Bab 08

Aku menerima bingkisan itu, dan menaruhnya tepat disebelah ku sambil terus memperhatikan Hanasya membuka barang ia sudah beli. Itu sudah menjadi kebiasaannya, dulu juga aku selalu seperti itu setelah berbelanja bersama mama dan ayah. Tapi aku memamerkannya pada bi Imah.

"Gimana ka? Baju yang dibelikan ayah bagus ga?" tanyanya yang sudah berdiri di hadapan ku dengan tangan yang memegang dress selutut berwarna biru muda kesukaannya.

Aku hanya memandangnya, membuat aku mengingat yang diposisi ku saat ini adalah bi imah dan yang berdiri itu adalah aku. Bi imah selalu menganggumi apa yang aku pakai, mama Cahaya hanya tersenyum di atas kasur milikku.

"Ka?"

Aku bergumam, dan menampilkan senyum yang tulus untuknya. "Bagus, bagus banget." puji ku.

Hanasya langsung mengambil baju lagi, dan meminta pendapatku. Lagi dan lagi aku terus memuji bocah itu, sungguh aku sangat merindukan momen seperti dulu yang dimana ayah membelikan pakaian dan bermain di wahana yang ada di mall.

Suara panggilan terdengar, itu suara bunda Sarita yang memanggil Hanasya.

"Ayo kakak pakai bandonya, biar aku lihatin kakak pakai yang dibeli sama ayah."

Aku menelan silva yang sedikit susah tertelan, ini yang aku takutkan. Luka yang sebelumnya saja belum sembuh dan sepertinya sekarang akan ada luka baru lagi.

Aku memasang bando, dan jepitan  serta syal yang aku pakai di leher. Senyum Hanasya mengembang, dia sangat senang jika barang pemberiannya aku pakai. Dia menarik tangan ku untuk membawa ku ke hadapan ayah Gio dan bunda Sarita.

"AYAHHH! AYAH!" teriaknya sambil menarik tangan ku menuruni tangga.

Gio dan Sarita menoleh, mereka sedang persiapan makan malam. Gio yang bersantai di ruang tamu yang tak jauh dari meja makan, dan Sarita sedang sibuk menata piring.

Aku terus memejamkan mata, menahan wajah emosi mereka. "Gimana ayah? Bagus ga ka Nadine pakai yang aku beliin?" ucap bocah itu.

Gio langsung membaca korannya kembali, dan sarita menata piringnya kembali. "Gimana ayah? Bunda?" ucapnya lagi.

"Biasa aja!" ucapan dengan nada tidak mengenakkan itu keluar dari mulut Sarita.

"Iya biasa aja." sahut Gio.

Mendengar respon kedua orangtuanya tersebut membuat Hanasya sedikit sedih, hal itu di sadari oleh Gio yang melirik anak bontotnya itu sedang merengut.

"Bagus pilihan mu, tapi pas di pakai sama kakak mu itu tidak bagus jadinya tidak cocok." kata Gio.

Hanasya memperhatikan apa yang dibilang ayahnya, dia terus meneliti yang dipakai kakaknya. Ada benarnya juga, Sarita mendekat pada Nadine dan Hanasya. Dia melepaskan bando yang berada di kepala Nadine, dan memakaikannya pada putri kandungnya itu.

"Nah begini kan cocok." pujinya.

Aku hanya memperhatikan interaksi ibu dan anak itu, Gionino yang melihat itu tersenyum ke arah Hanasya.

"Tuh kan, lebih cocok di kamu." ucap Gio.

Aku hanya menunduk, dan melangkahkan kaki untuk kembali ke kamar. Barang yang masih tercecer itu akhirnya aku bereskan dan menaruhnya ke kamar Hanasya. Tidak lupa syal, dan jepitan rambut yang sudah adiknya beli itu.

Kali ini Nadine lolos dalam siksaan itu, tapi tidak lolos dalam kecemburuannya pada adiknya yang selalu tidak pernah absen dengan pujian.

"Kalau mama ada disini, pasti mama akan memuji aku." batin Nadine yang merebahkan tubuhnya di kasur.

~'~

Pagi hari yang masih belum memunculkan langit biru itu membuat Nadine menghirup udara yang menyegarkan, bi imah keluar membawa kotak bekal yang sudah ia bikin.

"Terimakasih bibi ku sayang." ucap Nadine dengan tersenyum.

Bi Imah mengulurkan tangan kanannya untuk mengusap pipi Nadine yang menurutnya semakin kurus. Dulu Nadine anak yang gemuk, tapi saat meninggalnya ibunya membuat anak itu jadi jarang makan dan lebih mengurung dirinya sendiri di kamar, ditambah dengan siksaan batin dan fisik yang perempuan itu terima dari ayah kandungnya sendiri.

Mata indah itu selalu memancarkan bahwa dirinya baik-baik saja, mata yang selalu bi Imah senangi dan kagumi. Seharusnya mata itu terpancar ketulusan bukan keterpaksaan.

Suara klakson motor itu membuat aku menoleh, dan bergegas mencium tangan bi Imah. Aku memasang helm dan menaiki motor besar itu.

"Udah?" tanya Iqbal memastikan agar aku nyaman duduk di motornya.

"Sudah." jawab ku.

Iqbal mengendarai motornya dengan pelan, karena ingin menikmati udara pagi itu. Jarak ke sekolah hanya sekitar 10 menit saja, tapi kalau selambat ini bisa 20 menit. Kadang kami berdua sarapan dahulu di tukang nasi uduk atau bubur yang bukan di tengah jalan. Tapi sekarang karena aku membawa bekal, jadi hanya menemani Iqbal sarapan saja.

"Bi Wati memang ga buat sarapan?" tanya ku sambi memegang kotak bekal ku di atas meja.

"Bikin, tapi cuma roti aja. Dia lupa belanja katanya."

Aku hanya tersenyum tipis, "Kesian banget, nanti tante Jihan tau anaknya jarang sarapan pasti dia bakal marahin bi Wati." ucap ku.

"Iya jangan bilang lah, diam-diam aja!"

Aku hanya terkekeh melihat pria itu berbicara dengan mulut yang penuh makanan.

Setelah makanan Iqbal habis, kami melanjutkan jalan untuk ke arah sekolah yang dimana sudah banyak anak murid yang berangkat sekolah dengan berjalan kaki, naik motor, dan naik bus atau mikrolet di halte yang sudah disediakan.

Sesampainya di sekolah, Iqbal selalu mengingatkan agar meminum obat agar luka tersebut yang ada di punggung ku cepat pulih. Hal itu selalu tidak luput dari penglihatan Rangga yang ternyata sudah duduk di parkiran. Entah pria itu kenapa dengan dirinya, kenapa jadi sok kenal seperti ini?

Aku baru berjalan masuk hendak ke kelas setelah motor yang kendarai Iqbal menghilang dari pandangan, Rangga lalu menyusul dan berjalan disebelah ku membuat pandangan anak murid tertuju pada kami.

"Ka Rangga!" desis ku pelan dengan mata yang tertuju ke depan.

"Kenapa? Lo ga suka kita sebelahan begini?" ucapnya dengan santai.

Aku menghentikan langkah ku, "Maaf ka, kita sebelumnya ga kenal dan kenapa dari kemarin Ka Rangga mengikuti aku?" protes Nadine.

Rangka terkekeh, "Itu kebetulan! Oh ya, lo bilang kita ga kenal? Kenalan aja dulu kita ya.." ucapnya mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.

Aku menatap uluran tangan itu dan menatap sekitar yang sudah berbisik-bisik. Ini interaksi kami pertama ke dua kali setelah di kafe tempat ku bekerja, dan pasti sekarang aku menjadi incaran ka Sarah.

"Kamu kesambet apa sih ka? Aku ga mau ya sampai ka sarah ngelabrak aku! Inget jangan kegatelan jadi cowok!" ketusnya.

Nadine memilih untuk pergi dan melangkah cepat untuk menuju kelasnya, sebenarnya pria itu kenapa sih? Kenapa menjadi sok akrab? Bikin risih banget! Bisikan demi bisikan itu mampu membuat telinga ku sakit. Aku tau bahwa Rangga ini playboy, mantannya banyak dan selalu tidak lama menjalin hubungan karena adanya Sarah yang mampu membuat si perempuan takut akan menjalani hubungan lama dengan Rangga.

~'~

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!