Bagai terjatuh dan tertimpa tangga. Mungkin itu peribahasa yang bisa mendeskripsikan keadaan mereka berdua saat ini. Feina dan Kairav mendengus kesal. Tidak berhenti merutuki diri sendiri.
Setelah seharian tidak mencium hangatnya kasur karena perjalanan ke pantai. Mereka memutuskan naik bukit hanya untuk menyalakan kembang api yang sedang diskon itu.
Tetapi malah berakhir dengan kekosongan. Mereka berdua kehabisan kata-kata. Memangnya kembang api ini bisa menyala sendiri tanpa adanya korek api?
Tangan Feina mengarah ke dadanya. Ia mengelus dada pasrah, ingin memaki lelaki di sampingnya sudah tak kuasa apalagi sekadar berdebat.
“Lha! Terus mau kita apain kembang api ini?” tanya Feina dengan raut wajah putus asa. Mimiknya datar tanpa emosi yang terlihat.
Kairav tidak memberi jawaban, dia sedang menimbang-nimbang. Memutar otaknya untuk mencari ide, tidak mau berakhir menyedihkan setelah yang sudah-sudah. Kedua bola mata Kairav berada di sudut atas.
Kemudian dia menarik napas lega lalu berkata penuh semangat, “ikut aku! Cari batu sama kayu!” titahnya sambil berdiri.
Feina menatap bingung, gadis itu kenal seberapa absurd nya Kairav. Menolak? Tentu saja tidak, Feina malah mengikuti cowok itu beranjak.
Kedua remaja ini menundukkan kepala masing-masing. Menyusuri tanah luas di ketinggian bukit. Matanya terus menilik ke bawah. Mencari sesuatu yang sudah Kairav rencanakan di awal.
“Nemu!” seru Feina tersenyum puas. Tangannya memegang dua batu berukuran cukup besar.
Sementara Kairav sudah penuh dengan ranting-ranting pohon yang ia cari sampai di pinggiran tanah lapang bukit. Menyibak pepohonan yang tidak terlalu rimbun di area bukit.
Mereka berdua kembali ke tempat semula dengan membawa batu dan kayu yang entah akan Kairav coba apa kan.
Feina duduk berjongkok diikuti Kairav yang menaruh tumpukan ranting kayunya. Mereka jongkok berhadap-hadapan di depan lempengan batu tempat mereka duduk.
“Terus kita mau coba bikin api dari sini, gitu? Emang ngerti soal beginian? Sok bener jadi cowok!”
“Lha! Jangan heran kalo entar bisa, traktir aku taruhannya!” rasa percaya diri Kairav saat ini tidak bisa diragukan lagi. Cuma, memangnya semudah itu untuk menghasilkan api?
Mereka mulai menjalankan siasat. Saling menggesekkan kayu dengan batu berulang kali, tapi yang terjadi mereka tidak mendapatkan apa-apa.
Feina ngos-ngosan, dia menjatuhkan tubuhnya di atas tanah. Terlalu lelah jika harus melanjutkan siasat Kairav yang justru berubah menjadi siasat mempertaruhkan nyawa.
Gadis itu menjulurkan kakinya, “coba batu sama batu, deh!” imbuhnya kemudian.
Kairav menuruti, mengadu dua batu supaya menghasilkan percikan api yang mereka harapkan. Gesekan demi gesekan, malah lelah yang didapat.
Alhasil sudah lebih dari lima belas menit lamanya, Feina dan Kairav tidak mendapatkan apa-apa. Malah kedua tangan yang kini penuh dengan tanah, dan peluh yang mengalir perlahan di pelipis kedua remaja itu.
Akhirnya mereka membulatkan tekad untuk pulang saja, lagi pula hari sudah semakin gelap. Karena tanpa mereka sadari, kedua bocah tengil itu menghabiskan sore sampai waktu berjalan tepat pukul tujuh malam di atas bukit.
Dengan berat hati Feina pun Kairav menuruni jalanan bukit. Langkah keduanya cukup lesu, perut keroncongan sedari tadi. Berkali-kali mereka mengelus perut untuk meredakan rasa lapar.
“Ini semua salahmu! Pake acara bukit segala, mana udah malem lagi!” celetuk Feina dengan bibir yang cemberut.
“Udah terlanjur juga, ikhlasin aja kali. Habis ini juga nyampe rumah, buruan mandi biar kagak kecut tuh bau!”
Feina terkejut mendengar ucapan Kairav. Bibir mungilnya perlahan bersuara, “mandi, apa itu? Hello ... Buat apa? Nggak usah kali, ini juga udah malem. Emang kau mau mandi?” pertanyaan Feina berceceran.
Dibalas dengan gelengan kepala Kairav. Setelahnya mereka berdua tertawa terbahak-bahak. Bisa-bisanya ada orang yang begitu bangga karena tidak mandi? Anehnya mereka berteman pula.
Seminggu sudah terlewati dan genap dua minggu Kairav bersekolah di SMA negeri 1. Saatnya kelas Bahasa mengumpulkan tugas antropologi yang pernah diberikan oleh pak Vian seminggu lalu.
Setiap bangku sudah diduduki pemiliknya. Seluruh siswa-siswi kelas Bahasa siap memulai pelajaran. Ketua kelas langsung berdiri menyiapkan setelah Vian memasuki ruangan.
“Silakan duduk! Tugas kemarin mari kita bahas, tidak ada kesulitan kan selama mengerjakan?” Vian membuka percakapan. Guru muda berwajah rupawan itu mengedarkan pandangan. Mengamati satu-satu anak didiknya.
“Ada Pak, sulit karena terlalu lelah dengan tugas-tugas!” ujar salah satu murid bersuara lantang. Membuat seisi kelas cekikikan, sementara sang guru tersenyum simpul. Sudah biasa menghadapi kelakuan muridnya yang tidak ada duanya.
“Iya, Pak. Mana kita cuma kebagian permen sama air mineral gelasan lagi kalo ada konsumsi dari sekolah,” celetuk yang lainnya.
Mendengar itu, mereka mulai membuka suara mengumandangkan ketidakadilan yang mereka terima selama ini.
Annisa tidak tinggal diam, “Pak, kalo sudah mau ujian itu kita tidak pernah dikasih modul belajar. Di kelas lain bahkan diberi materi kisi-kisi, tapi di kelas kita sering tidaknya.” Jelas Annisa dibarengi anggukan seluruh kelas.
Vian mencoba meredakan, suaranya tetap santai seperti biasa. “Sudah-sudah, saya kan pernah bilang bisa kerja kelompok. Di lembar kerja juga sudah saya siapkan materi pendukung, memang kaliannya yang kurang teliti.”
“Soal masalah yang lain, saya akan coba bicara sama yang menangani konsumsi sekolah. Kalian cukup fokus belajar saja. Oke, segera kumpulkan!”
Pria itu menyuruh Annisa selaku ketua kelas mengambil semua lembar kerja milik teman-temannya untuk diserahkan. Vian tidak peduli dengan ribuan alasan atau jawaban yang mungkin nyeleneh dari para muridnya itu.
Sambil merapikan lembaran kertas Vian kembali berbicara, “oh, ya dua hari lagi akan ada ujian percobaan. Persiapkan dengan baik meski cuma ujian contoh, ya!”
“Baik, Pak!”
Mata pelajaran antropologi terlewati, saatnya mereka menemui mata pelajaran beserta guru pembimbing yang serasa musuh bebuyutan. Guru yang sama dengan pemberi hukuman telak pada Kairav dan Feina.
Guru sastra Inggris, seorang wanita berkacamata. Dari raut wajah diamnya saja sudah membuat bulu kuduk berdiri. Karena aura mematikan dari sang guru terpancar terlalu dahsyat.
Ia membenarkan kacamatanya yang turun. Mengamati seluruh kelas 12 Bahasa yang terdiam. Bukan karena takut, lebih tidak mau mencari ribut. Mereka terlalu muak dengan sang guru yang kelakuannya terkadang melewati batas wajar.
Tangan yang semula sibuk mengoreksi jawaban tiba-tiba terhenti. Sorot mata wanita itu liar melotot pada salah satu bangku di dalam kelas Bahasa.
Sadar akan kelakuan sang guru, membuat Feina yang duduk di belakang Rara mengetuk-ngetuk punggung Rara dengan pulpennya.
Feina mencoba memberi isyarat bahwa guru sastra Inggris itu telah memergoki perbuatan Rara, wakil ketua kelas. Namun, sayang niat baik Feina tidak digubris.
Rara sejak tadi fokus pada bacaan di atas mejanya. Tapi tangan kiri cewek itu asyik mengibaskan buku yang ia jadikan sebagai kipas.
Hal itu juga yang membuat sang guru murka. Dari awal mereka sebenarnya sangat hati-hati, apalagi menyangkut satu gurunya ini. Bahkan setiap gerakan sepele akan mudah menyinggung wanita ini.
Seolah memiliki dendam kesumat pada kelas Bahasa. Wanita berkacamata itu mengeraskan suaranya tanpa aba-aba.
“Kalo nggak suka sama saya silakan keluar kelas! Bisa-bisanya malah kipas-kipas! Emang saya bikin kalian gerah?!” Bentaknya dengan tatapan tajam.
Membuat seluruh remaja itu mengernyitkan dahi keheranan pun karena kaget. Ini sudah keterlaluan, hal kecil seperti itu saja diperdebatkan oleh sang guru. Entah apa lagi yang tidak ia suka selanjutnya.
Sambung wanita itu, masih sama dengan emosi yang berapi-api, “kelas kalian ini memang beda dari kelas IPA! Isinya cuma anak yang suka main-main aja. Nilai kalian juga tidak lebih tinggi dari kelas lain. Mana yang katanya top lima di kelas ini? Nggak ada apa-apanya sama sekali!”
Ucapan wanita itu semakin dibiarkan malah semakin kurang ajar!
Alan menggebrak keras mejanya, dia berdiri dari tempat duduk. Tatapan mata Alan buas menatap balik sang guru. Dia sudah tidak bisa bersabar lagi.
Top lima? Bukankah itu sudah menyangkut dirinya? Terlebih Feina, Rara dan Annisa. Pemegang rangking lima besar di kelas Bahasa. Juga penolong rangking kelas.
Cowok tinggi itu menekan kakinya, menapaki lantai kelas. Dia berniat keluar kelas seperti apa yang diharapkan sang guru.
Sebagian teman-temannya menatap takjub, mereka menganggap aksi heroik Alan. Diikuti Firza yang kegirangan menuju pintu kelas. Blasteran itu malah menunggu momen ini.
Kegilaan dua temannya yang secara terang-terangan keluar kelas saat gurunya naik pitam berhasil membuat seluruh kelas menggelengkan kepala karena kagum.
Sedangkan guru sastra Inggris di depan mereka meremas kertas jawaban yang ada di tangannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Nila A.R
waw keren, jangan lupa dukung karya ku Thor! dan kita akan saling mendukung
2023-10-22
0
RedPanda
baca ini tuh berasa balik ke masa SMA 🤭
2023-08-13
1
rukayah
pilih kasih dong gurunya
2023-07-24
1