Wajah-wajah lelah terlukis pada beberapa orang yang berlalu-lalang. Matahari semakin menutup diri dari riuhnya kota dan asingnya pedesaan.
Di antara wajah masam orang-orang. Terlihat dua insan sebaya yang berjalan pelan. Entah menikmati sore atau malah karena lelah.
Langkah Feina awalnya lamban. Seharian penuh ia habiskan untuk bersih-bersih. Tetapi semakin dia menyadari, cewek itu mempercepat langkah. Cowok di belakang tubuh mungil Feina bergerak lebih cepat, mengikuti arah dan langkah kaki Feina yang tergesa-gesa.
Feina geram, dia berhenti melangkah dan menoleh ke belakang.
“Tidak bisakah kau berhenti mengikuti ku?” tanyanya judes.
Namun Kairav memiringkan kepala, dia bingung pada Feina. Mungkin 'kah Feina terlalu lelah hingga berhalusinasi?
“Ha ... Rumah kita berada di satu jalur Feina. Kau terlalu lapar? Padahal sudah menghabiskan sekantong makanan milik Firza," jawabnya terus berjalan melewati Feina yang masih terdiam.
Gadis itu lupa bahwa Kairav, teman kecilnya berada tak jauh dari rumahnya. Dia berdecak, memaki pada kebodohannya sendiri. Segera langkah kecil Feina menyusul Kairav yang sudah berada di depan. Mencoba membuat langkah mereka sama. Beriringan.
“Hari Minggu aku ke rumahmu.” Kairav blak-blakan.
Sambil terus berjalan, mereka berbincang ringan. Sangat ringan malah, sampai satu kepalan tangan Feina mendarat di lengan Kairav.
“Aku nggak bisa," kata si gadis.
“Kenapa? Aku nggak menemuimu. Aku hanya ingin bertemu Ibu.”
“Hari Minggu itu repot-repot nya ibuku. Dan sejak kapan ibuku jadi ibumu, hah?!”
“Yauda, aku temani Bu Dianti nanti. Tenang aja.”
Feina mengangkat dagu. Bola matanya berputar, malas menanggapi lelaki keras kepala. Lalu Feina berhenti di depan rumah lantai satu. Rumah sederhana yang dipenuhi bunga-bunga.
Feina bergumam pelan, mengisyaratkan bahwa dia akan masuk rumah mendahului Kairav. Sedang Kairav tersenyum simpul.
Namun, entah mengapa, gadis bermata bulat berbinar itu tidak segera memasuki rumah. Maniknya malah mengamati punggung Kairav yang lebar.
Kairav membalikkan badan, wajahnya kini ter-sinar oleh warna oranye senja. Bibir tipis menarik senyum. Tangan ia angkat sedemikian rupa.
Dia melambai pelan ke arah Feina berdiri. Feina kaget bukan main, gadis itu segera memalingkan pandangan. Masuk ke rumah dengan wajah merah merona tersipu malu.
Pagi harinya, seperti biasa Feina berangkat sekolah. Naik bus karena malas berjalan setelah kemarin dihabiskan dengan hukuman sesiangan.
Di dalam bus, pandangan Feina mengedar ke luar jendela. Menangkap sosok jangkung, dengan rambut yang tertata rapi. Badannya tegap melangkah. Kairav berjalan begitu elegan. Layaknya seorang bangsawan.
Setibanya ia di sekolah, sudah disambut dengan suara memekakkan telinga milik teman dungunya.
“Feinaa ...! Nyontek pr, aku lupa nggak ngerjain. Please!"
Dia berteriak di sepanjang lorong kelas. Menghampiri Feina yang masih sangat jauh dari kelas Bahasa.
Cowok itu berperawakan tinggi, tetapi tak setinggi Kairav. Warna kulitnya lebih putih dari kebanyakan laki-laki. Iris matanya berwarna kebiruan.
Dia Firza, keturunan Belanda. Tetapi otaknya benar-benar ciut. Yang ada dalam pikiran Firza hanya basket, dan angka-angka dalam mata uang.
Feina melengos, bergerak cepat ke arah kelas. Tidak memedulikan Firza yang semakin merengek. Karena Feina ingat, bahwa dirinya juga belum mengerjakan tugas satu soal pun. Dalam hati dia mengutuk pada otak kecilnya yang semakin pikun.
Dia mengernyit, gadis itu frustrasi. Dari semua mata pelajaran dia paling benci yang namanya ekonomi. Feina menggebrak meja cukup keras, sampai beberapa temannya yang datang lebih awal tersentak. Ia menarik napas sebelum beranjak pergi. Bersandar di bingkai pintu. Menunggu seseorang.
Ramainya lalu–lalang para pelajar memenuhi kantin. Berdesakkan hanya untuk sepiring makanan di pagi hari.
Kairav merogoh sakunya, mengeluarkan beberapa lembar mata uang untuk membayar satu buah roti berukuran kecil dan sebotol air mineral. Tidak lupa dia meraih sekantong marshmellow karena tahu ada seseorang yang sangat menyukai makanan satu ini.
Di ambang pintu, Feina hampir menyerah. Bahkan, di dalam otaknya dia sudah berencana membuat sebuah kebohongan. Sebagai alibi, pikirnya.
Jika ia ketahuan tidak mengerjakan tugas, tinggal bilang saja bahwa dia lupa jadwal atau salah mengerjakan tugas yang seharusnya di halaman B tapi Feina malah mengerjakan halaman A.
“Ngapain cemberut?” tanyanya setelah tiba di depan pintu kelas Bahasa.
Pandangan Feina yang memang sedikit menunduk, memasang mimik wajah menyerupai seekor bebek. Maniknya langsung bertemu dengan kaki jenjang milik Kairav. Ia menatap balik. Feina menarik senyum yang terkesan dibuat-buat.
“Aku mau nyontek ekonomi," tukasnya singkat.
“Fefe, bahkan aku belum seminggu sekolah di sini. Dan kau sudah memanfaatkan momen itu.” Tangannya menjulur ke kepala Feina. Menjitak pelan gadis pendek di depannya. Sampai tak mereka sadari tingkah laku keduanya diperhatikan oleh Firza.
Firza berdehem, matanya membelalak. Sengaja memperhatikan kedua temannya dengan wajah menjengkelkan. Cewek itu baru sadar jika wajah Firza makin mendekat ke arah Feina dan Kairav. Sontak, Feina mendorong keras Firza menjauh.
Kairav tersenyum geli, dia menyodorkan sebungkus marshmellow dari kantin tadi. Cowok itu juga bilang bahwa dirinya rela mengantre pagi-pagi hanya untuk membelikan Feina sesuatu. Jadi, Feina harus berterima kasih.
Hati Feina melembut. Matanya bulat sempurna. Ia menyungging senyum kecil. Tetapi jidatnya masih sama. Mengerutkan dahi, sampai kedua alisnya hampir menyatu. Tentu Kairav menghela napas, tidak habis pikir dengan kelakuan kekanakan temannya ini.
“Nih! Kalo mau nyontek." Tangannya menyerahkan sebuah buku.
Gadis ini membisu, hanya tangan yang bergerak lihai mengutak-atik lembar buku. Memainkan pensil menulis angka-angka. Terlihat jika Feina sudah sangat mahir mengerjakan tugas dengan motivasi 1001 candi.
Pemuda blasteran duduk menyerobot kursi Feina. Berdesak-desakan dengan tubuh mungil temannya. Feina hampir terjatuh, karena dia hanya kebagian sedikit dari lebarnya kursi yang tak seberapa itu. Sedangkan Firza malah sibuk menarik buku ekonomi Kairav ke sana–kemari. Tidak menghiraukan Feina yang melipat bibir.
Mungkin Kairav adalah tipe cowok yang kelihatannya dingin. Tetapi dia memiliki kepekaan yang lebih dari siapa pun. Dia menyeret salah satu kursi yang tidak jauh dari bangku Feina. Kairav dekatkan di samping meja gadis itu. Ia mengetuk-ketuk sandaran kursi, seolah memberi isyarat.
“Firza, kau bisa duduk di kursi ini," katanya datar. Dua wajah di depannya yang duduk berimpitan memandang serempak. Firza terlihat kebingungan, namun dia memilih diam dan menuruti ajakan Kairav.
Menit demi menit telah berlalu. Pembelajaran pertama dilalui Feina dengan sangat mulus. Ia berhasil melewati pertanyaan tidak penting dari gurunya seperti, “kenapa tidak mengerjakan tugas?” atau “apa kamu tidak pernah belajar?” Walaupun ada beberapa soal dari tugas ekonominya yang tidak sampai selesai, karena bel masuk kelas tadi pagi seolah dipukul pada jam yang salah.
“Fefe–i ....” Panggilnya memanjangkan nada pada huruf terakhir.
Membuat beberapa teman kelasnya yang mendengar menoleh bingung. Tidak terkecuali Firza. Cowok itu melotot, tatapnya heran kepada Kairav.
Feina tidak menjawab, dia asyik memainkan pensil. Menggores garis-garis membentuk imaji. Membuat Kairav mengepalkan tangan kesal. Kairav mengulang panggilannya, dia mendekat ke tempat Feina. Ia meninggikan volume suara.
“Fefe! Fokusmu mengerikan.”
“Ha ... Bukannya kau yang mengerikan? Berhenti memanggilku dengan nama itu!” rancunya pada Kairav.
Kairav tak berkutik, dia menatap sendu ke arah Feina duduk. Mata sayu nya semakin lesu, pikiran Kairav berkecamuk.
“Fefe, ke kantin yuk!” ajak Kairav penuh paksaan membuat Feina malas menanggapi. Tapi badannya melenggang lemas ke pintu kelas. Kairav yang girang mengikuti Feina dari belakang.
Berbeda dengan Firza, dia heran melihat kelakuan kedua temannya. Atau bisa disebut syok. Memangnya hubungan apa yang telah terjadi antara Feina dan Kairav?
Cowok blasteran itu memilih pergi ke kelas anak IPA. Tidak mengikuti murid baru dan si cewek tengil seperti Feina. Toh, dia juga punya niat lain di kelas IPA.
Depan ruang kelas IPA-3 kelas para siswa unggulan, IPA-IT. Firza berdiri celingukan ke dalam ruang kelas. Matanya menyusur ke setiap sudut, mengamati satu per satu anak yang ada di ruangan. Tetapi maniknya tak kunjung menemui orang yang diidamkan.
Firza berdehem, memanggil salah satu anak untuk menghampiri. Pemuda itu sama ugal-ugalan nya dengan Feina. Tetapi dia masih tahu adab. Jadi ia tidak berani menginjakkan kaki di kelas lain dengan seenaknya.
Firza terlihat bertanya ke salah satu anak IPA-3. Tetapi sayang, pertanyaan Firza dijawab dengan sebuah gelengan kepala. Firza tak ingin kehabisan ide, dia malah menarik sesuatu dari kantong celananya.
Sebuah kertas berwarna merah muda dihiasi dengan bunga kering yang sengaja di selotip. Firza menyerahkan sepucuk kertas itu pada teman di hadapan. Dengan harap balasan penuh kasih dari sosok pujaan.
Baru saja Firza ingin berbalik. Wajahnya bahkan masih menyungging senyum. Namun, dia sudah tersentak kaget. Seseorang yang menjadi target surat tadi malah sudah berada di sandingnya. Mengamati kelakuan konyol Firza yang tiada habisnya.
“Anjrit, Risa!”
Cewek bernama Risa ini adalah siswi IPA-IT. Tingginya melebihi tinggi Feina, tatapan matanya juga lebih tajam. Dia adalah teman Feina yang judesnya minta ampun. Gadis yang diidamkan blasteran dungu itu.
Risa menyilangkan tangan, dia menatap tajam ke arah Firza. Sebelah alisnya terangkat tinggi. Firza diam seribu bahasa. Dia tampak kikuk di depan Risa. Tak berani mengucap sapa, bahkan untuk bernapas saja Firza butuh tenaga lebih.
“Ngapain lagi? Ini masih jam pertama pelajaran dan istirahat belum ada lima belas menit." Risa berkata kesal.
“Tapi kau udah ke sini yang ke sebelas kalinya. Nggak capek apa?” lanjutnya.
Firza menelan ludah, dia tidak tahu menahu harus menjawab apa. Satu-satunya jalan adalah tersenyum kikuk dengan menggaruk pelan tengkuknya.
Risa menggelengkan kepala, dia tidak tahan melihat Firza yang semakin tolol. Cewek itu maju lebih dekat ke tempat Firza berdiri. Tatapan tajamnya semakin buas. Tanpa peringatan, kakinya menendang betis Firza. Membuat pemuda itu meringis menahan sakit.
Firza berteriak keras, mengutuk kekejaman Risa. “Ah! Brengsek!” Dia mengepal tangan, meninju pelan udara. Karena ia tahu, mentalnya terlalu ciut untuk melawan cewek brutal seperti Risa.
Siswi IPA-3 ini melotot lalu pergi meninggalkan Firza yang masih kesakitan. Risa berjalan ke arah kelas Bahasa. Hal itu juga yang membuat Firza berubah menjadi girang.
“Risa! Pada akhirnya kau juga ke kelasku.” Tangan Firza mencoba merangkul, tapi langsung ditepis oleh Risa.
“Orang aku ada urusan sama Feina,” ujarnya ketus.
“Feina lagi ke kantin, dia udah punya gebetan. Jadi, ga usah ganggu dia lagi deh! Sama aku aja. Aku kan suka kamu.”
Risa tidak menghiraukan, dia terus berjalan. Kepalanya menggeleng pelan, tidak tahan dengan keakuratan Firza yang bodoh. Cewek itu segera duduk setelah dia sampai di depan kelas Bahasa. Telunjuknya mengetuk pelan kursi keramik yang ia duduki.
