NovelToon NovelToon

A Little Dandelion

Teratai Putih

Holla, dengan Donat Ubi di sini! Terimakasih udah mampir, jangan lupa kasih like, comment dan subscribe. Follow ya juga ehe(⁠づ⁠ ̄⁠ ⁠³⁠ ̄⁠)⁠づ

🐾🐾🐾

“Ini, semoga kita bisa berteman!” ucap gadis kecil berkepang dua sembari memberikan bingkisan cokelat berpita biru kepada bocah lelaki yang malu-malu menerimanya.

“Terima kasih, a-aku ingin menjadi temanmu!"

•••••••

Bel tanda pelajaran dimulai berbunyi nyaring, menghamburkan para pelajar yang tergesa-gesa masuk kelas. Tetapi tidak dengan gadis yang masih tenang memakan semangkuk bakso dan berbincang santai bersama ibu-ibu kantin.

Gadis itu tidak menghiraukan jika kelas sudah dimulai. Toh, dia masih lapar pikirnya.

“Feina!” Suara lantang terdengar dari jauh, tampak seorang pria berbadan besar dan tegap berjalan keluar dari koridor sekolah.

Langkahnya mantap, menapaki lantai putih sekolah menuju kantin. Tempat di mana gadis dengan ikat kuda itu sedang menikmati baksonya.

“Mampus! Jemputan udah pada nyamperin, buk saya utang dulu, ya?" Tanpa pikir panjang Feina beranjak dari tempat dia duduk. Merelakan baksonya yang tinggal beberapa suapan demi menghindari sang jemputan maut.

Pak Bambang, nama guru yang sering menegur Feina untuk segera masuk kelas. Diiringi suara khasnya. Beliau seorang guru yang tegas, dikenal karena kegarangannya. Tak elak hampir seluruh murid takut pada pak Bambang.

“Eh! yang kemarin itu belum dibayar loh!” Teriak salah satu ibu kantin pada Feina. Tetapi Feina tidak peduli, dia malah berjalan cepat keluar kantin. Mencari pintu keluar yang berbeda agar Pak Bambang sulit mengejarnya.

Napasnya terengah, rambutnya acak-acakan tapi gadis itu tersenyum bangga karena mampu menghindari kejaran penjemput maut. Namun, keberuntungan tidak lama berpihak padanya.

Pak Bambang yang ia pikir masih di belakang, kini sudah ada di depan mata. Sedang duduk di bangku gazebo sambil memejamkan matanya.

“Feina, sudah kenyang nak?” tanya pak Bambang masih terpejam, yang ditanya hanya tersenyum kikuk sembari merapikan rambutnya.

“Eh, Pak Bambang. Pagi Pak, tadi saya nggak sarapan pak, jadi sarapan di sekolah sekalian mau bayar utang rencananya. Udah numpuk Pak," katanya penuh pembelaan.

“Terus begitu saja nduk, sarapan di sekolah biar jadi rezeki ibu kantin.” Lelaki paruh baya itu berdiri dari tempat ia duduk. Berjalan perlahan mendekati gadis berkuncir kuda yang tidak jauh darinya.

“Oh, siap Pak! Saya bisa dapet pahala loh Pak!” katanya tak berdosa.

Guru yang sedari tadi sibuk mengejarnya, kini berdiri tepat di hadapan. Dia menghela napas panjang sebelum menjewer gadis bernama Feina di depannya.

“Tapi bukan begitu konsepnya Feina! Kamu tuh, sudah berapa kali bapak bilang. Jangan telat masuk kelas, malah bandel begini!” ia menjewer kuat telinga Feina, tidak peduli jika Feina kesakitan, “sekarang ikut bapak ke ruang bk !” lanjut pak Bambang, melepaskan jewerannya.

Feina Laurent Anggara, gadis tomboi 18 tahun yang baru menduduki bangku kelas tiga SMA. Dia pribadi yang sering membuat onar, meski begitu dia sosok gadis yang rajin dan lumayan cantik dengan gaya rambut khas miliknya. Rambut berhias pita biru.

Feina, meskipun dia terkesan seorang gadis yang bandel, tetapi dia termasuk siswi yang lumayan pintar. Apalagi ia memiliki beberapa kemampuan dalam bidang tertentu.

Guru-guru menyebut Feina gadis bak bunga Raflesia. Memang itu adalah bunga bangkai yang bahkan kupu-kupu enggan mendekat. Tetapi apa mau dikata, bunga itu adalah bunga yang patut dijaga.

Meski Feina adalah bocah yang sering membuat resah para guru, tetapi berkat sisi kepintarannya dia dianggap sebagai permata sekolah.

Pak Bambang berjalan melewati koridor diikuti oleh gadis yang tak sabar ingin cepat masuk kelas. Menuju ruang bk yang bertempat di tengah halaman sekolah, tepatnya di samping ruang tamu sekolah.

