Nadien terus keluar dari kamar adik perempuannya dengan menutup pintu kamarnya pelan-pelan, saat berbalik dihadapannya kini ayahnya. Ayahnya yang bertengger dari tadi dengan tangan terlipat di dadanya. Mukanya yang datar, tegas dan galak itu menjadi berbeda saat dulu.
Entah kenapa ayah berubah, setelah menikah dan ayah selalu mengatakan bahwa aku lah yang menjadi penyebab mama meninggal. Tatapan mata Gio berubah menjadi tatapan benci pada Nadine.
"Apa yang kamu ambil dari kamar Hana?"
Ucapan itu terlintas begitu saja dari mulut Gio, hal itu juga membuat aku mengerjapkan mata berkali-kali untuk memahami maksud apa yang ayah Gio katakan.
"Maksud ayah?"
"Sudah beberapa kali barang Hana itu hilang, pasti kamu kan yang mengambil?"
Ini baru jam 9 malam, ayah Gio sudah meraung seperti harimau dengan mata yang menatap menyalak kepada ku.
"Aku hanya mengecek kondisi Hana, ayah. Aku tidak mengambil apapun!"
Rahang Gio mengetat, dia menarik lengan Nadine dan memasukannya ke dalam kamar.
"Ayah dan mama dulu itu, tidak mengajarkan kamu untuk menjadi pencuri! Jika sekali lagi barang Hana hilang, kamu tau kan akibatnya?" desis Gio.
Mata Nadine berkaca-kaca, dia menatap mata hazel ayahnya yang sama seperti dirinya itu. Mata yang Nadine tatap kini tidak ada rasa kasih sayang.
"Kenapa ayah sekarang selalu menyalahkan ku? Barang yang aku mau pasti aku bisa membelinya dengan uang ku sendiri!" isak Nadine yang kini tidak bisa menahan air matanya.
Gio menatap mata putrinya yang kini sudah berlinang, ada perasaan tidak tega tapi otaknya selalu memutar kilas balik yang dimana wanita yang didepannya ini tidak lain adalah putrinya yang membuat almarhumah istrinya yaitu Cahaya meninggal dunia.
Cengkraman Gio semakin kuat pada lengan putrinya, hal itu membuat Nadine merintih menahan sakit dan membuatnya semakin menangis.
"Bisa tidak kamu tidak ada di dunia ini, Nadine?! Gara-gara kamu... gara-gara kamu yang membuat Cahaya meninggal!" ucap Gio dengan menyentakkan tubuh Nadine hingga terbentu dipan kayu kasurnya yang berat itu.
"Arrgh."
"Kenapa harus kamu yang selamat, ha? Kenapa kamu yang membuat istri ku mati?!"
Aku hanya terduduk menatap lantai dengan air mata yang bercucuran dilantai. "Andai waktu bisa diulang, ayah. Ayah, Nadine mau mama yang hidup disini sama ayah. Nadine juga lelah sekali untuk semuanya. hiks."
Tangan Gio terkepal melihat anaknya yang menangis menutup wajahnya dengan kedua tangannya, pria itu meraih oksigen dengan banyak dan memilih untuk keluar. Setelah mendengar pintu tertutup dengan kasar, Nadine mengusap air matanya dan mencari sesuatu untuk meluapkan semua kesedihannya.
Untuk sekarang punggungnya pasti sudah terluka lagi, dan tubuhnya yang kurus ringkih itu semakin tidak berharga bagi ayahnya. Kenapa hidup ku seperti ini? Kenapa ayah selalu menyalahkan semua yang terjadi dimasa lalu pada ku? Kalau saja bisa, lebih baik aku yang diposisi mama sekarang.
Nadine meringkuk di atas kasur tanpa selimut yang menutup tubuhnya yang dingin, ac di kamarnya yang ternyata lupa dimatikan saat pergi dari rumah untuk bekerja itu membuat kamarnya dingin sekali. Lama kelamaan matanya tertutup dengan air mata yang tidak berhenti untuk mengalir.
~'~
*pov Iqbal*
Iqbal mengendarai motonya untuk kembali ke rumah yang tak jauh dari rumah Nadine, dan hanya beda 1 blok saja. Melihat wajahnya yang sudah jenuh akan sesuatu yang mengganggu matanya ketika sampai dirumah, melihat wanita yang tak asing yaitu Chika.
"bee.."
Iqbal melepaskan helmnya, dan berjalan melewati perempuan itu. Entah kenapa Iqbal sekarang merasa tidak senang dengan sifat pacarnya itu sekarang. Yang begitu protektif sekali, Chika sangat tau bahwa Iqbal dekat sekali dengan Nadine, awal mereka berpacaran pun Iqbal sudah bilang waktunya akan terbagi dua tapi pria itu tetap akan membagi waktunya lebih banyak dengan Chika.
Chika pun mengerti, namun seiring waktu berlalu hubungan mereka sudah berjalan 10 bulan membuat perempuan itu meminta untuk Iqbal memberinya waktu lebih banyak. Padahal Iqbal sekarang hanya mengantar Nadine berangkat sekolah dan pria itu pun juga langsung sekalian berangkat ke kampus. Sisanya? Tidak, Iqbal tidak bertemu Nadine lagi dan hanya menghabiskan waktunya untuk Chika.
Hingga akhirnya Chika datang ke kafe Nadine, dan memperingati Nadine untuk tidak mengambil waktu pacarnya itu yang padahal Nadine saja tidak tau sisanya ka Iqbal kemana dan dengan siapa.
"Ngapain kesini? Bukannya hubungan kita udah selesai?" ucap Iqbal dengan datar.
"Maafin aku bee, aku janji ga akan ngelakuin kayak gitu lagi sama Nadine."
Iqbal membuang mukanya. Jujur saja ini baru kali pertama Chika seperti ini, dan tidak salahnya kan Iqbal memberinya kesempatan?
Chika mengapit tangan Iqbal, memasang wajah melasnya untuk diberi kesempatan keduanya. Iqbal melihat itu hanya berdecih dan mau tidak mau mengangguk menerima permintaan maaf perempuan itu. Tentu chika sangat amat senang melihat jawaban pacarnya hingga memeluk erat.
"Yaudah kalau gitu aku pulang dulu ya." ucap Chika dengan ceria sambil memberi kecupan pada pipi Iqbal yang mulus itu.
Iqbal pun masuk ke dalam rumah, dia membantung dirinya ke sofa empuk diruang tamu miliknya. Menatap langit-langit ruangan itu, hingga memutar
kilas balik yang dimana melihat punggung Nadine yang memerah hingga membiru.
"Mau sampai kapan kamu bertahan, nad? Mau sampai kapan kamu menutupi semuanya?" gumam lirih dari Iqbal yang mengusap wajahnya dengan kasar.
Umur 16 tahun itu seharusnya Nadine bisa merasakan nikmatnya rasa remaja, bermain, bersenang-senang bersama teman-teman lainnya dan terlebih sebagai seorang perempuan Nadine seharusnya bisa mendapatkan kasih sayang yang layak dari sang ayah.
~'~
Pagi harinya, Nadine seperti biasa hanya diam di kamar dan memilih untuk membrowsing internet melihat beasiswa untuk kuliah yang akan ia tempuh dalam 1 tahun dari sekarang. Nadine juga memilih kampus yang berada diluar negeri, ia hanya ingin memberikan peluang pada dirinya sendiri dan ia juga ingin jauh dari keluarganya.
Saat sibuk browsing, ketuka pintu terdengar dan bibi Imah datang membawa sepiring nasi goreng udang serta segelas air putih dan segelas susu coklat at hangat. Bibi Imah ini turut andil dalam mengasuh ku sedari aku dalam kandungan mama Cahaya, bibi juga dulunya tidak menjadi asisten rumah tangga namun seiring waktu aku besar membuat bibi beralih pekerjaannya.
Setelah mendapat kabar bahwa mama Cahaya meninggal, dan aku masuk ke rumah sakit karena hanya terkena memar di kepala sehabis mama Cahaya mendorong agar mobil tidak menabrak ku membuat beberapa hal berubah dalam hidupku. Ayah Gio menjadi pemurung, aku yang belum sembuh total menjadi bibi Imah yang sibuk mondar-mandir ke rumah sakit.
"Dimakan, non." ucap bi Imah.
Aku hanya tersenyum, dan mengambil naman itu. "Mereka masih sarapan, bi?"
"Iya, mereka baru saja mulai sarapan." jawab bi Imah. Umurnya kini 58 tahun tapi perempuan itu cukup enerjik dalam melakukan aktifitasnya yang berat.
Setelah bi Imah keluar dari kamar, aku sedikit menyantap sarapan itu dengan terus melihat ke arah laptop yang terpasang di meja belajar. Setelah menemukan universitas yang bagus, aku mencatat nama universitas itu dengan beberapa persyaratan beasiswa lainnya, hanya ada beberapa yang belum aku punya dan penuhi.
"Ka nad!" seru Hanasya yang melongok di depan pintu, aku tersenyum dan menutup laptop ku.
Hanasya duduk di depan ku, tepatnya di atas kasur. Ada yang berbeda dari dirinya, pakaiannya yang selalu baru dan selalu mahal membuat aku meringis sedih. "Ka nad, kita jalan-jalan yuk sama ayah dan bunda." ajaknya.
"Kakak tidak bisa Hana, soalnya kakak ada urusan."
Untungnya Hanasya tidak suka memaksa apa yang sudah aku tolak, Hanasya tipe yang menurut kalian menyebalkan tapi menurut ku dia tipe yang sangat amat manja dan ada sisi menyebalkannya juga.
Setelah jam menunjukkan pukul 10 pagi, aku yang sudah rapih pun akhirnya turun. Melihat ayah yang sibuk duduk di teras rumah dengan koran, dan bunda Sarita yang sibuk membuka majalah fashion dengan tamu sebalahnya yang aku yakini adalah penjual baju.
"Bi imah! Nadine, berangkat ya." pamit ku tanpa memperdulikan ayah yang sedang ada di depan teras. Setelah mendengar sahutan itu, aku berjalan kaki menuju ke rumah Iqbal yang di tempuh 10 menit jalan kaki.
Orangtua Iqbal yang bernama Jihan dan Hadi, sepasang suami istri yang sibuk sekali mengurus resortnya di Bali membuat mereka selalu bolak-balik. Mereka tetap tidak bisa meninggalkan Jakarta, dan tidak meninggalkan resortnya yang berada di Bali.
Melihat mobil yang terparkir membuat senyum ku mengembang, namun saat masuk ke rumah membuat senyum ku menjadi hilang perlahan. Ada yang mengusik hati ku, ada yang berbeda disana.
~'~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Liu Xingsheng, 😈psikopat 🤤
thor sy mampir lagi .thor up. bagus thor cerita nya
2023-06-19
1