Gemercik air keluar dari kran setelah ia mematikannya. Tangan Feina ia kibas-kibas ke udara supaya jejak air di tangannya sedikit berkurang. Gadis itu memandang pantulan cermin. Melihat dirinya sendiri dengan wajah yang basah.
Feina telah mencuci wajahnya. Berharap semua rasa suram dan kekalutan ikut terbilas. Mengambil sapu tangan dengan gambar bunga-bunga kecil hasil rajutan sang ibu. Menggunakan sapu tangannya untuk menyeka air di wajah.
Setelah itu Feina beranjak keluar kamar mandi. Dia menghirup napas panjang seraya memegang gagang pintu kamar mandi agar terbuka.
Namun, sorot mata Feina terbelalak. Feina kaget bukan kepalang, pikirannya rancu. Kenapa bisa seseorang yang selama ini ingin dia hindari malah sudah ada di depan pintu kamar mandi.
Tangan lelaki itu menampilkan gelang-gelangnya. Menghalangi jalan Feina untuk keluar. Dia menempelkan tangan kirinya ke bingkai pintu.
Feina menarik satu langkah ke belakang. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
“Apa maumu?” tanya Feina dengan tatapan sinis.
Dafa tergelak, dia menurunkan tangan kirinya. Memposisikan tubuh layaknya seseorang yang menyambut kedatangan sang ratu.
Melihat kesempatan itu, Feina segera keluar. Satu hal yang terlintas dalam benaknya. Segera lari, atau kau akan terus terjerat! Feina memacu langkah cepat, menghindar dari sosok brengsek di hadapannya.
Lelaki itu tak tinggal diam, ia menarik keras tubuh Feina. Kemudian berujar, “apa mauku, katamu? Pft .... Kau lupa dengan semua yang sudah kulakukan padamu?”
Dafa melempar Feina ke tembok kamar mandi. Menghalangi cewek itu agar tidak bisa kabur. Tubuh tinggi nan besarnya sudah pasti menang banyak lawan tubuh kecil Feina.
Feina tak mau kalah, dia menatap tajam laki-laki ini. Sebisa mungkin dia memasang wajah datar, tanpa ekspresi. Menyembunyikan rasa takut maupun cemas yang ia rasakan saat ini.
Gadis itu membuka suara, “aku udah tutup mata, udah jauhin semua urusanmu. Sekarang giliranmu! Jangan ikut campur dengan hidupku lagi!” titahnya sambil mendongak menatap Dafa yang terus menyeringai.
Dafa mengalihkan wajah sebentar sebelum dia menjulurkan tangannya ke wajah gadis itu. Jari-jari Dafa turun dari kening menuju pipi Feina perlahan. Membuat Feina tambah kesal dan memalingkan wajahnya.
Mulut Dafa berdecak beberapa kali, jemari yang semula membelai wajah Feina menjadi liar memegang dagunya. Memaksa Feina yang membuang muka kembali menatapnya.
“Ck, ck, ck .... Feina, Feina. Kau nggak akan bisa keluar dari genggamanku,” katanya lalu mengarahkan kepalanya mendekat ke telinga Feina.
Dafa membisik, “kau tahu? Kau masih punya hutang padaku.” Dafa terkekeh. Melepaskan tangannya dari memegang dagu Feina.
Sungguh, Feina tidak tahu harus menyergah apalagi. Feina terlalu takut menghadapi lelaki itu. Dari semua orang yang pernah Feina lawan. Hanya Dafa yang paling mengerikan. Dafa tidak memiliki rasa bersalah juga putus asa sedikit pun. Itu yang membuat Feina menganggapnya sulit dilawan.
Satu atau dua bogem biasa tak akan mempan melawannya. Feina menarik napas, matanya ia tahan untuk terus menatap buas ke manik milik Dafa.
Kemudian lelaki itu bergerak mundur, menjauhi tubuh Feina yang masih menempel pada dinding kamar mandi. Dafa memilih pergi setelah membungkam Feina yang biasanya pandai bicara.
Bel tanda masuk pun berbunyi, tapi Feina masih terpaku di depan kamar mandi. Perlahan tubuhnya melemas, merosot pelan dalam posisi menempel di tembok.
Feina terduduk lemah, tangan ia jadikan tumpuan ke lantai. Saking takutnya, pelipis Feina mengucurkan keringat. Dadanya naik turun bersamaan dengan mulut yang sedikit terbuka. Menghela napasnya.
Istirahat telah usai, seluruh pelajar sudah ada di dalam kelas masing-masing. Menunggu pembelajaran yang akan terasa semakin membosankan apalagi hari sudah semakin siang.
Di dalam kelas Bahasa, guru wali kelas mereka sudah ada di depan meja. Mengecek satu per satu lembar-lembar kertas untuk diberikan pada anak didiknya.
Kepala Kairav terus menoleh ke bangku belakang. Telinga ia pasang untuk mendengarkan langkah di koridor, memastikan Feina sudah berjalan menuju kelas bahasa.
Namun, nihil. Dia tidak segera melihat kemunculan cewek tengil itu. Sejak bel masuk dibunyikan, Kairav dan Firza masih berada di kantin sekolah. Ia tidak tahu jika Feina sama sekali belum menginjakkan kaki di kelasnya.
Wali kelas Bahasa menghentikan kegiatannya. Dia memanggil ketua kelas untuk maju ke depan, “Annisa, bagikan lembar kerja ini!” katanya lembut sambil menyodorkan tumpukan kertas di tangannya.
Annisa, ketua kelas sekaligus siswi yang menempati rangking satu di kelas Bahasa. Kedudukannya tidak pernah lengser sekalipun. Ia maju menuruti perintah sang guru.
Membagikan lembaran kertas tadi, yang merupakan lembar tugas dari guru antropologi sekaligus wali kelas mereka.
Pria itu mengamati murid-muridnya. Barulah ia berbicara saat pandangan fokus pada bangku kosong yang seharusnya pemiliknya sudah ada di kursi itu.
“Lho! Yang di belakang itu mana anaknya? Feina kan, mana dia?”
Semua orang menyorot ke kursi belakang. Melihat meja Feina yang bersih dan ditinggalkan empunya itu. Mereka menggeleng, beberapa menjawab tidak tahu. Firza bilang jika Feina sudah kembali ke kelas setelah makan waktu istirahat tadi.
Sementara Kairav hanya diam. Dia bersandar pada sandaran kursi. Pandangannya terus mengarah ke jendela kelas yang menembus langsung koridor di sebelah kelas bahasa.
Belum sempat wali kelas kembali bersuara, terdengar langkah seperti berlari di samping kelas. Feina memasuki kelas sambil ngos-ngosan. Dia berlari cepat barusan. Membuat seluruh teman sekelasnya menoleh.
Rambut Feina berjatuhan secara acak. Ikat rambutnya melonggar membuat pita berwarna biru itu terlihat jelas karena seluruh rambutnya terarah ke samping. Menjuntai dari pundak kanan Feina.
Punggung tangannya menyeka buliran air di dahi. Wajah Feina terlihat pucat pasi. Bibir mungil gadis ini memutih. Feina terlihat seperti habis melihat setan.
Feina mengelus dada, “huft .... Maaf, pak. Saya barusan dari kamar kecil,” ucapnya pada Vian, guru muda antropologi yang juga wali kelasnya.
“Jangan diulangi lagi! Cepat duduk!” Vian berdiri, melangkah ke depan papan tulis. Memastikan dirinya terlihat cukup jelas oleh seluruh muridnya.
Kemudian Vian mulai menjelaskan tujuannya. “Jadi, lembar kerja yang sudah kalian dapat itu bisa kalian kerjakan di rumah. Boleh kerja kelompok, boleh kalian kerjakan sendiri. Waktu kalian satu minggu, karena ini materi yang akan dibahas seminggu lagi.”
“Dan besok kalian belajar di rumah. Ada pertemuan guru-guru besok, mengerti?” Ia mengakhiri penjelasan.
Pertanyaannya dijawab anggukan dan suara keras bersamaan, “mengerti, pak!”
Waktu berlalu, seluruh mata pelajaran mereka lewati meski beberapa dengan berat hati. Waktu yang ditunggu-tunggu pun menghampiri. Seluruh pelajar bersorak karena mendengar bel pulang dibunyikan.
Mereka berbondong-bondong keluar kelas. Segara menuju gerbang sekolah dan lainnya ke parkiran sepeda gayuh. Sekolah ini menerapkan aturan bagi seluruh pelajar untuk tidak membawa kendaraan pribadi.
Mereka lebih mengutamakan sepeda gayuh pada seluruh siswanya. Tidak sedikit yang mematuhi, tapi tak jarang juga yang mengakali dengan menitipkan sepeda motornya di rumah-rumah warga yang ada di area tidak jauh dari sekolah.
Feina serta ketiga temannya berjalan santai setelah menunggu beberapa saat agar parkiran sepeda sedikit sepi.
“Feina, tadi beneran ke kamar kecil?” Firza bertanya, dia menolehkan kepalanya melihat lawan bicara.
Feina menjawab sambil terus fokus pada langkahnya, “iya, sekalian cuci muka. Pak Vian marah nggak? Karena tadi aku telat masuk. Oh, ya Risa tadi langsung ke kelas juga?” Dia balik bertanya.
Risa mengangguk bersamaan dengan Firza yang menggeleng. Firza melangkah maju. Membalikkan badannya menghadap tiga orang temannya dan berjalan mundur.
Kedua tangan lelaki itu ia lingkarkan ke belakang kepala, lalu berujar, “makan dulu, yuk!” Ajaknya yang langsung disetujui teman-temannya.
Sebuah kedai kecil pinggir jalan menjadi tujuan mereka berempat. Mereka duduk saling berhadapan. Kali ini Feina dan Kairav duduk berdampingan, tidak terkecuali Risa yang duduk di samping Firza.
Stik kentang tersaji di atas meja, pancake dengan lumeran madu dan beberapa blueberry menemani makan mereka.
Feina menusukkan garpu pada irisan pancake. Membuka mulutnya supaya hidangan manis itu segera ia rasakan. Gurih bercampur manis dan asam dari buah blueberry adalah perpaduan sempurna.
Membuat cewek itu mengunyah dengan mata terpejam. Kagum dengan kenikmatan yang melebur di dalam mulutnya. Tanpa Feina sadari serpihan pancake menempel di samping bibirnya.
Senyum Kairav terbentuk saat diam-diam mengamati Feina makan. Dia mengambil tisu yang ada di meja, membawanya ke mulut Feina, menyeka lembut mulutnya dari serpihan makanan tadi.
Hal itu membuat Risa dan Firza terbelalak. Firza berhenti menggigit garpu yang masih di dalam mulut. Sedangkan Feina menoleh lambat ke samping. Memandang Kairav yang tersenyum tipis.
Firza kelabakan, mengeluarkan garpu di dalam mulut. Ia memandang cepat ke Risa, menilik seluruh muka gadis berambut sedikit keriting itu.
Apa yang dia inginkan ternyata tidak ada. Wajah Risa tidak terdapat bekas apapun, bibirnya bersih. Bukan hanya Kairav yang melakukan hal tidak terduga pada Feina. Firza pun juga ingin melakukan hal yang sama.
Alhasil, jari ibu Firza mengarah ke bibir Risa dan tanpa ia sadar pula. Membuat Risa membelalak hebat. Lalu, jemarinya itu ia arahkan ke bibirnya sendiri. Menyesap bekas manis dari makanan yang sudah Risa telan.
“Brengsek! Kurang ajar, kau!” Risa memaki, dia gelagapan karena tingkah usil Firza yang semakin sulit ditebak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
putri bungsu 28
🤣🤣🤣 ngakak we
2023-08-02
1
putri bungsu 28
nah kan🤣
2023-08-02
1
putri bungsu 28
wah pasti mau ikutan kairav ini 😁
2023-08-02
1