Feina berjalan malas mengikuti guru di depannya, sesekali memelankan langkah saat bertemu guru-guru lain.

Netranya tertuju pada punggung laki-laki yang duduk di dalam sofa ruang tamu. Tiga orang lelaki berbincang santai tanpa menghilangkan rasa sopan sedikit pun, salah satunya adalah kepala sekolah.

Feina sempat tersenyum manis pada pak Ilham, guru fisika sekaligus kepala sekolah.

“Setelah ini langsung masuk kelas! Jangan diulangi lagi, selesai jam pelajaran jangan lupa bersihkan kamar mandi! Mengerti?!”

Beribu omelan didapatkan gadis dengan manik bulat itu, sebelum ia kembali ke kelas lalu membiarkan waktu hingga tiba saatnya dia membersihkan kamar mandi cewek. Menyusahkan batinnya, tetapi mau bagaimana lagi dia sendiri yang salah.

Menit demi menit terlewati, jam yang bertengger di dinding kelas tak berhenti berdetak. Selang beberapa menit, pintu kelas berbunyi.

Suara ketukan dari luar berhasil mengalihkan perhatian para murid yang sedari tadi sibuk menilik rumus matematika yang tertulis di papan.

“Silakan masuk!” ujar guru dalam kelas sedikit berteriak.

Pintu terbuka, suara decitan mengiringinya. Terlihat sosok tak asing di balik pintu, seorang pria berbadan tegap. Berpakaian amat rapi memasuki ruangan menghampiri guru matematika yang tengah duduk santai memperhatikan para muridnya.

Sosok tak asing itu, tidak lain adalah pak Ilham, kepala sekolah yang dikenal sangat ramah kepada siapa saja. Dia berbisik seraya mencondongkan tubuhnya agak mendekat pada guru yang duduk di hadapan.

Kedua pria itu lalu menganggukkan kepala, membuat seisi ruang kelas penasaran. Tak perlu waktu lama pak Ilham kembali memasuki kelas, diikuti lelaki yang sangat asing bagi para pelajar.

Dia lelaki yang rupawan, tubuh tinggi, tatapan sayu namun teduh dipandang. Membuat siapa pun terpesona melihatnya.

“Assalamualaikum anak-anak, kalian akan memiliki teman baru. Murid pindahan dari kota, bapak harap kalian bisa berteman dengan baik," jelas pak Ilham, menjawab rasa penasaran para murid yang sempat bersinggah.

Setiap mata tertuju kepada lelaki asing di depan mereka, para gadis tak segan mengatakan rasa kagum secara blak-blakan sedangkan para siswa hanya memandangnya sekejap. Lain halnya dengan gadis yang duduk di pojok belakang, dia tidak berkutik dari buku di depannya.

Tangannya lihai menciptakan garis-garis di atas kertas, sesekali memandang ke luar jendela berbingkai kayu di kelasnya.

Gambar indah sebuah bunga teratai menghias kertas putih yang semula kosong, pandangan Feina tak beralih pada imaji yang ia ciptakan.

“Namaku Kairav Byakta, kalian bisa memanggilku Kairav." Lelaki itu memperkenalkan diri secara singkat. Kemudian segera melangkah menuju tempat duduk setelah dipersilakan oleh pria berbaju batik yang merupakan guru matematika itu.

Kursi kosong di barisan tengah menjadi tempat duduknya. Ia terdiam sejenak, kemudian mengambil alat tulis dari dalam tasnya.

Kairav Byakta, nama yang unik bukan? Nama yang diberikan oleh kakeknya, dengan harapan dia akan menjadi seseorang yang mampu menjadi dirinya sendiri, selalu bersinar dan tak pantang putus asa. Arti namanya juga sangat unik, teratai putih yang nyata.

Jam pelajaran matematika telah berakhir, tinggal dua jam pelajaran sebelum pulang, dan sebelum Feina Laurent menemui nerakanya.

Wajahnya masam, membayangkan bagaimana susahnya membersihkan toilet sendirian dan di jam pulang sekolah pula. Bukan berarti dirinya penakut karena di jam-jam itu akan sangat sepi, hanya saja dia tidak terbiasa berlama-lama di sekolah saat pembelajaran sudah selesai.

Langkahnya gontai, kedua tangannya penuh memegang alat pel dan kaleng. Gadis itu berjalan menuju toilet dengan langkah malas, rambutnya menari bergoyang ke kanan dan ke kiri saat ia berjalan dengan langkah menekan.

Batinnya sangat kesal, bagaimana bisa dia membersihkan toilet seorang diri? Sungguh pak Bambang memang keterlaluan, ia tak berhenti menggerutu.

Sekolah kini sepi, hanya ada satu—dua pelajar yang masih berlalu-lalang di halaman sekolah. Sedangkan gadis berambut hitam legam itu masih saja berdiri diam di depan pintu masuk kamar mandi, entah apa yang dia lakukan.

Pikirnya malas untuk membersihkan. Tapi jika dia lari, bukankah dia hanya menghindar dari tanggung jawab dan kesalahannya?

Akhirnya Feina membulatkan tekad, memasuki toilet meski berat hati. Mulai dari kaca hingga lantai kamar mandi sudah ia bersihkan.

Kini bau tak sedap yang menjadi ciri khas kamar mandi telah luluh pada aroma wangi pewangi lantai. Ia menghela napas sembari membelai ke belakang rambutnya yang berjatuhan, lepas dari ikatan.

Gadis delapan belas tahun itu berjalan keluar kamar mandi, wajah lelah terlukis jelas bahkan senyum sombongnya memilih diam dan tidak menampakkan lengkungannya. Setelah semua hukuman dia selesaikan. Feina memutuskan pulang melangkah tertatih.

Bus berjalan cepat sore ini, melewati hiruk pikuk kota yang menampakkan sejuta wajah lelah penghuninya. Terlihat sesosok lelaki yang masih berpakaian sekolah duduk di pinggir jendela bus.

Wajahnya masam, tubuhnya lesu setelah seharian harus memutar otak untuk pelajaran sekolah. Untungnya dia pribadi yang cukup cerdas.

Kairav Byakta, teratai putih dan segala keunikannya. Dia baru pindah sekolah di kota, setelah sang kakek wafat. Menempati kediaman lama dari keluarga sang bunda.

Lelaki pendiam yang cukup pedas perkataannya, sampai-sampai ia mendapat julukan si mulut iblis.

Hari ini akan menjadi hari paling melelahkan bagi Kairav, karena biasanya dia akan langsung berbaring sepulang sekolah.

Namun, kini dia akan melakukan latihan. Latihan untuk menciptakan alunan melodi yang akan menyihir para pendengarnya.

Bermain piano, satu hal yang tidak akan hilang dari Kairav. Cowok yang memang sudah dibesarkan oleh irama yang dikeluarkan melalui piano. Layaknya sudah mendarah daging dalam jiwa.

“Assalamualaikum ....” Suara Kairav mereda.

Di rumah tidak ada siapa pun kecuali Moki, nama kucing kesayangannya. Dia pikir ibu dan ayah sedang di luar rumah, menengok tetangga atau mungkin pergi berbelanja.

Lelaki itu berjalan menaiki tangga menuju lantai dua, ia segera merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang empuk itu.

Pandangannya fokus ke langit-langit kamar, melihat warna biru cerah dengan lukisan awan. Ia berpikir sejenak tentang kenangan yang pernah ia ukir di ruangan ini.

Lelaki itu pergi ke ruang kecil di samping kamarnya, membuka pintu yang sedikit berdecit, lalu duduk di kursi kayu. Jemarinya yang lentik, lihai memainkan tuts-tuts piano menciptakan alunan suara yang menentramkan.

Di tengah fokusnya pada piano, sayup-sayup terdengar suara bel berbunyi. Namun tidak Kairav hiraukan, lelaki bertubuh jangkung itu masih sibuk pada permainan pianonya.

Bukannya Kairav tidak mendengar, hanya saja Kairav selalu tenggelam pada permainan pianonya sendiri.

“Kairav! Pintu rumah dikunci, bunda tidak bisa masuk, nak.” Suara lembut terdengar merdu, sesosok wanita anggun dengan balutan dress dan kerudung berhias bunga tampak begitu indah.

Ranti, perempuan yang telah mengandung Kairav selama sembilan bulan lamanya.

Selang beberapa menit, Kairav turun membuka pintu. Terlihat seorang wanita dan pria dewasa yang berdiri di samping Ranti membawa beberapa bingkisan. Sejenak netra Kairav mengamati bingkisan, menebak apa isinya.

“Ayah belikan donat, di toko biasa milik mbak Nurul. Donat Bu Dian favorit mu dulu. Juga sekalian ketemu teman lama," ungkapnya sambil menyodorkan bingkisan pada Kairav.

Kairav yang diberi hanya tersenyum simpul meski dalam hatinya terasa begitu bahagia, mata berbinar itu buktinya.

Kairav Byakta, pelajar SMA kelas tiga itu sangat menyukai donat, usia delapan belas tahun tidak bisa menghalanginya bertingkah kekanakan jika sudah dihadapkan donat.

Bukan lagi hal asing bagi Ranti dan Damar melihat tingkah kekanakan anaknya itu.

Malam semakin larut, namun Kairav masih betah di ruang musik. Tangannya lihai membolak-balikkan buku mozart yang akan ia pentaskan pada malam purnama nanti.

Malam purnama di November yang dingin akan menjadi permainan piano pertama kalinya bagi Kairav tanpa adanya sang kakek.

Finally You Found Me

Sinar fajar menghias langit, semburat jingga yang memanjakan mata. Pagi datang bersama udara sejuk yang sedikit dingin.

