...Terimakasih sudah mampir♡...
...HAPPY READING...
Seluruh siswa dari berbagai kelas berbondong-bondong keluar kelas. Membawa kelegaan karena pembelajaran telah usai. Setelah kurang lebih sembilan jam mereka habiskan di lingkungan sekolah.
Kairav berjalan cepat keluar gerbang sekolah, diikuti Firza di belakangnya. Cowok blasteran Belanda itu terus mengikuti Kairav melangkah.
“Oi, Kairav! Cepet amat jalannya. Boker lu?” Firza bertanya, beberapa kali ia tidak sengaja menyenggol pelajar lain yang sama ingin cepat-cepat pulang.
Kairav berhenti mendadak, dia menoleh ke belakang. Lalu bicara dengan volume rendah, “Feina nggak masuk. Aku mau mastiin ke mana bocah tengil itu pergi,” ujarnya sambil berkacak pinggang.
Firza mengerutkan dahi, “lha! Nggak tahu? Bukannya Feina pergi ke tempat ayahnya dimakamkan? Kemarin aku mau nyontek tugas, tapi dia pamitnya gitu.” Kepala sedikit ia miringkan ke kiri.
Lelaki yang menjadi lawan bicara Firza mendekat ke arahnya. Memastikan apa dia tidak salah dengar perihal yang dikatakan Firza. Wajah Kairav datar, namun sorot matanya tidak bisa bohong jika dia terkejut.
“Apa maksudmu dengan pemakaman? Berziarah? Ayahnya?”
“Ya, Feina pergi berziarah ke makam ayahnya. Kau belum tahu ayahnya telah tiada empat tahun lalu?” Firza mengangguk.
Kali ini gilirannya yang bertanya heran, karena sejak tahu bahwa Kairav dan Feina adalah teman masa kecil. Firza tidak sampai berpikir jika Kairav tidak tahu-menahu soal ini.
Kairav kaget bukan main, dadanya naik turun begitu cepat. Napas cowok itu memburu. Demi Tuhan, Kairav tidak tahu akan kematian ayah Feina. Selama ini Kairav pikir ayah Feina berada di luar kota untuk pekerjaan.
Mulutnya tidak mampu mengeluarkan suara lebih keras. Ia berbisik, entah pada siapa. “Empat tahun lalu? Kenapa dia nggak pernah kasih tahu aku?” Kairav mengacak-acak rambutnya, kemudian dia pergi meninggalkan Firza yang masih memiringkan kepala.
Saat sampai di halte bus Kairav memutuskan mencari ojek karena menunggu bus tidak kunjung muncul. Kairav ingin cepat pulang, ingin segera menanyakan keadaan Feina kalo-kalo cewek itu sudah berada di rumah.
Akan tetapi, tebakan Kairav lagi-lagi melenceng. Kairav tidak mendapati Feina di rumahnya, dan malah berhasil membuat cemas Dianti karena merasa telah dibohongi oleh putrinya sendiri.
“Kairav!” panggil Dianti ketika melihat Kairav turun dari boncengan motor tukang ojek.
Yang dipanggil memasang wajah cemas, Kairav mengernyitkan dahi. Ia tidak tahu apa yang akan dia katakan pada Dianti kali ini.
Jika Kairav langsung bertanya di mana keberadaan Feina takut jika Dianti akan semakin khawatir. Jadi, Kairav memilih diam. Lebih baik mendengar ucapan apa yang akan dikatakan wanita ini.
“Sudah pulang? Mau mampir dulu, Kairav? Eh! Tapi Feina mana, ada kegiatan lain, ‘kah?” Dianti melontarkan rangkaian pertanyaan.
Kairav membisu, dia menimbang-nimbang apa yang akan ia katakan pada ibu Feina. Tiba-tiba Kairav berpose layaknya cowok kikuk. Menggaruk kepalanya sambil berkata dengan suara keras. Menyusun kebohongan mendadak.
“Ah! Untung Bu Dian kasih tahu aku, kalo nggak tanya soal Feina aku bakal lupa sama tugasku di kegiatan Minggu depan ini. Yah, aku mau balik ke sekolah. Kalo bunda ke sini bilang aja aku ada kegiatan, ya?” Kairav berkata asal.
Dianti melongo, tangannya diangkat dengan gestur jari ibu yang mengacung.
