Atmosfer di ruang tamu mendadak terasa sunyi. Satu orang dewasa terdiam menatap salah satu dari dua remaja yang menunduk di depannya. Dianti merasa kecewa dan sedih atas sikap Feina yang berani membohonginya.
Ya, setelah Feina dan Kairav berpapasan di jalan sore tadi. Mereka berdua memutuskan kembali ke rumah. Kairav mengikuti Feina karena ingin meminta penjelasan. Jadilah mereka berdua kena marah Dianti.
Dianti berwajah datar tanpa ekspresi menyuruh keduanya duduk di kursi ruang tamu. Tidak ada kata-kata lain yang keluar dari mulut wanita itu. Keadaan menjadi sangat hening. Hanya ada perasaan kecewa dari Dianti dan penyesalan dari Feina pun Kairav.
“Maaf, Bu. Feina ndak bermaksud buat bohong, Feina cuma ....” Gadis itu berhenti bicara, dia tidak tahu harus memberi penjelasan seperti apa pada sang ibu.
“Kenapa kamu harus bohong sama ibu? Kamu kan bisa bilang, Feina!” bentaknya pada Feina.
Feina terdiam, dia takut menanggapi. Wajahnya semakin tertunduk dalam. Mendengar volume suara yang tidak biasanya Dianti lontarkan pada Feina membuat gadis itu kaget. Baru kali ini Dianti berkata keras.
Tatap matanya beralih ke pemuda di samping Feina, mulutnya juga tak enggan menyemprot Kairav. Katanya sambil mengelus dada, “kamu juga nak Kairav, kenapa nggak kasih tahu kalo Feina bolos sekolah?”
“Maaf, Bu Dian. Saya takut malah bikin ibu khawatir. Tadi Kairav emang mau cari Feina dulu ke mana. Kairav minta maaf,” mohonnya.
Dianti menutup mata, dia memalingkan wajah. Degup jantung yang sejak tadi terpacu berakhir dengan derai air mata yang perlahan jatuh. Seorang ibu tengah menangis. Ia menangis tanpa suara di depan dua remaja yang sama-sama membisu.
Tangan kanannya menutup erat bibir. Dahinya mengernyit, titik demi titik air membasahi pipinya yang sedikit keriput itu. Melihat ibu yang tak kuasa menahan tangis membuat Feina gelagapan. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Karena Feina tahu dialah yang salah.
Perlahan Feina mendekat ke tempat Dianti duduk. Membelai lembut pundak ibunya. Mata Feina memicing dan berkaca-kaca. Bibirnya melengkung ke bawah. Tetapi dia berusaha menahan, tidak ada selain dirinya yang akan menenangkan kerinduan dan kesepian Dianti.
Kairav bergerak maju, mengikuti Feina menenangkan Dianti. Lalu dia berbisik, “Feina antar ibumu ke kamar. Suruh dia istirahat sebentar, aku akan mengambilkan minum,” tukasnya kemudian berjalan ke arah dapur.
Feina mengangguk pelan, “ibu istirahat dulu, ya? Biar Feina antar ke kamar.”
Tangannya menggandeng Dianti menuju kamar. Berusaha membuat hati sang ibu merasa nyaman. Feina menyelimuti separuh tubuh Dianti yang bersandar di susunan bantal.
“Ibu istirahat, ya ... Maafkan Feina karena bohong, Feina tahu ini salah. Tapi, Bu Feina juga takut jika Feina bilang mau menjenguk ayah akan membuat ibu berpikir yang tidak-tidak. Apalagi ini juga bukan di hari kita biasanya pergi.” Feina menjelaskan sambil memegang erat telapak Dianti.
“Ibu khawatir, ibu takut, ibu juga rindu ... Ayahmu, ibu rindu ayahmu.”
Tangis Dianti tiba-tiba pecah, dengan suara serak yang ia coba tahan sekuat tenaga. Dalam pikirannya, dia telah berjanji tidak akan menangis di depan Feina. Namun hari ini berbeda, wanita itu sudah tidak tahan.
Feina mengangkat wajah, menatap kalut ke langit kamar. Batinnya berteriak kencang, hatinya menangis pilu.
Akhh ... Aku takut, aku juga rindu, dan aku juga ingin menangis! Tapi aku nggak mau jatuh lagi, cukup empat tahun lalu! Aku masih ada ibu, kumohon bertahanlah!
Feina menarik tubuh ibunya ke dalam dekapan. Dia memeluk erat Dianti, berharap kehangatan dan ketenangan yang tersisa di dalam dirinya tersalurkan pada sang ibu. Tidak peduli seberapa pun itu. Semua! Tak apa.
Kairav terpaku di depan pintu. Membawa segelas air putih yang akan dia berikan pada ibu Feina. Tapi kakinya tak bisa dia gerakkan.
Mendengar suara tangis dan suara seseorang yang mencoba menenangkan saling bersahutan membuatnya tidak berani melangkah maju. Kesedihan yang dialami Feina dan Dianti bak tersalurkan ke dalam hati Kairav.