Suara kokok ayam juga menjadi alunan di pagi ini, tidak heran mampu membangunkan perempuan yang masih tertidur pulas di ranjangnya.

Matanya yang masih terpejam sulit untuk dibuka, rasa kantuk masih menghinggap pada diri gadis itu. Tubuhnya menggeliat, ia menyibakkan selimut bergambar katak dan siap untuk bangun.

“Feina, sudah bangun belum? Kamu hari ini piket kelas, kan?” Terdengar samar suara seorang wanita dari balik pintu kamar.

Gadis yang masih di atas ranjangnya tidak menjawab, kelopak matanya masih sulit dibuka. Ia menyipitkan netra, meraih selimut untuk dilipat dalam posisi duduk di atas kasur. Lalu segera beranjak ke kamar mandi melakukan ritual pagi.

Seragam dengan rok abu-abu sudah melengkapi tubuh kecil gadis itu, langkahnya pelan mendekati cermin di depan ranjang.

Feina bergeming, menatap wajahnya sendiri di pantulan cermin. Dia menarik bibirnya ke atas, membuat seulas senyum lebar yang manis lalu berkata dalam nada rendah.

“Oh, ini bukan diriku.”

Setelah mengatakan pernyataan yang sudah lumrah ia lakukan ketika hendak bercermin, tangannya mengambil bedak di atas meja. Menaburkan sedikit ke telapaknya lalu menepukkan pelan pada pipi merona milik gadis itu.

Feina bergegas keluar kamar, suara ibunya sudah beradu dengan dapur. Sarapan berbagai lauk telah tersaji di meja makan, namun sang ibu tidak berhenti bekerja.

Dia tengah fokus pada adonan yang ada di hadapan, menguleni adonan dengan sabar. Ibu Feina seorang penjual kue, menjualnya di beberapa toko dan menerima pesanan dari berbagai tempat.

Dianti, wanita paruh baya berperawakan sedikit berisi, netra sayu, rambut dikepang elegan. Daster lengan panjang berhias bunga kecil-kecil dilengkapi celemek hijau daun.

Netra Dianti menangkap sosok Feina yang tengah mengamatinya, wanita itu tersenyum sambil memejamkan mata.

Guratan di ujung mata terlihat jelas, wajahnya yang sedikit keriput menyimpan sejuta makna yang telah ia lalui selama hidup. Tetapi tidak menunjukkan segaris lelah sedikit pun.

Senyum menawan dan anggun membuat sang putri menatapnya sendu. Terharu dengan kerja keras dan kasih sayang wanita lemah lembut yang terlihat menikmati kegiatannya. Walau terkadang, Feina khawatir akan wanita itu.

Sang putri memikirkan lelah yang mungkin disembunyikan ibunya, tapi sayang seribu kali sayang. Senyum memesona wanita itu selalu menepis pikiran buruk pada lembar keraguan di hati Feina. Sedang Feina tidak bisa membantunya lebih selain meringankan beban Dianti dengan meraih prestasi.

Ibunya berkata lembut, “sudah, sarapan sana! bukankah sekarang jadwal piket kelasmu?” Gadis itu tersenyum samar, lalu melangkah ke ruang makan.

Selesai sarapan Feina berpamitan pada sang ibu, mencium punggung tangannya dengan manja.

Rambut yang diikat kuda itu berayun-ayun terhempas angin pun karena guncangan dari lari kecilnya. Earphone yang menggantung dari telinganya mengalunkan lagu yang diiringi permainan piano mengetuk jiwa.

Nyanyian Ombak, lagu milik Ebiet yang selalu menemani langkahnya menuju sekolah. Gadis berpita biru itu amat menyukai lagu-lagu milik Ebiet, tak heran dia hafal seluruh lirik saking seringnya dia mendengarkan.

Feina menaiki bus menuju sekolah, sebenarnya jarak antara rumah dan sekolahnya tidak terlalu jauh. Hanya saja jika ditempuh dengan jalan kaki akan cukup menguras keringat gadis itu.

Lagi pula dia tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk membayar bus, karena potongan harga yang diberikan khusus kepada para pelajar.

Bus berhenti tepat di depan jalan menuju gerbang sekolah, Feina segera turun dibarengi langkah-langkah kecil pelajar lain. Dari jarak begitu dekat, lengannya tak sengaja menepis seseorang.

“Maaf,” kata gadis itu menundukkan kepala tanpa menoleh dan bergegas memasuki gerbang sekolah.

Sedangkan orang yang ia senggol hanya tersenyum tipis, tapi dari matanya memancarkan sesuatu yang sulit untuk dijelaskan.

Feina Laurent Anggara berjalan di pekarangan belakang sekolah. Kepala gadis itu sesekali mengangguk dan menggeleng pelan mengikuti irama dari musik.

Bibir tipisnya juga tidak berhenti menggumamkan lirik lagu. Ia terlihat begitu menikmati perjalanannya.

Satu langkah, dua langkah begitu pelan namun mantap. Di hujani sinar hangat mentari, pagi ini akan menjadi hari yang tidak terduga bagi gadis itu.

Jalan berbunga menuju kantin tampak begitu indah, embun masih terlihat jelas pada lumut-lumut yang hinggap di batuan.

Dari kejauhan tampak seorang gadis yang berjalan dengan irama, agak melompat kecil. Senyum yang terukir di wajahnya sudah dapat disandingkan dengan cantiknya bunga-bunga.

“Mbak, bayar utang. Aku lunasi semuanya,” katanya pelan pada ibu kantin di hadapan.

Setelah bibir Feina mengatup, tiba-tiba hening seketika. Para penjual yang ada di kantin yang semula berbincang asyik, sekarang malah terdiam sunyi. Menatap takjub ke arah gadis itu.

Padahal, kantin sudah cukup dipenuhi oleh pelajar yang sedang makan atau sekadar nongkrong.

Namun, entah mengapa saat Feina mengatakan itu, dunia mendadak sunyi, dan hebatnya penjual kantin seolah menemui titik terang.

“Alhamdulillah ...!” Serempak, kedua penjual yang ada di hadapan Feina mengucap syukur. Sedangkan gadis delapan belas tahun itu hanya tersenyum kikuk, tidak tahu menahu harus melakukan apa.

Setelah semua angka-angka tagihan dihitung, Feina mengikhlaskan uangnya untuk membayar tagihan.

Dersik angin lembut mendayu hingga sela-sela telinga. Sejuknya mengalir ke sebuah ruangan tidak jauh dari halaman belakang. Masuk melalui jendela kecil yang terbuka lebar.

Sebuah ruang musik yang dihiasi oleh lukisan besar bergambar Al Farabi, sosok filsuf sekaligus tokoh yang mencintai musik bertengger gagah di dinding ruang.

Dari jendela kecil itu, bisa didapati seseorang tengah termangu di dalam ruangan. Wajahnya menengadah, tangannya yang lunglai bergerak lemah. Ke atas, ke bawah seolah memperagakan gerak seorang konduktor. Kemudian ia berhenti, bergerak maju mendekati piano hitam yang sedikit berdebu.

Tubuh jangkung lelaki itu menunduk sedikit, mengambil sapu tangan di dalam sakunya dan mulai membersihkan debu-debu di atas piano. Tangan menarik pelan kursi berselimut kulit yang akan ia duduki.

Satu tarikan napas lalu dia memejamkan mata, kemudian saat itu juga jemarinya mulai memainkan tuts piano dengan lihai.

Sebuah lagu yang mampu membuatnya tersenyum penuh. Lagu yang akan mengingatkan seseorang tentang masa-masa yang pernah ia lalui bersama.

Setelah menyelesaikan urusan di kantin, Feina bergegas ke kelas. Musik yang dia dengarkan sudah berhenti di perbincangan dengan ibu kantin tadi, tapi earphone masih melekat di telinganya meski tidak memainkan lagu apa pun.

Di luar, wajah gadis itu dipenuhi semilir angin. Mengibaskan rambutnya yang terikat separuh.

Langkah yang awalnya gontai, kini berhenti juga. Ada sesuatu yang ingin gadis itu pastikan. Secara tiba-tiba jantungnya berdegup begitu kencang. Sudut matanya seolah mencari sosok yang selama ini dinantikan.

Sayup-sayup Feina dengar melodi yang amat familier baginya. Melodi yang seakan telah menjadi bagian dalam hatinya.

Kaki melangkah lagi, sangat hati-hati dan penuh perhatian pada setiap sudut di halaman belakang sekolah.

“Beneran dia siswa kelas tiga baru itu?”

Dua pelajar lain melewati Feina, berjalan sambil membicarakan sesuatu. Feina penasaran, mencoba menguping pembicaraan siswi tersebut.

“Iya, katanya nilai akademisnya sangat bagus. Makanya mudah diterima aja meski udah di tahun ketiga.” Gadis lain merespons dengan tatapan terpesona.

Kini Feina yang berada di koridor ruang musik sekolah berhenti melangkah, degup jantungnya serasa tertekan, netra bulat sempurna mendengarkan melodi indah penuh jiwa dari permainan piano.

Feina tersadar saat mendengar permainan piano itu, ia mengintip ke dalam ruang musik. Seketika itu tangan dan kakinya terasa lemah, netra berbinar melihat lelaki yang ada di depan mata.

Bibir mungil gadis itu perlahan terbuka, menyuarakan sebait lirik lagu yang telah menemani semasa muda.

“Twinkle twinkle little star, how I wonder what you are ....” Cukup sampai di situ, lidahnya kelu, Feina tidak mampu mengucap kata atau sekadar menyapa.

Jemari lentik pria itu tidak berhenti menekan tuts. Menyalurkan melodi indah yang membuat siapa saja ikut merasakan perasaannya. Sebuah lagu yang menemani Feina sejak kecil, lagu yang selalu ia nyanyikan dengan iringan piano.