Kairav terpaksa bohong karena ia tahu, dari cara bicara Dianti bisa disimpulkan bahwa Feina tak pernah pulang. Jika Feina sama berbohongnya seperti dia. Sontak Kairav mengangkat langkah. Memacu larinya untuk mencari keberadaan Feina.
Lari kecilnya menyusuri jalanan, mulut sedikit terbuka untuk membantu menyeimbangkan napas dengan tenaganya yang memang tidak terlalu banyak.
Kairav frustrasi, mengapa selama ini dia tidak sadar tentang kematian Rahman? Mengapa orang tuanya juga tak pernah mengungkit, sedangkan ayah Feina adalah sahabat mereka.
Kairav berhenti, mengatur napas yang ngos-ngosan. Dia membungkukkan badan memegang erat lututnya. Kepergiannya setelah belasan tahun membuat Kairav tidak terlalu ingat dengan jalanan kota ini.
“Ke mana lagi aku harus mencarimu?” desisnya dengan memejamkan mata.
Saat ini pemuda itu berada di pinggir jalanan kecil yang hanya bisa dilalui oleh satu truk saja. Ia samar-samar ingat jalan ini tak lain adalah jalan menuju pemakaman. Tapi Kairav ragu, dia takut apa yang akan dilihat ketika berada di pemakaman.
Batinnya belum siap menghadapi Feina yang dalam bayangannya menangis pilu. Alhasil, Kairav berbalik badan. Mengambil arah sebaliknya yang telah ia lalui. Kembali ke jalanan menuju rumahnya.
Setelah sampai di jalan yang biasa Kairav dan Feina lewati ketika pulang sekolah. Kairav memutuskan menunggu gadis itu di depan sebuah toko yang tertutup.
Beberapa orang yang lewat sempat melihat sejenak laki-laki yang duduk di teras sebuah toko. Kakinya gelisah mengetuk-ketuk pijakan. Pandangan matanya mengedar ke segala penjuru. Kairav belum menemukan sosok Feina.
Serayu berembus perlahan menyibakkan hijab instan berwarna coklat susu milik seorang gadis yang tengah duduk berlutut di samping sebuah makam. Tangannya lihai mengambil dedaunan dan rumput yang telah mengering. Menyisakan bunga-bunga penuh warna di pelataran makam milik sosok yang amat ia sayang.
Ia tertunduk, matanya sendu melihat nisan milik sang ayah. Feina kemudian mengulas senyum, meski agak dipaksakan. Gadis itu sekuat tenaga menahan rindu dan pilu yang bercampur jadi satu.
“Ayah ... Feina datang kali ini, bukan di hari seperti biasanya karena entah kenapa Feina merasa ingin mengunjungi ayah,” ujarnya pelan.
Feina menarik beberapa untaian bunga yang telah ia bawa sebelumnya. Sejak pagi tadi, Feina sibuk pergi ke pasar bunga. Mencari bunga yang menurut gadis itu akan disukai oleh mendiang ayahnya.
Saat ini Feina memang berada di tempat Rahman disemayamkan. Benar jika dia berbohong kepada Dianti. Feina takut jika dia mengatakan ingin mengunjungi sang ayah bukan di hari mereka pergi seharusnya.
Cewek itu takut akan mengorek pertanyaan dan rindu yang mungkin selama ini dipendam oleh sang ibu. Jadi Feina memilih berbohong. Berangkat pagi sekali dengan berseragam sekolah, tetapi siapa sangka jika di dalam tasnya bukan buku yang ia bawa. Malah sebuah gamis berwarna pastel yang senada dengan hijab instannya.
Ketika sampai di pasar bunga yang Feina tuju pertama kali adalah toilet umum. Dia mengganti seragamnya dengan pakaian yang telah dibawa. Lalu Feina pergi untuk mencari bunga pilihan. Bunga kesukaan mendiang ayah di masa hidupnya.
Setelah Feina mendapat beberapa tangkai bunga, dia tidak segera pergi ke tempat makam. Dia memilih berdiam di toko buku, membaca beberapa dongeng yang pernah dia dengar dari Rahman. Guna mengobati rindu juga menghabiskan waktu.
Karena Feina berniat pergi ke pemakaman sedikit siang. Sambil menunggu waktu berlalu karena Feina tidak akan pulang cepat, toh dia sedang berbohong masuk sekolah ke Dianti.
Sekitar pukul dua barulah Feina beranjak dari pasar bunga menuju pemakaman. Mengenakan gamis dari pagi hingga siang membuatnya sedikit gerah, akan tetapi entah kenapa Feina justru merasa nyaman. Meski dia belum siap untuk berhijab.
Bunga aster ungu dan putih yang selalu Rahman berikan pada Dianti saat dia pulang dari perjalanan ke luar kota. Bunga aster favorit pria itu yang hampir setiap Minggu berada di atas meja rumah mereka. Namun, Feina tak menyangka bunga aster itu sekarang ada di atas nisan milik sang ayah.
Feina mendongak ke atas lalu berkata pelan, “ayah ... Feina rindu, ibu sering tidur cukup larut karena harus membuat kue. Feina udah bilang untuk kurangin pesanan, tapi ibu bandel. Sama kayak kata ayah dulu, ibu keras kepala.”
“Dan ayah tahu? Bocah lelaki yang dulu pernah aku bikin nangis? Si Kairav cengeng itu sekarang sekolah di sekolahku. Entah apa yang membuatnya berpikir untuk pindah di tahun ketiga. Hissh! Ah ... Mungkin karena kematian kakeknya, sih. Jadi keluarga Kairav balik ke rumah mereka yang dulu.” Feina tertawa kecil, tangannya menutup sedikit mulut yang terbuka. Malu-malu di bicara di samping makam Rahman seolah sang ayah masih ada, masih nyata di samping Feina.
Telapak Feina mengelus lembut batu nisan yang kini sudah berlapis keramik. Lagi-lagi Feina tersenyum tipis, mencoba memperlihatkan bahwa dirinya baik-baik saja di depan mendiang ayah.
“Sudah ya, ayah. Feina mau pulang, takut jika teman sekolahku udah pada pulang. Bisa gawat nanti, soalnya putri ayah ini sekarang pandai meracik kebohongan hehe ....”
Sebelum Feina berdiri meninggalkan kubur ayahnya, Feina menepuk tiga kali nisan milik Rahman. Berharap semua doa, dan cerita yang Feina panjatkan disampaikan dan diterima. Kemudian berjalan pelan keluar area pemakaman.
Jalanan menuju rumah gadis itu semakin dekat, tapi dia lupa untuk mengganti pakaiannya lagi dengan seragam seperti semula. Feina masih dengan gamisnya berjalan lambat setelah turun dari kendaraan umum.
Matanya melihat buah apel dengan harga yang tidak semahal biasanya. Feina memutuskan membeli apel itu, dengan uang saku sekolahnya yang terkumpul beberapa hari ke belakang ini. Dan Feina tidak tahu, tempat dia membeli apel sangat dekat dengan Kairav yang terduduk di depan toko tutup tadi. Sampai ia kaget mendengar suara panggilan yang familier.
“Fefe?!” Teriak seseorang dari belakang Feina.
Feina refleks menoleh, tapi segera dia mengalihkan pandang saat tahu siapa yang memanggilnya. Feina melipat bibir dan memejamkan mata, mulutnya berdesis, “mampus ...!”
“Fefe, kenapa pake bohong segala ke Bu Dian? Dan kenapa nggak pernah cerita soal ayahmu?” Kairav bertanya dengan beruntun. Raganya diam di tempat, melihat penuh arti ke arah cewek di depannya.
Saat itu juga Feina bisa menebak jika Kairav sudah pulang dan bertemu dengan ibunya. Tanpa pikir panjang cewek dengan gamis itu pergi meninggalkan Kairav sambil menenteng sekantong apel.
“Fefe!” panggilnya lagi.
Yang dipanggil berbalik badan, melihat langsung lelaki yang sudah memergokinya. Kemudian ia membuka suara, “ibu tahu kalo aku nggak masuk sekolah?”
Kairav menggeleng pelan, menghampiri Feina yang beberapa langkah di hadapannya. Kairav sempat terkejut saat melihat Feina karena mata sembab yang terlihat jelas.
Kemudian Kairav menanggapi, “aku nggak kasih tahu ibu, tapi aku dikasih tahu Firza soal ayahmu. Kenapa nggak cerita soal ini?”
“Mana mungkin aku ngungkit soal kehilangan? Aneh!” Feina membuang muka, kembali berjalan menuju rumahnya sebelum hari semakin sore. Diikuti Kairav yang di belakangnya, melihat Feina dengan balutan gamis yang amat cantik untuknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Yani Cuhayanih
Kairav kenapa suka ngomong to the point bikin keseeel fefe.....
2023-09-16
0