Padahal makanan yang mengisi nampan itu masih banyak, aku memilih mengasingkan diri ke perpustakaan untuk mencari buku yang baru masuk sedangkan Aqila memilih untuk ke kelas mengerjakan tugas yang belum ia kerjakan dirumah.
Lorong demi lorong aku telusuri untuk menemukan tempat buku novel yang terbaru, intruksi penjaga perpustakaan bilang bahwa rak buku baru itu ada di rak 6. Jadi tidak akan jauh aku melangkah, rak yang tersedia di perpustakaan itu terdiri dari 25 rak yang berjejer 3 rak lemari besar. Memang cukup luas, sekolah bergengsi nan mahal ini juga selalu update buku terbaru setiap minggu dan bulannya.
Aku menemukan buku yang aku ingin baca, aku menaiki anak tangga yang terdiri 2 pijakan disana.
"Tere liye." gumam ku yang tersenyum setelah mendapatkan nama pencipta buku tersebut.
Nadine langsung turun, dan memilih untuk membacanya di sana tanpa dudukan kursi. Lembar demi lembar ia baca, tanpa ia sadari ada seseorang yang duduk di sampingnya. Setelah menengok, tentu Nadine terkejut.
"Ka Rangga!" pekik ku memegang dada yang jantung hampir saja mau copot rasanya.
Rangga tersenyum. Ada rasa tidak nyaman ada di dekatnya, semua wanita yang notabene mengagumi Rangga pasti akan menempelnya dan aku? Tidak, aku sangat amat tidak nyaman.
Aku memilih untuk bangkit dan berjalan ke arah meja yang berjejer kosong, ka Rangga lalu duduk di depan ku. Sekali bersuara saja bisa ditegur, dan bibir ini ingin sekali mengusirnya namun tidak bisa karena perpustakaan ini tidak boleh ada yang berbicara.
Pandangan lekat itu terus menatap ku, aku memilih untuk menutup wajah dengan buku yang sedang aku baca hingga akhirnya bel berbunyi pria itu terus mengikuti ku sampai ke depan kelas.
"Ka Rangga!" tegur ku pelan.
Pria itu malah tersenyum, senyum yang begitu manis sekali membuat siapapun meleleh melihat senyuman itu.
"Kenapa sih ka? Ada apa?" tanya ku sedikit sewot.
Aku tau beberapa dari murid yang di dalam kelas melihat kami berdua yang berada didepan pintu kelas itu, termasuk Aqila.
"Nanti sehabis pulang sekolah, jalan yuk?" ajaknya.
Nadine yang mendengar itu melebarkan matanya.
"Maaf ka, aku kerja." tolak ku halus.
"Ga usah kerja! Gue kan bosnya dan nanti gue yang bakal bilang sama pak Husin, kalau lo hari ini libur."
Nadine yang mendengar itu hanya terdiam, dia melirik Aqila yang sedikit melongok di celah pintu lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. Aku sedikit mencebikkan bibir dan melengos, ini baru kali pertama aku bolos kerja selain ijin dan sakit.
"Gimana, hm?"
Aku menatap wajahnya yang mulus, senyum tersunggingnya membuat aku salah fokus. Akhirnya aku menganggukkan kepala saja sebagai tanda setuju.
"Oke, nanti gue jemput jam 2 siang di..."
"Di depan halte mawar." sahut ku dengan cepat.
Pria itu mengangguk, dan sebelum dia pergi tiba-tiba mengacak puncak kepala ku yang membuat wanita di dalam kelas berteriak.
Aku pun masuk ke dalam kelas, ada rasa tidak enak dengan situasi sekarang. Seorang Rangga mengajak Nadine yang hanya orang biasa itu seperti suatu peruntungan yang mereka pikirkan. Tapi tidak bagi seorang Nadine, yang memikirkan seperti ada sesuatu yang membuat seorang Rangga mendekatinya.
"Ciyee.. Gimana perasaan lo yang di ajak jalan sama ka Rangga?" ledek Aqila saat aku duduk terdiam.
"Apa sih la, gue engga ada perasaan apapun kok. Cuma aneh aja, kenapa dari kemarin manusia itu selalu aja ngedeketin gue." ucap Nadine.
"Itu tandanya lo menarik di mata ka Rangga, jarang sih perempuan yang sekolah disini itu di ajak jalan sama dia."
Memang jarang sekali, soalnya sekali ketahuan oleh Tasya, pasti perempuan itu langsung bertindak untuk mengancam menjauhi kekasihnya itu. Aku hanya menghela nafas saja, memandangi guru yang sudah masuk ke dalam kelas untuk memulai pelajaran korespondensi selama satu jam setengah itu.
Pikiran ku begitu terus melayang, kemana ka Rangga mengajak aku pergi? Kenapa aku harus menerima ajakannya? Ah, bodoh! Seharusnya tadi menolak saja, bukannya malah setuju!
Runtukan itu hadir terus membuat aku menjadi tidak fokus dengan pelajaran yang di ajarkan sampai bel pulang berbunyi. Aku memilih untuk naik angkot sekedar menjemput Hanasya, kali ini aku pastikan tidak akan telat menjemput bocah sebelas tahun itu.
Sesampainya di sekolah dasar itu, gerbang masih tertutup serta beberapa orangtua yang menunggu di depannya itu membuat aku menduduki salah satu bangku yang dekat dengan gerbang sekolah itu. Sekolah yang elit, super duper bagus membuat hunian khusus orangtua yang menjemput tanpa kendaraan.
Bel pulang berbunyi tepat jam 1 siang, aku dan Hanasya bergegas untuk pulang dengan taksi online. Sudah rutinitas Nadine setiap hari seperti ini. Jarak sekolah Hanasya dengan rumah sekitar 15 menit saja, aku tidak melihat Sarita menyambut putrinya itu yang kemungkinan wanita itu sedang pergi dan lagipula supir tidak ada di garasi.
"Kamu bersih-bersih, terus tidur siang ya Hana." ucap ku mengusap pipi Hanasya, dan melihat wajah lelah anak itu. Kalau di lihat-lihat tingginya sudah hampir sama dengan ku.
Anak itu akhirnya pergi ke kamarnya yang berada di atas, aku pun juga bergegas untuk bersih-bersih karena jam yang bertengger di dinding itu sudah menunjukkan pukul setengah dua siang.
Hanya butuh 15 menit aku yang terus memilih baju yang cocok, hingga menjatuhkan pilihan baju yang lengan panjang dengan warna dusty pink, celana legging panjang, rambut yang aku gerai namun aku jepit di antara tengah-tengah dengan menggunakan penjepit kupu-kupu kecil, dan tas kecil selempang.
Ini pertama kalinya aku jalan bersama pria selain dengan Iqbal, pria itu yang selalu menemani ku dari kecil hingga sekarang sehingga aku tidak terlalu dekat pria manapun.
Nadine memandang tubuhnya yang sudah rapih dengan balutan baju, ada rasa berdetak jantungnya yang lebih kencang dari biasanya. Tak lama Nadine turun dari atas, sebelumnya menengok ke kamar Hanasya yang ternyata anak itu sudah tidur dengan balutan selimut.
"Eh non Nadine.."
Aku menengok pada bi Imah, wanita tua itu tersenyum dan menatap ku dari atas sampai bawah. Biasanya kalau pergi bekerja bukan seperti ini, dan bi Imah sangat hafal sekali.
"Non, mau pergi bekerja?" tanyanya.
Nadine menggelengkan kepalanya, "G-gini bi, aku ingin pergi dengan teman-"
"Den Iqbal?" serobotnya yang membuat aku spontan menggelengkan kepala.
"Teman bi, ini aku baru dekat. Bibi tolong jangan bilang sama ayah, kalau pulangnya lebih dulu dari aku."
Bi Imah hanya tersenyum saja dan mengangguk, dia mengusap pundak ku lalu menyuruh ku untuk cepat karena Nadine terlihat terburu-buru.
Ojek online yang sudah ada di depan pagar rumah pun langsung ke naiki, dari rumah ke depan kompleks itu lumayan lah sekitar 5 menit saja pakai motor. Sesampainya di depan halte, aku tidak melihat keberadaan Rangga disana yang membuat aku menunggu di halte.
Tepat jam 2 siang, sebuah motor besar berhenti didepan halte. Senyum yang terbit membuat aku menunduk, satu kata yang membuat aku sangat amat tersipu dengan pujiannya.
"Cantik..."
~'~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments