“30 biji plus dua bonus donat. Pastelnya ibuku nggak bisa buat, dia perlu istirahat beberapa hari ke depan.”
“Cuma ini? Aku udah bilang sama ibu mu, buatkan aku sekitar 60 donat. Tapi okelah, empat ratus sama dua hari kemarin.”
Feina menerima lembaran uang setelah ia menyodorkan sekotak penuh donat cokelat. Tangannya menepuk meja toko yang sudah menjadi langganan sang ibu.
Toko roti dengan gaya bangunan khas tempo dulu yang sudah menjalin kerja sama dengan Dianti. Meski akhir-akhir ini Feina sudah melarang ibunya terlalu banyak bekerja. Satu-satunya cara hanya mengurangi pesanan yang diterima.
Senyum terlukis ketika dia beranjak meninggalkan toko. Dinyalakan motor birunya, Feina mengaitkan tali pada helm warna senada. Gadis itu menyusuri jalanan dengan bersenandung kecil.
Jalan di tempat tinggal Feina tidak terlalu padat layaknya kota-kota besar. Ia tumbuh di pinggiran kota yang cukup maju. Meski gedung-gedung pencakar langit masih bisa dihitung jari.
Cewek bermotor biru muda ini melaju melewati pengendara motor pun mobil-mobil. Ia belok ke arah jalan yang tidak terlalu lebar. Feina sengaja mengambil jalan pintas. Toh, dia harus memberikan pesanan dari pelanggan baru sang ibu.
Feina berhenti ketika sampai di depan sebuah ruko. Tanpa melepas helmnya, dia mendekat ke arah teras ruko.
“Assalamualaikum, Om San! Pesan antar.”
Feina celingukan, matanya mengarah ke penjuru ruangan. Melihat satu per satu gulungan kain yang hampir memenuhi setiap sudut ruang.
Tempat tinggal orang yang dipanggil om San ini tidak lain adalah sebuah ruko kecil. Dia menjual kain-kain yang namanya sudah dikenal seantero kota.
Sebelumnya Feina memang sering menerima pesan antar dari pembeli langganan Dianti, tapi ini kali pertama dia mengantar ke pemilik ruko kain itu. Mungkin sebelum-sebelumnya sang ibulah yang mengantar sendiri, pikirnya.
“Assalamualaikum." Kedua kalinya Feina mengucap salam baru dibalas oleh pemilik ruko.
Pria berperawakan sedikit gempal dan tidak terlalu tinggi menyuruh Feina masuk ke dalam ruko. Feina mengucap permisi sebelum melangkah lebih dalam. om San mengambil beberapa lembar uang dari laci meja kasirnya.
“Sudah lama jadi langganan ibu?” tanya Feina mencoba basa-basi.
“Enggak, baru sebentar. Kamu anaknya Mbak Dianti? Ibumu nggak mau cari suami lagi?”
Jantung berdegup kaget. Hati Feina tiba-tiba terasa teriris, kaget mendengar ucapan dari orang yang pertama kali ia temui. Dari sorot matanya bahkan gerak-gerik tubuh pria itu membuat Feina sangat tidak nyaman.
Apalagi tatapan yang mengarah ke setiap inci tubuh Feina. Segera, Feina menyambar uang yang disodorkan oleh om San. Dia berjalan cepat keluar ruko tanpa menoleh atau mengucap terima kasih.
Gadis itu tidak bisa menyalakan motornya, entah karena dia tergesa-gesa. Tetapi tangannya gemetar. Tiba-tiba dari arah belakang, pundak Feina ditepuk seseorang. Sontak membuatnya berteriak keras.
"Ah!" teriak Feina.
Orang yang menepuk pundaknya sama kagetnya, “hei! Ada apa?”
Feina terdiam, dia menatap kosong ke arah lawan bicaranya. Tangan dan kakinya serasa lemas, badannya gemetar hebat. Kenangan demi kenangan tentang sang ayah memutar di pikirannya.
