Feina terbelalak lebar. Kedua tangan kaku dan rapat menempel di badannya. Feina terkurung dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan. Ingin berbalik dan menghindar saja tidak bisa, apalagi bangun dari tidurnya.
Tangan lelaki yang mengurung Feina tidak memberi kelonggaran. Kairav masih dalam posisi seperti itu selama hampir lima menit lamanya. Memandang wajah Feina dari atas.
Dia menunduk, mendekatkan wajahnya perlahan ke gadis di bawahnya. Feina menggigit bibir bawah, pikirannya campur aduk. Apa yang coba dipikirkan oleh lelaki bodoh ini?
Sungguh, Feina ingin kabur. Dia ingin menampar kuat-kuat wajah Kairav yang kehilangan akal.
Semakin dekat wajah mereka, semakin cepat juga detak jantung Feina. Ia memejamkan mata ketika sadar jarak antara mukanya dengan milik Kairav tersisa beberapa jengkal saja.
Bibir merah Kairav mendekat, kepala ia miringkan sedikit. Kairav panas dingin ketika bibirnya membisik ke telinga Feina. “Feina, tolong aku. Ada laba-laba di sampingku, please ...!”
Feina membuka mata keheranan. Kurang ajar batinnya. Dia sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya padahal. Tangan Feina mendorong sarkas tubuh cowok itu menjauh.
“Laba-laba maksudmu?! Kurang ajar emang! Nggak usah pake adegan gitu kali!” Feina kesal, langsung berdiri melihat ke arah yang ditunjuk Kairav.
Laba-laba dengan ukuran yang tidak terlalu besar. Tetapi sudah membuat Kairav ciut, anak ini memang dari kecil memiliki fobia terhadap laba-laba. Katanya karena memiliki kaki banyak dan bermata banyak pula.
“Maaf, nggak nyangka juga bakal ada tuh laba-laba,” ungkapnya memasang wajah takut.
Feina mengibas-ngibas hewan kecil yang tidak bersalah itu menjauh. Menepuk-nepuk kedua telapaknya setelah selesai. Matanya mendelik ke Kairav. Dia ingin sekali melayangkan tinju.
Melihat gelagat Feina, kairav langsung berpikir macam-macam. Dia menganga lebar di balik telapaknya yang menutupi mulut. Kairav menunjuk Feina, “jangan bilang kamu ... Kamu pikir aku mau menciummu, gitu?”
“HAHAHA! Jangan bilang bener? Lucu banget kau, Feina!” Tawanya gelak mencibir gadis yang malah menggigit bibir bawahnya sambil mengerutkan dahi.
“Dih! Gr bener, bodoh amat. Mau cari makan, nggak cepet aku tinggal!” Feina menghentakkan kaki menjauh dari Kairav.
Mereka menuruni sepeda bergantian. Hidung keduanya mencium aroma sedap dari berbagai hidangan para penjual makanan malam ini. Kedua remaja itu berjalan perlahan sambil berpikir menua apa yang akan mereka makan.
Seorang penjual mie mencuri pandangan Feina. Dia menghampiri warung itu. Melihat menu yang terpampang di teras warung.
“Dua bakmi goreng ya, bang. Satunya pakai kerupuk yang banyak,” ucapnya lantas bergerak mengambil minuman di lemari es.
“Tunggu bang!” Kairav bergerak maju, “satunya ganti bakmi kuah aja, makasih bang.” Dia kembali ke teras warung setelah diiyakan oleh penjual bakmi tersebut.
Warung ini menyediakan meja dan kursi lengkap dengan payung-payung yang ada di terasnya. Bahkan, ada beberapa yang tertata di pinggir-pinggir jalan.
Feina dan Kairav memilih duduk di salah satu meja teras. Feina menyodorkan minuman soda pada Kairav. Tapi Kairav memandang datar, melihat sebotol soda yang barusan Feina berikan.
Feina bertanya heran, “kenapa? Kalo nggak cocok tukerin aja.”
“Ah ... Belum dibuka kan? Aku nggak minum soda,” ungkapnya sambil mengutak-atik botol soda di tangan.
“Belumlah, tuker aja nggak apa.”
Mata Feina tertuju pada punggung Kairav. Melihat cermat laki-laki yang sudah ada di depan lemari es minuman itu. Feina berpikir jika Kairav adalah anak yang pemilih soal makanan.
Ini sudah kedua kalinya Feina dapati Kairav yang berlagak aneh saat pertama kali melihat hidangan yang lelaki itu terima. Entah makanan seperti apa lagi yang akan ditolaknya.
Dompet biru muda dengan hiasan bordir kelinci ia buka, mengeluarkan beberapa lembar uang dan segera membayar pada penjual bakmi tadi. Setelah Feina dan Kairav menghabiskan makanannya, mereka beranjak pergi.
Feina terus memacu gas, berhenti tepat di depan rumah bertingkat dua namun tidak terlalu besar milik Kairav. Menunggu lelaki itu turun dari motor, lalu memutar arah menuju rumahnya.
“Kapan-kapan giliranku yang traktir. Malam Feina, muach! Hati-hati!” Bibir Kairav mengerucut cepat saat mengatakan kata ‘muach’ pada Feina.
Feina mengibas udara, memasang muka jijik pada Kairav dan kembali menancap gasnya menuju rumah.
Malam ini Feina mendapatkan ketenangan. Mungkin karena rindu yang ia rasa sudah tersampaikan. Mungkin juga karena perkataan Kairav yang membantu mengangkat sedikit bebannya.
Feina lega sudah bercerita tentang sang ayah pada teman bodohnya itu. Dia juga senang bisa pergi ke bukit kecil setelah beberapa saat Feina berhenti ke sana. Dan gadis ini harap akan menemui banyak kehangatan di masa depan.
Malam berlalu begitu cepat. Mentari pagi menyambut dari sela-sela dedaunan rimbun pohon-pohon. Cuaca cerah berawan yang disambut senyum lebar para pelajar. Bukan untuk mata pelajaran hari ini, tapi untuk sepenggal kisah bersama teman-teman mereka.
Dari kejauhan terlihat sebagian pelajar yang sibuk mengayuh sepedanya, ada juga yang berjalan santai. Tidak jarang yang turun dari kendaraan milik keluarga mereka.
Salah satu dari yang mengayuh sepeda tidak lain adalah Feina. Disusul Kairav di belakangnya. Feina terkadang, memang membawa sepeda gayuh. Kairav juga ternyata, dan sepertinya sepeda milik Kairav baru. Terlihat dari betapa mengikatnya cat sepeda itu.
Mereka memarkir di area parkir khusus sepeda gayuh. Kairav menghampiri Feina, berjalan di sampingnya menuju ruang kelas.
Ruang kelas 12 Bahasa berada di ujung, melewati lapangan basket yang rame dengan suara teriakan dan para cewek-cewek saling berimpitan. Di waktu yang masih pagi pula.
Kairav sempat berhenti, penasaran dengan apa yang mereka ributkan. Sedangkan Feina terus berjalan. Dia tidak tertarik sama sekali dengan pertandingan basket.
Dia sudah tahu siapa sosok yang mampu menciptakan teriakan histeris gadis-gadis itu. Firza, siapa lagi. Lelaki blasteran mata duitan yang bahkan memilik grup berisi puluhan cewek penggemarnya. Memuakkan.
“Terkenal banget si blasteran,” kata Kairav saat tiba di samping Feina.
“Udah biasa, cari muka tuh anak! Tapi ini bisa buat aku untung, sih.” Feina tersenyum licik. Terus memacu langkah sampai ke ruang kelas.
Di lapangan basket masih terdengar teriakan kekaguman dari gadis penggemar Firza. Cowok blasteran Belanda yang anehnya tidak tahu satu pun bahasanya itu meliuk gesit menghindari lawan mainnya.
Tangannya cepat mendribble bola ke area ring lawan. Menyibakkan rambut coklatnya naik-turun karena guncangan. Membuat seisi penonton perempuan tambah berteriak kencang.
“Ahhh ...! Firza, fighting!”
“Keren banget, gila! Ahhh .... Firza!” Suara mereka saling bersahutan.
Tiga poin berhasil didapatkan Firza, poin yang sekaligus mengakhiri permainan basket pagi ini. Cowok yang merupakan wakil kapten basket itu berjalan menuju tribun. Mengambil sebotol air mineral.
Firza menegak cepat airnya ketika melihat Risa yang baru saja melewati lapangan basket. Dia berlari menuju pinggir lapangan, menempelkan tangannya ke pagar besi pembatas.
Dia berteriak memanggil, “Risa! Woy, Risa! Nggak mau nyemangatin aku?”
Risa menoleh beberapa saat sebelum kembali melenggang pergi. Menyisakan Firza yang lemas memegang erat pagar besi.
Kesempatan itu diambil oleh beberapa gadis. Menghampiri Firza dengan menyodorkan makanan ringan. Firza tersenyum kecut, ini sudah biasa ia terima. Tanpa malu-malu cowok dungu itu menerima.
Tidak lupa dengan senyum khas miliknya untuk membuat para gadis lebih meleleh. Firza menggenggam sebotol minum dan makanan ringan tadi. Makanan ringan keuntungan yang disebutkan Feina.
Bisa ditebak, semua makanan yang diberikan oleh gadis-gadis itu pada akhirnya Firza berikan pada Feina. Tidak heran saat-saat latihan maupun pertandingan basket adalah ladang untung bagi Feina.
Cewek itu tersenyum girang. Memakan makanan ringan pemberian Firza. Sambil berusaha mengalihkan pendengaran karena teman blasterannya sudah ada di dalam kelas. Apalagi, jika bukan karena suara gaduh gerombolan cewek pencinta Firza.
“Firza, ajarin aku dribble kayak tadi dong!” kata salah satunya yang berdiri mengelilingi meja Firza.
Lelaki itu mengangkat sebelah kakinya. Duduk dengan gaya. “Bisa sih, tapi aku sayang banget sama tangan lembut kalian kalo buat dribble bola basket kasar itu.”
“Kyaaa! Ada aja deh, kamu.” Suara perempuan itu terdengar dibuat-buat. Menghasilkan suara cempreng yang tidak ada lucunya sama sekali.
Keseharian kelas bahasa yang untungnya sudah terbiasa. Mendengar bahkan merelakan kursi-kursinya diduduki para cewek itu. Karena sebagian besar siswi tersebut dari kelas lain. Mungkin karena teman sekelas Firza sudah biasa melihat tampang blasterannya.
Mereka baru bubar saat bel masuk dibunyikan. Dua mata pelajaran terlewati, waktunya siswa-siswi SMA Negeri 1 itu istirahat. Menjajakan sakunya dengan makanan kesukaan.
Cewek berambut sedikit keriting yang diikat separuh merajut langkah menghampiri Feina. Terbentuklah empat sekawan yang semula hanya barisan tiga orang.
Feina, Kairav, Firza, dan Risa berjalan berdampingan. Pergi ke kantin sekolah sama seperti yang lainnya. Melewati lalu-lalang murid lain.
Feina memilih berjalan cepat. Perutnya tidak berhenti mengeluarkan suara kelaparan. Dia berada agak di depan ketiga temannya. Sampai sebuah benda melayang cepat ke arah Feina.
Kairav jeli. Dia menarik paksa Feina yang tidak tahu-menahu. Baru setelah itu terdengar suara benda jatuh cukup keras. Sebuah botol minuman kaleng yang masih berisi dilayangkan dari balkon lantai dua kelas di samping mereka.
Kairav mendekap Feina. Telapak besarnya memegang kepala Feina. Segara pandangan lelaki itu mengedar. Mencari siapa sosok dibalik perbuatan kurang ajar ini.
Matanya tajam penuh amarah, menangkap seseorang yang berjalan menjauh setelah beberapa saat melihat ke arah mereka berdiri.
“Dafa ...." Desis Firza dengan dada naik turun karena kesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
RedPanda
kirain kenapa 🤭
2023-08-08
1
putri bungsu 28
yah ternyata takut bala bala 🤣
tapi caranya itu Lo bikin baper 🥰
2023-08-02
1
Myumy rev
Heleehh apa iya jijik?yang bener~
2023-08-01
0