Cowok itu menoleh pelan ke arah Feina, garis wajahnya begitu menawan. Bola mata sayu yang memantulkan cahaya dari sang surya menatap dalam ke manik Feina.

Wajahnya yang meneduhkan begitu sempurna ketika dia menarik senyum manis menyapa gadis di hadapan.

“Akhirnya kau menemukanku, lama tidak berjumpa, Feina.” Dia tersenyum lega.

Feina lunglai, mulutnya sedikit menganga. Gadis itu tidak sanggup berkata-kata, bahkan suasana di sekeliling mendadak berubah.

Feina masih mencerna apa yang barusan terjadi dan sejak kapan lelaki ini ada di hadapannya?

Siswa jangkung berjaket biru itu perlahan mendekat, langkah ringannya diiringi desah pepohonan yang diterpa sang angin. Lelaki itu tidak peduli gadis yang ia hampiri, tidak peduli sama sekali dengan raut wajahnya.

Senyum di wajah sungguh meluluhkan, pria yang tak lain adalah Kairav berjalan semakin dekat pada tubuh pendek Feina.

Tanpa peringatan, jemari Kairav mulai memainkan rambut Feina yang tergerai. Mengamati pita biru yang tergantung di helai rambut gadis itu. Feina masih sama, dengan mulut yang menganga ia mundur menjauh.

Kairav terbahak, bahunya berguncang dengan mata menyipit. Gaya tertawanya selalu seperti itu jika sesuatu terasa sangat lucu.

“Bisa-bisanya kau melupakanku,” ujarnya lalu mencubit kasar pipi Feina.

“Ah!” Teriak Feina cukup keras.

Kedua kakinya linu, dia tidak berhenti menggoyang-goyangkan tubuhnya. Mengangkat satu-satu kakinya bergantian.

Sejak pelajaran jam pertama berlangsung Feina sudah berada di lorong depan kelasnya. Apa lagi, jika bukan karena hukuman.

Sick Day

Kaki Kairav semakin linu, tapi pikirannya masih mencerna mengapa dirinya juga ikut dihukum. Kairav menghela napas, dia bergumam pelan tapi suaranya masih terdengar oleh Feina yang tepat berada di samping kiri Kairav.

“Ha ... Bukannya di sini akulah korbannya?” Mendadak pikiran keduanya memutar kembali kejadian beberapa menit lalu.

Sebelum bel masuk, di depan ruang musik. Dua pelajar saling memandang untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Namun, sang gadis diam terpaku dengan mulut yang tak tertutup.

Feina masih mencerna mengapa teman masa kecilnya sudah ada di depan mata, yang kini memainkan helai rambutnya.

Tanpa peringatan, jemari panjang milik Kairav mencubit jahil kedua pipi Feina yang sontak membuat gadis itu berteriak.

“Ah!" Feina berteriak cukup kencang.

Kepalan tangan Feina melayang mulus ke pipi kiri milik Kairav. Feina selalu seperti itu, dia tidak segan meluncurkan bogem jika otaknya memproses sesuatu yang menurutnya tidak dapat diolah atau membuatnya terpojok.

Sungguh sial, aksi bogem Feina dipergoki oleh salah satu guru yang kebetulan lewat. Sungguh apes.

“Hei!” Teriak bu Retno, guru bahasa Jawa yang terkenal judes. “Kenapa kalian di sini? Pagi-pagi sudah berantem,” ujarnya ketus yang dibarengi tatapan tajam pada keduanya. Bola mata Bu Retno melotot pada Kairav dan Feina.

“Oh, bukannya kamu murid baru? Juga Feina, kesayangan Pak Bambang, kan?” Nadanya terdengar mengejek. Feina hanya tersenyum kikuk sembari memikirkan nasibnya setelah ini.

Dengan tegas Bu Retno menyuruh kedua pelajar itu mengikutinya. Sudah bisa mereka tebak, ke mana arah perbincangan Bu Retno tadi, apalagi jika bukan ke ruang tata tertib siswa. Alhasil keduanya dihukum membersihkan halaman belakang.

Setelah mereka selesai membersihkan halaman belakang, yang tentu saja tidak mereka lakukan. Karena Feina dan Kairav hanya memandang luasnya taman belakang sekolah selama bermenit-menit kemudian kembali ke kelas.

Feina dan Kairav tergesa-gesa menuju kelas, peluh di pelipis mereka mengucur perlahan. Jarak antara halaman belakang ke kelas kedua pelajar itu cukup menguras tenaga. Apalagi matahari semakin memancarkan hawa panasnya.

Tiba-tiba suara sang guru memenuhi ruangan ketika Feina tepat berada di ambang pintu. “Keluar kelas!” Titahnya garang. Guru itu beranjak dari tempat duduk, menghampiri dua siswa yang masih bergeming di ambang pintu.

Sang guru makin naik pitam, suaranya tak bersahabat. Ia melontarkan perkataan yang mampu membuat seisi ruang kelas terdiam.

Katanya dengan suara tinggi, “berdiri di luar kelas sampai pelajaran ibu selesai! Ibu akan ingat wajahmu!” Matanya menatap tajam ke arah Kairav.

Mungkin hari ini menjadi hari paling sial bagi Feina, bertemu sosok lelaki yang bahkan sudah lama tidak terdengar suaranya, harus dihukum ke halaman belakang.

Sekarang Feina tidak diperbolehkan masuk kelas. Cewek satu ini berhasil membuat alasan terlambat mengikuti pembelajaran lebih dari setengah jam.

Dalam diam Kairav melihat Feina yang lebih pendek dari dirinya. Ia tahu, teman kecilnya itu seperti apa. Gadis kecil berambut kepang yang selalu memakai pakaian warna biru sepanjang hari.

Akan tetapi, kini seolah dunia berputar begitu cepat, Feina yang selama ini Kairav kenal berubah menjadi sosok yang ugal-ugalan.

“Feina,” panggilnya sendu, “berhenti menggaruk rambutmu! Nggak mandi apa?” Mulut Kairav bertanya sarkas, Feina yang mendengar segera memutar bola matanya.

Gadis itu menjawab tak mau kalah. “Aku lagi mikir, bisa-bisanya cowok yang dulu lebih pendek sekarang melebihi tinggi badanku.” Feina heran tapi nadanya sedikit menjengkelkan, membuat lelaki di sebelahnya berdecak.

“Kau makan apa sih?” sambungnya pada Kairav yang langsung dibalas dengan senyum merekah di wajah lelaki itu. Kairav agak membungkuk, menyamai tinggi Feina.

Netranya berbinar, ia menatap dalam ke arah gadis di hadapan. “Donat milik Bu Dianti,” sahutnya penuh semangat. Namun tidak untuk Feina, dia bereaksi sebaliknya.

Feina melotot, tubuhnya langsung bergerak ke depan. Kini mereka berdua benar-benar berhadapan, “ibuk!”

Kairav mengangguk, dia bilang sudah berulang kali ia memakan donat milik Dianti yang tak ada duanya.

Tentu saja Feina kaget, baru hari ini dan pertama kalinya Feina melihat batang hidung Kairav. Tapi malah berkata sudah memakan kue buatan sang ibu, memangnya sejak kapan mereka bertemu?

Cowok itu menegakkan tubuh, dia berkata bahwa kedua orang tuanya sudah mengunjungi rumah Feina. Bahkan mereka beberapa kali berpapasan.

Feina menghela napas panjang. Keduanya kini terdiam. Sunyi koridor dan ruang kelas di belakang seolah mendukung kecanggungan mereka.

Feina membuka suara, “tidakkah kau merasa canggung?” Tanpa menoleh ke lawan bicara.

Satu hal lagi, dari awal mereka bertemu Feina belum pernah memanggil nama Kairav. Gadis itu mungkin belagu, tapi hatinya masih begitu lugu.

“Tidak, kau saja yang canggung,” ucap Kairav singkat.

Mereka kembali terdiam. Lalu dengan santainya Kairav mengajak Feina untuk memainkan permainan masa kecil mereka. Untuk mengingat kenangan, katanya.

Feina yang tanpa pikir panjang langsung mengiyakan. Mereka sungguh dua insan yang tidak harus dipertemukan. Karena segala peraturan pastilah dilanggar. Padahal, mereka dalam posisi dihukum saat ini.

“Batu, gunting, kertas!”  

Kedua kepalan tangan dari dua orang berbeda dikeluarkan. Menandakan permainan belum selesai. Mereka berulang kali menyebut ‘batu, gunting, kertas’. Tetapi kepalan tangan mereka selalu sama.

Hingga suara dua pelajar itu semakin keras. Feina frustrasi, dia berteriak. Namun lelaki di depannya malah tertawa girang.

“Pft ....” Feina menyerah, dia tidak tahan lagi menahan tawa. Kini, dua insan yang telah dipertemukan itu tertawa gelak.

Tidak menghiraukan posisi mereka sebagai pelajar yang dihukum. Sampai tawanya terdengar hingga ruang kelas, memenuhi koridor.

Keadaan semula hening. Pelajar yang semula fokus pada buku di tangan beralih menoleh ke jendela koridor. Mengamati dua temannya yang malah asyik tertawa. Ada beberapa tak peduli tapi tidak sedikit yang menggelengkan kepala heran.

“Buk! Si anu sama murid baru main batu kertas ntuh, buk.” Bibirnya komat-kamit dengan logat khas. Pandangannya mengarah pada luar kelas. Jarinya masih fokus bergerak menulis huruf-huruf, meski bukan materi yang ia tulis.

