Sedari tadi Iqbal sangat amat gelisah, padahal hari ini lah jadwal dirinya untuk packing keberangkatannya ke Bali. Ada rasa ingin sekali membawa Nadine bersamanya, ingin membawa Nadine pergi dari penderitaannya selama ini.
Iqbal teringat saat di atas motor membawa wanita itu ke mall ingin bertemu dengan Aqila.
"Ka." ucapnya.
"Iya?" sahut Iqbal dengan sedikit teriak karena helmnya yang full face.
"Aku mohon jangan kasih tau semuanya yang aku alami sama tante Jihan dan om Hadi." jawabnya.
Iqbal tentu heran, dia menautkan alisnya dengan tetap fokus dalam berkendara.
"Aku tau, kalau Tante Jihan tau apa yang ayah lakuin sama aku dan om Hadi tidak akan bisa diam ka. Aku tidak mau kalau ayah kehilangan pekerjaannya, aku juga tidak mau Hana kecewa dan aku tidak mau bunda Sarita meninggalkan ayah." jelasnya.
Mendengar alasan itu membuat Iqbal menelan silvanya, dia mencengkram stang motornya untuk menahan emosinya. Nadine terlalu melindungi sang ayah demi keluarganya, tanpa melindungi dirinya sendiri.
"Ka Iqbal, janji kan?"
Iqbal mengedipkan matanya, "Ya." jawaban singkat itu lolos dari bibir pria itu.
•
Ada rasa ingin sekali memberitahu semua kelakuan pria yang sudah menyakiti fisik sahabatnya yang sudah ia anggap seperti adik sendiri. Namun, semuanya gagal karena Nadine melarang. Segitu cintanya Nadine pada keluarga yang jelas-jelas tidak mencintainya.
Iqbal mengambil handphone yang terus berdering, menampilkan nama di layar datar itu 'Chika' tanpa ada emot apapun. Hal ini sempat menjadi perdebatan keduanya, tapi Chika akhirnya mengalah karena melihat wajah Iqbal yang sudah mulai berubah.
Iqbal dengan malas mengangkat telepon itu.
"Halo bee." - Chika.
"Hm." - Iqbal.
"Kamu mau ke Bali ya hari ini?" - Chika.
"Tau darimana?" - Iqbal.
"Aku tau dari Dino, kamu ga mau ngajak aku? Aku pengen banget kenal dan lebih dekat sama adik kamu itu." - Chika.
Di seberang sana, Iqbal memutar bola matanya dengan malas.
"Kenapa?" - Iqbal.
"Kenapa apa?" - Chika.
"Kenapa harus ikut? Padahal aku tidak ingin ngajak kamu!" - Iqbal.
Di seberang sana tidak ada suara apapun dari Chika. Iqbal sangat amat mengerti sifat Chika jika diam seperti ini pasti ujung-ujungnya akan mematikan teleponnya, tapi sekarang tidak.
"Aku hanya ingin tau keluarga kamu, apa tidak boleh?" - Chika dengan pelan.
"Nanti saja!" - Iqbal langsung mematikan telepon itu secara sepihak.
Chika memang cantik. Kulitnya yang kuning langsat, badannya yang ideal, serta rambutnya yang sepundak, dan wajahnya yang begitu sempurna membuat siapapun akan menyukainya jika hanya sekali lihat. Tapi berbeda dengan Iqbal, dipandangannya Chika hanya wanita yang biasa saja.
Chika hidup broken home sejak umurnya 7 tahun, melihat sang ayah dan sang ibu bertengkar hebat dan dirinya duduk di bawah meja makan. Beberapa piring berserakan, pecahannya itu mampu melukai kaki kecil Chika yang ada di bawah meja itu dengan tangan menutupi telinga.
"MAS YUDHA! AKU TIDAK SUDI JIKA KAMU MEMILIH PEREMPUAN ****** ITU!" teriakan itu yang terdengar.
"SETERAH KAMU TIARA! AKU LEBIH BAIK MEMILIH WANITA YANG KAMU BILANG ****** ITU!"
Mata Tiara berkaca-kaca mendengar penuturan itu.
"Kamu tega meninggalkan aku dan Chika? Tolong pikirkan Chika, mas. Dia masih butuh kamu!" dengan suara tersendat, Tiara terus memohon untuk Yudha tidak meninggalkannya.
Dompet Yudha jatuh, dan saat mengambilnya mata itu melihat Chika yang sedang menutup telinga dengan air mata yang mengalir deras. Tiara pun yang penasaran melihat apa yang dilihat oleh Yudha ternyata sedaritadi Chika melihat pertengkaran mereka.
Setelah dengan bujukan, Chika keluar dari bawah meja makan itu. Beberapa kali Chika juga meminta untuk sang ayah tidak pergi, tapi saat keluar dari rumah dengan membawa koper. Seorang wanita berdiri di samping mobil, pakaian yang berhijab serta dengan pandangan sendu menatap Chika yang memegang tangan sang ayah memintanya untuk jangan pergi.
"Maafin ayah, Ika bisa main ke Jakarta ke rumah papa dan nafkah Ika akan papa kasih sampai lulus kuliah ya, sayang." ucap Yudha pelan.
Chika yang berumur 7 tahun itu menggelengkan kepalanya, dia melirik wanita berhijab yang ia yakini telah merebut sang ayah dan kebahagiaannya. Wanita itu sekitar umur 28 tahun, sedangkan Yudha berumur 31 tahun.
Sebuah pelukan menahan tubuh Chika untuk tidak mengikuti sang ayah pergi, tatapan benci terpancar dari mata Tiara. Sejak kejadian itu, Tiara selalu menekankan bahwa putrinya harus mencari pria yang bisa ia ikat dengan artian tidak boleh kehilangannya. Karena, jika sudah hilang akan lebih sakit.
•
Handphone Iqbal berdering, tanpa melihat Iqbal langsung menjawabnya dengan ketus.
"Kenapa lagi, Chik?!" ketusnya.
"H-halo... Den Iqbal..." ucap wanita itu, "Ini Bi Imah." lanjutnya.
Iqbal dengan spontan menegakkan tubuhnya, suara ini seperti bi Imah. Suara gemetar dan pelan itu membuat Iqbal bergenyit heran.
"Bisa ke sini den? Bisa tolongin non Nadine?"
Mendengar ucapan itu, tentu Iqbal sangat tau apa yang terjadi dengan Nadine.
~'~
"DARIMANA SAJA KAMU?! SAYA BERTANYA!" sentaknya yang mulai menghampiri ku yang berdiri tidak jauh darinya.
Mendengar sentakan itu membuat tubuh ku menegang, ini yang ditakutkan dirinya dan aku lupa kalau di rumah ini dilengkapi oleh cctv. Hanya ayah yang bisa memantau pergerakan kami yang ada di rumah.
"A-aku kerja, yah." balasku dengan gugup.
Ayah Gio menarik tangan ku, dia memasukkan aku ke dalam kamar dan aku sangat tau apa yang akan terjadi selanjutnya yang mampu membuat aku menutup mata dengan sangat rapat.
*Cletak*
Satu pecutan gesper mengenai punggung ku, aku hanya mampu menutup mata dan meringis. Air mata ku mengalir, bibir ku tergigit menahan sakit.
"BERANI KAMU BERBOHONG PADA AYAH?!"
Aku hanya diam, pukulan itu tidak pernah berkurang mengenai punggung ku. Luka baru lagi akan segera muncul, kenapa ayah menyiksa ku? Kenapa tidak membun*h ku saja?
"Ayah melihat kamu pergi bersama laki-laki, dan kamu tega meninggalkan adik mu sendirian ketika tidak bekerja?!"
Nadine terus memejamkan matanya, air matanya mengalir tanpa berhenti dan pukulan itu pun tidak berhenti juga. Hingga akhirnya suara pintu terbuka dengan kasar membuat aku dan ayah Gio menoleh.
Iqbal melihat Nadine yang duduk di lantai, tatapan pria itu mencelos melihat apa yang ia lihat secara langsung. Iqbal berjalan dengan emosi, dan Nadine langsung berdiri dengan sekuat tenaga yang tersisa memeluk perut pria itu.
"APA YANG OM LAKUKAN?!" suara tinggi itu mampu mengisi ruangan kamar Nadine.
Nadine terus menahan tubuh pria itu, walaupun tubuhnya besar tapi Nadine tau jika dengan memeluk seperti ini Iqbal akan melemah.
"Kau?! Berani sekali masuk ke rumah ku tanpa izin!""
Tatapan sengit itu juga tak kalah dari Gionino yang menatap Iqbal.
"Ka! Udah... Aku mohon.." ucap ku pelan yang aku yakini terdengar sampai ke telinganya.
Kedua tangan Iqbal terkepal. Marah dan sedih bercampur jadi satu di dalam hatinya, dia melihat tangan Gio yang masih terdapat benda pipih itu. Kemana pikiran orang ini yang begitu tega menyiksa anak kandungnya? Iqbal tidak habis pikir, sebab apa yang sebenarnya sampai Nadine menerima siksaan ini?
Iqbal menarik tangan Nadine dengan kasar yang membuat wanita itu berdiri dengan susah payah. Sesampainya di bawah, aku melihat bi Imah yang berjalan seperti setrikaan dan cemas sekali. Namun, setelah melihat wajah ku, dia langsung memeluk dengan erat.
"Terimakasih den Iqbal." ucap bi Imah.
Iqbal mengangguk, dia menarik ku lagi untuk menaiki motornya. Tentu, Nadine hanya menurut saja. Dia memeluk erat pinggang pria itu, tujuan kemana pun Nadine tidak tau yang pasti Nadine melihat genangan air mata Iqbal yang hadir disana.
~'~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Mizra May
1 kata buat Nadine BODOH
org seperti bapakmu dan ibu tirimu itu perlu di kasih pelajaran sekali kali
2023-06-27
0