Bibir Kairav menyentuh ujung hidung Feina yang terasa dingin. Sorot matanya melembut menatap manik Feina. Kairav sendiri kaget kenapa dia melakukan hal ini.
Apalagi Feina, dia amat sangat tercengang. Bibir mungilnya menyentuh dagu Kairav, kini jarak antara dua orang itu sangat dekat. Terlebih, tubuh tinggi Kairav mengurung Feina yang bersandar di meja.
Setelah beberapa saat, Kairav menyadari perbuatannya. Dia memundurkan wajah, jarak keduanya tinggal beberapa senti saja. Namun, dia menelan saliva sembari mengalihkan pandangan pada bibir mungil gadis yang ia tawan.
Feina melihat Kairav dengan tatapan kosong. Pikirannya amburadul tidak bisa mencerna kejadian yang secepat kilat ini. Untuk bergerak dia tidak mampu, badannya kaku. Bergeming sempurna.
Rasanya Feina ingin menampar cowok itu, memakinya dengan ribuan kata kasar yang dia tahu. Tapi kemudian badannya tambah terasa lemas, karena Kairav kembali memajukan wajahnya.
Ingin rasanya Kairav mencoba bibir pink itu, tapi bukankah ini terlalu awal? Dia bahkan tidak tahu apa yang sesungguhnya hatinya rasakan. Kenapa tindakannya itu terlalu tiba-tiba?
Kairav tidak ingin gegabah, dia menekan kencang dan meremas telapaknya yang ada di atas meja. Mencoba mengembalikan kesadaran yang entah lari ke mana.
“Maaf,” desis Kairav seraya berdiri dan mundur beberapa langkah. Setelah itu dia keluar kelas tergesa-gesa.
Feina masih kaget, dia mengedipkan kelopak matanya beberapa kali. “Kal! Kal! Apa maksudmu?” katanya beranjak berdiri mengejar Kairav.
Hampir, ciuman pertama Feina direnggut oleh lelaki itu. Ciuman pertama yang ia simpan dan jaga baik-baik untuk jodohnya nanti, pikir Feina.
“Kal! Tunggu!”
Feina berlari mengikuti Kairav yang berjalan cepat tak tahu arah. Teriakan Feina hampir membuat seluruh siswa yang sedang berada di dalam kelas lain menoleh ke jendela kelas. Penasaran dengan apa yang telah terjadi.
Sampai di jalan menuju gazebo belakang mereka sama-sama berhenti. Napas terengah-engah, rambut Feina acak-acak kan. Jari-jari panjangnya sedikit merapikan rambut yang terurai.
Feina tertunduk diam dengan bibir yang sedikit ia gigit. Feina tidak mungkin memaki Kairav langsung sementara raut wajah lelaki itu tidak bisa lagi dijelaskan dengan kata-kata.
Lelaki jangkung itu merasakan detak jantungnya berdegup cepat. Rasa panas memenuhi sekujur tubuh, Kairav hampir mencium bibir Feina jika saja dia tidak mengembalikan kewarasannya.
“Apa yang kau pikirkan? Apa yang coba kau lakukan?” Feina melihat punggung Kairav yang berada di depan, membelakanginya.
Kairav membalikkan badan, mata Kairav merah berkaca-kaca. Wajahnya tampak bingung, takut dan perasaan tidak mengenakan yang berpadu jadi satu.
“Maaf,” katanya pelan, “maafkan atas tindakanku tadi. Aku—aku kehilangan akal, aku gak sadar Fe. Bukan maksudku melakukan itu ... Kau, kau percaya kan?”
Dari sela bicaranya terdengar terbata-bata. Suara Kairav bergetar, dia tidak tahu harus menjelaskan apa. Semua ini di luar kendalinya.
“Kal, it’s ok. Tenanglah,” ucap Feina sambil mendekati Kairav.
Ingin rasanya Feina memeluk erat Kairav meski telah melakukan hal tidak terduga itu. Tapi saat ini Kairav malah membuatnya merasa kasihan.
Dia mengulurkan tangannya untuk menepuk pundak Kairav, tapi Kairav menghindar. Refleks kakinya mundur ke belakang menjauhi Feina di depan.
Katanya lirih tak berani menatap Feina, “tinggalkan aku sendiri ... Aku butuh waktu.”
Feina terpaku melihat kepergian Kairav. Satu-satunya yang bisa ia lakukan sekarang hanya menghembuskan napas panjang.