“Feina, ada apa? Kau sakit?” Sambil meletakkan telapaknya di dahi Feina. Cowok itu mencoba mengecek keadaan Feina karena saat ini Feina terlihat sangat pucat.
“Kairav ... Antar aku pulang, aku nggak bisa nyalain motorku. Cepat!” tukasnya pada Kairav yang masih memegang dahinya.
Dinyalakan motor biru milik Feina. Kairav membonceng gadis itu kali ini, tetapi sebelum ia menancapkan gas. Mata Kairav mengedar ke dalam ruko kain tadi, maniknya bertemu dengan sosok om San yang masih berdiri di depan meja kasir.
Om San yang masih memasang pandang pada Feina. Tak berkutik dengan tatapan kotornya.
Angin menerpa wajah Kairav yang fokus ke arah depan. Sejak tadi, mereka terdiam dalam keheningan. Kairav sangat ingin tahu apa yang terjadi, tapi ia urung. Karena genggaman tangan Feina di punggung bajunya yang semakin erat.
“Dari mana kau? Kenapa tahu aku ada di ruko itu?” Feina memecah keheningan.
“Aku tadi diminta ibumu untuk membeli makanan tak jauh dari situ. Saat balik malah pas bertemu denganmu?” ujar Kairav menjelaskan.
Tangan Feina mencengkeram baju Kairav. “Aku mengantar pesanan orang tadi, ibu yang menyuruh. Ini pertama kalinya aku ke sana.”
“Pelanggan baru?” Ia sedikit menolehkan wajahnya, Kairav mencoba membuat Feina merasa lebih baikkan.
Dia tahu betul kenapa temannya seperti ini. Karena sejak kecil, jika sesuatu yang tak mengenakkan terjadi pada Feina. Feina akan bersikap persis seperti sekarang.
“Bisa kau bersamaku lebih lama? Aku tidak mau pulang dulu," pinta Feina pelan.
Mata Kairav melirik ke arah spion motor. Tatapan sendunya mengarah pada Feina yang menundukkan kepala, terlihat jelas dari helm sepeda yang belum ia lepas.
Jalanan pinggir kota yang tidak terlalu bising. Motor dengan beban dua orang melaju tidak terlalu cepat—tidak terlalu lamban. Kairav mengendarai dengan hati-hati. Berusaha membuat Feina lebih tenang.
Sudah hampir satu setengah jam lebih mereka berdua menyusuri jalanan kota. Tanpa tujuan yang jelas, hanya ingin menghilangkan rasa gundah di hati Feina. Sampai Kairav lupa bahwa Dianti juga perlu memakan makanan yang tadi ia beli.
“Astagfirullah ... Bu Dianti kan nyuruh aku beliin makanan karena di rumahmu nggak masak! Kita pulang? Kalo diterusin aku lupa jalanan woy!”
“Lha! Gimana sih, kamu. Aku juga nggak tahulah, lagian mau aja disuruh jalan terus!”
Feina malah balik mengomeli Kairav, padahal dari awal dialah yang meminta lelaki itu untuk tidak langsung pulang. Membiarkannya berlarut dalam rasa kecewa dan sedih yang berkesudahan.
Motor berhenti di depan rumah Feina. Cewek itu segera menuruni motornya, melepas helm yang sejak tadi membuat kepalanya gerah. Sedang Kairav berusaha memasukkan kembali motor ke halaman rumah.
“Assalamualaikum, ibu. Maaf, Bu tadi ada urusan sebentar ke toko buku.” Sambil mencium punggung tangan ibunya.
Sang ibu menggeleng pelan, menghentikan aktivitas yang tiada habisnya di dapur. Dianti berjalan sambil celingukan. Mencari keberadaan Kairav yang belum terlihat.
“Kairav mana?” Ia melongok-kan kepalanya ke arah luar. Berharap anak lelaki itu segera muncul.
“Assalamualaikum.” Senyum manis terlukis di wajah Kairav. Ia berjalan masuk, sedikit membungkukkan badannya. Menyapa Dianti yang balas tersenyum girang.
Feina malah memutar bola mata, ia tak tahan melihat tingkah sok sopan dari teman penuh kepalsuan seperti Kairav.
Makanan yang dibeli oleh Kairav tadi mereka mulai membukanya, hidangan penuh lauk dan makanan berkuah merah mampu membuat ketiganya menelan ludah.
Namun, Kairav terdiam. Menatap nanar ke arah makanan yang tersaji. Mimik wajahnya tergambar sesuatu yang sulit dijelaskan. Kairav seakan berada di dua pilihan. Tangannya ingin sekali menyambar ganas makanan, tapi pikiran malah bergerak ke arah sebaliknya.
“Ada apa? Nggak suka makanan ini?” Feina mengamati. Mengucap sepatah pertanyaan yang membuat Kairav berubah tingkah.
“A–enggak, kok! Ini malah kesukaanku!”
Cowok itu bergerak gelisah di tempat duduknya. Mengambil beberapa suap makanan yang jarang sekali Feina lihat pernah dilakukan teman yang lain. Karena saking sedikitnya porsi makan yang Kairav ambil.
Dianti terbelalak, ia menyuruh Kairav makan lebih banyak. Tak usah sungkan, katanya. Tapi Kairav menjawab pelan. Jawabnya, Kairav sudah terlalu kencang sebelum pergi ke rumah mereka. Perutnya bukanlah milik Feina yang apa pun bisa tertelan.
“Kalo ndak ada kegiatan ke sini lagi, Kairav. Makin gede kok makin ganteng," pujinya pada Kairav ketika dia pamit pulang.
“Hehe, emang ganteng dari dulu kok Bu.” Mengangkat jari telunjuk dan ibu jarinya di tepat di bawah dagu. Kairav tersenyum miring, memperlihatkan wajah sombongnya.
“Idih, udah sono pulang! Betah bener di rumah orang, "titah Feina muak.
Dianti hanya menggeleng, tidak habis pikir dengan sifat putrinya masih sama saja. Sama blak-blakan seperti mendiang sang suami.
Di dapur, Feina membantu ibunya membereskan bekas makan tadi. Mencuci dengan telaten. Lalu Feina teringat kejadian siang hari, ketika ia mengatakan pesanan ke ruko kain. Dadanya kembali terasa sakit.
Feina menoleh melihat sang ibu, kemudian melontarkan pertanyaan. “Em ... Si Om San pemilik ruko kain itu langganan baru ibu?”
Dianti mengangguk pelan, sebelum ia berjalan mendekat ke Feina. Berdiri beriringan. Harum tubuh ibunda tercium lembut oleh Feina. Sejak Feina kecil, ibunya selalu memakai parfum yang sama. Feina ingat persis, ini adalah aroma yang ayahnya hadiahkan kepada sang ibu.
“Sejak kapan?” Feina menimbang-nimbang. Sudut matanya, melirik ke arah Dianti. Menilik gerak-geriknya yang mungkin saja bisa berubah.
“Entah, ibu ndak ingat mulai kapan. Memangnya kenapa? Tumben kamu tanya-tanya soal pelanggan ibu.”
Feina tersenyum simpul, ia menunduk dalam, “endak, cuma tanya aja kok. Tapi, Bu ... Ibu sebaiknya berhenti antar ke orang itu. Feina kok ngerasa nggak enak, dia kayak bukan orang baik.”
Pinggang Feina tiba-tiba dicubit, sontak membuatnya menjerit. Dianti memarahi Feina karena bicara sembarangan, dia melarang berburuk sangka terhadap orang. Siapa tahu om San yang Feina bicarakan malah orang yang amat baik.
Tetapi, Feina ragu akan hal itu. Feina masih teringat dengan ucapan dan tatapan yang om San buat. Feina yakin, apa yang ia pikirkan tentang pria itu benar adanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Yani Cuhayanih
ada trauma apa sih yg pernah dialami feina...aku trauma takut hantu....eeeh malah ampir tiap hari berseliweran...
2023-09-15
1
Cokies🐇
Heh!
2023-08-15
1
Ara Julyana
tuh kan Feina kena cubit kamu
2023-07-24
1