Sinar fajar menghias langit, semburat jingga yang memanjakan mata. Pagi datang bersama udara sejuk yang sedikit dingin.
Suara kokok ayam juga menjadi alunan di pagi ini, tidak heran mampu membangunkan perempuan yang masih tertidur pulas di ranjangnya.
Matanya yang masih terpejam sulit untuk dibuka, rasa kantuk masih menghinggap pada diri gadis itu. Tubuhnya menggeliat, ia menyibakkan selimut bergambar katak dan siap untuk bangun.
“Feina, sudah bangun belum? Kamu hari ini piket kelas, kan?” Terdengar samar suara seorang wanita dari balik pintu kamar.
Gadis yang masih di atas ranjangnya tidak menjawab, kelopak matanya masih sulit dibuka. Ia menyipitkan netra, meraih selimut untuk dilipat dalam posisi duduk di atas kasur. Lalu segera beranjak ke kamar mandi melakukan ritual pagi.
Seragam dengan rok abu-abu sudah melengkapi tubuh kecil gadis itu, langkahnya pelan mendekati cermin di depan ranjang.
Feina bergeming, menatap wajahnya sendiri di pantulan cermin. Dia menarik bibirnya ke atas, membuat seulas senyum lebar yang manis lalu berkata dalam nada rendah.
“Oh, ini bukan diriku.”
Setelah mengatakan pernyataan yang sudah lumrah ia lakukan ketika hendak bercermin, tangannya mengambil bedak di atas meja. Menaburkan sedikit ke telapaknya lalu menepukkan pelan pada pipi merona milik gadis itu.
Feina bergegas keluar kamar, suara ibunya sudah beradu dengan dapur. Sarapan berbagai lauk telah tersaji di meja makan, namun sang ibu tidak berhenti bekerja.
Dia tengah fokus pada adonan yang ada di hadapan, menguleni adonan dengan sabar. Ibu Feina seorang penjual kue, menjualnya di beberapa toko dan menerima pesanan dari berbagai tempat.
Dianti, wanita paruh baya berperawakan sedikit berisi, netra sayu, rambut dikepang elegan. Daster lengan panjang berhias bunga kecil-kecil dilengkapi celemek hijau daun.
Netra Dianti menangkap sosok Feina yang tengah mengamatinya, wanita itu tersenyum sambil memejamkan mata.
Guratan di ujung mata terlihat jelas, wajahnya yang sedikit keriput menyimpan sejuta makna yang telah ia lalui selama hidup. Tetapi tidak menunjukkan segaris lelah sedikit pun.
Senyum menawan dan anggun membuat sang putri menatapnya sendu. Terharu dengan kerja keras dan kasih sayang wanita lemah lembut yang terlihat menikmati kegiatannya. Walau terkadang, Feina khawatir akan wanita itu.
Sang putri memikirkan lelah yang mungkin disembunyikan ibunya, tapi sayang seribu kali sayang. Senyum memesona wanita itu selalu menepis pikiran buruk pada lembar keraguan di hati Feina. Sedang Feina tidak bisa membantunya lebih selain meringankan beban Dianti dengan meraih prestasi.
Ibunya berkata lembut, “sudah, sarapan sana! bukankah sekarang jadwal piket kelasmu?” Gadis itu tersenyum samar, lalu melangkah ke ruang makan.
Selesai sarapan Feina berpamitan pada sang ibu, mencium punggung tangannya dengan manja.
Rambut yang diikat kuda itu berayun-ayun terhempas angin pun karena guncangan dari lari kecilnya. Earphone yang menggantung dari telinganya mengalunkan lagu yang diiringi permainan piano mengetuk jiwa.
Nyanyian Ombak, lagu milik Ebiet yang selalu menemani langkahnya menuju sekolah. Gadis berpita biru itu amat menyukai lagu-lagu milik Ebiet, tak heran dia hafal seluruh lirik saking seringnya dia mendengarkan.
Feina menaiki bus menuju sekolah, sebenarnya jarak antara rumah dan sekolahnya tidak terlalu jauh. Hanya saja jika ditempuh dengan jalan kaki akan cukup menguras keringat gadis itu.
