Luka Dalam Keluarga
"ARRRGGHHH! SAKIT AYAH! CUKUP!"
*Cletak* pukulan bertubi-tubi dengan gesper di punggung seorang gadis berumur 16 tahun itu masih senantiasa meringkuk di bawah lantai. Tangisan dan raungan tidak di pedulikan oleh sang ayah kandung.
"SUDAH BERAPA KALI AYAH BILANG PADAMU NADINE! JANGAN BIKIN ADIK KAMU MENANGIS!" sentak sang ayah yang tidak berhenti memukul pendah pipih itu.
Nama ku Nadine Tyas Lumia, aku hidup bersama ayah dan adik serta ibu tiri ku. Nama ayah ku, Gionino Wahid Lumia. Seorang yang dulu aku kagumi, sebelum hadirnya adik dalam hidupku sangat amat indah. Tapi semenjak kehadirannya, tepat ketika ayah menikah lagi dengan perempuan yang tidak aku sukai membuat semuanya berubah.
Nama adik ku Hanasya Angel Lumia, kami hanya berbeda jarak 5 tahun. Tepat setahun ibu ku meninggal, perempuan yang bernama Sarita Ashari itu mampu membuat ayah ku menikahinya. Aku sangat tidak suka dengannya, tapi ketika melihat mata ayah yang merindukan sosok istri di sampingnya membuat ku memilih untuk tidak egois. Aku juga masih butuh kasih sayang seorang ibu.
Aku terus menangis ketika pukulan itu sudah berhenti, "Kalau kamu masih meninggalkan adik mu secara sengaja atau tidak, ayah tidak akan segan-segan membuat kamu seperti ini Nadine!"
Aku hanya terdiam, air mata terus mengalir membuat sakit hati ku semakin bertambah.
Aku juga sempat melirik ayah yang membuka pintu lalu menggendong bocah 11 tahun itu, dan senyuman miring dari ibu tiri ku.
"Gpp, aku pasti kuat." hanya itu yang aku bisa semangati untuk diri sendiri, setidaknya ini membantu aku untuk hidup lebih lama lagi.
"Aku pasti bisa..."
Bukannya bangkit, aku justru manangis kembali.
"Kenyataannya aku ga kuat... hiks... Kenyataannya juga aku ga bisa... hiks..."
Aku menutup wajahanya di lutut, kamar yang bernuansa biru laut kesukaannya itu adalah desain pertamanya saat sebelum sang ayah menikah.
Nadine seakan tidak peduli dengan sakit di punggungnya, sakitnya itu tidak terasa sama sekali jika dibandingkan dengan luka di hatinya.
"Bisa Nadine ikut mama? Nadine benar-benar ga kuat, ma. hiks..." gumam Nadine yang terus menatap langit dari jendela kamarnya yang hordengnya terbuka.
Langit biru itu menjadi saksi betapa kejamnya seorang ayah terhadap putrinya, ibu tiri yang aku anggap akan menjadi pengganti mama kandung ternyata tidak sesuai harapan ku. Dia bisa merubah sifat ayah, dia juga bisa membuat ayah membenci ku, dan sampai-sampai ayah tidak memberi ku uang saku kecuali biaya sekolah.
Aku rela bekerja part time untuk memenuhi kebutuhan ku, sekedar uang jajan dan praktek itu sangat amat cukup untuk mengisi kegiatan di sekolah. Aku juga memiliki sahabat namanya Iqbal Hamdan, teman kecil ku yang sangat tau kondisi ku seperti apa.
Ayah yang merangkap direktur di bank swasta, membuat hidupnya jauh dari kata susah. Kami tinggal di rumah yang minimalis dengan 2 lantai, dan hanya ada 4 kamar.
Aku yang sedang bersiap untuk ke sekolah dengan rumah yang kondisinya masih sepi. Ya, sudah menjadi kebiasaan dari awal ayah menikah dan sejak sikapnya berubah membuat aku memilih untuk tidak sarapan bahkan makan malam bersamanya. Ayah sama sekali tidak protes pada ku, dia malah diam saja.
