Bab 02

Iqbal meminta Nadine diam di lobby rumah sakit untuk menunggu antrian, sementara pria itu mendaftarkan Nadine di loket.

"Silahkan langsung ke dokter kulit ya pak, hari ini antriannya hanya ada satu orang. Ruangannya berada di lantai 2." ujar resepsionis.

Iqbal akhirnya menerima secarik kertas berupa pendaftaran, lalu pria itu meminta Nadine untuk ke dokter kulit.

"Biayanya mahal ka, jangan ke dokter kulit. Mending ke puskesmas aja." ucap Nadine yang terus mengikuti pria itu berjalan menuju lift.

Iqbal tetap diam, "Aku yang membayar, ini sudah berapa kali ayah mu begini? Sudah tidak bisa di hitung pakai jari Nadine!"

Aku terdiam dan menunduk, selama ini Iqbal selalu menuruti aku untuk diam dan tidak membawanya ke rumah sakit karena akan sembuh dengan salep yang aku beli di apotek.

"Percuma ka, nanti pulang juga aku akan di pukul lagi." ujar ku, "Untuk apa di obati, kalau aku akan terluka lagi?"

Rahang Iqbal megetat, melihat Nadine yang terus di siksa membuat Iqbal sangat amat tidak terima. "Kamu tidak berani lapor kan? Aku bisa melaporkan kekerasan ini, Nad."

Aku menggelengkan kepala setelah mendengar ucapan itu, tentu aku tidak mau terjadi sesuatu pada ayahku dan aku juga tidak mau adik ku kehilangan ayahnya. Hal itu membuat Iqbal lagi dan lagi mencelos, matanya terus menatap tidak terputus pada pandangan mata ku.

*Ting*

Pintu lift terbuka, membuat Iqbal sedikit menyeret ku masuk ke dalam. Aku tentu tau, pria itu masih tetap teguh untuk mengobati punggung ku yang terluka.

Setelah menemui dokter, aku membuka dikit baju membuat pria itu mencelos dengan beberapa luka yang ada di punggung ku.

"Ini luka baru dan luka lama ya?"

Aku hanya mengangguk, aku juga hanya bisa mendengar desah kasar dari mulut Iqbal. Pria itu baru kali ini melihat luka di punggung ku, dan baru kali ini juga aku mau di obati oleh dokter.

"Saya resepkan pereda nyeri dan salep ya, harus rutin biar tidak berbekas." ujar dokter perempuan itu.

Dokter memberi resep itu pada Iqbal, dan aku? Hanya diam dan memunduk melihat wajah Iqbal yang menahan amarah. Bagaimana bisa seorang ayah berperilaku kasar terhadap putrinya sendiri? Apa orang itu pantas disebut orangtua dan seorang ayah?

Aku memilih untuk berjalan di belakang tubuh besar Iqbal, pria yang tegap dan gagah.

"Ka Iqbal marah sama aku?" tanya ku lirih.

Iqbal hanya diam dan terus berjalan sampai menuju ke apotek yang masih dalam area rumah sakit.

"Aku bisa pulang sekarang ga ka? Aku harus jemput adik."

Iqbal menatap sendu perempuan yang di sebelahnya, bahkan di saat sakit seperti ini dia masih saja menyanggupi untuk menjemput adiknya yang manja dan menyebabkan perempuan itu terluka.

"Biar aku antar.."

Aku langsung menggelengkan kepala seraya untuk menolak ajakkannya, setelah nama panggilan obat itu membuat aku refleks langsung meraih obat itu dan tidak lupa untuk bilang terimakasih atas semuanya.

~'~

Melihat situasi sekolah adiknya yang sepi tentu aku heran, apa ia terlambat lagi? Tentu aku sangat panik, hingga akhirnya salah satu satpam menghampiri ku dan bilang bahwa sisa satu pelajaran lagi siswa akan pulang.

"Terimakasih pak Karyo." balas ku menatap pria tua itu yang membalas dengan senyuman ramah.

Aku memilih untuk duduk yang tak jauh dari gerbang, melihat orangtua yang mulai berdatangan membuat aku semakin lega karena tidak terlambar untuk menjemput adiknya yang baru kelas 5 SD itu.

Bagi kalian yang bingung, apa tidak ada supir di rumah? Jawabannya tidak, ayah Gio memecatnya dan belum menemukan pengganti yang cocok. Bunda Tasya juga memilih untuk diam di rumah, dan shopping. Ayah Gio memilih untuk fokus bekerja, perhatiannya hanya pada istri dan Tasya adik kecilnya itu.

Kalau menangis sedikit saja, ayah langsung memarahi ku. Jika mengarah nangis yang kencang, ayah baru memukul ku di punggung. Sakit sekali, rasanya lebih sakit ketika luka yang ingin sembuh langsung di timpa oleh luka yang baru.

Ayah sama sekali tidak peduli dengan ku, ibu tiri ku membuatnya berubah dan selalu menyalahkan aku yang membuat mama tidak ada di dunia ini lagi. Mata ayah yang dulu menatap ku penuh kasih sayang, kini hanya penuh dengan kebencian.

Mendengar bel sekolah, aku langsung menunggu di depan gerbang dengan orang-orang yang sudah menjemput anak-anaknya.

"Ka nad!" sapa Hanasya.

Nadine tersenyum melihat adiknya, walaupun beberapa masalah hadir karena adik satu-satunya itu yang bisa di bilang sepele. Namun, kenyataannya Nadine sangat amat menyayangi adik kandungnya walaupun beda ibu itu.

"Ayo pulang." ajak Nadine yang menggenggam tangan adiknya itu, walaupun pakaiannya masih mengenakan pakaian sekolah dan Nadine selalu menggantinya setiap dirinya mengantar adiknya pulang terlebih dahulu.

Nadine juga memesan taksi online, karena itu salah satu transportasi dan yang membayarnya selalu bibi di rumah karena ayahnya sudah tidak percaya lagi dengan Nadine.

"Aku mau ikut kakak kerja, boleh?" tanya Hanasya yang berada di pelukan Nadine saat masih berada jalan ke arah rumah.

"Ga boleh, dan lagipula kan ayah pasti bakal marah besar kalau kamu ikut sama kakak." jawab Nadine menatap lekat wajah perempuan yang sangat amat mirip dengan wajah mama tirinya itu, wajah itu bahkan tidak mirip sekali dengan ayah Gio.

Bibir Hanasya mengerucut, dan memperat pelukannya. "Hana, kamu terlalu spesial bagi ayah dan bunda. Kamu harus jadi anak kebanggan mereka berdua ya?!"

"Lalu ka Nad, kenapa tidak pernah bersama lagi sama kita? Maksud Hana, kenapa ka nad ga pernah makan dan pergi bareng lagi sama ayah dan bunda?"

Aku hanya diam, hingga akhirnya taksi online itu sampai di depan rumah membuat aku tidak menjawab pertanyaan dari Hanasya. Kali ini aku tidak terlambat, dan tidak membuat anak itu menangis. Perasaan lega menyeruak dalam hati, kali ini aku bisa kerja dengan tenang di cafe.

Hanasya di sambut oleh Sarita, ibu kandung adiknya. Pemandangan setiap hari membuat aku sedikit iri. Andai mama masih hidup, pasti mama juga akan menyambut aku setiap pulang sekolah dengan pelukan hangat.

"Non, mau makan siang?" tegur bibi yang membuat aku sadar akan lamunan.

"Tidak, bi. Aku harus kerja." tolak Nadine dengan lembut.

Aku terus berjalan memasuki rumah untuk menuju kamar melakukan ritual mandi, serta membawa tas yang biasa aku bawa ke dalam tas. Biasanya aku ambil shift siang agar pulangnya tidak terlalu malam, setelah absen baru aku menjemput Hana. Sekarang gara-gara ke dokter, dan menjemput Hana membuat aku mengundurkan waktu 2 jam sehingga kemungkinan nantinya akan pulang lebih larut.

Nadine menuruni anak tangga rumahnya, melihat situasi rumah yang sepi membuatnya heran. Kemana ibu tirinya itu? Perasaan setengah jam lalu masih ada.

"Nyari nyonya Sarita ya?" tanya bibi.

"Iya bi, bunda sama Hana kemana?"

"Pergi ke kantor tuan sekitar 15 menit lalu."

Aku hanya diam, dan akhirnya pamit untuk pergi kerja. Mendengar jawaban bibi yang mengatakan mereka pergi ke kantor ayah, membuat Nadine mengingat dimana dulu dirinya juga sering dibawa ke kantor sebelum ayahnya merangkap menjadi direktur.

"Harus kerja! Ga boleh sedih, Nadine!"

Ucapan demi ucapan itu terlintas untuk menguatkan hati, bertahan dalam keluarga seperti ini pasti beberapa orang tidak akan kuat. Nadine juga sebenarnya sudah tidak kuat, tapi Nadine tidak ingin membuat ibunya sedih melihat anaknya yang sudah tidak kuat.

Setelah sampai di cafe yang menyediakan menu kopi dan kue manis, membuat tempat kerjanya itu selalu ramai dari mulai sekedar menjadi tempat nongkrong, tempat belajar, dan tempat diskusi dari umur manapun yang biasanya mereka membawa laptop hingga menimbulkan kesunyian.

Nama kafenya 'Flower Cafe', dinding yang putih serta dindingnya yang di penuhi oleh bunga mengesankan nama kafe itu sesuai dengan tempatnya.

"Nadine.." panggil Putri, kasir cafe.

Aku langsung menghampirinya, "Tolong antar ke meja nomor 12 ya, ada di outdoor." ucap Putri.

Aku langsung membawa minum kopi panas itu yang di tunjuk oleh Putri, melihat orang yang ia kenal seketika tubuhnya membeku dan begitu dengan pria itu yang menatap ku dengan intens.

"Rangga?" gumam Nadine pelan.

Aku berdeham untuk menetralkan jantung yang berdetak, kenapa pria itu ada di sini? Apa aku berbuat salah sampai dia menemukan tempat kerja ku?

~'~

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!