Firza menggigit bibir, kepalanya terbentur tembok cukup keras. Dia terlalu semangat duduk di sebelah Risa. Risa menahan tawa, sudut matanya terpancar cahaya merendahkan. Tentu, Firza berusaha menahan sakit. Hitung-hitung untuk menjaga image.
Risa berbalik, menyesuaikan dirinya dengan Firza yang berada di samping. Wajahnya datar mengutarakan sesuatu, “bisa ga sih? Nggak culun meski cuma sehari?”
Cowok itu tersenyum kecut, segera menatap balik Risa. Namun, mimiknya berubah mirip abang-abang hidung belang. Dalam hati Firza selalu berpikir. Begitu cantiknya Risa jika dipandang dari dekat.
Ah .... Sangat cantik malah.
“Kamu kena angin apa sih? Kok jadi makin cantik gini,” Firza menatap lekat Risa. Kepalanya sedikit miring.
“Emang aku udah cantik dari sononya. Udahan, ah!” Risa berdiri malas. Suntuk menanggapi mulut Firza yang tidak berhenti bicara. Dia memutuskan kembali ke kelas. Menyerah untuk menunggu Feina.
"Risa! Jangan pergi! Feina bentar lagi sampe woy!"
“Ogah! Bisa gila aku lama-lama sama orang bego kayak kamu.” Telunjuk Risa mengarah ke wajah Firza yang terdiam membulatkan matanya.
Sejak tadi Firza masih berada di kursi depan kelasnya. Menunggu kedatangan Feina dan Kairav dari kantin untuk mengadukan sifat Risa yang semakin dingin.
Kantong plastik berisi sebotol minuman dingin dan satu roti lapis ditenteng Feina dari kantin. Kaki terus melangkah tidak menghiraukan suara Kairav yang terus memanggil dari belakang.
Di depan kelas, mereka berhenti sejenak. Melihat teman konyolnya yang tiba-tiba merengek. Feina melengos, tidak peduli.
“Nak baru. Aku mau curhat, si Risa cuek bener jadi cewek,” rengek Firza ketika matanya bertemu tatap dengan Kairav.
Kairav bermuka datar, menyeruput minuman kaleng di genggaman. Cowok itu bersikap tak ada bedanya dengan Feina. Membuat Firza makin melipat bibir.
“Tahu gini nggak bakal ngomong,” gumam Firza menyesal.
Sementara di ruang kelas IPA-IT, siswa berbadan gempal tadi menyerahkan surat pada orang yang menjadi tujuannya.
Risa menarik tangannya ke dalam laci meja. Memperbaiki posisi duduk, kepala menunduk mencuri pandang pada setiap baris kata yang tersusun dalam kertas merah muda ketika dia buka.
Dahi cewek itu berkerut datar, memahami apa yang coba tulisan itu sampaikan.
Bisik Hati
Suatu senja pada sebuah desa
Ketika kakiku terhenti melangkah
Di sebuah bangku menatapmu
Membahas cerita kesedihan
Menyapa duri pada sekisah cinta
Menerangi ringannya pijakan
Melengkapi sekian masa dengan rangkaian bunga
Bayangan dirimu menutup antara batu dan mataku
Detak jantungku mengejar pijar mentari
Lalu serayu menjadi tenang dan tenang
Ketika hatiku membisik rerumputan
Itu cinta milikku
Risa melipat sarkas kertas. Sepersekian detik kemudian, ia menjatuhkan kepalanya pada meja.
Wajah Risa tertutup rambut yang tergerai. Menyisakan telinga yang merah padam. Dari sela rambutnya terlihat senyum kecil tersungging.
Kalo aku punya jantung, Risa punya aku. Love you Risa, dari secret admirer mu.
Risa tahu pasti siapa sosok di balik selembar surat itu. Karena ini bukan pertama kalinya. Membayangkan sosoknya saja membuat Risa ingin sekali menampar. Tetapi telinga merah mudanya tidak bisa menyembunyikan jika Risa juga memendam rasa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Yani Cuhayanih
Aku paling ilfeel baca surat cinta...masa SMP dan SMA ku datar aja gk minat pacaran aku introvert...eeh malah jd incaran teman curhat ...makin pusing akoh....sekarang dah jd emak2 juga masih aja gituh tempat curhat2 teman2 sebangsa...dgn seabreg rahasia...kalo aku batuk kayak na keluar kata2 mutiara.....hahaha....
2023-09-15
1
vall
lanjut kak
mampir jg ya
2023-08-14
1
Cokies🐇
sa ae lu 🤣🤣
2023-08-14
2