"ARRRGGHHH! SAKIT AYAH! CUKUP!"
*Cletak* pukulan bertubi-tubi dengan gesper di punggung seorang gadis berumur 16 tahun itu masih senantiasa meringkuk di bawah lantai. Tangisan dan raungan tidak di pedulikan oleh sang ayah kandung.
"SUDAH BERAPA KALI AYAH BILANG PADAMU NADINE! JANGAN BIKIN ADIK KAMU MENANGIS!" sentak sang ayah yang tidak berhenti memukul pendah pipih itu.
Nama ku Nadine Tyas Lumia, aku hidup bersama ayah dan adik serta ibu tiri ku. Nama ayah ku, Gionino Wahid Lumia. Seorang yang dulu aku kagumi, sebelum hadirnya adik dalam hidupku sangat amat indah. Tapi semenjak kehadirannya, tepat ketika ayah menikah lagi dengan perempuan yang tidak aku sukai membuat semuanya berubah.
Nama adik ku Hanasya Angel Lumia, kami hanya berbeda jarak 5 tahun. Tepat setahun ibu ku meninggal, perempuan yang bernama Sarita Ashari itu mampu membuat ayah ku menikahinya. Aku sangat tidak suka dengannya, tapi ketika melihat mata ayah yang merindukan sosok istri di sampingnya membuat ku memilih untuk tidak egois. Aku juga masih butuh kasih sayang seorang ibu.
Aku terus menangis ketika pukulan itu sudah berhenti, "Kalau kamu masih meninggalkan adik mu secara sengaja atau tidak, ayah tidak akan segan-segan membuat kamu seperti ini Nadine!"
Aku hanya terdiam, air mata terus mengalir membuat sakit hati ku semakin bertambah.
Aku juga sempat melirik ayah yang membuka pintu lalu menggendong bocah 11 tahun itu, dan senyuman miring dari ibu tiri ku.
"Gpp, aku pasti kuat." hanya itu yang aku bisa semangati untuk diri sendiri, setidaknya ini membantu aku untuk hidup lebih lama lagi.
"Aku pasti bisa..."
Bukannya bangkit, aku justru manangis kembali.
"Kenyataannya aku ga kuat... hiks... Kenyataannya juga aku ga bisa... hiks..."
Aku menutup wajahanya di lutut, kamar yang bernuansa biru laut kesukaannya itu adalah desain pertamanya saat sebelum sang ayah menikah.
Nadine seakan tidak peduli dengan sakit di punggungnya, sakitnya itu tidak terasa sama sekali jika dibandingkan dengan luka di hatinya.
"Bisa Nadine ikut mama? Nadine benar-benar ga kuat, ma. hiks..." gumam Nadine yang terus menatap langit dari jendela kamarnya yang hordengnya terbuka.
Langit biru itu menjadi saksi betapa kejamnya seorang ayah terhadap putrinya, ibu tiri yang aku anggap akan menjadi pengganti mama kandung ternyata tidak sesuai harapan ku. Dia bisa merubah sifat ayah, dia juga bisa membuat ayah membenci ku, dan sampai-sampai ayah tidak memberi ku uang saku kecuali biaya sekolah.
Aku rela bekerja part time untuk memenuhi kebutuhan ku, sekedar uang jajan dan praktek itu sangat amat cukup untuk mengisi kegiatan di sekolah. Aku juga memiliki sahabat namanya Iqbal Hamdan, teman kecil ku yang sangat tau kondisi ku seperti apa.
Ayah yang merangkap direktur di bank swasta, membuat hidupnya jauh dari kata susah. Kami tinggal di rumah yang minimalis dengan 2 lantai, dan hanya ada 4 kamar.
Aku yang sedang bersiap untuk ke sekolah dengan rumah yang kondisinya masih sepi. Ya, sudah menjadi kebiasaan dari awal ayah menikah dan sejak sikapnya berubah membuat aku memilih untuk tidak sarapan bahkan makan malam bersamanya. Ayah sama sekali tidak protes pada ku, dia malah diam saja.
"Udah siap?" tanya Iqbal memastikan.
Pria itu bahkan rela untuk aku repotkan jam setengah enam pagi untuk berangkat sekolah, matanya yang selalu sembab karena kurang tidur tapi menyanggupi untuk mengantar ku. Aku dan Iqbal hanya berjarak 2 tahun, iqbal fokus dengan kuliahnya. Orangtuanya pemilik di suatu penginapan besar di Bali.
"Di pukul lagi?"
Di atas motor aku hanya diam, memeluk Iqbal dengan erat. Pria itu sudah aku anggap seperti abang sendiri, ibu dan ayahnya yang peduli pada ku membuat benar-benar merasakan keluarga sebenarnya.
Helaan nafas Iqbal saat aku terdiam, itu membuatnya sangat paham dengan apa yang terjadi. Dia terus menjalankan motornya dengan pelan, air mata ku kadang juga sesekali menetes.
Sesampainya di sekolah, aku turun dari motornya dan memberinya helm yang sudah aku lepas.
"Ke dokter, ga usah kerja dulu nanti pulang sekolah." ucap Iqbal.
"Ga usah, aku gpp." jawab ku dengan senyuman.
Aku langsung melangkah, namun tangan ku di cekal oleh Iqbal. Matanya nampak khawatir sekali.
"Nad, aku jemput kamu di sini pas pulang nanti dan kita ke dokter." ucapnya, aku yang baru membuka mulut hendak menolak tiba-tiba "Tidak ada penolakan!" lanjutnya lagi.
Lagi dan lagi aku hanya menganggukkan kepala saja, melihat Iqbal yang sudah menghilang dari pandangan itu membuat aku merintih menahan sakit. Tas yang aku gembol, langsung aku angkat pakai tangan menuju ke kelas.
"Pucet banget, nad."
Aku hanya tersenyum tipis dan duduk disebelah Aqila, teman dekat ku di sekolah.
"Di pukul lagi ya? Bawa obatnya ga? Kita ke UKS yuk."
Setiap kali aku terkena masalah, Aqila selalu cepat menyadarinya dan selalu setia mengobati punggung ku yang memar. Sampai akhirnya aku dan Aqila sedang di UKS, jam pelajaran yang belum mulai membuat mereka akhirnya memilih untuk terdiam di ruangan itu.
"Pasti adik lo lagi ya buat masalah?" ucap Aqila.
"Hm, biasa. Gue cuma telat lima menit dari tempat les dan dia udah nangis-nangis ga berhenti sampai ke rumah."
Aqila menatap sendu, dan tangannya berhenti untuk mengobati. "Kenapa masih bertahan sih, Nad?" tanya Aqila lirih.
"Gue masih butuh biayanya, La. Kan lo, gue sekolah disini ga pake beasiswa, lagipula setelah lulus nanti juga gue bakal kerja dan keluar dari rumah itu kok."
Aqila menghela nafasnya, kehidupan Nadine memang membuatnya siapapun iri tapi mereka yang iri itu tidak pernah tau dalamnya ke sadisan ayahnya Nadine terhadap putri kandungnya sendiri. Menyiksa, dan membuatnya harus bekerja membuat seorang Nadine menjadi perempuan yang mandiri.
Nadine juga tidak pernah menjelekkan ayahnya, atau ibu tirinya. Mereka berlagak seperti keluarga yang harmonis ketika bersama seperti makan bersama, dan kebanyakan hanya beberapa kali saja karena sisanya itu mereka habiskan dengan keluarga barunya tanpa Nadine.
Aqila terus mengolesi salep di punggung yang terdapat banyak memar kebiruan, setiap kali juga Aqila meringis dan aku tidak sama sekali karena sudah seperti biasa aja.
"Lo ga ke dokter aja? Luka yang seminggu lalu belum sembuh banget, dan sekarang ada luka baru."
Nadine merapikan bajunya, dia menghadap sisi Aqila yang masih memegang salep obat memar itu. Aqila memang sangat tau sebagian dalam hidup ku, kami berteman sejak SD bahkan Aqila juga dekat dengan Iqbal.
"Iqbal mau nganterin gue ke dokter nanti, padahal gue gpp." ucap ku.
Aqila melongo mendapatkan jawaban seperti itu, "Gpp gimana, Nad? Coba lo lihat luka yang di punggung itu merah dan membiru banget. Pasti sakit banget."
"Siksaan di batin ku lebih tersiksa la, aku rasanya tidak ingin hidup. Aku masih ingin rasanya bertahan lebih lama, apa aku sanggup?" gumam ku dalam hati.
Sebagai jawaban aku hanya tersenyum tipis, tak lama bel masuk terdengar membuat aku dan Aqila kembali ke dalam kelas mengikuti jam pelajaran berlangsung.
Selang istirahat, Aku dan Aqila memilih untuk ke kantin. Hanya ada beberapa menu yang aku sukai yaitu siomay, bakso dan mie ayam. Siomay yang aku suka hanya pangsit dengan bumbu kacang, bakso dengan bihun serta memakai sambal yang banyak tanpa campuran sayuran, mie ayam pun sama racikannya seperti bakso.
Kali itu aku memesan Siomay untuk makan siang di sekolah, melihat lirikan mata seorang yang sedaritadi mengawasi membuat penglihatan ku teralihkan pada sosok Rangga Bagaskara. Pria itu kelas 12, setahun lebih tua dari ku. Pria yang terkenal dengan pembuat masalah, pria yang tengil namun selalu menjadi juara kelas namun kepintarannya di atas rata-rata, dan ketua geng motor di SMA/SMK Abdi Djaya.
"Liat siapa sih Nad?" tanya Aqila yang akhirnya menoleh menatap arah pandang ku.
"Ih ga mungkin seorang Rangga ngelihatin lo, dia lagi liatin Sarah yang ada di belakang lo tuh."
Aku langsung menengok ke belakang. Iya, ternyata disana ada Sarah. Banyak yang bilang itu pacar Rangga, orangtua perempuan itu konglomerat juga yang pasti mereka serasi. Rangga memilih untuk sekolah di Jakarta, pria itu juga mempunyai adik perempuan dari pernikahan kedua dari ayah barunya.
Rangga memilih tinggal di apartemen, Adipati selaku ayah kandungnya itu memilih untuk tinggal bersama keluarga kecilnya juga. Pria itu mempunyai keturunan hingga pernikahannya menyentuh bahtera rumah tangga 2 tahun.
Sarah Wicaksono, perempuan tingginya 170cm dan badan ideal serta rambutnya yang lurus bawahnya di curly, poninya yang terbelah mengesankan cantik dan dewasa sekali wanita itu. Tapi siapa sangka kalau wanita cantik itu ternyata segalak singa jika ada yang mendekati Rangga, yang katanya pacarnya itu.
Setelah pelajaran usai, sesuai janji Iqbal yang menemani ku untuk ke dokter. Pria itu menunggu ku di parkiran sekolah.
"Ka iqbal!" sapa Aqila dengan binar matanya, aku bisa melihat pandangan Aqila pada Iqbal itu berbeda.
Iqbal di sana hanya tersenyum, kami memang bertiga suka bermain bersama sekedar hangout bareng, kadang di mall, kadang juga main di rumah Iqbal.
"Ini punggungnya Nadine merah-merah lagi ka. Kata Nadine, ka Iqbal mau ngebawa ke rumah sakit?"
Iqbal mengangguk, tentu pria itu hanya irit bicara pada siapapun termasuk Aqila. Aku bisa melihat sekitar parkiran yang dimana penuh dengan anak murid yang mengeluarkan motornya dari area sekolah, mata ku justru kini fokus pada pria yang memandang ku di atas motornya yaitu Rangga.
"Ayo naik." titah Iqbal.
Aku yang mendengar itu akhirnya buyar, dan pamit pada Aqila yang ternyata sudah di jemput oleh ayahnya. Aku memeluk perut Iqbal dari belakang setelah pria itu memasangkan helm, dan kami pun menuju ke rumah sakit.
~'~
Iqbal meminta Nadine diam di lobby rumah sakit untuk menunggu antrian, sementara pria itu mendaftarkan Nadine di loket.
"Silahkan langsung ke dokter kulit ya pak, hari ini antriannya hanya ada satu orang. Ruangannya berada di lantai 2." ujar resepsionis.
Iqbal akhirnya menerima secarik kertas berupa pendaftaran, lalu pria itu meminta Nadine untuk ke dokter kulit.
"Biayanya mahal ka, jangan ke dokter kulit. Mending ke puskesmas aja." ucap Nadine yang terus mengikuti pria itu berjalan menuju lift.
Iqbal tetap diam, "Aku yang membayar, ini sudah berapa kali ayah mu begini? Sudah tidak bisa di hitung pakai jari Nadine!"
Aku terdiam dan menunduk, selama ini Iqbal selalu menuruti aku untuk diam dan tidak membawanya ke rumah sakit karena akan sembuh dengan salep yang aku beli di apotek.
"Percuma ka, nanti pulang juga aku akan di pukul lagi." ujar ku, "Untuk apa di obati, kalau aku akan terluka lagi?"
Rahang Iqbal megetat, melihat Nadine yang terus di siksa membuat Iqbal sangat amat tidak terima. "Kamu tidak berani lapor kan? Aku bisa melaporkan kekerasan ini, Nad."
Aku menggelengkan kepala setelah mendengar ucapan itu, tentu aku tidak mau terjadi sesuatu pada ayahku dan aku juga tidak mau adik ku kehilangan ayahnya. Hal itu membuat Iqbal lagi dan lagi mencelos, matanya terus menatap tidak terputus pada pandangan mata ku.
*Ting*
Pintu lift terbuka, membuat Iqbal sedikit menyeret ku masuk ke dalam. Aku tentu tau, pria itu masih tetap teguh untuk mengobati punggung ku yang terluka.
Setelah menemui dokter, aku membuka dikit baju membuat pria itu mencelos dengan beberapa luka yang ada di punggung ku.
"Ini luka baru dan luka lama ya?"
Aku hanya mengangguk, aku juga hanya bisa mendengar desah kasar dari mulut Iqbal. Pria itu baru kali ini melihat luka di punggung ku, dan baru kali ini juga aku mau di obati oleh dokter.
"Saya resepkan pereda nyeri dan salep ya, harus rutin biar tidak berbekas." ujar dokter perempuan itu.
Dokter memberi resep itu pada Iqbal, dan aku? Hanya diam dan memunduk melihat wajah Iqbal yang menahan amarah. Bagaimana bisa seorang ayah berperilaku kasar terhadap putrinya sendiri? Apa orang itu pantas disebut orangtua dan seorang ayah?
Aku memilih untuk berjalan di belakang tubuh besar Iqbal, pria yang tegap dan gagah.
"Ka Iqbal marah sama aku?" tanya ku lirih.
Iqbal hanya diam dan terus berjalan sampai menuju ke apotek yang masih dalam area rumah sakit.
"Aku bisa pulang sekarang ga ka? Aku harus jemput adik."
Iqbal menatap sendu perempuan yang di sebelahnya, bahkan di saat sakit seperti ini dia masih saja menyanggupi untuk menjemput adiknya yang manja dan menyebabkan perempuan itu terluka.
"Biar aku antar.."
Aku langsung menggelengkan kepala seraya untuk menolak ajakkannya, setelah nama panggilan obat itu membuat aku refleks langsung meraih obat itu dan tidak lupa untuk bilang terimakasih atas semuanya.
~'~
Melihat situasi sekolah adiknya yang sepi tentu aku heran, apa ia terlambat lagi? Tentu aku sangat panik, hingga akhirnya salah satu satpam menghampiri ku dan bilang bahwa sisa satu pelajaran lagi siswa akan pulang.
"Terimakasih pak Karyo." balas ku menatap pria tua itu yang membalas dengan senyuman ramah.
Aku memilih untuk duduk yang tak jauh dari gerbang, melihat orangtua yang mulai berdatangan membuat aku semakin lega karena tidak terlambar untuk menjemput adiknya yang baru kelas 5 SD itu.
Bagi kalian yang bingung, apa tidak ada supir di rumah? Jawabannya tidak, ayah Gio memecatnya dan belum menemukan pengganti yang cocok. Bunda Tasya juga memilih untuk diam di rumah, dan shopping. Ayah Gio memilih untuk fokus bekerja, perhatiannya hanya pada istri dan Tasya adik kecilnya itu.
Kalau menangis sedikit saja, ayah langsung memarahi ku. Jika mengarah nangis yang kencang, ayah baru memukul ku di punggung. Sakit sekali, rasanya lebih sakit ketika luka yang ingin sembuh langsung di timpa oleh luka yang baru.
Ayah sama sekali tidak peduli dengan ku, ibu tiri ku membuatnya berubah dan selalu menyalahkan aku yang membuat mama tidak ada di dunia ini lagi. Mata ayah yang dulu menatap ku penuh kasih sayang, kini hanya penuh dengan kebencian.
Mendengar bel sekolah, aku langsung menunggu di depan gerbang dengan orang-orang yang sudah menjemput anak-anaknya.
"Ka nad!" sapa Hanasya.
Nadine tersenyum melihat adiknya, walaupun beberapa masalah hadir karena adik satu-satunya itu yang bisa di bilang sepele. Namun, kenyataannya Nadine sangat amat menyayangi adik kandungnya walaupun beda ibu itu.
"Ayo pulang." ajak Nadine yang menggenggam tangan adiknya itu, walaupun pakaiannya masih mengenakan pakaian sekolah dan Nadine selalu menggantinya setiap dirinya mengantar adiknya pulang terlebih dahulu.
Nadine juga memesan taksi online, karena itu salah satu transportasi dan yang membayarnya selalu bibi di rumah karena ayahnya sudah tidak percaya lagi dengan Nadine.
"Aku mau ikut kakak kerja, boleh?" tanya Hanasya yang berada di pelukan Nadine saat masih berada jalan ke arah rumah.
"Ga boleh, dan lagipula kan ayah pasti bakal marah besar kalau kamu ikut sama kakak." jawab Nadine menatap lekat wajah perempuan yang sangat amat mirip dengan wajah mama tirinya itu, wajah itu bahkan tidak mirip sekali dengan ayah Gio.
Bibir Hanasya mengerucut, dan memperat pelukannya. "Hana, kamu terlalu spesial bagi ayah dan bunda. Kamu harus jadi anak kebanggan mereka berdua ya?!"
"Lalu ka Nad, kenapa tidak pernah bersama lagi sama kita? Maksud Hana, kenapa ka nad ga pernah makan dan pergi bareng lagi sama ayah dan bunda?"
Aku hanya diam, hingga akhirnya taksi online itu sampai di depan rumah membuat aku tidak menjawab pertanyaan dari Hanasya. Kali ini aku tidak terlambat, dan tidak membuat anak itu menangis. Perasaan lega menyeruak dalam hati, kali ini aku bisa kerja dengan tenang di cafe.
Hanasya di sambut oleh Sarita, ibu kandung adiknya. Pemandangan setiap hari membuat aku sedikit iri. Andai mama masih hidup, pasti mama juga akan menyambut aku setiap pulang sekolah dengan pelukan hangat.
"Non, mau makan siang?" tegur bibi yang membuat aku sadar akan lamunan.
"Tidak, bi. Aku harus kerja." tolak Nadine dengan lembut.
Aku terus berjalan memasuki rumah untuk menuju kamar melakukan ritual mandi, serta membawa tas yang biasa aku bawa ke dalam tas. Biasanya aku ambil shift siang agar pulangnya tidak terlalu malam, setelah absen baru aku menjemput Hana. Sekarang gara-gara ke dokter, dan menjemput Hana membuat aku mengundurkan waktu 2 jam sehingga kemungkinan nantinya akan pulang lebih larut.
Nadine menuruni anak tangga rumahnya, melihat situasi rumah yang sepi membuatnya heran. Kemana ibu tirinya itu? Perasaan setengah jam lalu masih ada.
"Nyari nyonya Sarita ya?" tanya bibi.
"Iya bi, bunda sama Hana kemana?"
"Pergi ke kantor tuan sekitar 15 menit lalu."
Aku hanya diam, dan akhirnya pamit untuk pergi kerja. Mendengar jawaban bibi yang mengatakan mereka pergi ke kantor ayah, membuat Nadine mengingat dimana dulu dirinya juga sering dibawa ke kantor sebelum ayahnya merangkap menjadi direktur.
"Harus kerja! Ga boleh sedih, Nadine!"
Ucapan demi ucapan itu terlintas untuk menguatkan hati, bertahan dalam keluarga seperti ini pasti beberapa orang tidak akan kuat. Nadine juga sebenarnya sudah tidak kuat, tapi Nadine tidak ingin membuat ibunya sedih melihat anaknya yang sudah tidak kuat.
Setelah sampai di cafe yang menyediakan menu kopi dan kue manis, membuat tempat kerjanya itu selalu ramai dari mulai sekedar menjadi tempat nongkrong, tempat belajar, dan tempat diskusi dari umur manapun yang biasanya mereka membawa laptop hingga menimbulkan kesunyian.
Nama kafenya 'Flower Cafe', dinding yang putih serta dindingnya yang di penuhi oleh bunga mengesankan nama kafe itu sesuai dengan tempatnya.
"Nadine.." panggil Putri, kasir cafe.
Aku langsung menghampirinya, "Tolong antar ke meja nomor 12 ya, ada di outdoor." ucap Putri.
Aku langsung membawa minum kopi panas itu yang di tunjuk oleh Putri, melihat orang yang ia kenal seketika tubuhnya membeku dan begitu dengan pria itu yang menatap ku dengan intens.
"Rangga?" gumam Nadine pelan.
Aku berdeham untuk menetralkan jantung yang berdetak, kenapa pria itu ada di sini? Apa aku berbuat salah sampai dia menemukan tempat kerja ku?
~'~
Nadine terus berjalan pelan membawa kopi yang pesan Rangga, pria itu sepertinya sendirian dan biasanya juga bersama Sarah. Nadine meletakkan segelas kopi itu di meja Rangga, "Pesanan kopi mocha, selamat menikmati." ucap ku.
Saat hendak pergi dari sisi sana, Rangga menegur. "Nadine, anak administrasi dua kelas 11.".
Nadine seketika terdiam dan menunduk setelah mendengar hal itu, "Duduk." titahnya.
Nadine melihat kursi kosong yang tepat ada di hadapannya, aku sedang bekerja sekarang dan jika di lihat dirinya berperilaku seperti ini pasti akan membuat atasannya menegurnya.
"Gue bilang duduk! Lo takut ya sama atasan sendiri? Jelas-jelas tempat ini milik gue kok, dan atasan yang lo anggap itu masih bawahan gue."
Nadine jelas melotot mendengar hal itu, bagaimana bisa Rangga memiliki kafe besar ini? Apa dirinya harus menurutinya? Ah, tolak saja itu lebih baik!
"Maaf ka Rangga, aku sedang kerja dan saya tidak ingin orang-orang memperhatikan kita disini." ucap Nadine pelan dan langsung pamit membersihkan meja yang terlihat kotor didalam ruangan indoor.
Kenapa juga pria itu menjadi menegurnya? Selama Nadine bersekolah di sekolah itu pun, kita tidak pernah bertegur sapa dan cuma aku yang kenal dia karena memang cukup terkenal dikalangan siswa yang bersekolah di SMK Abdi Djaya. Rangga juga terkenal dengan cueknya, dia hanya dekat dengan satu wanita yaitu Sarah.
Nadine terus bekerja dan melupakan apa yang terjadi barusan, sebagai karyawan part time disini membuat diriku cukup sadar diri. Aku disini bekerja untuk memenuhi kebutuhan sekolah, aku juga menabung untuk masa depan nanti.
"Nak Nadine..." panggil pria yang sangat amat aku kenal, atasan ku namanya pak Husin.
Nadine yang mengelap meja kotor itu akhirnya berhenti, dan berjalan menghampiri sang atasan.
"Iya pak, ada yang bisa Nadine bantu?" tutur ku.
"Kamu bisa antarkan ini ke rumah sakit sebrang?"
Nadine melihat tas hampers yang biasa kafe tempat ku bekerja luncurkan, salah satu hampers yang rumah sakit itu suka pesan untuk salah satu perawat atau pasien disana.
"Oh bisa pak, ini nerima atas nama siapa ya?"
"Nabila, ruangan melati. Kamu bisa kasih ini ke resepsionis dan biar mereka yang menyampaikannya."
Aku menerima hampers itu, hampers yang berisi 3 cookies dan 1 botol minuman chocolate. Melepas apron yang terpasang di tubuh ku, lalu melangkah pergi menyebrang ke rumah sakit yang begitu banyak orang berlalu-lalang keluar masuk.
Nadine terus berjalan, resepsionis itu lumayan jauh juga karena rumah sakit itu sangat luas ditambah Nadine masuk lewat pintu belakang rumah sakit. Ini pertama kalinya juga Nadine disuruh untuk mengantar pesanan itu yang biasanya juga orang yang memesan mengambilnya.
"Permisi, sus.."
Perawat itu berdiri, "Ada yang bisa kami bantu?" tanyanya.
"Saya ingin mengantar hampers ini, penerimanya Nabila yang dirawat di ruangan melati."
Perawat itu pun mengambil hampers setelah di konfirmasi oleh pemilik ruangan tersebut, memang rumah sakit ini kalau ada titipan pasti harus mengkonfirmasi terlebih dahulu dan baru menerimanya.
"Terimakasih, sus." ucap ku lagi yang langsung bergegas keluar dari rumah sakit itu untuk kembali bekerja.
~'~
Jam pulang sudah menunjukkan pukul 9 malam, waktunya Nadine pulang. Malam yang sepi itu membuatnya seakan-akan terbiasa dengan situasi itu. Nadine selalu begitu, selalu pulang telat karena datangnya pun telat. Part time yang seahrusnya 3 jam saja, kali ini dia meminta tambahan untuk bekerja lebih dari 3 lagi yakni totanya 6 jam bekerja.
Nadine tidak masalah, karena sekolahnya juga tidak terlantar dan nilainya sama sekali tidak terganggu, bahkan masih menduduki ranking satu dikelas.
Suara klakson motor membuat aku menoleh, helm full face yang menampakkan mata saja membuat aku tersenyum setelah tau siapa manusia yang ada diatasnya.
"Kok tumben ka Iqbal barengan begini?" tanya ku sambil menikmati angin malamnya jalanan kota Jakarta.
"Habis main sama temen, dan aku liat kamu dari belakang kayak ga asing. Ternyata bener kan."
Aku hanya tersenyum dan memeluk pria itu dengan erat, motornya yang gede membuat aku sedikit membungkuk. "Udah makan?" tanya Iqbal.
"Apa?" sahut ku yang tidak terdengar.
"Kamu udah makan?" tanya Iqbal yang sedikiti mengeraskan suaranya.
"Oh belum ka, soalnya di kafe tadi itu rame jadi aku belum sempat makan dari siang."
Iqbal diam tanpa kata dan langsung menjalankan motornya yang berbelok kanan, seharusnya ke arah rumah Nadine itu belok kiri.
Setelah Iqbal menemukan satu gerobak berisi nasi uduk, membuat motornya melipir ke tempat yang terlihat sedikit ramai.
"Mau makan disini aja ya, aku juga laper." ucap Iqbal.
Nadine langsung turun dari motornya, dan menyerahkan helm yang sudah terlepas.
Iqbal memesan nasi uduk itu, dan sementara aku diam di tempat yang sudah di duduki. Begitu banyak hal yang aku lalui dengan Iqbal, dan begitu banyak kekaguman ku dengan pria yang tingginya 180cm itu, rambutnya yang sedikit tidak tersusun rapih serta selalu memakai jaket kulit berwarna hitam itu mengesankan seperti anak geng motor gitu lah.
"Permisi neng, ini pesanannya nasi uduk tanpa bihun atau mie dan sambalnya yang sedikit." ucap Iqbal dengan nada seperti abang-abang resto.
Aku hanya terkekeh melihat tingkah Iqbal yang selalu bisa membuatnya tertawa, "Habis ini minum obat, dan bersih-bersih terus tidur." kata Iqbal sambil mengunyah nasi uduk itu.
"Iya, ka." balas ku yang memakan makanan itu, "Hm, ka."
"Iya, kenapa?"
"Memang ka Iqbal ga di marahin sama ka Chika?" tanya Nadine dengan ragu-ragu. Benar saja, Iqbal berhenti mengunyah dan meminum teh hangat yang ada disebelah piring itu.
Iqbal menatap ku dengan tatapan penuh selidik, mata kami bertemu dan seperti biasa mata ku yang coklat hazel ini juga menatapnya. Biasanya kalau aku seperti itu mampu membuat Iqbal tidak pernah marah terhadap ku.
"Chika baik-baik aja, dia tau aku kemana aja dan bahkan dia memasang aplikasi untuk mengintai aku kemana pun."
Aku hanya melongo mendengar penuturannya, sampai segitunya Chika yang notabene pacar Iqbal memperketatnya. "Tapi sudah aku hapus, dan hubungan ku sama dia juga sudah lama berakhir. Maaf nad, aku belum memberitahukan semuanya." ucap Iqbal.
"Loh kapan? Ka Chika pasti sedih banget."
Iqbal memilih untuk tidak menjawab, dia malah mengeluarkan sebatang rokok yang berada di saku jaket kulitnya itu. Aku hanya melanjutkan makan sedikit, dan setelah itu meminum obat didepan pria itu.
"Besok libur kan?" tanya Iqbal saat mengendarai motornya untuk menuju ke rumah Nadine.
"Iya, kenapa?"
"Besok ke rumah, mama dan papa sudah pulang dari Bali." jawab pria itu. Tentu membuat aku sangat amat senang sekali mendengar hal itu semua, hal yang aku inginkan adalah bermanja dengan orangtuanya yang sudah aku anggap seperti keluarga ku sendiri.
Setelah sampai di depan rumah, Iqbal akhirnya pamit dan aku pun masuk ke dalam rumah. Sudah menjadi rutinitas ku setiap pulang kerja pasti situasi rumah yang sangat amat kosong. Aku juga menyempatkan untuk menengok kamar Hanasya, yang bernuansa pink dengan hiasan Teddy bear kesukaannya di dinding kamarnya.
Aku melihat di atas sofa beberapa tas belanjaan yang belum di susun ke tempatnya. Tentu, itu pasti baru di beli. Nadine sangat amat senang ketika sang adik tidak kekurangan akan kasih sayang.
"Kak Nadine sayang banget sama Hana, kakak akan ngelakuin apapun buat Hana." bisikan itu selalu di utarakan setiap adiknya terlelap.
~'~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!