Bercak merah terlihat membentuk garis putus-putus di telapak tangan Kairav. Kulit luarnya terkelupas, sedikit bernoda darah.
Sejak dia melemaskan kepalan tangan tadi barulah ia merasakan perih di tangannya. Karena emosi yang ia pendam, sebisa mungkin Kairav bersikap tenang di depan Dafa.
Kairav masih berdiri di tempat semula, melihat tajam Dafa yang dengan sok nya berjalan pergi setelah mengatakan pernyataan sekaligus tantangan pada Kairav.
Rambut hitam ia usak secara acak-acak kan. Dia berkacak pinggang setelah itu meninju keras tembok bangunan di sampingnya.
“Ah! Brengsek!” teriaknya frustrasi.
Suasana hati cowok itu berubah drastis. Mendadak aura di sekelilingnya menjadi kelam. Jika ada yang melihat Kairav sekilas saja sudah bisa menebak jika Kairav sedang marah.
Bagaimana tidak? Wajah tenang pun gelagat menghanyutkan lelaki ini malah membuat orang bergidik ngeri. Memang, jangan pernah membangunkan macan yang tertidur!
“Itu si anak baru! Kairav, ke mana aja kau?” tanya Firza saat dia melihat Kairav memasuki kelas.
Namun, Kairav tidak menjawab. Dia menarik kasar kursi untuk didudukinya. Pandangan Kairav menatap kosong tapi tajam ke depan.
Feina penasaran apa yang sudah dialami temannya ini, gadis itu menghampiri tempat duduk Kairav yang ada di deretan kedua dari bangkunya.
“Kenapa?” Tangan Feina memegang lengan Kairav. Sungguh, Feina melakukan hal itu bukan karena niat lain.
Tapi seketika Feina tercekat, dia kaget. Tangan besar milik Kairav menepis kasar tangan Feina. Sorot mata Kairav beralih menatap Feina. Seolah ingin menerkam siapa saja yang berani menyentuhnya.
“Apaan sih, nggak usah main nepis tangan segala padahal,” bisiknya lalu pergi menjauhi Kairav.
Cewek itu mengelus tangannya sendiri. Dia bingung dengan sikap Kairav yang tiba-tiba berubah 360 derajat.
Beberapa mata pelajaran terlewati, tapi pikiran Kairav masih mengalirkan ucapan Dafa. Sesekali dia meremas buku di atas meja. Rahangnya kaku.
Apa yang sebenarnya pernah terjadi di antara bajingan itu dan Feina? Apa yang selama ini Feina sembunyikan darinya?
Kairav tidak berhenti menerka-nerka. Dengan raut wajah marah dan kecewa yang tak bisa ditutupi.
Bertemulah jam istirahat yang selalu dinanti-nanti. Feina bergegas keluar kelas, inginnya mengajak Kairav bersama. Tapi sepertinya untuk saat ini Kairav tidak ingin diganggu. Akhirnya, cewek itu pergi ke kantin bersama Annisa dan Rara.
Di keheningan ruang kelas, Kairav terus memandangi telapaknya yang kian terasa perih. Kepalan tangannya yang kuat membuat kuku-kuku Kairav menancap dalam ke kulitnya.
Kairav meraup wajah, dia bak berada di ambang-ambang. Pertama, kecurigaan terhadap Feina dan yang kedua, mengapa perasaannya sangat tidak nyaman setelah mendengar bahwa Feina adalah milik Dafa?
Sementara di kantin sekolah, Feina berdiri cukup lama di depan kios ibu kantin. Memilah-milah snack apa yang bakal disukai teman dungunya.
Dari samping Feina, Rara berbisik bertanya, “cari apa lagi? Bukannya udah beli roti lapis di sebelah?” matanya melirik ke kantong plastik di genggaman Feina.
“Bentar, tungguin dulu! Aku gak tahu kenapa Kal bad mood. Sekali-kali lah beliin dia jajan, toh aku pernah ditraktir marshmellow,” jawabnya terus memilih.
“Kal? Siapa?” tanya Rara bingung. Siapa lagi lelaki yang coba Feina dekati?
“Si Kairav, astaga! Aku udah kebiasaan manggil dia Kal. Mau diubah juga susah nih mulut!” Feina mengernyitkan dahi.
Sesampainya di kelas, Feina memberikan sekotak minuman pada Kairav. Raut wajahnya tanpa ekspresi menatap lelaki yang duduk itu.
