dengan Risa tidak berjalan mulus seperti Feina?
Dengan siasat apa lagi yang harus Firza lakukan untuk mencairkan hati beku Risa?
Lamun Firza terpecah saat mendapati guru pembimbing kesayangan anak Bahasa memasuki kelas. Seperti biasa, penampilan Vian tidak kalah coolnya dengan trend remaja laki-laki saat ini.
Vian menepuk satu kali tangannya, merebut perhatian seisi kelas. "Oke, dengarkan bapak dulu! Nilai ujian kalian akan segera keluar. Apapun yang terjadi jangan berkecil hati, waktu kalian masih banyak untuk memperbaiki."
"Tapi ingat! Kalian juga punya sedikit waktu di kelas 12 ini, pikirkan mau dibawa ke mana arah kalian. Jika ada sesuatu yang mengganjal, segera komunikasikan dengan orang tua bahkan dengan bapak sendiri, ya?"
Meskipun terbilang muda dan masih dua tahun pria itu mengajar di sekolah ini, Vian sudah menjadi guru favorit di kalangan jurusan Bahasa.
Gaya mengajarnya yang santai juga tidak terbelit-belit. Bonusnya, para pelajar cewek bisa mengagumi ketampanan bak idol dari dirinya.
Annisa mengangkat tangan, "Pak, kelas kita naik rangking tidak? Khususnya di mapel yang peminatan. Kan, itu sama kayak kelas IPA dan IPS." Gadis berambut lurus ini penasaran.
"Belum keluar juga, kayaknya keluar akhir setelah rangking individu," jelas Vian sambil fokus melihat Annisa. "Kalo begitu, keluarkan buku kalian. Kita akan memulai pelajaran," sambungnya kemudian.
Jam pelajaran telah usai, seluruh pelajar sempoyongan keluar kelas. Lelah sudah menjadi makanan utama yang mau tidak mau mereka habiskan karena materi pembelajaran semakin rumit.
Terlihat dua orang yang sudah berbaikan sedang berjalan beriringan. Rambut Feina ikut bergerak menyesuaikan langkah kakinya.
"Kau bisa pulang dulu, Fe. Aku mau ke ruang musik sebentar, mau pinjem buku partitur sekalian main piano bentar,"
"Okedeh, aku duluan kalo gitu," ia mengangguk mengerti. Lalu berjalan mendahului Kairav yang mengubah arah ke ruang musik.
Feina terus memainkan ponsel di genggaman. Scroll sana-sini, memilih lagu apa yang akan ia putar. Setelah ketemu, Feina memasang earphone nya.
Kaki terus mengayuh pedal sepeda, menyibak kesibukkan di kota kecil ini. Bibirnya ikut mengucapkan lirik lagu, sambil penuh senyum karena hari ini hilang sudah kemarahannya.
Namun, tiba-tiba lagu Feina berhenti berganti dengan dering ponsel tanda seseorang menelpon. Dia menghentikan kayuhannya, melihat siapa gerangan yang menelponnya.
"Bu Ranti? Kenapa dia menelpon?" Feina mengernyitkan dahi, tidak biasanya ibunda Kairav menelpon. Sangat jarang malah.
Jempol Feina menakan layar, pandangan tetap mengarah ke layar ponsel. Telinga Feina tajamkan untuk mendengar maksud dan tujuan Ranti menelponnya.
Bagaikan dihantam ratusan mobil, hati Feina sangat sakit. Jantungnya berdegup tak karuan, napasnya memburu. Dia lemas seketika.
Mendengar kabar tidak terduga dari Ranti yang merupakan teman dekat sang ibu membuatnya buta arah!
Kata Ranti, Dianti tiba-tiba jatuh pingsan di dapur. Untungnya Ranti sedang berada di sisi ibu Feina saat itu. Sedang belajar membuat kue.
Alhasil, Dianti segera dilarikan ke rumah sakit. Baru Feina diberi kabar mengenai hal ini.
Sekuat tenaga Feina memacu pedalnya, perasaan Feina jangan dipertanyakan lagi. Baginya ini adalah kabar buruk yang bahkan tidak ingin dia terka sebelumnya.
Jangankan menangis, matanya sudah tidak mampu berkaca-kaca. Saking terkejutnya Feina juga takut akan terjadi hal tidak mengenakkan.
Sampai di rumah sakit, Feina berlari kencang menuju semua bilik kamar. Tidak peduli dengan orang-orang yang memandangnya bingung.
Tidak segera ia temui letak kamar sang ibu berbaring, Feina tak sempat bertanya soal ini pada Ranti tadi. Syukurlah ia berpapasan dengan dokter yang biasa menangani Dianti.
"Dokter, ibu saya di mana?" tanyanya lirih.
"Ibumu di kamar paling ujung. Jangan terlalu khawatir, saat ini ibumu hanya kecapekan. Tidak ada sangkutannya dengan penyakit ibumu."
Feina disambut oleh orang tua Kairav saat sampai di depan kamar pasien. Ranti segera berdiri, menenangkan Feina yang gelagapan.
Dari balik kaca kecil pintu, Feina mengintip tubuh ibunya yang terbaring tak berdaya di atas ranjang. Tangan Feina ragu mau menarik ganggang pintu.
Dia menoleh ke Ranti, "Tante Ranti, makasih udah bantuin ibu." Feina menunduk dalam.
"Iya, sayang. Kamu tidak usah khawatir, ibumu akan segera membaik. Duduklah dulu, Feina!" wanita berkerudung itu merangkul penuh kasih tubuh Feina.
Masih dalam kesedihannya, Feina tersenyum seraya membalas ajakan Ranti dengan gelengan kepala. Dia tidak ingin berada di sini. Ia butuh tempat sendiri. Takut jika sewaktu-waktu air matanya mengalir deras.
Lorong sepi rumah sakit ditelusuri Feina dengan tertatih-tatih. Kosong tatapannya mengarah ke depan. Hingga suara seseorang ia dengar.
"Fefe!"
Feina menoleh perlahan, melihat Kairav yang entah mengapa sudah ada di rumah sakit. Sedang terengah-engah mengatur napas.
Seketika itu juga, tangis Feina yang sudah lama ia tahan mendadak bercucuran. Tubuh lesu Feina jatuh bersimpuh ke lantai.
Seolah hanya Kairav yang bisa memaklumi dirinya yang rapuh saat ini.
Secara sigap, Kairav berlari menghampiri Feina. Dia jongkok di depan gadis itu. Memeluk erat Feina yang tersedu-sedu. Mengeluarkan seluruh rasa sakitnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
raazhr_
yg sabar ya fe
2023-08-07
1
raazhr_
semangat Firza, yok bisa yok💪
2023-08-07
1
raazhr_
wkwk gila dikit ga ngaruh ya ,kai🤣
2023-08-07
1