*ceklek*
Suara knop pintu membuat Iqbal dan Chika menoleh, senyum Chika terbit ketika melihat sang ayah datang namun seketika hilang melihat perempuan berhijab dibelakangnya.
"Kenapa pelakor itu datang?!" ucapan nada tidak enak terlontar dari Chika saat melihat perempuan yang masih ia ingat jelas wajahnya saat berumur 7 tahun itu, perempuan perebut suami ibu sekaligus ayahnya.
Marliana hanya menunduk, dia tidak berani mendekat pada Chika. Yudha memilih untuk mendekat pada Chika.
"Papa jangan dekat! Kalau perempuan itu masih ada di hadapan ku, aku juga tidak mau papa ada disini!" ancam Chika dengan mata yang menyalak.
Marliana menatap pria yang ada disamping Chika, perempuan itu menyakini bahwa pria itu kekasih Chika yang meneleponnya kemarin.
"Kamu apaan sih? Mereka orangtua kamu, Chika!" tegur Iqbal.
Chika tidak menatap Iqbal, mata terus menatap perempuan berhijab tepat dibelakang tubuh Yudha.
"Dia perebut semuanya! Dia yang udah misahin aku dan papa! Dia juga yang merebut papa ku!" ucap Chika yang masih intens menatap wanita yang sangat ia benci itu, wanita yang masih berani muncul dihadapannya, wanita yang menghancurkan keluarganya, dan wanita yang mengambil semua kasih sayang ayahnya itu.
Marliana mengepalkan tangannya, situasinya sudah terbaca dari awal bahwa akan seperti ini. Tangan Yudha mencari tangan Marliana, dia menggenggam kuat tangan istrinya dan berupaya untuk menenangkan kalau semuanya akan baik-baik saja.
"Kenapa kamu tidak melupakan dan memaafkan mama kamu ini?" tanya Yudha yang membuka suaranya.
Penglihatan Chika teralih papa sosok pria yang tak jauh dari sana, pria yang sudah memiliki jambang yang sebagian sudah memutih. Yudha kalau dilihat tidak tua sekali, bahkan masih gagah di usianya yang nginjak 45 tahun itu. Mata Chika memancarkan kemarahan, matanya memerah dan air matanya masih ia tahan di pelupuk matanya.
"Lupakan apa? Saat aku berumur 7 tahun, aku pernah mencegah papa untuk tidak meninggalkan aku. Nyatanya apa? Papa pergi! Aku hancur pa!" isak Chika, "Papa lebih memilih perempuan itu daripada aku! Apa papa menanyakan kabar ku? Aku sudah makan apa belum? Apa papa menanyakan bagaimana kuliah ku? Tidak! Papa selalu mengandalkan asisten papa itu untuk mengurus semua kebutuhan ku! Aku tidak mau dia, aku hanya mau papa!" lirih Chika yang kini air matanya tidak bisa menahan lagi.
"M-maafkan tante.." ucap Marliana dengan pelan.
Iqbal yang ada di antara keluarga itu hanya diam dan memperhatikan, ternyata ini sebab Chika mempunyai sifat takut akan kehilangan.
Chika hanya terkekeh, "Keluar.. Aku tidak mau bertemu kalian!" usirnya.
Yudha hanya mencelos mendengar itu, Yudha juga meminta untuk Marliana keluar terlebih dahulu. Ayah dan anak itu ingin sekali berbicara berdua, tapi Chika mencegah Iqbal untuk keluar dari ruangan rawatnya.
"Apa yang ingin papa bicarakan? Papa ingin mengomeli ku? Papa ingin membela wanita ****** itu lagi?"
Yudha mengepalkan tangannya, "Bagaimanapun dia tetap mama kamu! Mama sambung kamu, Chika!"
"Aku tidak sudi! Di mata ku, dia tetap perempuan tidak tau diri yang merebut suami orang dan memisahkan anak pada ayahnya!"
*Plakk*
Tamparan keras itu tanpa sadar mendarat di pipi Chika, dia merasakan pedih terhadap pukulan itu. Tamparan itu kali pertama Yudha luncurkan setelah bertemu lagi, dia yang tersadar pun akhirnya meminta maaf dengan panik.
"M-maafkan papa... Maafkan papa sayangg.." ucap Yudha dengan panik.
Chika menjadi emosi dan lagi-lagi dia sangat membenci figur ayah yang didepannya. Iqbal langsung menghampiri Chika dengan panik, Chika seketika mengamuk dan berteriak untuk meminta Yudha untuk pergi. Infusan yang terpasang seketika mengeluarkan darah yang sangat banyak hingga tercecer ke lantai, tangan kirinya yang dikasih penyangga pun tak luput bergerak.
"PERGI! SAYA BENCI KAMU!!!" teriakan disertai isak tangis berhasil memenuhi ruangan tersebut.
Mendengar teriakan itu Marliana dan asisten Yudha masuk. Tentu Marliana terkejut dengan kondisi Chika yang tangannya bersimbah berdarah, Iqbal mendekap tubuh Chika yang masih berontak sambil memencet tombol yang ada di atas brankar seraya memanggil dokter yang bertugas sore itu.
Tak butuh lama, dokter dan perawat datang. Perawat menyuruh untuk semuanya keluar dari ruangan.
"PERGI! JAHAT! Aku benci kalian! Aku benci!!!" teriakan itu terus Chika lontarkan satu persatu saat mereka keluar dari ruangan itu.
Marliana menangis tersedu-sedu, Yudha mengusap wajahnya dengan kasar dan menghembuskan nafasnya berkali, Yudha juga menatap tangannya yang sudah menampar Chika. Baru pertama kali mereka bertemu lagi, Yudha sudah membuat luka baru lagi di batin Chika. Ayah bodoh! rutuk Yudha.
Marlian mendekap tubuh Yudha dengan lembut setelah melihat Yudha meninju tangannya.
"Mas.. hiks.." isak Marliana.
Iqbal yang duduk didepan ruangan Chika hanya memperhatikan interaksi suami istri itu. Iqbal sangat mengetahui bahwa ibu sambung Chika itu sangat baik, Yudha juga tadi hanya tersulut emosi. Seharusnya Iqbal tidak melihat pertengkaran itu, pertengkaran antar keluarga orang lain.
Karena masa lalu, membuat Chika sangat terluka. Kini Iqbal sangat paham dengan sifat Chika yang sangat keras kepala, tidak seharusnya dia menjadi pacar yang egois dan haruskan dirinya membuka hatinya untuk Chika?
~'~
Bel pulang sekolah berbunyi, saat Nadine ingi keluar kelas. Senggolan pundak yang sengaja kasar itu memang ditujukan untuknya, teman sekelasnya mendadak tidak suka pada Nadine.
Nadine hanya menutup matanya sebentar, dia mencoba untuk menetralkan kesabarannya. Ini resikonya jika dekat sama pria yang disukai 1 sekolahan. Tapi, bukan mau Nadine seperti ini. Nadine juga sudah berusaha untuk menghindar laki-laki itu, tapi tidak bisa karena Rangga yang terus datang padanya.
"La, gue mau ke toilet dulu sebentar ya. Pegang handphone sebentar dan lo disini aja, tungguin ojek gue." saat mereka berdua sudah ada di depan gerbang. Aqila tentu mengangguk saja, karena dirinya juga menunggu supir yang menjemputnya.
Nadine berjalan ke toilet, ada 3 murid yang sedang make up memasang muka sinis padanya dan Nadine menghiraukannya saja. Saat sudah selesai buang air kecil, pintu yang ia gunakan tiba-tiba tidak bisa terbuka membuat Nadine panik.
"Aduhh kok ga bisa kebuka!" ucap Nadine yang terus memutar knop pintu kamar mandi itu. Nadine meraba sakunya yang ternyata handphonenya sudah di pegang oleh Aqila sesaat dirinya hendak ke toilet.
"Tolongg!" teriak Nadine dengan kencang, dia tau beberapa siswa pasti banyak yang bersliweran.
"Siapapun tolongin gue!" teriak Nadine terus dengan mata yang berkaca-kaca, dirinya tidak bisa berada di ruangan kecil seperti ini, ditambah dirinya sendirian lagi.
Sekitar 10 menit Aqila menunggu Nadine yang tak kunjung datang, ojek onlinenya sudah datang sedari tadi, dan supirnya juga sudah datang.
"Sebentar pak, saya ke dalam dulu ya." ucap Aqila yang melangkahkan kakinya masuk ke arah kamar mandi.
"Nad, lo udah buang air kecilnya? Itu ojeknya udah dateng!" tanya Aqila yang melihat situasi kamar mandi yang sepi namun tidak ada sahutan didalamnya.
Nadine yang semual ketakutan dan tiba-tiba mendengar panggilan dari Aqila.
"La! Gue disini, pintunya ke kunci. Tolong bukain." katanya.
Aqila bergenyit heran, lalu masuk lebih dalam ke toilet itu dan benar saja pintunya sudah di ganjal oleh sapu membuat Aqila berdecak karena dirinya tau siapa yang berbuat seperti ini. Setelah terbuka, Nadine langsung memeluk Aqila dengan erat. Wajahnya penuh kecemasan.
"Udah gausah panik, lagian ngapain sih ga nelepon?" gerutu Aqila.
Nadine melepaskan pelukannya, "Handphonenya kan gue udah nitipin ke lo, gimana mau nelepon coba?!"
Aqila akhirnya tersadar dan hanya menyengir. Akhirnya mereka berdua melangkahkan kaki untuk ke gerbang sekolah, karena supir dan ojek sudah menunggu di depan.
"Mau langsung ke sekolah Hana kan?" tanya Aqila.
"Iya, tapi mudah-mudahan ga telat."
Aqila mengangguk dan mengusap punggung Nadine dengan pelan, mereka akhirnya pulang ke tujuan masing-masing. Tak lama kemudian, benar dugaan Nadine yang melihat Hanasya sedang menangis di depan gerbang.
Nadine merutuki dirinya sendiri, entah apa yang terjadi setelah ini. Kejadian barusan benar-benar diluar kendalinya yang membuat Nadine menjadi telat untuk menjemput adiknya pulang.
"Jangan nangis, udah ya." ucap Nadine saat mereka berada di dalam taksi. Untung sekali Hanasya hanya menangis sebentar, matanya juga tidak terlalu bengkak. Nadine memeluk sang adik dari samping, dia hanya lega dan berharap ayahnya tidak tau apa yang terjadi.
Sesampainya di rumah, bi Imah bergegas memberikan uang untuk ongkos si supir taksi. Bi Imah melihat Hanasya yang ia sudah hapal apa yang terjadi.
"Tuan Gio tidak ada dirumah, non Nadine." ucap bi Imah pelan.
"Emang ayah jam segini di kantor kan bi.."
"Tuan katanya ke luar kota 2 hari."
Nadine akhirnya bisa bernafas lega sekarang, Hanasya juga sudah masuk ke dalam kamar dan sedangkan Nadine langsung pula bergegas masuk kamar.
"AAAAAAA.. BIBIIII!"
~'~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Rofifi Hasanah
ditunggu up nya lagi thor,,bagus ceritanya walaupun bacanya sambil nangis....semangaaattt thor...😊🥰💪
2023-07-04
1