Lagi pula dia tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk membayar bus, karena potongan harga yang diberikan khusus kepada para pelajar.
Bus berhenti tepat di depan jalan menuju gerbang sekolah, Feina segera turun dibarengi langkah-langkah kecil pelajar lain. Dari jarak begitu dekat, lengannya tak sengaja menepis seseorang.
“Maaf,” kata gadis itu menundukkan kepala tanpa menoleh dan bergegas memasuki gerbang sekolah.
Sedangkan orang yang ia senggol hanya tersenyum tipis, tapi dari matanya memancarkan sesuatu yang sulit untuk dijelaskan.
Feina Laurent Anggara berjalan di pekarangan belakang sekolah. Kepala gadis itu sesekali mengangguk dan menggeleng pelan mengikuti irama dari musik.
Bibir tipisnya juga tidak berhenti menggumamkan lirik lagu. Ia terlihat begitu menikmati perjalanannya.
Satu langkah, dua langkah begitu pelan namun mantap. Di hujani sinar hangat mentari, pagi ini akan menjadi hari yang tidak terduga bagi gadis itu.
Jalan berbunga menuju kantin tampak begitu indah, embun masih terlihat jelas pada lumut-lumut yang hinggap di batuan.
Dari kejauhan tampak seorang gadis yang berjalan dengan irama, agak melompat kecil. Senyum yang terukir di wajahnya sudah dapat disandingkan dengan cantiknya bunga-bunga.
“Mbak, bayar utang. Aku lunasi semuanya,” katanya pelan pada ibu kantin di hadapan.
Setelah bibir Feina mengatup, tiba-tiba hening seketika. Para penjual yang ada di kantin yang semula berbincang asyik, sekarang malah terdiam sunyi. Menatap takjub ke arah gadis itu.
Padahal, kantin sudah cukup dipenuhi oleh pelajar yang sedang makan atau sekadar nongkrong.
Namun, entah mengapa saat Feina mengatakan itu, dunia mendadak sunyi, dan hebatnya penjual kantin seolah menemui titik terang.
“Alhamdulillah ...!” Serempak, kedua penjual yang ada di hadapan Feina mengucap syukur. Sedangkan gadis delapan belas tahun itu hanya tersenyum kikuk, tidak tahu menahu harus melakukan apa.
Setelah semua angka-angka tagihan dihitung, Feina mengikhlaskan uangnya untuk membayar tagihan.
Dersik angin lembut mendayu hingga sela-sela telinga. Sejuknya mengalir ke sebuah ruangan tidak jauh dari halaman belakang. Masuk melalui jendela kecil yang terbuka lebar.
Sebuah ruang musik yang dihiasi oleh lukisan besar bergambar Al Farabi, sosok filsuf sekaligus tokoh yang mencintai musik bertengger gagah di dinding ruang.
Dari jendela kecil itu, bisa didapati seseorang tengah termangu di dalam ruangan. Wajahnya menengadah, tangannya yang lunglai bergerak lemah. Ke atas, ke bawah seolah memperagakan gerak seorang konduktor. Kemudian ia berhenti, bergerak maju mendekati piano hitam yang sedikit berdebu.
Tubuh jangkung lelaki itu menunduk sedikit, mengambil sapu tangan di dalam sakunya dan mulai membersihkan debu-debu di atas piano. Tangan menarik pelan kursi berselimut kulit yang akan ia duduki.
Satu tarikan napas lalu dia memejamkan mata, kemudian saat itu juga jemarinya mulai memainkan tuts piano dengan lihai.
Sebuah lagu yang mampu membuatnya tersenyum penuh. Lagu yang akan mengingatkan seseorang tentang masa-masa yang pernah ia lalui bersama.
Setelah menyelesaikan urusan di kantin, Feina bergegas ke kelas. Musik yang dia dengarkan sudah berhenti di perbincangan dengan ibu kantin tadi, tapi earphone masih melekat di telinganya meski tidak memainkan lagu apa pun.
Di luar, wajah gadis itu dipenuhi semilir angin. Mengibaskan rambutnya yang terikat separuh.
Langkah yang awalnya gontai, kini berhenti juga. Ada sesuatu yang ingin gadis itu pastikan. Secara tiba-tiba jantungnya berdegup begitu kencang. Sudut matanya seolah mencari sosok yang selama ini dinantikan.
Sayup-sayup Feina dengar melodi yang amat familier baginya. Melodi yang seakan telah menjadi bagian dalam hatinya.
Kaki melangkah lagi, sangat hati-hati dan penuh perhatian pada setiap sudut di halaman belakang sekolah.
“Beneran dia siswa kelas tiga baru itu?”
Dua pelajar lain melewati Feina, berjalan sambil membicarakan sesuatu. Feina penasaran, mencoba menguping pembicaraan siswi tersebut.
“Iya, katanya nilai akademisnya sangat bagus. Makanya mudah diterima aja meski udah di tahun ketiga.” Gadis lain merespons dengan tatapan terpesona.
Kini Feina yang berada di koridor ruang musik sekolah berhenti melangkah, degup jantungnya serasa tertekan, netra bulat sempurna mendengarkan melodi indah penuh jiwa dari permainan piano.
Feina tersadar saat mendengar permainan piano itu, ia mengintip ke dalam ruang musik. Seketika itu tangan dan kakinya terasa lemah, netra berbinar melihat lelaki yang ada di depan mata.
Bibir mungil gadis itu perlahan terbuka, menyuarakan sebait lirik lagu yang telah menemani semasa muda.
“Twinkle twinkle little star, how I wonder what you are ....” Cukup sampai di situ, lidahnya kelu, Feina tidak mampu mengucap kata atau sekadar menyapa.
Jemari lentik pria itu tidak berhenti menekan tuts. Menyalurkan melodi indah yang membuat siapa saja ikut merasakan perasaannya. Sebuah lagu yang menemani Feina sejak kecil, lagu yang selalu ia nyanyikan dengan iringan piano.
Cowok itu menoleh pelan ke arah Feina, garis wajahnya begitu menawan. Bola mata sayu yang memantulkan cahaya dari sang surya menatap dalam ke manik Feina.
Wajahnya yang meneduhkan begitu sempurna ketika dia menarik senyum manis menyapa gadis di hadapan.
“Akhirnya kau menemukanku, lama tidak berjumpa, Feina.” Dia tersenyum lega.
Feina lunglai, mulutnya sedikit menganga. Gadis itu tidak sanggup berkata-kata, bahkan suasana di sekeliling mendadak berubah.
Feina masih mencerna apa yang barusan terjadi dan sejak kapan lelaki ini ada di hadapannya?
Siswa jangkung berjaket biru itu perlahan mendekat, langkah ringannya diiringi desah pepohonan yang diterpa sang angin. Lelaki itu tidak peduli gadis yang ia hampiri, tidak peduli sama sekali dengan raut wajahnya.
Senyum di wajah sungguh meluluhkan, pria yang tak lain adalah Kairav berjalan semakin dekat pada tubuh pendek Feina.
Tanpa peringatan, jemari Kairav mulai memainkan rambut Feina yang tergerai. Mengamati pita biru yang tergantung di helai rambut gadis itu. Feina masih sama, dengan mulut yang menganga ia mundur menjauh.
Kairav terbahak, bahunya berguncang dengan mata menyipit. Gaya tertawanya selalu seperti itu jika sesuatu terasa sangat lucu.
“Bisa-bisanya kau melupakanku,” ujarnya lalu mencubit kasar pipi Feina.
“Ah!” Teriak Feina cukup keras.
Kedua kakinya linu, dia tidak berhenti menggoyang-goyangkan tubuhnya. Mengangkat satu-satu kakinya bergantian.
Sejak pelajaran jam pertama berlangsung Feina sudah berada di lorong depan kelasnya. Apa lagi, jika bukan karena hukuman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Everlynnie❤️
maksudnya sedikit berisi itu apa ya?
2024-04-19
0
Yani Cuhayanih
kata2 nya bagai bait2 puisi....atau lirik lagu...
2023-09-14
2
Cokies🐇
yang ditatap disana, yang meleyot disini
2023-08-13
1