Kemudian pandangan Feina jatuh pada telapak Kairav yang memerah. Dia mengerlingkan mata, mengambil paksa tangan Kairav untuk dilihat lebih dekat.
“Kau kenapa? Ini tangan kenapa bisa begini?” tanyanya sambil memegang lembut telapak Kairav.
Kairav hanya terdiam, tidak menjawab maupun menatap balik Feina. Beberapa saat kemudian, Feina menarik tubuh Kairav agar berdiri.
Menyeretnya keluar kelas. Berniat pergi ke UKS untuk mendapat perawatan pada luka di telapak tangan Kairav.
Yang diseret tidak bereaksi apa-apa, dia melihat nanar ke tangan Feina yang menggenggam pergelangan tangannya. Langkah kedua remaja itu menyusuri bangunan-bangunan sekolah.
Menarik perhatian pelajar lain untuk memandangi keduanya. Semua itu Feina hiraukan, yang terpenting sekarang adalah merawat cowok kekanakan yang sedang ia seret paksa.
Dahi Kairav berkerut sesekali. Menahan perih di telapaknya ketika cairan alkohol diteteskan. Tangan Kairav satu per satu diberi obat oleh dokter sekolah.
“Kok bisa sampe begini itu kenapa? Kamu ini masih sekolah, nggak perlu banyak pikiran dulu. Hah ... Anak jaman sekarang, ya,” dokter berbalut jas warna putih itu menggelengkan kepala.
Kairav dan Feina tersenyum kikuk, tidak tahu harus menanggapi apa. Setelah semua selesai, telapak Kairav kini terdapat tempelan plester luka.
Segera dia kembali ke kelas, tanpa kata tanpa suara. Berjalan mendahului Feina, bersikap acuh. Dia tidak ingin diusik oleh cewek itu lagi. Semakin Feina mendekati, semakin runyam hati Kairav.
Alhasil, sampai pulang sekolah. Kairav tidak bertegur sapa dengan Feina. Seolah keduanya tak pernah bertemu, tak saling kenal.
“Kenapa sih cowok itu! Emang aku salah apa coba? Main diem segala, awas kau!” Feina meninju udara. Tidak tahu-menahu dengan sikap Kairav yang mendiamkannya. Bahkan, Kairav tidak pulang bersamanya.
Sebuah bangunan rumah sakit yang cukup besar di kota ini. Lalu lalang orang bergantian keluar-masuk rumah sakit.
Di sebuah ruangan milik salah satu dokter yang menangani Dianti. Feina sudah duduk di depan seorang dokter laki-laki.
Feina menunduk, berkali-kali dia menganggukkan kepala. Mendengar cermat saran yang diutarakan sang dokter.
Feina kembali bicara, “Dok, kalo sedang hujan apalagi dingin. Ibu batuknya suka kambuh dan lebih parah, gejalanya bisa diredahkan tidak, Dok?” mata Feina sendu menatap sang dokter.
“Saya sudah bilang berulang kali, Feina. Lebih baik segera lakukan operasi, penyakit turunan seperti ini akan sangat berbahaya jika terus dibiarkan.”
Sambungnya, “gejala seperti batuk sering terjadi, cukup hindarkan ibumu dari cuaca dingin sebisa mungkin. Dan kurangi lelahnya, itu juga bisa berpengaruh.”
Dokter itu menyodorkan ber tablet-tablet obat pada Feina. Dibalas anggukan dan senyum tipis di bibirnya.
Feina berjalan keluar rumah sakit sembari memasukkan bungkusan obat tadi ke dalam tas. Menaiki sepeda kayuhnya untuk segera pulang.
Di perjalanan, tangan dan kaki gadis itu memang fokus pada setiap kayuh. Tapi pikiran Feina sedikit terganggu. Ia tahu operasi adalah solusi terbaik demi kesembuhan Dianti.
Akan tetapi dari mana dia mendapatkan biaya operasi yang terbilang sangat mahal baginya itu?
Tabungan yang selama ini dia simpan dan sisipkan khusus untuk pengobatan Dianti malah dibawa pergi paman kurang ajarnya.
Feina menengadah, di pelupuk matanya sudah tergenang buliran air. Jika dia berkedip sekali saja maka jatuh sudah buliran kristal itu.
Dia mengayuh pedal lebih kencang, menyalurkan frustrasi yang selama ini singgah.
“Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu?” tanyanya gusar pada diri sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
raazhr_
di tunggu kelanjutannya kak, semangat trus🤩🙌
2023-07-25
1