Kairav menggertakkan gigi sebelum memutuskan mengetuk pintu kamar Dianti. “Bu Dian, minum dulu lalu istirahat.”
“Benar kata Kairav, Bu. Ibu istirahat, ya? Feina mau bersih-bersih, badan Feina bau apek, nih!” katanya sambil tersenyum simpul.
Mereka berdua keluar kamar, meninggalkan Dianti sendirian agar bisa menenangkan pikiran dan beristirahat. Feina dan Kairav kembali ke ruang tamu. Mereka lagi-lagi diam, tidak ada yang mau memulai bicara.
Kairav melihat Feina duduk, tatapannya sendu. Dia paham sekarang, mengapa Feina tidak pernah cerita soal ayahnya. Karena rasa sakit saat kehilangan begitu dalam, sama sakitnya ketika Kairav ditinggalkan oleh sang kakek.
“Feina ...,” panggilnya seraya mendekat ke tempat duduk gadis itu.
Tangan Kairav ragu-ragu mengarah ke Feina yang masih berbalut gamis. Kemudian dia mengepalkan tangan, urung untuk menyentuh gadis di hadapan.
Kairav berdiri, mengambil ranselnya yang tergeletak di bawah meja. “Aku mau pulang dulu, cepat beres-beres!”
“Feina, kalo nggak bisa kau bendung. Keluarkan lah!” sambungnya tanpa menoleh ke arah Feina.
Cowok itu berjalan keluar rumah, menenteng tasnya dengan lesu. Pikiran Kairav terasa aneh, ia tidak paham apa yang sedang dirasakannya. Kairav juga teringat akan sang kakek, wajahnya menengadah ke langit senja.
Dia tersenyum, “semoga kalian berada di tempat terbaik!” Perkataannya tertuju pada mendiang Rahman dan kakek, kemudian Kairav berjalan memasuki pekarangan rumahnya.
Tubuh jangkung terjatuh ke atas kasur. Menghasilkan suara decitan dari ranjang kasur. Kairav lelah hari ini, dia melebarkan posisi tangan dan kakinya terlentang di atas benda ber-gravitasi besar itu.
Kairav melamun, lehernya masih mengalungkan handuk kecil yang melingkar tanda dia habis keluar kamar mandi. Tangan mengulur ke atas, menyibak kehampaan udara. Gerakannya seolah ingin memegang sesuatu tak kasat mata.
Kairav tersentak, telinganya menangkap suara dering ponsel. Ia segera mencari ponselnya dan melihat pesan dari siapa. Saat tahu pesan itu dikirim dari Feina, Kairav mengubah posisi menjadi duduk penuh semangat.
Dia menyambar jaket yang tergantung di belakang pintu, keluar kamar sambil tergopoh-gopoh. Feina mengajaknya keluar malam ini, dan Feina juga yang akan mentraktir makanan.
“Ayah, bunda mana?” tanyanya saat tidak melihat bunda di samping ayah yang menonton TV.
“Bunda lagi di kamar mandi, kenapa? Mau keluar?”
Kairav mengangguk, alisnya terangkat tinggi. “Kasih tahu bunda, ya. Nggak akan pulang malem, kok!”
“Jangan makan aneh-aneh!” Teriak Damar dari dalam karena Kairav sudah hilang di kegelapan malam.
Wejangan yang selalu orang tua Kairav wanti-wanti pada putranya. Terdengar tidak masuk akal memang. Tetapi Damar dan Ranti juga amat takut, jika Kairav berani coba-coba meski putranya bukan anak kecil lagi.
Kairav berjalan cepat menghampiri seseorang yang sudah lengkap dengan jaket berwarna abu-abu sedang duduk di atas sepeda motor.
“Nunggu lama?” Kairav menepuk cukup keras pundak Feina, gadis itu kaget bukan kepalang.
“Kurang ajar! Cepet naik!”
Sepeda melaju berkecepatan sedang. Melewati hiruk-pikuk kota kecil yang masih ramai dengan aktivitas malam orang-orang. Kedua anak itu terlihat sangat menikmati perjalanan.
Feina fokus ke jalan depan, sesekali mengintip spion untuk melihat Kairav. Lelaki itu tidak bisa diam, menengok kanan—kiri mengamati segala sesuatu yang mereka lewati.
Suaranya sedikit ia keraskan sambil mendekatkan kepala lebih dekat di telinga Feina, “ibu udah tidur?”
“Jangan deket-deket, woy! Aku nggak budek! Udah tidur, aku juga udah bilang kalo mau keluar, aku suruh ibu istirahat lebih awal,” jelasnya.
“Terus kita mau ke mana?” tanya Kairav gusar. Pegangannya kuat pada belakang sepeda motor. Tidak berani memegang pinggang milik Feina.
Feina tersenyum miring, merasa bangga karena bisa membawa Kairav ke tempat yang hanya dia seorang yang tahu. Feina mendengus, menciptakan suara layaknya banteng yang mengeluarkan napasnya.
Tangannya melambai ke belakang, “diem aja dulu! Nanti juga tahu.”
Lampu jalan menyorot menerangi gelapnya malam. Motor Feina terus melaju ke arah jalanan sepi. Jalan aspal yang tidak lebih lebar dari jalanan di rumahnya. Feina menancap gas lebih kencang, menuju jalan menanjak.
Pohon di kanan pun kiri bergerak pelan mengeluarkan suara karena saling bergesek. Sepinya malam membuat Kairav bergidik ngeri, ternyata cowok itu adalah orang yang sedikit penakut.
Tangannya mulai mengarah ke pinggang Feina. Menarik jaketnya kuat-kuat. Feina berdecak, kemudian menyeringai.
“Masih penakut? Dasar! Bentar lagi sampe, tenang aja!” Ejek Feina.
Benar kata gadis itu, beberapa menit kemudian sepeda berhenti. Di sebuah jalanan menanjak yang sepi bahkan rumah tak satu pun terlihat. Hanya beberapa lampu jalan yang cahayanya tidak begitu terang.
Sebuah bukit kecil yang ada di pinggiran kota ini. Masyarakat setempat menyebutnya gunung kancil, padahal malah bukit kecil yang ada. Aspek jalannya juga sudah dibangun bagus. Tidak heran mereka bisa ke sini dengan menggunakan sepeda motor.
Mata Kairav menyapu segala arah. Tanah datar yang lumayan luas, ada dua sampai tiga meja dan kursi yang tertata. Kairav juga melihat bangunan mirip gubuk dari kayu tanpa tembok. Dan di ujung sana ada satu benda yang terlihat seperti batuan datar besar.
Feina berjalan ke batuan itu, menoleh ke Kairav dengan gerakkan kepala ‘ayo’. Kairav mengikuti, dia menganga. Matanya bulat sempurna, melihat betapa indahnya pemandangan malam jika dilihat dari bukit ini.
“Wah! Tempat apa ini? Kenapa dulu aku nggak pernah tahu?” Matanya masih membelalak takjub.
Feina menyeringai ke sekian kalinya, terus berjalan ke tempat batuan besar. Di duduk di bantuan itu, tangganya menumpu ke belakang.
Kini, keduanya melihat titik-titik cahaya dari lampu-lampu di kota kecil mereka. Titik cahaya yang terlihat sangat jelas ditambah dengan cantiknya ribuan cahaya sang penghuni langit.
Batuan besar itu berada di ujung bukit, menampilkan langsung pesona kota kecil ini tanpa terhalang oleh rimbunnya pepohonan. Bukit yang biasa anak-anak kunjungi untuk bermain, tak jarang juga para keluarga mengadakan camping di sini.
“Cuma kamu yang pernah aku ajak ke sini, jangan gr! Aku tahu bukit ini juga karena ayahku.” Feina merebahkan tubuhnya, menatap lekat-lekat lautan bintang di atas sana.
Kairav mengikuti, berbaring di samping Feina. Dia menyatukan tangan sebagai bantalan kepala. Setiap guratan ekspresi yang terlukis, hanya rasa takjub yang terlihat di wajah cowok itu.
Feina membuka suara, “ayahku sering ngajak ke sini. Dia suka melihat pohon-pohon, apalagi saat purnama tiba. Suka ngeyel ke sini, malah aku yang kayak orang dewasanya.” Feina memilin senyum.
“Ayahmu ... Dia ayah yang baik, aku sedikit ingat pernah ditolongnya dari bocah perempuan tengil dulu.” Melihat ke arah Feina dengan tatapan dendam.
“Pft ... Emang dasar situnya yang cengeng!” Feina menghela napas sebelum melanjutkan, “empat tahun lalu ayahku pergi. Dia meninggal sehari sebelum jasadnya ditemukan. Aku udah nggak mau urusan sama penyebab kematian ayah. Terlalu sakit, lebih baik nggak usah tahu kenyataannya, Kal.”
Dada Kairav berdegup ketika mendengar ucapan akhir Feina. Kal? Feina memanggil namanya? Sejak mereka bertemu untuk pertama kalinya Feina memanggil namanya.
Panggilan nama yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan nama Kairav. Tetapi dulu, ketika mereka masih kecil, Feina cukup pelat. Inginnya memanggil Kairav, tapi yang keluar dari mulut Feina kecil dulu malah Kal. Jadilah sampai sekarang panggilan itu menyatu dengan bibir mungilnya.
Tiba-tiba, tubuh Kairav terlempar ke samping. Mengurung Feina yang ada di bawahnya dengan kedua tangan Kairav. Mereka saling bertatapan. Feina melotot sementara Kairav berbinar-binar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Ara Julyana
sedihnya di moment begini😭😭
2023-08-01
0
Myumy rev
Wkwkwk Feina galak tatutt
2023-07-28
1