Bab 03

Nadine terus berjalan pelan membawa kopi yang pesan Rangga, pria itu sepertinya sendirian dan biasanya juga bersama Sarah. Nadine meletakkan segelas kopi itu di meja Rangga, "Pesanan kopi mocha, selamat menikmati." ucap ku.

Saat hendak pergi dari sisi sana, Rangga menegur. "Nadine, anak administrasi dua kelas 11.".

Nadine seketika terdiam dan menunduk setelah mendengar hal itu, "Duduk." titahnya.

Nadine melihat kursi kosong yang tepat ada di hadapannya, aku sedang bekerja sekarang dan jika di lihat dirinya berperilaku seperti ini pasti akan membuat atasannya menegurnya.

"Gue bilang duduk! Lo takut ya sama atasan sendiri? Jelas-jelas tempat ini milik gue kok, dan atasan yang lo anggap itu masih bawahan gue."

Nadine jelas melotot mendengar hal itu, bagaimana bisa Rangga memiliki kafe besar ini? Apa dirinya harus menurutinya? Ah, tolak saja itu lebih baik!

"Maaf ka Rangga, aku sedang kerja dan saya tidak ingin orang-orang memperhatikan kita disini." ucap Nadine pelan dan langsung pamit membersihkan meja yang terlihat kotor didalam ruangan indoor.

Kenapa juga pria itu menjadi menegurnya? Selama Nadine bersekolah di sekolah itu pun, kita tidak pernah bertegur sapa dan cuma aku yang kenal dia karena memang cukup terkenal dikalangan siswa yang bersekolah di SMK Abdi Djaya. Rangga juga terkenal dengan cueknya, dia hanya dekat dengan satu wanita yaitu Sarah.

Nadine terus bekerja dan melupakan apa yang terjadi barusan, sebagai karyawan part time disini membuat diriku cukup sadar diri. Aku disini bekerja untuk memenuhi kebutuhan sekolah, aku juga menabung untuk masa depan nanti.

"Nak Nadine..." panggil pria yang sangat amat aku kenal, atasan ku namanya pak Husin.

Nadine yang mengelap meja kotor itu akhirnya berhenti, dan berjalan menghampiri sang atasan.

"Iya pak, ada yang bisa Nadine bantu?" tutur ku.

"Kamu bisa antarkan ini ke rumah sakit sebrang?"

Nadine melihat tas hampers yang biasa kafe tempat ku bekerja luncurkan, salah satu hampers yang rumah sakit itu suka pesan untuk salah satu perawat atau pasien disana.

"Oh bisa pak, ini nerima atas nama siapa ya?"

"Nabila, ruangan melati. Kamu bisa kasih ini ke resepsionis dan biar mereka yang menyampaikannya."

Aku menerima hampers itu, hampers yang berisi 3 cookies dan 1 botol minuman chocolate. Melepas apron yang terpasang di tubuh ku, lalu melangkah pergi menyebrang ke rumah sakit yang begitu banyak orang berlalu-lalang keluar masuk.

Nadine terus berjalan, resepsionis itu lumayan jauh juga karena rumah sakit itu sangat luas ditambah Nadine masuk lewat pintu belakang rumah sakit. Ini pertama kalinya juga Nadine disuruh untuk mengantar pesanan itu yang biasanya juga orang yang memesan mengambilnya.

"Permisi, sus.."

Perawat itu berdiri, "Ada yang bisa kami bantu?" tanyanya.

"Saya ingin mengantar hampers ini, penerimanya Nabila yang dirawat di ruangan melati."

Perawat itu pun mengambil hampers setelah di konfirmasi oleh pemilik ruangan tersebut, memang rumah sakit ini kalau ada titipan pasti harus mengkonfirmasi terlebih dahulu dan baru menerimanya.

"Terimakasih, sus." ucap ku lagi yang langsung bergegas keluar dari rumah sakit itu untuk kembali bekerja.

~'~

Jam pulang sudah menunjukkan pukul 9 malam, waktunya Nadine pulang. Malam yang sepi itu membuatnya seakan-akan terbiasa dengan situasi itu. Nadine selalu begitu, selalu pulang telat karena datangnya pun telat. Part time yang seahrusnya 3 jam saja, kali ini dia meminta tambahan untuk bekerja lebih dari 3 lagi yakni totanya 6 jam bekerja.

Nadine tidak masalah, karena sekolahnya juga tidak terlantar dan nilainya sama sekali tidak terganggu, bahkan masih menduduki ranking satu dikelas.

Suara klakson motor membuat aku menoleh, helm full face yang menampakkan mata saja membuat aku tersenyum setelah tau siapa manusia yang ada diatasnya.

"Kok tumben ka Iqbal barengan begini?" tanya ku sambil menikmati angin malamnya jalanan kota Jakarta.

"Habis main sama temen, dan aku liat kamu dari belakang kayak ga asing. Ternyata bener kan."

Aku hanya tersenyum dan memeluk pria itu dengan erat, motornya yang gede membuat aku sedikit membungkuk. "Udah makan?" tanya Iqbal.

"Apa?" sahut ku yang tidak terdengar.

"Kamu udah makan?" tanya Iqbal yang sedikiti mengeraskan suaranya.

"Oh belum ka, soalnya di kafe tadi itu rame jadi aku belum sempat makan dari siang."

Iqbal diam tanpa kata dan langsung menjalankan motornya yang berbelok kanan, seharusnya ke arah rumah Nadine itu belok kiri.

Setelah Iqbal menemukan satu gerobak berisi nasi uduk, membuat motornya melipir ke tempat yang terlihat sedikit ramai.

"Mau makan disini aja ya, aku juga laper." ucap Iqbal.

Nadine langsung turun dari motornya, dan menyerahkan helm yang sudah terlepas.

Iqbal memesan nasi uduk itu, dan sementara aku diam di tempat yang sudah di duduki. Begitu banyak hal yang aku lalui dengan Iqbal, dan begitu banyak kekaguman ku dengan pria yang tingginya 180cm itu, rambutnya yang sedikit tidak tersusun rapih serta selalu memakai jaket kulit berwarna hitam itu mengesankan seperti anak geng motor gitu lah.

"Permisi neng, ini pesanannya nasi uduk tanpa bihun atau mie dan sambalnya yang sedikit." ucap Iqbal dengan nada seperti abang-abang resto.

Aku hanya terkekeh melihat tingkah Iqbal yang selalu bisa membuatnya tertawa, "Habis ini minum obat, dan bersih-bersih terus tidur." kata Iqbal sambil mengunyah nasi uduk itu.

"Iya, ka." balas ku yang memakan makanan itu, "Hm, ka."

"Iya, kenapa?"

"Memang ka Iqbal ga di marahin sama ka Chika?" tanya Nadine dengan ragu-ragu. Benar saja, Iqbal berhenti mengunyah dan meminum teh hangat yang ada disebelah piring itu.

Iqbal menatap ku dengan tatapan penuh selidik, mata kami bertemu dan seperti biasa mata ku yang coklat hazel ini juga menatapnya. Biasanya kalau aku seperti itu mampu membuat Iqbal tidak pernah marah terhadap ku.

"Chika baik-baik aja, dia tau aku kemana aja dan bahkan dia memasang aplikasi untuk mengintai aku kemana pun."

Aku hanya melongo mendengar penuturannya, sampai segitunya Chika yang notabene pacar Iqbal memperketatnya. "Tapi sudah aku hapus, dan hubungan ku sama dia juga sudah lama berakhir. Maaf nad, aku belum memberitahukan semuanya." ucap Iqbal.

"Loh kapan? Ka Chika pasti sedih banget."

Iqbal memilih untuk tidak menjawab, dia malah mengeluarkan sebatang rokok yang berada di saku jaket kulitnya itu. Aku hanya melanjutkan makan sedikit, dan setelah itu meminum obat didepan pria itu.

"Besok libur kan?" tanya Iqbal saat mengendarai motornya untuk menuju ke rumah Nadine.

"Iya, kenapa?"

"Besok ke rumah, mama dan papa sudah pulang dari Bali." jawab pria itu. Tentu membuat aku sangat amat senang sekali mendengar hal itu semua, hal yang aku inginkan adalah bermanja dengan orangtuanya yang sudah aku anggap seperti keluarga ku sendiri.

Setelah sampai di depan rumah, Iqbal akhirnya pamit dan aku pun masuk ke dalam rumah. Sudah menjadi rutinitas ku setiap pulang kerja pasti situasi rumah yang sangat amat kosong. Aku juga menyempatkan untuk menengok kamar Hanasya, yang bernuansa pink dengan hiasan Teddy bear kesukaannya di dinding kamarnya.

Aku melihat di atas sofa beberapa tas belanjaan yang belum di susun ke tempatnya. Tentu, itu pasti baru di beli. Nadine sangat amat senang ketika sang adik tidak kekurangan akan kasih sayang.

"Kak Nadine sayang banget sama Hana, kakak akan ngelakuin apapun buat Hana." bisikan itu selalu di utarakan setiap adiknya terlelap.

~'~

Terpopuler

Comments

yosi

yosi

ahirnya ketemu... semangat thor... ditunggu bab selanjutnya

2023-06-19

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!