Tersembunyi Dalam Kabut
Udara sore mulai terasa hangat, perlahan lahan sinar matahari meredup, menyirami bumi dengan cahaya jingga menghias langit. Angga buru buru merapikan meja kerja. Hari ini cuti besar pertama Angga telah di setujui.
Sudah tiga tahun ini Angga bekerja di sebuah perusahaan multi nasional milik Asing. Kesibukan membuatnya jauh dari kata santai, itu sebabnya dia tidak ingin melewatkan cuti besar pertama yang jatuh pada hari ini.
Dengan cepat Angga menyusun rencana kegiatan liburan. Dia akan pergi menuju kota Malang untuk tujuan utama, kemudian pergi ke kota Banyuwangi untuk memenuhi undangan seorang teman lama bernama Herly.
"Aku harus cepat cepat packing. Kalau tidak, aku akan ketinggalan pesawat."
Angga terlihat gusar, dia segera melajukan mobilnya menembus kemacetan. Seperti biasa jalanan ibu kota selalu macet di jam pulang kantor. Mobil yang ia kemudikan melaju sangat lambat, merayap, namun Angga tidak terbawa emosi, karena ia telah terbiasa dengan hal itu. Angga sabar berlama lama di jalan agar tiba di rumah dengan selamat.
Bagi para pekerja kantoran seperti Angga, fenomena ini tidak dapat dihindari. Untungnya Angga adalah tipe pribadi yang memiliki cukup banyak stok sabar. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Angga berhasil juga menerobos macet. Dia segera tancap gas agar tiba di rumah tepat waktu.
Sesuai perkiraan, Angga tiba di rumah tepat waktu. Jam tangannya menunjukkan pukul tujuh malam. Dia bergegas pergi ke kamar untuk berganti pakaian, kemudian cepat cepat menghabiskan makan malam yang terhidang di meja.
Setelah semuanya beres, Angga segera memesan taxi online. Dia buru buru mengambil koper kecil miliknya, begitu taxi yang di pesan tiba. Tepat jam tujuh tiga puluh Angga berangkat menuju bandara.
"Syukurlah masih sempat, untung si bapak driver online lincah, kalau tidak aku pasti sudah ketinggalan pesawat sekarang."
Angga bergumam lirih. Setelah melewati beberapa pemeriksaan Angga segera masuk menuju ruang tunggu, dan berbaur dengan calon penumpang tujuan Surabaya.
Tak di sangka sangka, dia bertemu Ryo dan Jaka disana. Rupanya mereka berdua juga mendapat undangan yang sama dari Herly.
"Kamu Ryo kan, astaga bro sudah tiga tahun lebih kita nggak ketemu, kamu gemuk sekali sekarang. Pasti bisnismu lancar, ya kan?"
Angga menjabat tangan Ryo lalu memeluk teman sekelas, sewaktu mereka masih sama sama belajar di bangku kuliah. Ryo dan Jaka adalah sahabat kental semasa kuliah. Setelah sama sama lulus dari universitas, mereka berdua memutuskan untuk membuka bisnis kuliner di kawasan Jakarta Timur.
"Kamu kerja di mana Ngga, dari tampilan perlente begini sih, aku boleh tebak, kalau kamu bekerja di sebuah perusahaan besar milik investor asing, ya kan bro?"
"Hehehe... Iya Jak, aku diterima kerja di perusahaan asing, begitu kita lulus kuliah."
"Kamu belum berubah bro, masih saja suka aneh, tanya sendiri, jawab juga sendiri."
Angga tertawa kecil menjawab pertanyaan Jaka yang tiba tiba saja muncul dari arah toilet. Pria kekar bernama jaka langsung menjabat hangat tangan Angga, dan segera bergabung dalam obrolan mereka.
Angga yang tidak punya bahan obrolan, sepontan saja membahas soal undangan Herly. Teman satu angkatan mereka, yang hilang kabar setelah ia lulus lebih awal dari rekan rekan seangkatannya.
Tiga tahun lebih sudah mereka tidak tahu kabarnya. Tapi sekarang, tiba tiba saja dia muncul dengan sebuah undangan untuk vacation di desa orang tua Herly yang berada jauh di pelosok kota Banyuwangi.
Walau pada awalnya undangan Herly itu terkesan agak misterius, tapi kemudian Angga, Ryo, dan Jaka, mereka semua setuju untuk datang memenuhi undangan tersebut.
Secara kebetulan hari ini mereka bertemu di penerbangan yang sama. Ryo mencoba membujuk Angga agar mereka sama sama ke Banyuwangi, lalu melanjutkan rencana liburan Angga ke kota Malang.
"Ngga, kamu ke Banyuwangi bareng sama kita saja, nanti dari sana baru ke Malang, sekalian kita langsung pulang ke Jakarta, bagaimana?"
Untuk beberapa saat Angga hanya terdiam. Dia berpikir sejenak, lalu menyetujui usulan Ryo. Panggilan untuk memasuki kabin pesawat telah terdengar, mereka mengakhiri percakapan lalu bergegas masuk menuju pesawat.
Tak lama pesawat lepas landas. Setiap orang sibuk dengan urusan masing masing. Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat pesawat tiba di Surabaya. Angga, Ryo, dan Jaka memutuskan menginap di hotel yang sama malam ini.
Besok pagi mereka akan menuju stasiun untuk melanjutkan perjalanan dengan kereta. Ryo dan Jaka memilih tidur dalam satu kamar yang sama. Sedangkan Angga tidur sendiri di kamar yang berbeda.
Pagi pagi sekali ketiganya telah siap untuk cek out. Usai sarapan, mereka langsung pergi menuju stasiun kereta. Angga berjalan menuju loket untuk mencetak tiket perjalanan mereka, sedangkan Ryo dan Jaka hanya duduk menunggu di kursi calon penumpang.
"Gimana bro, kita dapat gerbong nomor berapa, duduknya nggak pisah kan?"
Jaka berjalan menghampiri Angga kemudian bertanya nomor gerbong dan kursi mereka. Angga tidak menjawab pertanyaan Jaka, dia hanya memberikan tiket kepada masing masing orang, kemudian menunjuk ke arah gerbong yang akan mereka tumpangi. Kereta jurusan Banyuwangi akan segera di berangkatkan. Mereka bergegas masuk ke dalam gerbong dan duduk di tempat masing masing.
"Perjalanannya cukup panjang, sepertinya aku bakal bosan kalau hanya duduk selama tujuh jam."
Ryo membuka obrolan, sementara Jaka yang masih mengantuk, dia memilih untuk langsung tidur dengan bantal kecil yang dia sandarkan di dinding kaca kereta.
Sementara itu, Angga yang tidak punya pilihan lain, akhirnya mau tak mau, pemuda itu hatus meladeni Ryo untuk mengobrol.
"Tujuh jam itu tak lama Yo, di bawa santai saja, nanti juga pasti bakal sampai."
"Eh iya dari kemarin, kita cuma membahas soal Herly, keluarga kamu apa kabarnya Yo?"
Angga mencoba basa basi untuk mengisi waktu. Ia bertanya tentang keluarga Ryo. Pria tambun yang memang senag sekali mengobrol itu, lantas menjawab pertanyaan Angga dengan antusias.
"Orang tua ku sehat, mereka baik baik saja, masih tinggal di rumah yang lama. Kalau aku tinggal di Bekasi. Sejak putus dengan Mila, aku tidak pernah pacaran lagi Ngga, jadi aku belum menikah sampai sekarang."
"Hampir seluruh Waktu yang aku punya, habis untuk bekerja di resto. Ya... seperti yang kamu tahu, kami merintis bisnis kuliner ini berdua dari nol. Jadi aku belum sempat berpikir untuk punya pasangan."
"Tidak seperti si kutu kupret satu ini, dia awet pacaran sama Raina, padahal aku tahu cewek model, seperti Raina, cuma mau jajan saja sama dia."
Ryo menceritakan kisah cintanya yang telah kandas. Angga hanya menyimak, sebenarnya dia tidak terlalu perduli dengan kisah asmara mereka. Dia sendiri mempunyai lika liku percintaan yang kurang lebih sama dengan Ryo.
Pluit petugas berbunyi, suara mesin lokomotif kereta berderu melambat. Kereta yang mereka tumpangi telah tiba di stasiun kecil. Angga cepat cepat turun, kemudian bertanya kepada petugas, berapa lama kereta akan berhenti.
"Maaf mas, kereta ini berangkat berapa menit lagi ya, kalau masih lama, saya mau pergi ke kamar kecil sebentar."
"Sepuluh menit lagi mas, jangan telat ya, kereta tidak akan mau menunggu penumpang yang terlambat."
"Kalau sampean sampai terlambat naik ke gerbong, pasti akan kami tinggalkan."
Sepuluh menit waktu yang cukup untuk sekedar buang air kecil dan basuh muka pikir Angga. Dia lalu segera berlari menuju toilet, dan berencana akan membeli makanan ringan untuk bekal mendengarkan cerita Ryo.
Sementara itu Ryo mengikuti Angga turun dari kereta. Pemuda tambun itu berjalan mondar mandir untuk meluruskan kakinya yang pegal.
Sesekali Ryo terlihat menyapa calon penumpang yang akan naik kereta. Pemuda tambun itu tersenyum ramah, sambil menghisap sebatang rokok di tangan kanannya.
Ryo benar benar dapat menikmati perjalanannya kali ini. Suasana stasiun yang agak sepi, membuat semua orang bisa sedikit lebih santai. Ryo memutuskan duduk di sebuah bangku kayu.
Udara pagi yang sejuk, membuat Ryo dapat lebih tenang menikmati pemandangan stasiun sambil terus menyesap rokoknya.
Usai menghabiskan dua batang rokok, Ryo berjalan ke arah toilet. Tiba tiba fokusnya teralihkan pada sosok wanita tua berkebaya serba hitam yang sedang berdiri bungkuk di samping lorong menuju toilet.
Nenek tua itu seperti sedang fokus mengawasi Ryo. Sorot matanya tajam seolah memendam amarah. Angga yang baru saja keluar dari toilet langsung menghampiri Ryo.
"Kamu lihat apa bro, matamu dari tadi melotot nggak berkedip sama sekali. Apa ada cewek cakep di toilet itu?"
Ryo tak merespon, dia tetap diam mematung, sementara matanya terus fokus ke arah nenek yang mengenakan kebaya hitam. Kesal tidak mendapatkan jawaban, Angga lalu menepuk bahu Ryo, mengajak pria tambun itu untuk naik kembali ke kereta.
"Hey Yo..., ayo masuk, keretanya sudah mau berangkat lagi!"
Tepukan di bahunya membuat Ryo tersadar seketika, dan si nenek misterius, sudah tidak ada lagi di tempat itu.
"Pulang...!"
"Jangan teruskan perjalanan ini, kalau kalian semua mau selamat."
Tiba tiba Ryo mendengar suara parau wanita tua di telinganya. Sura itu terdengar sangat jelas membentak. Ryo yang kebingungan langsung mengedarkan pandangan ke arah sekitar. Namun tidak ada orang lain di tempat itu, kecuali dirinya sendiri.
Pluit telah berbunyi Ryo cepat cepat naik ke dalam kereta. Wajahnya pucat, tampak raut kecemasan yang tidak dapat ia sembunyikan.
"Kamu kenapa lagi Yo, hari ini tingkah lakumu benar benar sangat aneh, ada apa sebenarnya?"
"Aku lihat ada seorang nenek nenek mengenakan kebaya hitam berdiri di lorong dekat pintu toilet Ngga. Sorot matanya tajam, seolah olah dia benci sekali padaku."
"Dan tadi, saat kamu menepuk bahuku, tiba tiba nenek tua itu menghilang, tapi kemudian aku mendengar suara serak seorang wanita yang berbisik di telingaku."
"Kamu tahu dia bilang apa Ngga?"
"Suara wanita itu bilang, kita harus pulang. Dia seperti melarang kita melanjutkan perjalanan ini Ngga. Sumpah demi apa, aku dengar jelas suara parau wanita itu di telinga ini bro."
Angga tertawa kecil, menutup mulutnya. Dia tidak percaya dengan ucapan Ryo. Menurutnya pria tambun itu hanya mengada ada. Baginya Ryo hanya sedang lelah, sehingga berhalusinasi.
"Kamu ada ada saja Yo, aku kan baru keluar dari toilet, dan waktu aku menepuk bahumu, tidak ada siapa siapa disana men."
"Cuma kamu dan petugas kereta yang bersiap siap untuk memberi tanda kereta berangkat. Hanya itu saja, tidak ada lagi yang lain."
Ryo mulai ragu dengan dirinya sendiri. Dia memilih mempercayai perkataan Angga, lalu mencoba tenang dan mengabaikan saja peristiwa yang baru dia alami di stasiun kecil. Sementara itu Angga memilih tidur sambil mendengar musik dari headset yang terpasang di telinganya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
liani purnapasary
mencoba menyimak dulu😃
2023-11-18
2
Ifan K.
thank you ya...
2023-10-08
0
Ifan K.
terima kasih🙏
2023-10-08
0