Sang guru sebenarnya sudah mengamati dari tadi. Dia sedang menunggu momentum yang tepat. Jika dua bocah tengil itu mengetahui posisi mereka, dia akan memaafkan. Tapi sayangnya Kairav pun Feina malah berlagak sebaliknya.

Langkah kaki wanita itu mantap menapaki lantai putih kelas. Sepatu hak tingginya mengeluarkan suara. Seisi ruang kelas bahkan tidak berani hanya untuk mendongakkan kepala. Mereka membatin, tamat sudah riwayat Feina juga si murid baru.

“Huff, huff.” Napas memburu, detak jantung berdegup kencang.

Kakinya letih, tidak mampu lagi menopang tubuh yang terasa semakin berat. Untuk berdiri saja, mereka mengusahakan dengan memegang sapu panjang sebagai tumpuan.

“I-ini, semua salahmu. Kau yang mengajakku batu kertas!” ujarnya terbata-bata sambil menunjuk ke wajah Kairav.

Kairav hanya menunduk, memegangi perutnya yang sedari tadi keroncongan. Lelaki itu terdiam, dia kembali menatap ke arah Feina. Maniknya terlukis rasa bersalah begitu dalam.

Kairav mengambil napas panjang, lalu mengeluarkan. Anak itu berkata sangat lembut, mengucapkan sepatah kata penyesalan. Tapi Feina tidak akan percaya begitu saja, karena dia tahu cowok di depan ini sejak kecil memang sudah berhati iblis.

“Maaf.” Kairav kembali meminta maaf.

Kali ini Feina benar-benar luluh. Karena kasihan dan melihat tampang Kairav yang acak-acakan membuat gadis itu simpati. Feina melengos, dia kembali menyapu beberapa daun kering yang masih tersisa.

Ya, seharian penuh mereka sekolah dihabiskan dengan membersihkan halaman dan atap yang tentu saja tidak hanya atap dari satu bangunan kelas, tapi beberapa kelas.

Feina dan Kairav hanya berpikir kapan semua ini selesai dan membayangkan berbagai hidangan makanan. Sebentar lagi mereka bisa gila karena kelaparan.

Dari jam pembelajaran dimulai hingga pulang sekolah. Dua pelajar itu gunakan untuk menghancurkan diri mereka sendiri.

Mulai hukuman di koridor kelas yang malah dijadikan tempat senda gurau sampai beberapa guru menghampiri. Alhasil, mereka dibawa ke ruang kepala sekolah dan berakhir seharian menyapu lingkungan sekolah.

Kairav mengerakkan sapu kiri–kanan dengan malas. Di sela kegiatannya, dia berkata lirih, “tapi aku menikmati ini, Feina. Kapan-kapan gini lagi yuk!” Feina kaget mendengar ucapan teman bodoh di depannya.

Perasaan ingin memaki bergejolak dalam hati gadis itu. Tetapi Feina urung. Dia hanya meremas kuat gagang sapu yang tak bersalah.

Feina membatin, jika bisa dia ingin sebuah keajaiban untuk menghapus kebodohan Kairav yang semakin kuat.

Dari kejauhan, telinga mereka sayup-sayup mendengar suara seseorang berteriak. Feina dan Kairav saling memandang.

Meski Feina sudah sangat familier dengan suara teriakan itu. Sampai suaranya terdengar semakin dekat, dibarengi embusan napas berat karena berlari.

Di tangan kanan, ia memegang kantong penuh makanan. Wajahnya merah padam. Terlihat sangat jelas karena kulitnya lebih putih dari kebanyakan laki-laki. Dia terdiam sejenak sambil memegangi dadanya ngos-ngosan.

“Kalian betah bener nyapu seharian," tukasnya masih memegangi dada.

Feina menatap tajam, bibirnya mengerucut kesal. Sekarang dia hanya ingin menjitak kepala teman kelasnya itu yang justru menjadi kunci atas semua hukuman Feina hari ini.

“Idih, orang situ yang cepuin ke Bu Sasing. Udah sono pulang, atau mau bantuin kita?” Feina geram.

Namun, gadis itu segera mengeluarkan jurus andalannya. Ketika netra berbinar menangkap sekantong plastik penuh makanan di tangan Firza.

Senyum manis yang dibuat-buat dan mata yang sengaja dibuka lebar-lebar. Lalu nada suara berubah lebih lembut, hampir membuat dua teman laki-lakinya muntah.

Feina mendekat pelan, tangannya melempar kasar sapu di genggaman. “Kau sungguh baik, Firza. Silakan duduk kawan! Biar aku yang pegang makanan ini.”

Feina sungguh songong, dia berkata seperti itu tapi pandangan matanya penuh nafsu pada kantong makanan. Juga tangannya yang menyambar cepat ke arah tangan kanan Firza.

Kairav yang melihat tingkah Feina hanya terdiam, tapi ada kehangatan di dalam matanya. Mungkin dalam hatinya yang paling dalam dia bersyukur. Melihat Feina setelah sekian lama berpisah.

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!