“Apa sih yang kau sembunyikan?” bisiknya lalu kembali ke kelas.
Di dalam kelas semua pelajar sudah berbincang-bincang. Ada yang menikmati makanan ringannya, ada yang sibuk mengeringkan tubuhnya karena keringat seraya menunggu pelajaran berikutnya dimulai.
Feina membuka lebar-lebar jendela di samping tempat duduknya, dia menginginkan lebih banyak angin untuk menyegarkan kegerahannya. Siapa tahu, bisa mendinginkan pikirannya juga.
Tempat duduk di deretan pojok dan paling belakang membuatnya leluasa mengamati keadaan di depan maupun di samping. Tidak terkecuali Kairav yang bertempat di deretan sebelahnya—tempat duduk tengah.
Kairav bersikap aneh akhir-akhir ini. Semua perilakunya tidak bisa ia tebak, Kairav seperti membentuk dinding tembok di sekelilingnya. Lelaki itu kembali mengabaikan Feina.
Akhirnya, pembelajaran dimulai. Guru pembimbing mata pelajaran memasuki kelas, mengawali dengan menyapa seluruh siswa-siswi kelas Bahasa. Sementara mereka sangat berat hati untuk belajar.
Kantuk dan suntuk rasanya sudah ada di atas umbun-umbun. Seluruh murid tidak sabar menunggu bel pulang dibunyikan setelah berjam-jam mereka habiskan waktu untuk belajar.
Matahari sore pun sudah memancarkan kehangatan seperti biasanya, menembus ke dalam kelas bahasa yang terletak di lantai dua bangunan kelas belakang. Kelas paling pojok setelah deretan kelas IPA.
Kring!
“Yei ...! Go home, go home!” mereka bersorak gembira. Melafalkan ucapan yang bahkan mereka sendiri tidak cukup tahu benar—salahnya.
Rara, Annisa dan Feina berjalan bergandeng tangan melewati kelas IPA-4. Anak-anak IPA-4 menatap sinis ke arah mereka, meski tidak mereka hiraukan sama sekali.
“Jangan nyolot, diem aja udah!” titah Annisa menggandeng erat tangan Rara.
Annisa sudah bisa menembak jika Rara pasti akan membabi buta. Makanya dia langsung memperingatkan sebelum terlambat. Sedangkan Feina menggeleng keheranan dan tersenyum tipis.
Walaupun batinnya terus mempertanyakan kepergian Kairav yang lagi-lagi meninggalkannya. Tidak mengajak Feina pulang bareng. Padahal kan rumah mereka saling berdekatan.
“Eh, Fei. Lo tumben gak bareng Kairav? Dia udah pulang duluan tuh, kayaknya.” Rara memiringkan kepala melihat lawan bicara.
“Gatau! Dia ada urusan kali,” jawabnya datar.
“Ngomong-ngomong, Kairav itu kenapa malah pindah ke sekolah ini? Kan, sekolah ini juga di kota kecil. Bukannya dia dari kota besar?” Annisa menyusun pertanyaannya. Berharap dijawab oleh Feina yang ia pikir lebih tahu soal Kairav.
Feina mengangkat alis, “kenapa? Penasaran banget emang, Nis?”
“Ya, enggak. Cuman, si Kairav itu meski pendiam kayaknya dia lumayan populer di kalangan anak sini. Banyak yang bicarain soalnya.”
“Oh, kirain kenapa. Aku juga gak tahu detailnya. Dia pindah setelah kakeknya wafat, orang udah belasan tahun juga aku gak ketemu. Baru ketemu lagi pas SMA ini.” Feina melepaskan rangkulan tangannya pada lengan Annisa yang berjalan di tengah.
Sampai di tempat parkir sepeda kayuh. Mereka berpisah, karena Rara dan Annisa harus menunggu bus. Dua cewek itu berangkat dan pulang sekolah dengan menaiki bus.
Di rumah Feina segera merebahkan tubuhnya di atas kasur. Masih malas untuk mandi, dengan menggunakan seragam olahraganya. Dia berniat membantu Dianti yang sibuk di dapur sedang menyiapkan beberapa bingkisan kue pesanan.
“Feina bantu, ya?” senyum hangat terlukis di wajah merona Feina, nada bicaranya berubah lembut.
Dianti membalas senyumnya, kemudian berujar, “kamu kan baru pulang sekolah. Istirahat dulu, terus mandi baru bantuin ibu.”
“Ndak, ah! Aku udah cuci tangan juga kok,” dalilnya.
Dianti menggelengkan kepala, dia tidak berniat menjawab ocehan Feina. Ia pun menatap Feina dengan tatapan menelisik, “kamu ... Marahan sama Kairav?”
Sontak membuat Feina menghentikan kesibukannya, dia menatap Dianti ragu-ragu. Kenapa bisa ibunya tahu soal ini?
“Enggak, emang ibu kok bisa mikir gitu kenapa coba?” tanya Feina mencoba menutup-nutupi.
Dianti berkata pasti, “ya tahulah, akhir-akhir ini kamu kan nggak pernah berangkat bareng Kairav. Ibu lihat juga pulangnya nggak bareng. Pasti lagi marahan, kan?”
Feina mendengus pelan, salah satu tangannya memegang pinggang. Kemudian dia mengulas senyum palsu, “jangan berburuk sangka lho, Bu. Nggak baik, lho!” tukasnya lagi-lagi mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Iya, iya. Tapi, jangan bertengkar beneran lho, Feina. Kalo misal ada salah langsung minta maaf, kamu sama Kairav kan sudah berteman sejak kecil. Pertahankan itu!” katanya panjang lebar, Feina yang mendengarkan hanya mengangguk-angguk.
Feina dan Dianti bersamaan melipat tangan, anak dan ibu itu merasa lega karena sudah membereskan pekerjaan. Tinggal diantar dan menunggu pemesan mengambil pesanannya.
“Oh ya, ibu udah minum obat kan?”
“Sudah sayang,” jawab Dianti sambil memperagakan gerakan hormat. Membuat putri tunggalnya tersenyum gemas.
Feina mengangkat jempol beriringan dengan suaranya yang keluar, “sip! Jangan sampai telat-telat ya, ibu ... Kalo gitu Feina ke kamar, ya. Ibu segera istirahat.”
Langkah Feina memasuki kamar, meninggalkan wanita itu yang masih di dapur sedang melepas celemeknya. Kemudian Dianti memeras dada, batuk yang selama ini ia tahan di depan sang putri akhirnya keluar juga.
Dia memelankan suara batuknya, menutupi mulut dengan kedua tangan. Mengeluarkan suara batuk tidak langsung dari mulut. Tercekat di tenggorokan supaya volumenya tidak sampai didengar Feina.
Beberapa saat kemudian, tubuh Dianti jatuh ke lantai. Dia memegang erat pinggiran meja dapur dengan salah satu tangannya dan tangan yang lain mengelus dada.
Ingin sekali Dianti menangis. Bukankah semua ibu akan seperti itu? Jika menghadapi keadaan dirinya sedang sakit sementara anak mereka masih perlu makan. Terlebih, Dianti menjadi satu-satunya tulang punggung untuk mereka berdua.
Apalagi penyakit turunan yang Dianti idap, membuat wanita ini semakin tenggelam dalam kegundahannya sendiri. Hanya Feina, putri satu-satunya yang menjadi semangat dan energi yang selama ini Dianti terima.
Lampu remang-remang dalam kamar seorang gadis yang tengah berbaring di atas kasur sedang membaca sebuah novel kesukaan. Sesekali gadis itu menyipitkan mata karena sudah kantuk. Tapi, buku bacaan terus menariknya untuk membalik ke halaman berikutnya.
Feina membenarkan posisi yang semula rebahan menjadi bersandar di dinding kasur ketika dia memasuki bab novel yang menegangkan. Mukanya serius, fokus menilik satu per satu kata. Kalimat demi kalimat dalam novel.
Tiba-tiba, di sela-sela fokusnya. Kepala Feina memutar ulang kejadian di sekolah tadi. Hidung Feina pun mengernyit. Mendadak bibir Kairav yang mencium hidungnya kembali ia rasakan.
Detak jantung Feina menjadi tak beraturan, wajahnya terasa panas dingin. Jika dia mengambil kaca dan bercermin, mungkin wajahnya sudah merah padam.
Feina terbelalak. Dia seperti terjungkal, terjenking, terjengkang. Membuat tangannya yang sedang memegang novel kesayangan melempar sarkas buku itu ke depan ranjangnya.
Ah! Kurang ajar! Bisa-bisanya aku malah kepikiran itu lagi! Kairav bego!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments