Suara Feina tercekat. Dia meringkuk di atas kasur, menyelimuti tubuhnya dengan kain tipis tak lebih lebar dari selimut biasanya. Kain bercorak bunga dan merpati hadiah dari sang ayah.
Wajahnya merah padam. Buliran kristal terus berjatuhan, membuat mata gadis itu menjadi sembab. Hidung mancungnya berubah merah. Sejak tadi, Feina sudah menangis. Perkataan pemilik toko kain masih bergema di telinganya. Perkataan tak manusiawi.
Di dalam kamar yang tidak terlalu besar itu Feina menangis tertahan. Teringat akan kasih sayang mendiang ayah. Sosok lelaki yang membuat Feina menjadi gadis yang kuat. Tetapi, tidak untuk kali ini. Dia lunglai, lemah tak berdaya.
Kepalanya terus memutar kenangan demi kenangan masa lalu bersama sosok ayah. Kematian mendadak yang dialami sang ayah membuat Feina amat terpukul. Apalagi kebenaran yang perlahan terungkap di balik tiadanya lelaki penuh kasih itu.
Sang ayah meninggal di dalam mobil. Sehari setelah kematiannya, baru ditemukan keberadaan mobil dan jasad yang semula tiada kabar. Rahman ditemukan dalam keadaan bersandar dan memegang sebuah album kecil keluarganya.
Keluarga Feina belum bisa menerima kematian Rahman, terutama Dianti. Ia terus bersikeras untuk dilakukan autopsi. Sampai diketahui penyebab kematian Rahman karena overdosis.
Hasil autopsi menunjukkan adanya kandungan rocuronium atau obat yang digunakan untuk melemaskan otot. Sebuah obat bius yang biasanya digunakan untuk anestesi. Kandungan ini ditemukan dalam organ hati, lambung dan darahnya. Tetapi tidak ada yang tahu dari mana Rahman mendapat obat ini.
Sejak saat itu banyak terdengar omongan-omongan tak mengenakan dari sebagian orang. Mengatakan bahwa Rahman tiada karena bunuh diri, ada yang mengatakan Rahman mati karena dibunuh. Tetapi tak sedikit dari mereka yang percaya semua ini karena nasib.
Mendengar selentingan yang dikatakan orang-orang tanpa dasar itu membuat Feina semakin geram. Dia semakin larut dalam kesedihan. Dianti? Jangan tanya soalnya, wanita itu amat sangat bersedih hati.
Beberapa hari setelah kematian sang suami, Dianti jarang menyentuh makanan. Badannya selalu lesu, sorot mata yang semula ceria berubah kosong. Hari-hari dilewati Feina dan Dianti penuh duka.
Namun Feina cukup tahu, dia tidak bisa membiarkan ini. Feina mencoba bangkit meski dengan luka, menggandeng erat ibunya dari keterpurukan. Sampai waktu mengobati sedihnya. Feina dan sang ibu mencoba ikhlas atas kepergian sang ayah.
Setelah hampir dua Minggu waktu berlalu tanpa Rahman. Mereka memutuskan menjual mobil mendiang Rahman. Meski tak cukup di situ, Dianti dengan pertimbangan akhirnya menjual sekaligus toko kuenya.
Dianti memilih untuk melanjutkan usaha serta hobinya di rumah. Merelakan toko kue yang Dianti dan Rahman bangun. Toko kue yang penuh dengan kenangan mereka berdua.
Feina menarik kain pemberian sang ayah. Mengusap buliran-buliran air yang menetes pelan di atas pipinya. Ia menghela napas panjang, mencoba menyudahi tangisnya di malam yang semakin larut.
Gadis itu mulai menangis sejak masuk ke dalam kamar. Setelah pikirannya terus menggemakan ucapan dari om San saat mengantar kue. Feina takut langkah pria kurang ajar itu akan semakin jauh yang akhirnya malah membuat Dianti kembali jatuh.
Alhasil, setelah makan malam Feina segera beranjak ke kamar. Menenangkan hati dan otaknya. Namun nihil, malah dialah yang kembali jatuh. Dia tidak bisa menahan gejolak rindu, sedih maupun marah yang berakhir dengan tangis.
Gadis itu semakin tenggelam dalam balutan kerinduan dan tangisnya pada almarhum sang ayah, sampai tanpa sadar Feina terlelap.
Pagi hari diawali oleh lelaki yang memiliki tahi lalat kecil di ujung hidungnya dengan semangkuk sup sayur buatan ibunda. Kairav mengangkat mangkuk sup, mendekatkan mangkuk yang tinggal berisi kuah ke bibirnya. Menegak kuah sup diakhiri suara “ahh ....” Penuh kelegaan.
“Alhamdulillah, enak juga supnya,” ujarnya sambil tersenyum ke arah ibunda.
Ranti membalas dengan senyum gemas, melihat kelakuan anaknya yang sangat kekanakan di depan mereka tapi justru sok pendiam di luaran sana.
“Udah hampir setengah tujuh, Kairav berangkat ya, Bun. Assalamualaikum, “ tukasnya sambil mencium punggung tangan kedua orang tuanya.
Kairav berjalan keluar rumah, menenteng ransel hitam di salah satu pundaknya. Penampilan Kairav terlihat memesona. Rambut mengilat ketika terkena sinar pagi, tak elak beberapa helai rambut jatuh ke keningnya yang tidak terlalu lebar juga tidak terlalu kecil itu.
Kaki kairav terhenti tepat di depan rumah Feina. Dia berniat mengajak Feina berangkat bareng menuju sekolah.
Kairav celingukan, dia mendekat ke arah pintu yang masih tertutup rapat, “Assalamualaikum, Fefe. Nggak sekolah apa? Kita bareng aa ....”
Belum sempat Kairav melanjutkan ucapannya, pintu terbuka menampilkan sosok Dianti yang sudah siap dengan celemek tempurnya. Dianti menjawab salam Kairav, lalu mempertanyakan maksud dan tujuan lelaki itu.
“Waalaikumsallam, Kairav ada apa? Ah! Pasti mau bareng Feina, ya?” tanyanya dengan mata berbinar.
“Iya, Bu. Feina nya mana?” balas Kairav sambil tetap menelisik ke dalam rumah.
Dianti mengangguk-angguk, bibir ia tarik hampir membentuk garis lurus lalu melanjutkan, “yah, Feina udah berangkat sejak tadi pagi, Nak Kairav. Besok kalo mau bareng bilang dulu sama tuh anak, emang agak bebal si Feina. Pas udelnya bolong aja berangkat pagi, coba enggak.” Sambil menggeleng heran.
Kairav tersenyum kikuk, mimiknya berubah masam. Dia sedikit memanyunkan bibirnya, kemudian mendekat ke arah ibu Feina untuk mencium punggung tangan wanita itu lalu segera berangkat ke sekolah.
Halaman sekolah sudah dipenuhi oleh pelajar yang berlalu-lalang menuju lapangan sekolah. Kairav melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan. Ia sampai di sekolah tepat sebelum bel apel dibunyikan.
“Hei! Murid baru, bawa topi nggak lu?” Firza menghampiri setelah melihat Kairav memasuki ruang kelas.
Kairav menggeleng pelan, dia balik bertanya “buat apa topi? Ada upacara?”
“Yoi, eh! Bukan sih, cuma apel tapi lu nggak tahu aja siapa yang pemimpin apel hari ini.” Firza berdecak keras, tangan kanannya merangkul paksa pundak Kairav yang malah tidak nyaman.
Seluruh murid sudah berbaris di tengah lapangan sekolah. Beberapa terlihat berseragam rapi lengkap dengan topi. Walaupun tak jarang juga dari mereka seakan asal-asalan memakai seragam.
Kelas 12 Bahasa berada di barisan paling ujung dan paling depan. Barisan dengan siswa tidak cukup banyak seperti siswa di kelas lain. Kelas Bahasa hanya dihuni oleh 29 pelajar, dan hanya punya satu kelas pula.
Memang, jurusan Bahasa di sekolah ini adalah jurusan baru. Di tahun ini mereka juga masih angkatan ke empat. Kelas yang diremehkan dan dipandang sebelah mata.
Sejak apel pagi dimulai, Kairav tidak fokus. Pandangan cowok ini mengarah ke arah yang berbeda. Jalan depan gedung B yang langsung searah dengan keluar—masuk sekolah. Kairav sedang mencari dan berharap Feina segera muncul.
“Fyuhhh! Udah selesai, muak banget sama tuh guru!” kesalnya sambil terus berjalan pelan, sesekali mengangkat satu per satu kakinya yang linu akibat terlalu lama berdiri.
Ya, apel pagi ini malah lebih menjengkelkan daripada upacara. Guru yang menjadi pemimpin terlalu banyak bicara, membuat seluruh pelajar serasa dipanggang dengan sinar matahari langsung.
“Makanya tadi aku tanya bawa topi apa enggak, orang gurunya si anu. Bisa gosong lama-lama!” Firza terus mengoceh.
“Udah segitu putihnya, masih kurang aja. Laki nggak, sih? Blasteran emang beda.” Mulut Kairav komat-kamit. Melontarkan kata-kata yang berhasil membuat Firza memeras dadanya.
Jarum jam tak berhenti memutar, satu—tiga mata pelajaran telah terlewati. Namun tidak segera Kairav dapati Feina. Gadis itu dinyatakan tidak masuk hari ini, tapi bukankah Dianti tadi bilang bahwa Feina sudah berangkat pagi-pagi sekali? Kairav terus menerka-nerka.
Jam terakhir sebelum kelas selesai, Kairav menjatuhkan kepalanya di atas meja. Dia terpejam sejenak, tidak peduli dengan tugas yang diberikan sang guru. Hari ini Kairav tidak semangat sama sekali.
Terdengar suara bel pulang dibunyikan. Tiga kali bunyi bel berarti mereka siap menyudahi pembelajaran yang sudah membuat suntuk. Kairav mengemasi buku-bukunya sebelum bel dibunyikan malah. Dia ingin tahu ke mana perginya Feina, dan alasan kenapa cewek itu berbohong pada ibunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Yani Cuhayanih
waah feina bolos kemana...
2023-09-15
1
Cokies🐇
nangis 😭😭
2023-08-17
2
Ara Julyana
kasihan Feina😔
2023-07-28
0