Bab 13

Motor yang di kendarai oleh Iqbal begitu kencang, emosi yang menggebu-gebu dalam hatinya tanpa sadar ia salurkan dalam berkendara. Lelehan air mata yang terus mengalir dari mata pria itu menandakan sakit hatinya, karena ia telah lalai menjaga amanat kedua orangtuanya dan ibunya Nadine yang begitu amat percaya pada dirinya dan keluarganya.

Punggungnya Iqbal pun basah, Nadine terus menutup matanya. Perih di punggungnya sudah tidak terasa lagi, karena mungkin memang sudah terbiasa.

"Sampai kapan aku harus bertahan? Tapi aku tidak mau meninggalkan Hana sendirian..." batin Nadine yang membuka matanya melihat pandangan jalanan yang begitu cepat.

Iqbal membawa ku ke suatu tempat, tempat yang tidak asing sekali. Basecampnya dengan teman geng motornya itu, teman-temannya sudah mengenal ku sejak awal Iqbal mendirikan basecamp ini.

"Bal, Nadine kenapa?" tanya Ipoy, laki-laki berbadan kurus tapi tinggi itu bertanya pada Iqbal yang memapah ku sampai masuk ke area basecamp itu.

"Ada Siska?" tanya Iqbal dengan suara seraknya.

Siska yang keluar dari salah satu ruangan itu langsung menyahut dan mendekat.

"Kenapa?"

"Tolong obatin punggungnya, sis." jawab Iqbal.

Siska menatap Nadine yang menunduk, perempuan itu bergenyit heran. Teman-teman yang lain tentu tak kala heran.

"Lu apain Nadine?!" sahut Rudi dengan nada yang mulai tidak enak itu mendekat Iqbal.

Iqbal menelan silvanya, memang jika berurusan dengan perempuan mereka selalu terdepan apalagi Nadine yang mereka kenal.

"Ka, jangan... Ka Iqbal ga apa-apain aku kok.." ucap Nadine yang berusaha memisahkan mereka.

Rudi yang berumur 21 tahun itu memang mengagumi Nadine secara diam-diam, pria yang tinggi dan berkulit putih serta rambutnya yang ikal. Dari dulu memang Rudi lah yang paling dekat Nadine ketika perempuan itu hadir di basecamp bersama Iqbal, karena terlalu sibuk bekerja membuat waktu berkurang.

Ipoy menjauhi Rudi, dan Siska menarik tangan Nadine dengan pelan untuk berdiri disebelahnya.

"Mana obatnya? Di bawa?" tanya Siska pada Nadine.

Tentu aku menggelengkan kepala, obat salep dan obat lainnya yang belum habis itu tersimpan dirumah. Iqbal mencebik, dia mengeluarkan salep yang sama dari kantong celananya dan menyerahkan pada Siska.

"Tolong ya.." ucap Iqbal yang di angguki oleh Siska.

Nadine dan Siska sudah berada di ruangan yang terkunci, sedangkan Iqbal di cecar beberapa pertanyaan oleh teman-temannya.

"Nadine kenapa?" tanya ipoy lagi.

ke empat teman lainnya pun mendekat, Iqbal memilih diam dan terus mengusap wajahnya dengan kasar karena kejadian beberapa saat lalu masih terlihat jelas ketika Gio ingin memukul gesper itu ke punggung Nadine.

Iqbal sendiri masih tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang ayah tega menyiksa anaknya sendiri yang terlebih seorang anak perempuan.

"Kalau tante Cahaya masih hidup, pasti dia akan sangat marah sekali sama om Gio.." batin Iqbal dengan matanya yang memerah.

Tak lama kemudian Nadine dan Siska keluar, ringisan terdengar dari mulut Siska yang sangat tidak percaya dengan apa dilihatnya barusan.

"Bal, kata Nadine itu bener dia jatuh dari tangga?" tanya Siska memastikan.

Iqbal dan Nadine saling menatap.

"Jatuhnya parah banget, dan kayak ada luka yang membekas gitu." ucap Siska lagi.

"Dia emang teledor, kan disini juga kalian sering liat jalan Nadine suka kesandung." cetus Iqbal yang kini tugasnya membuat temannya itu percaya.

Siska dan lainnya percaya, tapi tidak dengan Rudi yang terus menatap penuh tanda tanya ke mata wanita yang ia sukai itu. Ada rasa menganjal dari hsti pria itu, dan memang Nadine perempuan yang tidak pandai untuk menyembunyikan rahasia.

"Kita ada pizza, sama nasi padang. Kalau lidahnya yang ke barat-baratan bisa makan pizza, kalau lidahnya asli Indonesia bisa makan nasi padang." ucap Sinyo, laki-laki yang mampu menghidupkan suasana yang sedih, tegang dan apapun menjadi cair kembali.

Nadine tersenyum, akhirnya Iqbal dan Nadine mengambil sepotong pizza yang cukup besar karena ukurannya yang large, dan nasi padang tersisa 4 bungkus lagi disisi sebelahnya.

Di tempat ini, tempat yang mampu membuat aku melupakan sebagian kesedihan ku hari ini serta kesakitan yang sudah aku alami beberapa saat lalu. Di tempat ini juga, tempat menampung semua keluh kesah ku. Memang aku sudah lama sekali tidak kesini, sejak 2 tahun terakhir saat memutuskan untuk bekerja yang bisa dibilang full time.

"Oh ya, Siska mau nikah." ucap Sinyo yang membuat kami seketika diam dan semua mata tertuju pada Siska.

"Beneran sis?" tanya Frans.

Siska menaruh botol es teh kotak itu ke meja, dan menganggukkan kepalanya.

"Sama orang mana? Kok gue ga tau sih!" cecarnya.

Siska tertawa, "Sama orang Palembang. Kenalnya di aplikasi, tiga kali ketemu eh kita ngerasa cocok dan dia ajak nikah." jelasnya.

Aku hanya terkagum mendengar Siska yang lebih tua 4 tahun dari ku itu menikah muda, memang menikah muda begitu banyak pertimbangan dari kesiapan mental dan batin.

"Ka Siska, apa udah sreg? Berani banget nikah muda." ucap ku.

Siska tersenyum, "Udah, udah sholat yang di terbayang muka dia terus dan iman dia juga bagus. Jadi... Gaada alasan kan buat nikah muda?"

Nadine hanya tersenyum menanggapinya.

"Kamu harus nikah, biar tongkrongan ini tambah rame sama krucil-krucil kita nanti." ucap Siska pada ku dengan semangatnya.

Mendengar hal itu, membuat aku menunduk. Trauma yang diberi ayah begitu berefek besar hingga aku takut akan menikah, takut jika suatu saat posisi ku ini ada di anak ku kelak. Aku ga mau.

Iqbal menyadari perbedaan ku saat cetusan dari Siska, tangannya menggenggam erat tangan ku yang di bawah meja dan aku membalas dengan mengelus jempolnya dengan begitu aku memberi jawaban 'i am okay, kak.'.

Sudah cukup lama berkumpul sampai larut malam, hingga jam menunjukkan pukul 9 malam. Iqbal mengantar ku sampai ke rumah, pintunya sengaja bi Imah tidak kunci.

"Kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk telepon." ucap Iqbal yang melepaskan helm yang terpasang di kepala.

"Makasih untuk malam ini, ka Iqbal dan yang lainnya udah ngebuat aku membaik lagi."

Iqbal tersenyum, mata kami saling menatap. Perasaan ku pada Iqbal sebagai seorang adik yang mengadu pada abangnya, dan aku berharap Iqbal juga sama seperti itu.

Aku melangkah menuju pintu rumah, terdengar motor Iqbal yang berbunyi diluar sana tentu membuat aku mengunci pintu rumah. Suasana yang sepi, dan remang-remang itu berhasil membuat Nadine sedikit lega karena semua orang yang berada di rumah ini sudah tidur semua.

Nadine melangkah menuju ruangan yang dimana foto sang ibu dikumpulkan oleh Gio, dia melihat pintu ruangan yang terbuka sedikit mampu membuatnya penasaran dan melangkahkan kakinya mendekat lagi.

Aku melihat sosok laki-laki yang sedang duduk di sofa kecil yang berada di tengah ruangan itu, menatap Gionino yang sedang memeluk bingkai foto almarhumah istrinya. Remasan di dada yang begitu sesak melihat adegan itu membuat Nadine segera menjauh, dia masuk ke dalam kamarnya dan menangis serta memukul kepalanya mengingat kejadian 6 tahun yang lalu itu.

"Aku pembawa sial... hiks..." makinya yang terus memukul kepalanya sendiri, setelah melihat sang ayah menangis diruangan kecil itu.

"Nadine... nak! Awas ada mobil!" 

Teriakan itu terus menghantui ku, kaki yang terus berlari mendekati ku dengan perut yang membesar sudah berusia 7 bulan itu berupaya untuk menyelamatkan putrinya yang hampir tertabrak oleh mobil pengangkut barang.

~'~

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!