Sudah 5 tahun lebih mengarungi bahtera rumah tangga, tapi hati suami dari Sarita yaitu Gionino belum sepenuhnya milik dirinya. Lorong hati yang menurutnya kosong itu masih tersimpan kokoh pada almarhumah istrinya yang sudah lama tiada, sakit hati yang begitu menyeruak membuat Sarita sedih dan memendam kekecewaan.
Setahun pertama pernikahan, Sarita mencoba untuk memaklumi. Hingga saat menyentuh tahun ke 4 hingga sekarang membuatnya dirinya tidak lagi bersabar, walaupun dirinya sangat bersyukur putrinya dicintai oleh Gionino. Walaupun dalam hatinya pria itu tidak akan tau apa yang sebenarnya terjadi.
"Kamu tau, yang menyebabkan kematian teman ku itu awal mulanya dari putri mu! Dia sembarangan keluar, ke jalan raya tanpa tau resikonya." ucapan itu di tanamkan saat masih kalut itu berhasil menumbuhkan kebencian, kejahatan Sarita sampai saat ini masih tertutup rapih karena satu hal itu.
Yang Gionino lupa, saat itu Nadine baru berusia 5 tahun yang dimana anak itu sudah mulai mengeksplore sesuatu untuk memenuhi rasa penasarannya. Ada tukang balon di seberang jalan kafe yang begitu sepi, tapi saat sang ibu hendak berdiri dari tempat duduknya dan Nadine berjalan keluar. Cahaya yang sadar tidak ada putrinya pun langsung keluar dan mendapati sang anak yang sudah berjalan di tengah jalanan cafe itu.
Gionino sangat marah, setiap kali wajah mereka bertemu hanya kebencian yang ia tampilkan pada putrinya itu. Semakin dewasa, wajah Nadine semakin mirip dengan Cahaya yang bahkan membuat rasa bencinya semakin besar, kenapa Nadine yang harus mewarisi wajah istrinya yang sudah membuat istrinya mati?
Semua yang dilakukan oleh Nadine menjadi serba salah di mata sang ayah, hingga akhirnya Gionino setuju dengan saran Sarita untuk tidak memberi uang kebutuhan apapun.
"Kenapa, yah? Kenapa ayah tidak mau memberi aku uang saku lagi?" tanya Nadine yang kini duduk berhadapan dengan Gionino di ruang keluarga.
"Adik mu sudah mau masuk sekolah! Mulai sekarang cari saja uang saku sendiri!" cetusnya dengan marah.
Nadine semakin menunduk, air matanya setetes jatuh dan langsung mengusapnya dengan cepat.
"Tapi Nadine boleh minta sesuatu sama ayah?"
Gionino hanya diam, dan melirik matanya pada sang putri yang kini beranjak remaja itu.
"Tolong ayah bayarkan uang perbulan saja, kalaupun bekerja aku yakin itu tidak akan cukup. Bisa kan, yah?" tawar Nadine dengan takut-takut dan menundukkan kepala.
"Hm, saya akan membayar itu!"
Gionino pun bangkit dan melangkahkan kakinya untuk masuk ke ruangan kerjanya, Nadine bisa menghela nafasnya dengan lega. Biaya SPP sekolah itu sangat mahal, sekitar 2 juta perbulan.
Sejak kehadirannya tidak diharapkan membuat Nadine sedikit menjaga jaraknya dengan sang ayah, Nadine tergolong ceria dan selalu menceritakan semuanya pada Cahaya dan Gionino. Tapi sekarang? Semuanya begitu hambar, mereka seperti orang asing walaupun satu rumah. Kehadiran ibu sambung yang diharapkan menjadi pengobat rindu itu ternyata hanya khayalan, Sarita tergolong kejam walaupun tidak pernah memukul Nadine.
Sindiran-sindiran halus yang sangat menusuk ke hati, itu adalah andalan Sarita untuk menyakiti batin ku. Aku cuma berharap bunda Sarita akan berubah suatu saat nanti, hanya satu yang aku mau ialah kasih sayang seorang ibu setulus dirinya mencintai Hanasya.
~'~
Sesampainya dirumah, Iqbal merebahkan dirinya di atas kasur setelah pria itu membersihkan dirinya. Pria itu merebahkan diri dengan piyama putih polos kesukaannya, dia menatap langit-langit kamar. Hanya ada suara televisi yang mengisi ruangan itu, rumah yang hanya satu lantai dengan ruangan yang berisi 2 kamar tidur serta 1 kamar asisten rumah tangga yang tepat di dekat dapur itu tetap saja membuatnya kesepian.
Dengan masalah yang hadir hari itu, membuat Iqbal mengurungkan niat untuk ke Bali. Dia hanya ingin menjaga Nadine yang sudah hampir saja lalai menjaganya. Iqbal benar-benar tidak habis pikir dengan beberapa kejadian yang ia alami hari ini, siksaan yang di alami oleh Nadine itu sangat amat parah sekali.
Hingga telepon berbunyi, menampilkan nama Chika disana. Iqbal mengabaikannya dan memilih untuk berbaring tidur, tapi telepon itu tidak berhenti berdering membuat si punyanya berdecak kesal.
"Ada apa sih?!" ketusnya yang mengangkat telepon itu.
Iqbal termangu setelah mendapat telepon itu, telepon dari pihak rumah sakit bahwa Chika mengalami kecelakaan tunggal dengan mobil yang terbilang 25% rusak parah. Iqbal menelan silvanya, dia mengambil jaket dan keluar mengendarai motornya untuk menuju rumah sakit tersebut yang sekitar setengah jam baru sampai.
"Sus, saya mencari pasien Achika Aurora itu dimana ya?" tanya Iqbal dengan nafas tersengal-sengal.
"Oh yang baru mengalami kecelakaan?" tanya perawat itu yang Iqbal langsung mengangguk.
"Sedang di tindak di ruang UGD mas, ruangannya anda lurus saja dan belok kanan."
Iqbal tanpa banyak tanya pun melangkah kakinya dengan lebar menuju ruangan yang sudah ditunjuk oleh dokter, dia melihat Chika yang sedang tertidur dengan luka di pelipis serta tangan yang di pasang penyangga.
Iqbal melemas mendapat Chika kondisi seperti itu, keluarganya yang jauh membuat Iqbal hanya menghela nafasnya. Wajar jika rumah sakit meneleponnya, karena di handphonenya hanya nomer Iqbal dan hanya sedikit teman-teman dekatnya, panggilan keluar juga kebanyakan Iqbal dan pria itu tidak pernah ada di panggilan masuk handphonenya Chika.
Iqbal duduk disebelah wanita itu, wanita yang begitu banyak luka di tangannya dan keningnya. Kecelakaan ini baru di alami oleh Chika, entah karena apa.
"Oh, anda keluarganya?" tanya dokter yang baru datang.
Iqbal langsung bangkit, dan mengangguk pelan. "Bagaimana kondisinya dok?"
"Benturan keras sangat amat memperihatinkan, kemungkinan besar nona Chika akan mengalami amnesia." jawab dokter itu.
Iqbal terperangah mendengar jawaban itu, dia menatap tubuh yang tergelatak tak berdaya itu. Segitu parahnya kah?
"Saya ingin memindahkan ke ruangan insentif bisa dok?"
"Bisa, silahkan ke administrasi agar bisa di tindak."
Iqbal langsung bergerak ke administrasi, mengisi beberapa persyaratan yang dibutuhkan serta membayar jumlah ruangan yang sedikit mahal namun Iqbal tidak masalah dengan itu. Setelah administrasi beres, Iqbal langsung menghubungi salah satu orangtua Chika yang kini dirinya tidak tau dimana keberadaannya karena Chika tidak pernah cerita.
••
Setelah Nadine melihat sang ayah yang berada di ruangan kecil itu, Nadine kembali frustasi dan kembali menyalahkan dirinya. Padahal beberapa jam lalu Nadine sudah dihibur oleh teman-teman Iqbal.
Perempuan yang sedikit lagi menyentuh umur 17 tahun itu, terduduk di lantai balkon kamarnya.
"Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa ayah selalu menyalahkan aku atas kecelakaan itu? Kenapa?" isak Nadine yang memeluk kedua kakinya.
"Aku bahkan tidak ingat jelas sama apa yang terjadi, aku hanya ingat suara teriakan mama yang menyuruh ku untuk menyingkir." Nadine terus menyalahkan dirinya.
Nadine bangkit dan meraih handphonenya, dia ingin menghubungi Iqbal tapi sayang sekali tidak ada jawaban apapun. Sontak membuat Nadine menangis kembali, dan meremas rambutnya dengan kasar. Kemana ka Iqbal? Apa pria itu sudah tidur?
~'~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments