Melihat situasi yang kurang mendukung melihat Chika dan orangtua Iqbal sedang bersenda gurau, tertawa bersama, membuat Nadine yang hendak mundur ingin pulang dan tidak ingin merusak suasana hangat itu. Rasanya ingin datang nanti sore atau malam saja, Nadine tidak ingin mengacaukan semuanya yang terlebih saat Chika datang melabraknya waktu itu, membuat Nadine sedikit takut.
*dug*
Suara pot bunga yang terdengar agak keras itu membuat mereka bertiga menoleh, mendapati Nadine yang berdiri tidak jauh dari pintu. Tante Jihan berdiri, dan Chika memasang wajah datarnya di iringi matanya yang mendelik.
"Nadine!" seru Jihan yang mendekat.
Aku berdiri tegak dan tersenyum, tante Jihan memeluk ku dengan hangat sekali. Pelukan yang sangat amat aku rindukan dari seorang ibu.
Tante Jihan membawa ku masuk, dan tak lama dari itu juga Iqbal turun dari tangga. "Bagaimana kabar kamu?" tanya om Hadi.
"Baik om.. Sshh.."
Tante Jihan yang tidak sengaja mengelus punggungku membuat aku sedikit mendesis menahan sakit. Iqbal mendekat, dia duduk bersimbuh didepan ku.
"Udah minum obat belum?" tanya Iqbal pelan. Nadine hanya menggelengkan kepalanya, mensalepi punggungnya saja belum.
Iqbal membawa segelas air hangat, dan aku meminum obat itu dengan di saksikan oleh mereka yang melihat interaksi kami. Tangan Chika mengepal melihat Iqbal perhatian seperti itu, sedangkan om Hadi mengeryitkan dahinya.
"Sebenarnya ada apa? Memang Nadine sakit apa?" tanya Jihan pada Iqbal.
"Mama... Tolong mama membawa Nadine ke kamar ya, sepertinya Nadine tidak mengobati dirinya."
Jihan membawa Nadine untuk masuk ke dalam kamarnya, Iqbal datang membawa salep yang ia sengaja beli di apotek untuk berjaga-jaga seperti situasi sekarang ini.
"Ini salep apa?" tanya Jihan.
Iqbal menatap Nadine, membuat yang ditatap itu menunduk. Jihan pun akhirnya bertanya pada Nadine, Iqbal pun akhirnya keluar meninggalkan mereka berdua.
Setelah aku naikan baju belakang, Jihan menutup mulutnya karena terkejut dengan apa yang ia lihat. Begitu mengerikan, dan membuat dirinya begitu meringis.
"Siapa yang ngelakuin ini?" tanya Jihan pelan.
Nadine hanya diam, dia takut dan Jihan pun mulai mengolesi salep itu. Luka yang begitu penuh di punggung, ada luka merah dan membiru. Aku hanya meringis tiap kali Tante Jihan mengolesi.
Tante Jihan mengoles salep itu dengan pelan agar aku tidak merasakan sakit, sedikit aku dengar suara isakkan yang akhirnya membuat aku menengok perempuan itu mengeluarkan air matanya.
"Tante, kenapa nangis? Nadine tidak apa-apa." ucap ku yang masih di olesi salep.
"Rasanya tante benar-benar tidak bisa menjaga amanah Cahaya untuk menjaga kamu dengan baik, tante terus keluar kota tanpa tau sebenarnya kondisi kamu sudah separah ini." ucap Jihan dengan suara paraunya.
Iya, tante Jihan adalah sahabat mama ku. Mereka berteman sejak kecil, rumah mereka bersebelahan hingga akhirnya masing-masing dari mereka menikah. Jihan di boyong oleh suaminya ke Bali, karena mendapatkan seorang pengusaha penginapan yang begitu banyak di beberapa kota lainnya, namun pusatnya ada di Bali. Sedangkan Cahaya, dua tahun setelahnya mama ku menikah dengan ayah Gio dan menetap di Jakarta.
"Tidak tante, ini semua bukan salah tante jihan."
Jihan terdiam, dia menarik baju Nadine yang tersingkap lalu memegang pundaknya. "Ayah kamu yang melakukan ini?"
Nadine menatap mata Jihan yang begitu berkaca-kaca, lalu menggelengkan kepalanya. "Aku jatuh dari tangga, dan baru kemarin di antar berobat sama ka Iqbal." jawab ku.
Jihan mengeratkan tangannya, dia mengelus punggung tangan ku dengan sangat lembut. Jihan memiliki dua anak, salah satu anaknya yang paling kecil sedang ada di Bali bersama mertuanya. Karena sudah kebiasaan Jihan dan Hadi selalu pulang keesokan harinya atau lusanya jadi bisa meninggalkan si kecil yang baru berusi 6 tahun itu.
Tentu seorang Jihan mendengar jawaban Nadine sangat amat tidak percaya, melihat luka yang sudah di yakini itu bukan luka jatuh dari tangga. Jihan memilih untuk percaya, sisanya dia akan bertanya dengan putranya tentang kenyataan apa yang sebenarnya terjadi.
Tante Jihan membawa ku untuk kembali ke ruang tamu, disana terdapat Iqbal, Hadi dan Chika yang sedang mengobrol.
"Nadine kenapa, ma?" tanya Hadi saat melihat sang istri yang mendekat.
"Punggungnya luka, katanya jatuh dari tangga."
Iqbal menatap ku setelah mendengar penuturan ibunya, aku menatapnya dan melihat hembusan nafasnya yang begitu kasar.
"Yaampun, kamu gpp Nadine?"
Aku tersenyum, "Aku gpp om, kemarin udah di antar sama ka Iqbal ke rumah sakit kok." jawab ku.
Chika yang mendengar itu langsung melebarkan matanya dan menatap Iqbal dengan kesal. Bisa-bisanya saat mereka bertengkar, Iqbal bukannya datang ke rumah untuk merayunya tapi malah pergi dengan Nadine?!
Chika langsung berdiri dan mengambil tas selempangnya, "Maaf om, tante. Chika pulang dulu ya, soalnya Chika ada urusan mendadak." ucapnya.
Jihan, Hadi mengangguk. Sementara Iqbal? Dia diam. Aku menatap Chika, dan Chika membalas dengan tatapan sengit sekali. Kemarin hubungan mereka katanya sudah berakhir, kok sepertinya tidak terjadi apa-apa ya?
Jihan membawa ku untuk duduk di sofa dan duduk di sampingnya, "Semakin dewasa, kamu semakin mirip dengan Cahaya. Tante jadi rindu sama dia." gumam Jihan mengusap pundak Nadine.
Nadine tersenyum, "Nadine juga rindu, andai kecelakaan beberapa tahun lalu itu ga terjadi. Pasti mama ada disini, sama ayah, sama tante juga."
Jihan menatap mata Nadine yang berkaca-kaca, ada banyak luka disana. "Lihat lah, ya. Putri mu begitu banyak menanggung beban yang berat, menutupi luka hingga dirinya sendiri tidak bahagia sejak kamu tidak ada. Ya, kalau saja ada secercah harapan untuk kamu hidup lagi, dan membangun impian kita bersama untuk menjodohkan anak kita. Kamu masih mau tidak? Aku yakin Iqbal akan menjaga dan tidak menyakiti putri kamu." batin Jihan mengusap rambut panjang sebahu Nadine.
"Iya, kamu terlalu mirip dengan Cahaya. Cuma bedanya di mata saja yang mirip dengan Gio." sahut Hadi.
Nadine hanya tersenyum membalas perkataan itu, mereka sudah lama tidak merasakan kehangatan keluarga ini. Jihan pun akhirnya mencairkan suasana sedih itu dengan membuka oleh-oleh, mereka mengenyampingkan masalah berat itu dengan beberapa kebahagiaan yang menghampiri.
"Ini oleh-oleh dari Bali, nanti kamu sama Iqbal ke Bali ya. Kan udah lama loh Nadine ga ketemu Farid!" seru Jihan. Farid anak dari Jihan dan Hadi, adik dari Iqbal.
"Pasti dia lupa ya sama aku? Soalnya terakhir ketemu kan satu tahun lalu." balas ku dengan melipat baju oleh-oleh itu.
"Tidak, dia bahkan ingin sekali ke sini untuk ketemu kamu. Eh anak itu malah sakit."
Aku hanya tersenyum, menatap oleh-oleh yang begitu banyak. Iqbal dan Hadi pun memilih untuk berbincang-bincang antara ayah dan anak itu. Walaupun pulang sebulan sekali, Iqbal hidup bersama sang asisten rumah tangga yang pulang pergi, menjadi rumahnya yang begitu rapih.
Telepon ku berbunyi yang ternyata dari Aqila, "Iya, la. Ada apa?" tanya ku.
"Bisa temenin gue cari kado ga?" - Aqila.
"Bisa, nanti gue ke rumah lo ya?" - Nadine.
"Ga usah, nanti kita ketemuan dia mall biasa aja." - Aqila.
Aku pun menutup teleponnya, lalu pamit ingin pergi lagi. Iqbal pun bergegas mengambil kunci motornya yang mampu membuat aku membeku di tempat, senyum kecil terbit di mulut Jihan dan Hadi ketika melihat sang putra begitu cepat merespon. Tak lama pun, Iqbal dan Nadine pergi dengan motor ke tujuan.
~'~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments