Bab 07

Melihat wajah Iqbal yang tiba-tiba murung itu membuat aku seketika melipatkan bibir, sepertinya aku salah bicara atau ka Iqbal ada sesuatu yang terjadi?

Chika perempuan yang baik kok! Cuma ya gitu, dia hanya galak dan seperti tidak mau pacarnya berdekatan dengan perempuan lain. Menurut ku itu hal wajar seorang kekasih melindungi pasangannya, aku juga sadar diri.

Setelah melihat Aqila keluar dengan barang belanjaannya, senyumnya terukir. Kami pun akhirnya memilih untuk tidak pulang dulu, kami hanya ingin menikmati waktu yang jarang bersama ini.

"Jadi, tante jihan sama om Hadi itu udah pulang? Kok aku ga tau ya?" kata Aqila.

"Sorry, kemarin lupa bilang." balas Iqbal.

Tentu respon datar itu membuat hati Aqila meringis pilu, aku yang memilih untuk berjalan dibelakang mereka hanya memperhatikannya saja dengan menatap toko-toko yang berjejer.

Hingga aku mendapati satu sosok yang sangat amat aku kenal, yaitu Rangga yang sedang berjalan-jalan bersama Sarah. Mereka begitu cocok menjadi pasangan, yang satu cantik dan satunya lagi begitu tampan, ditambah mereka lahir dari orangtua yang terpandang.

Rangga yang merasa di perhatikan seseorang pun menoleh, mendapati sosok Nadine yang menatapnya dari seberang dalam satu mall itu. Rangga juga mendapati seorang pria yang memanggil Nadine yaitu Iqbal.

"Nad!" panggil Aqila yang mampu membuyarkan tatapan ku dengan Rangga.

"Hm." sahut ku langsung melangkah mensejajarkan langkah mereka.

"Ka Iqbal mau pulang, yang berarti lo harus pulang juga." ucap Aqila.

Aku hanya merespon dengan anggukan, aku dan Iqbal mengantar Aqila menaiki taksi saat di lobby mall tersebut tepat pintu utara. Sedangkan aku dan Iqbal kembali masuk untuk langsung menuju ke parkiran.

"Nad..."

Aku langsung menatapnya yang berjalan disamping ku, pria tinggi, putih dengan rambut yang ikal serta memakai jaket jeans itu menatap lekat pada ku.

"Kenapa ka?"

"Lusa ke bali, yuk?" ajaknya.

"Lusa? itu bukan hari libur kan, kok ngajakin aku ke bali?"

Iqbal terdiam, niatnya ingin sekali membawa wanita itu untuk merayakan ulangtahunnya yang beranjak 19 tahun. "Ya gpp, sekali-kali libur. Bisa kan?" kata Iqbal.

Aku menggelengkan kepala, "Maaf, ka. Aku kan kerja, lagipula ga boleh juga ganti shift." jawab ku pelan.

Iqbal hanya diam, dan dirinya juga lupa bahwa Nadine bekerja serta sekolah yang memang tidak bisa ia tinggalkan. Sesampainya di parkiran, aku naik motor gede itu dan memeluknya seperti biasa karena hanya takut akan jatuh aja.

"Kenapa ka Iqbal ga ajak ka Chika ke Bali?" usul ku saat berada di perjalanan.

"Aku ajaknya kamu, dan lagipula yang di kangenin Farid kan kamu. Bukan chika!"

Aku hanya diam, menghembuskan nafas melihat sikap Iqbal berubah ketus setelah membahas Chika. Sebenarnya ada apa sih? Kenapa ka Iqbal seperti tidak bahagia?

Angin sore itu membuat aku nyaman, Nadine juga meyakini bahwa dirumah tidak akan ada orang. Ayah Gio, bunda Sarita selalu meluangkan waktunya berjalan-jalan dengan Hana. Libur keluarga itu selalu di terapkan sejak dulu, sejak mama Cahaya melahirkan aku.

"Makasih ka Iqbal.." ucap ku yang melepaskan helm, dan membawa tentengan oleh-oleh yang dari rumahnya terlebih dahulu.

"Iya, besok aku antar ke sekolah."

Aku hanya membalas anggukan saja, dan pria itu mengendarai motornya hingga hilang dari pandangan mata ku.

Oleh-oleh yang dikasih oleh tante Jihan dan om Hadi sangat amat banyak, sekitar 6 kantong yang isinya makanan dan baju-baju. Tante Jihan selalu memberikan itu setiap dirinya pulang, dan biasanya pasangan itu akan kembali lagi sekitar 6 bulan kemudian ke Jakarta, hampir setengah tahun lah.

Tante Jihan juga meminta tolong pada ku untuk menjaga Iqbal walaupun pria itu di rumah sudah di sediakan asisten rumah tangga, namun ke khawatiran orangtuanya itu tidak pernah tenang.

Dulu saat setelah kelulusan Iqbal, Tante Jihan dan om Hadi sudah memantapkan untuk menetap di Bali. Namun, Iqbal menolak karena dia diterima oleh salah satu universitas favoritnya. Pria itu merayakan kelulusannya dengan teman sekelasnya, pulangnya kecelakaan yang mengakibatkan dengkulnya di operasi.

Saat itu Tante Jihan menangis tersedu-sedu melihat putranya yang terluka parah, walaupun kata dokter dengan operasi penyembuhannya tidak akan lama. Iqbal masih saja tetap dengan pendiriannya untuk tinggal di Jakarta, mau tidak mau Jihan menitipkan amanat pada Nadine untuk menjaga putranya.

Beberapa tahun yang lalu adalah hal yang sulit bagi ku, mengontrol agar Iqbal bisa nurut padanya walaupun sulit tapi sekarang berbuah hasil. Setelah mendengar aku yang di perlakukan buruk oleh ayah Gio, laki-laki itu sempat ingin memukul wajah ayah ku.

"KA IQBAL!" teriak ku yang jatuh di lantai lalu bangun dan memeluk perut dirinya agar menahan pria itu memukul ayah ku.

Gionino yang melihat itu mengetatkan rahangnya, pria itu sahabat putrinya berani masuk ke dalam rumahnya. Mungkin mendengar jeritan Nadine yang akhirnya tau apa yang selama ini diperbuat oleh ayahnya sendiri.

Mata Iqbal melotot menahan amarah, untuk saat itu Iqbal bisa mengontrol emosinya karena sebuah cegahan dari Nadine yang menangis tersedu-sedu memohon untuk tidak melakukan apapun.

"Ayah macam apa anda?!" tanya Iqbal dengan suara yang bergetar menahan emosi.

"Hey dasar anak bocah! Jangan ikut campur urusan saya!"

"Urusan apa yang om maksud? Menyiksa Nadine?! ANAK OM SENDIRI?!" ucap Iqbal dengan nada tinggi. 

Aku terus tidak melepaskan pelukan itu, pelukan agar sesuatu yang buruk tidak terjadi. Nadine tidak mau semuanya menjadi semakin ricuh, Nadine juga tidak mau di antara mereka ada yang terluka.

*tok tok*

Suara pintu kamar membuat aku tersadar dari lamunan beberapa tahun yang lalu, dari awal mula Iqbal mengetahui tentang ayah Gio yang memberikan kekerasan secara verbal pada ku.

Aku langsung membuka pintu yang memang sudah ku kunci, di depan pintu hadirlah Hanasya dengan beberapa kantung yang ada di tangannya.

"Aku bawa sesuatu buat kaka!" ucap Hana.

Andai saja Hana tau, setiap barang yang ia berikan pada ku itu akan berakibat fatal pada ku. Pernah pula aku menolaknya, anak itu menjadi sedih dan mau tidak mau aku menerimanya.

Hana duduk di lantai yang beralaskan karpet bulu berwarna pink muda itu, dia memberikan dua kantong paper bag untuk ku. Di dalamnya berisi kando, dan satu lagi syal.

"Ini buat kakak, aku udah bilang sama ayah dan ayah mau membelikannya." ujar Hanasya.

Aku yang mendengar itu hanya terdiam, apa benar? Aku tidak salah dengar kan? Tapi selama ini, Hana tidak pernah berbohong. Tapi bagaimana bisa ayah memberikan barang ini pada ku? Apa aku terima saja? Biar aku bisa melihat responnya nanti malam atau besok! Iya, besok aku harus tau apa yang di bicarakan hana itu benar atau tidak!

~'~

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!