"Udah siap?" tanya Iqbal memastikan.
Pria itu bahkan rela untuk aku repotkan jam setengah enam pagi untuk berangkat sekolah, matanya yang selalu sembab karena kurang tidur tapi menyanggupi untuk mengantar ku. Aku dan Iqbal hanya berjarak 2 tahun, iqbal fokus dengan kuliahnya. Orangtuanya pemilik di suatu penginapan besar di Bali.
"Di pukul lagi?"
Di atas motor aku hanya diam, memeluk Iqbal dengan erat. Pria itu sudah aku anggap seperti abang sendiri, ibu dan ayahnya yang peduli pada ku membuat benar-benar merasakan keluarga sebenarnya.
Helaan nafas Iqbal saat aku terdiam, itu membuatnya sangat paham dengan apa yang terjadi. Dia terus menjalankan motornya dengan pelan, air mata ku kadang juga sesekali menetes.
Sesampainya di sekolah, aku turun dari motornya dan memberinya helm yang sudah aku lepas.
"Ke dokter, ga usah kerja dulu nanti pulang sekolah." ucap Iqbal.
"Ga usah, aku gpp." jawab ku dengan senyuman.
Aku langsung melangkah, namun tangan ku di cekal oleh Iqbal. Matanya nampak khawatir sekali.
"Nad, aku jemput kamu di sini pas pulang nanti dan kita ke dokter." ucapnya, aku yang baru membuka mulut hendak menolak tiba-tiba "Tidak ada penolakan!" lanjutnya lagi.
Lagi dan lagi aku hanya menganggukkan kepala saja, melihat Iqbal yang sudah menghilang dari pandangan itu membuat aku merintih menahan sakit. Tas yang aku gembol, langsung aku angkat pakai tangan menuju ke kelas.
"Pucet banget, nad."
Aku hanya tersenyum tipis dan duduk disebelah Aqila, teman dekat ku di sekolah.
"Di pukul lagi ya? Bawa obatnya ga? Kita ke UKS yuk."
Setiap kali aku terkena masalah, Aqila selalu cepat menyadarinya dan selalu setia mengobati punggung ku yang memar. Sampai akhirnya aku dan Aqila sedang di UKS, jam pelajaran yang belum mulai membuat mereka akhirnya memilih untuk terdiam di ruangan itu.
"Pasti adik lo lagi ya buat masalah?" ucap Aqila.
"Hm, biasa. Gue cuma telat lima menit dari tempat les dan dia udah nangis-nangis ga berhenti sampai ke rumah."
Aqila menatap sendu, dan tangannya berhenti untuk mengobati. "Kenapa masih bertahan sih, Nad?" tanya Aqila lirih.
"Gue masih butuh biayanya, La. Kan lo, gue sekolah disini ga pake beasiswa, lagipula setelah lulus nanti juga gue bakal kerja dan keluar dari rumah itu kok."
Aqila menghela nafasnya, kehidupan Nadine memang membuatnya siapapun iri tapi mereka yang iri itu tidak pernah tau dalamnya ke sadisan ayahnya Nadine terhadap putri kandungnya sendiri. Menyiksa, dan membuatnya harus bekerja membuat seorang Nadine menjadi perempuan yang mandiri.
Nadine juga tidak pernah menjelekkan ayahnya, atau ibu tirinya. Mereka berlagak seperti keluarga yang harmonis ketika bersama seperti makan bersama, dan kebanyakan hanya beberapa kali saja karena sisanya itu mereka habiskan dengan keluarga barunya tanpa Nadine.
Aqila terus mengolesi salep di punggung yang terdapat banyak memar kebiruan, setiap kali juga Aqila meringis dan aku tidak sama sekali karena sudah seperti biasa aja.
"Lo ga ke dokter aja? Luka yang seminggu lalu belum sembuh banget, dan sekarang ada luka baru."
Nadine merapikan bajunya, dia menghadap sisi Aqila yang masih memegang salep obat memar itu. Aqila memang sangat tau sebagian dalam hidup ku, kami berteman sejak SD bahkan Aqila juga dekat dengan Iqbal.
"Iqbal mau nganterin gue ke dokter nanti, padahal gue gpp." ucap ku.
Aqila melongo mendapatkan jawaban seperti itu, "Gpp gimana, Nad? Coba lo lihat luka yang di punggung itu merah dan membiru banget. Pasti sakit banget."
"Siksaan di batin ku lebih tersiksa la, aku rasanya tidak ingin hidup. Aku masih ingin rasanya bertahan lebih lama, apa aku sanggup?" gumam ku dalam hati.
Sebagai jawaban aku hanya tersenyum tipis, tak lama bel masuk terdengar membuat aku dan Aqila kembali ke dalam kelas mengikuti jam pelajaran berlangsung.
Selang istirahat, Aku dan Aqila memilih untuk ke kantin. Hanya ada beberapa menu yang aku sukai yaitu siomay, bakso dan mie ayam. Siomay yang aku suka hanya pangsit dengan bumbu kacang, bakso dengan bihun serta memakai sambal yang banyak tanpa campuran sayuran, mie ayam pun sama racikannya seperti bakso.
Kali itu aku memesan Siomay untuk makan siang di sekolah, melihat lirikan mata seorang yang sedaritadi mengawasi membuat penglihatan ku teralihkan pada sosok Rangga Bagaskara. Pria itu kelas 12, setahun lebih tua dari ku. Pria yang terkenal dengan pembuat masalah, pria yang tengil namun selalu menjadi juara kelas namun kepintarannya di atas rata-rata, dan ketua geng motor di SMA/SMK Abdi Djaya.
"Liat siapa sih Nad?" tanya Aqila yang akhirnya menoleh menatap arah pandang ku.
"Ih ga mungkin seorang Rangga ngelihatin lo, dia lagi liatin Sarah yang ada di belakang lo tuh."
Aku langsung menengok ke belakang. Iya, ternyata disana ada Sarah. Banyak yang bilang itu pacar Rangga, orangtua perempuan itu konglomerat juga yang pasti mereka serasi. Rangga memilih untuk sekolah di Jakarta, pria itu juga mempunyai adik perempuan dari pernikahan kedua dari ayah barunya.
Rangga memilih tinggal di apartemen, Adipati selaku ayah kandungnya itu memilih untuk tinggal bersama keluarga kecilnya juga. Pria itu mempunyai keturunan hingga pernikahannya menyentuh bahtera rumah tangga 2 tahun.
Sarah Wicaksono, perempuan tingginya 170cm dan badan ideal serta rambutnya yang lurus bawahnya di curly, poninya yang terbelah mengesankan cantik dan dewasa sekali wanita itu. Tapi siapa sangka kalau wanita cantik itu ternyata segalak singa jika ada yang mendekati Rangga, yang katanya pacarnya itu.
Setelah pelajaran usai, sesuai janji Iqbal yang menemani ku untuk ke dokter. Pria itu menunggu ku di parkiran sekolah.
"Ka iqbal!" sapa Aqila dengan binar matanya, aku bisa melihat pandangan Aqila pada Iqbal itu berbeda.
Iqbal di sana hanya tersenyum, kami memang bertiga suka bermain bersama sekedar hangout bareng, kadang di mall, kadang juga main di rumah Iqbal.
"Ini punggungnya Nadine merah-merah lagi ka. Kata Nadine, ka Iqbal mau ngebawa ke rumah sakit?"
Iqbal mengangguk, tentu pria itu hanya irit bicara pada siapapun termasuk Aqila. Aku bisa melihat sekitar parkiran yang dimana penuh dengan anak murid yang mengeluarkan motornya dari area sekolah, mata ku justru kini fokus pada pria yang memandang ku di atas motornya yaitu Rangga.
"Ayo naik." titah Iqbal.
Aku yang mendengar itu akhirnya buyar, dan pamit pada Aqila yang ternyata sudah di jemput oleh ayahnya. Aku memeluk perut Iqbal dari belakang setelah pria itu memasangkan helm, dan kami pun menuju ke rumah sakit.
~'~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments