Kepulan asap terus melambung keluar dari sebatang rokok yang perlahan-lahan lelaki itu sesap. Rokok yang jarang atau bahkan sulit ditemui orang-orang kalangan menengah ke bawah. Merek rokok untuk orang yang punya nama.
Lelaki berwajah dingin itu duduk bersandar pada kursi di tepi kolam renang yang lumayan luas. Memandangi birunya langit pagi ini. Sesekali mengetukkan jari pada sebatang rokok agar hilang abunya.
Bibirnya mengerucut seraya sedikit mendongak ke atas. Menghembuskan napasnya berbarengan dengan asap putih rokok yang keluar dari mulut dan hidung mancungnya.
Telinganya mendengar suara pintu kaca terbuka dari belakang. Diikuti kehadiran seorang remaja laki-laki yang bertelanjang dada.
Dia menoleh, melihat sekilas remaja itu kemudian kembali pada posisi awal. Bibirnya terbuka, “udah jam delapan, nggak sekolah?” tanyanya kemudian.
Remaja laki-laki yang ditanya malah tidak menjawab, terus berjalan ke tempat kolam renang berada. Melewati lelaki yang bersandar tanpa menghiraukan.
Cowok itu menggerakkan badan ke samping dan ke kanan. Mengangkat satu per satu kakinya. Sedang melakukan pemanasan kecil sebelum ia luncurkan tubuh ke dalam air kolam yang dingin.
Kali ini barulah ia menjawab tanpa melihat ke lelaki itu, “nggak, sekolah libur.” Tubuhnya terjun cepat ke dalam kolam.
“Mau sampai kapan kau bersikap kekanakan seperti ini, Firza?” lelaki itu mendengus pelan.
Pria yang merupakan pengurus sekaligus pewaris satu-satunya bisnis terbesar milik keluarga. Lelaki 27 tahun yang juga kakak kandung Firza, Faridh.
Faridh menghela napas. Matanya terus melihat Firza mengayunkan tangannya di dalam air. Berenang dengan cepat dari ujung kolam ke ujung kolam lainnya.
Bukan sekali—dua kali Faridh menghadapi sikap acuh sang adik. Dan bukan pertama kalinya ia memaklumi kelakuan Firza yang seperti itu. Jangankan mengobrol, menyapa saja jarang Firza lakukan.
Faridh berdiri, beranjak dari halaman kolam. Sebelum ia sepenuhnya masuk ke dalam rumah, dia kembali memanggil Firza.
“Jangan lama-lama dalam air, cepat keluar dan sarapan!” tukasnya lalu meninggalkan Firza.
Cowok blasteran Belanda itu lagi-lagi tidak peduli. Menenggelamkan seluruh tubuhnya ke air. Mata ia pejamkan sambil menggulir badan. Kedua tangan erat memeluk lutut.
Saat kehabisan napas, barulah Firza naik ke permukaan. Mengakhiri aktivitas berenangnya. Firza keluar dari kolam, tubuhnya basah sedikit menggigil. Menampakkan separuh badan cowok ini.
Dada lapang milik Firza, otot-otot yang sudah terbentuk meski tidak terlalu besar di lengannya. Juga otot yang terlihat jelas di perutnya yang dialiri buliran-buliran air kolam.
Tangan Firza mengambil handuk abu-abu yang terlipat di atas meja. Setelah menyeka seluruh tubuhnya, ia menyambar handuk kimono dari tangan seorang pelayan yang baru saja sampai di tepi kolam.
“Tuan memanggil Anda, tuan muda. Sarapan sudah siap, takut jika makanan dingin,” ungkap pelayan wanita itu sambil menundukkan kepala.
Firza terdiam, menunggu si pelayan selesai bicara lalu dia menanggapi, “aku nggak mood makan, biarkan makananku. Setelah dia pergi aku akan memakannya.” Firza mengangkat kaki. Segera menuju kamar.
Ruangan didominasi warna abu-abu dengan satu buah ranjang besar dan televisi yang menggantung di depannya. Kamar blasteran dungu itu.
Kamar besar yang tidak terlalu bersih ini Firza masuki sambil bersenandung. Firza menutup rapat pintu, membuang sembarangan handuk kimononya dan berjalan ke dalam kamar mandi yang ada di kamarnya.
Sehabis membersihkan diri, cowok itu naik ke atas kasurnya Menyenderkan punggungnya pada susunan bantal. Mengambil sebuah buku tebal dengan post-it sana-sini yang menempel di setiap lembar buku.
Jemarinya memainkan pulpen, menimbang-nimbang akan menulis apalagi dia. Memikirkan diksi apa yang cocok untuk puisinya kali ini.
Di tempat lain, dalam ruang kamar yang bertolak belakang dari milik Firza. Feina duduk di depan meja belajarnya. Fokus pada setiap barisan kata yang tersusun di lembar kerja milik gadis itu.
Kemudian dia mendengar dering ponselnya, telepon dari Annisa. Ketua kelas yang ia coba rebut kedudukan rangkingnya itu.
Dari seberang sana Annisa berkata penuh semangat, “Feina, ikutan yuk ke pantai!” ajak Annisa tiba-tiba tepat setelah Feina mengangkat teleponnya.
“Lha! Tiba-tiba bener, sama siapa aja emang?” Feina balas bertanya. Kakinya mendorong pelan lantai kamar, membuat kursi yang ia duduki bergoyang maju-mundur.
“Cari temen lagi, dong! Aku udah ngajak yang lain mereka pada kagak mau. Cuma aku, si Rara sama Alan. Kamu ajak Firza sama Kairav, gih! Risa anak IPA juga terserah, biar rame."
“Oke, oke. Aku ajak mereka, aku siap-siap dulu. Tapi ke sana pakai apa?” tanyanya setelah sadar jarak antara tempat tinggal mereka dengan pantai harus ditempuh sekitar satu setengah jam-an.
Pertanyaan Feina langsung Annisa jawab dengan sangat enteng, “udah, nanti aja kita pikirin kalo udah kumpul semua, rencanaku sih rame-rame naik bus, ” katanya membuat Feina melongo.
Panggilan telepon mereka tutup. Giliran Feina yang menelepon Firza dan Risa. Namun sayang, Risa menolak ajakan Feina karena dia memiliki urusan pribadi. Sementara Firza? Jangan ditanya, lelaki itu sudah pasti mengiyakan.
Saatnya Feina pergi menghampiri Kairav, langkahnya terpacu keluar rumah setelah berpamitan pada Dianti. Dengan membawa ransel kecil di pundaknya, Feina memakai topi.
“Assalamualaikum,” salam cewek berpita biru ketika sampai di depan pintu rumah Kairav.
“Waalaikumsallam, Feina. Cari Kairav? Dia ada di dalem, ayo masuk!” suara Ranti mengalun begitu lembut, mempersilakan Feina masuk ke dalam rumah. Lalu, wanita ini memanggil putranya. Memberikan tempat pada kedua remaja itu untuk berbincang.
“Ikut ke pantai, yuk! Sama anak-anak yang lain, buat tambah rame. Kagak sibuk kan kamu?” Feina menatap mata Kairav lekat-lekat. Feina pikir, akan sangat mudah jika di mempunyai kekuatan hipnotis.
Tapi mungkin kekuatan itu tidak akan perlu, karena Kairav dengan mudahnya mengangguk. Berjalan kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian.
Sesuai perjanjian, mereka semua sudah berkumpul di depan halte bus. Lengkap dengan tas yang turut menemani perjalanan mereka ke hari ini.
Awalnya mereka berbincang santai, bercanda dan membahas hal ngalor-ngidul. Tidak terasa waktu terus berjalan. Hampir setengah jam mereka berada di halte bus, tetapi yang ditunggu tidak segera menampakkan wujudnya.
“Tahu gini tadi bawa motor aja. Di jam segini, kan emang bus udah nggak lewat Nis ... Palingan lewat lagi entar jam sebelas.”
Rara, wakil ketua kelas itu menggerutu. Dia melipat tangan kesal karena bus sama sekali tidak lewat. Annisa yang mendengar hanya mendengus kesal.
Feina menanggapi, “terus kita gimana? Nggak mungkin siang bolong ke sana, mau pulang jam berapa nanti? Gimana, Nis?”
Semua orang menoleh ke arah Annisa berdiri. Walaupun semua tahu, tidak ada jalan keluar lagi yang bisa dipikirkan selain membatalkan perjalanan hari ini.
Tiba-tiba Firza tersenyum miring, wajah bodohnya berpadu dengan kesombongan. Karena berhasil memikirkan solusi yang amat sangat tepat, pikirnya.
Firza mengambil ponsel di dalam tas, menyalakan dan mengutak-atik layar sebelum terdengar suara seseorang dari dalam ponsel miliknya. Ia sedang menelepon.
Firza pindah posisi, mengambil tempat sedikit jauh untuk mulai perbincangan dengan orang di dalam telepon. Dia bicara dalam volume suara rendah, “tolong ke halte bus, ada urusan mendadak. Tapi aku butuh kendaraan yang cukup besar buat gerombolan monyet-monyet ini.” Nada suaranya meninggi saat bicara ‘monyet-monyet ini’
“Kalo kakak tanya, bilang aja aku butuh," sambung Firza lalu menutup telepon.
Selang beberapa menit kemudian, sebuah mobil mewah berwarna putih berhenti di depan kumpulan anak-anak itu.
Kaca mobil depan terbuka perlahan, menampilkan seseorang berpakaian rapi yang segera turun dari mobil setelah melihat Firza.
Seolah mengerti apa mau Firza, sopir itu cekatan membuka pintu mobil. Sambil tertunduk dia berkata, “silakan masuk!” ucapnya masih membuka pintu mobil.
Mendengar itu, semua orang kecuali Firza yang awalnya penasaran dengan orang ini mendadak membelalakkan mata. Mulut mereka terbuka lebar-lebar.
“Beneran ini punyamu?” Rara bertanya tak percaya ketika sudah ada di dalam mobil.
Pandangan mereka mengamati setiap inci mobil. Tidak pernah menyangka jika ada mobil sebagus ini yang mereka tumpangi. Serasa rezeki nomplok, kata mereka.
Firza hanya tersenyum kikuk. Dia bingung mau menjawab apa pertanyaan teman-temannya.
Sampailah mereka di sebuah pantai yang masih sepi pengunjung. Karena pantai ini berada di kota kecil. Tidak heran jika belum terdengar keindahannya di telinga orang-orang, khususnya kota besar.
Mereka berenam berlari girang di atas pasir pantai. Meninggalkan jejak-jejak kaki. Tawa saling bersahutan, padahal hanya ada enam orang dari kelas Bahasa. Bagaimana nantinya jika seluruh kelas ikut? Tentu semakin rempong!
Alan, lelaki super tinggi dengan rambut cepak itu membantu Kairav mengangkat tubuh Firza. Mereka berdua seakan-akan tidak mendengar jeritan Firza yang meronta. Dan, gulungan kecil ombak menghantam pasir pantai bersamaan Firza yang putus asa diceburkan ke dinginnya air laut.
Kairav dan Alan tertawa cekikikan, tak terkecuali tiga gadis yang ikut tertawa puas. Mereka berlari kecil agar lebih dekat dengan bibir pantai. Saling mendorong ketika air laut terasa di kakinya.
Langit biru mulai berganti warna. Menghias oranye kekuningan tanda sore segera datang. Puas setelah bercanda. Mereka duduk di putihnya pasir pantai.
Saking lamanya mereka bermain membuat pakaian yang semula basah, kering dengan sendirinya. Keenam remaja itu menatap indahnya hamparan laut. Membisu menikmati cantiknya ciptaan-Nya.
“Oke!” teriak Firza tiba-tiba, membuat teman-temannya kaget.
Feina memutar bola mata, “apaan sih?!” bentaknya.
“Udah aku putusin, Risa kalo nggak sibuk mau ku ajak ke sini,” ungkap Firza penuh percaya diri.
Mereka kembali terdiam, fokus melihat bentangan air dan eloknya langit hari ini. Amat disayangkan memang, Risa tidak bisa ikut. Cewek itu lebih memilih kewajibannya dibanding berkeliaran bersama teman sebaya.
“Yaudah, kapan-kapan kita ke sini lagi!” Feina berkata tegas. Ditanggapi temannya dengan sebuah anggukan pasti.
Giliran Alan dan Rara yang menyambung bersamaan, “oke! Dijabanin!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Asraaann
Ih, mau ke pantai juga. Ikut dong 🥺
2023-08-13
3
end_aleey13
ayoo UPP kak!! semangat!!🤗
2023-07-20
1