Hari itu desa tempat tinggal Herly menjadi suram, mobil mobil ramai terparkir di pekarangan rumah besar romo Ronggo Joyo Disastro Wardoyo.
Para pelayat segera berdatangan dari desa tetangga, kecamatan, dan kota kabupaten. Angga dan teman teman, tidak sedikitpun menyangka, kalau pria tua renta yang mereka temui tadi malam, akan tutup usia siang hari ini.
Semua orang berduka, para pekerja tampak sangat kehilangan. Mereka menangis seolah sosok romo, adalah keluarga dekat seluruh para pekerja.
"Siapa sebenarnya sosok romo ini, kenapa begitu banyak orang yang datang melayat, apakah beliau orang terpandang, sehingga para pejabat dari kota terus menerus berdatangan?"
Angga menyimpan seribu tanya dalam hatinya. Pemuda itu segera bergabung dengan Herly untuk menyambut para pelayat yang ramai datang dari kota.
Menjelang waktu magrib, tidak ada lagi tamu dari jauh yang datang melayat. Mereka secara bergantian menengok jenazah dan duduk di ruang tengah sampai penuh hingga ke tenda di pekarangan.
Mereka yang sudah sampai di rumah besar keluarga Herly, juga tak langsung pulang. Usai datang melayat sebagian dari tamu yang hadir, langsung diantar menuju kamar kosong di lantai satu dan lantai dua. Sedang sebagian yang lain memilih beristirahat di mobil, sambil menunggu acara pengajian di gelar nanti malam.
"Aneh, kenapa orang orang ini tidak langsung pulang, setelah mereka datang melayat Ngga?"
"Apakah romo, adalah sosok orang penting sampai, beberapa pejabat dari kabupaten harus tetap tinggal dan menginap untuk memberi penghormatan terakhir?"
Ryo cukup heran dengan kebiasaan di desa itu. Di Jakarta, orang akan langsung pulang setelah melayat. Tidak ada tamu yang akan tinggal menginap, kecuali keluarga dekat.
Karena heran dengan adat desa itu, Ryo jadi tak sabar. Pemuda tambun itu, langsung melempar pertanyaan kepada Angga.
"Bukan begitu Yo, mereka tidak pulang ke kota, lebih dikarenakan jarak yang jauh, dan kondisi hutan yang kita lewati waktu itu."
"Hutan itu kesannya sangat angker, apalagi tidak ada lampu penerang jalan. Bila ada yang melintas saat malam hari, pastinya akan sangat berbahaya. Siapa yang tahu ada apa di hutan itu?"
"Itulah alasan kenapa mereka memilih tetap tinggal, dari pada nekat pulang ke kota menjelang sore hari."
Angga menjawab pertanyaan Ryo, sesuai penalamannya. Berdasarkan cerita yang di dengarnya dari warga desa saat menolak mengantarnya ke kota, Angga tahu ada sesuatu di hutan itu yang ditakuti warga.
Ryo terdiam dan duduk merapat di dinding. Dia merasa, kalau saat ini mereka sedang terjebak di desa angker.
"Jadi ini alasan Yono melajukan mobilnya dengan kencang kemarin, ternyata hutan yang kami lalui itu angker?"
Ryo meracau berbicara pada dirinya sendiri. Di luar sana, para penduduk desa membangun tenda tambahan untuk menggelar acara tahlilan.
Tepat usai sholat magrib, pengajian langsung di gelar. Semua orang mendoakan mendiang Romo. Setelah itu warga desa segera bubar dengan membawa makanan sebagai buah tangan.
Angga dan sebagian tamu dari jauh memilih untuk mengobrol hingga larut malam. Udara dingin membuat orang cepat mengantuk. Yono masih berada di luar untuk memeriksa keadaan rumah.
Satu persatu semua orang mulai tertidur lelap, menyisakan Angga seorang diri. Pemuda itu belum bisa memejamkan mata, walau ia sudah merasa lelah. Angga masih bimbang memutuskan, akan pergi atau tetap tinggal.
"Bagaimana sekarang, aku tidak mungkin tega meninggalkan rumah ini saat pemilik rumah sedang berduka."
"Atau sebaiknya aku tinggal disini semalam lagi, sampai kondisi Herly lebih baik, baru aku pergi. Dia pasti sangat terpukul sekarang."
Angga merebahkan badannya di lantai, dan pelan pelan ia tertidur di lantai beralaskan karpet tebal, bersama sama dengan para pelayat lain yang tidak kebagian kamar tidur.
Pagi datang, seperti biasa suasana desa masih di selimuti kabut, Herly turun dari lantai tiga, menuju ruang tamu. Dia segera membangunkan Angga untuk bersiap siap.
"Angga... bangun Ngga, sudah jam enam. Katanya kamu akan pulang hari ini kan?"
Herly tersenyum, melihat Angga yang masih malas membuka matanya. Angga segera mengusap wajahnya, dan melihat Herly yang sedang menyentuh bahunya.
"Aku tidak jadi pulang hari ini Her, kita akan menyelesaikan prosesi pemakaman romo, baru aku akan pulang."
Herly kemudian duduk bersila, sembari mengernyitkan dahinya. Dia menatap aneh ke arah Angga. Baru saja kemarin, pemuda tampan itu sangat ngotot ingin pergi dari rumahnya, tapi tiba tiba rencananya berubah sekarang.
"Kalau nanti kamu berubah pikiran lagi, beritahu saja Yono. Aku sudah suruh dia untuk mengantar kamu pulang kapanpun kamu siap, yang penting jangan sore hari."
"Hari ini aku akan memenuhi wasiat romo. Mungkin kami akan sangat sibuk untuk mengurus keperluan pemakaman, jadi aku minta kalian semua santai disini. Buat rumah ini senyaman hati kalian."
Setelah menyampaikan semua yang perlu ia katakan. Herly segera bangun dari duduknya, kemudian pergi meninggalkan Angga sendiri di antara tamu yang masih terlelap.
"Kamu benar benar, tidak jadi pulang Ngga?"
Tiba tiba Ryo, jaka, dan Bagus muncul dari ruang tengah. Ryo bertanya lagi apakah Angga akan tetap pergi ke Malang hari ini.
Sementara itu Herly berdiri di ambang pintu. Bersama dengan Yasmin, dia terlihat sibuk melepas para tamu yang akan pulang pagi ini.
Seorang pengacara baru saja tiba dengan mobil jenazah. Bersamanya, ada dua buah mobil hitam yang diisi dua belas pria kekar. Mereka langsung masuk ke dalam, tanpa bertegur sapa dengan Angga dan teman temannya.
"Selamat pagi mas Herly, maaf mengganggu aktifitas anda. Saya datang kemari, untuk melaksanakan wasiat ayah, mas Herly."
"Mereka semua, adalah orang orang yang akan mengantarkan jenazah romo, sesuai dengan pesan beliau. Oh iya mas Herly dan keluarga juga tidak diperkenankan ikut mengantar jenazah romo. Cukup mereka saja yang pergi mewakili keluarga."
"Oh iya ini surat wasiat dari romo, silahkan anda pelajari dulu. Disini daftar kepemilikan harta, berikut sertifikat, dan buku rekening bank yang beliau siapkan untuk anda."
"Tapi menurut surat wasiat beliau, sebelum anda menerima semua harta warisan romo, anda harus membuat sebuah ritual terakhir."
"Baru kemudian mewariskan hak atas semua aset, baik rumah, tanah, maupun peternakan kepada warga desa yang sanggup menerima beban ritual."
"Setelah semuanya selesai, anda akan mewarisi semua harta yang di tinggalkan romo."
"Ini urutan tata cara yang harus mas Herly lakukan. Jika anda sudah mengerti, silahkan tandatangani surat peralihan hak, dan tugas saya selesai disini.
Herly terdiam menatap sebendel surat wasiat yang di tinggalkan romo padanya. Dalam benak Herly, semua ini tidak masuk di akal. Dia sulit mencerna, kenapa harus melakukan persyaratan aneh, yang baginya hanya sebuah omong kosong belaka.
"Saya perlu mempelajari isi surat wasiat ini pak pengacara, kalau boleh tinggalkan dulu semuanya disini. Nanti setelah saya selesai memahaminya, baru anda ambil berkasnya."
Pengacara mengangguk dengan senyum penuh arti. Kemudian dua belas orang pria kekar yang datang bersama pengacara, di panggil masuk ke dalam rumah. Bersama mereka dua orang petugas mobil jenazah ikut serta mengurus jenazah romo.
Mereka semua kemudian diminta menandatangi surat perjanjian, di atas materai. Setelah itu pengacara memberi penjelasan tentang tugas tugas mereka, seraya memberi tahu bahwa pembayaran telah selesai di kirim ke rekening keluarga masing masing.
"Silahkan hubungi keluarga kalian, apapun yang ada dalam perjanjian, boleh kalian tanyakan lebih dulu, sebelum setuju menandatangi surat tersebut."
"Darmo, kamu yang paling tua, jadi saya akan menunjuk kamu menjadi ketua dalam prosesi pemakaman ini."
"Jangan sampai kalian melakukan satu kesalahan, sebab saya pasti akan tahu segala hal yang kalian perbuat."
"Jika kalian ingin membatalkan perjanjian, sekarang adalah saat terakhir untuk mundur. Pikirkan dulu matang matang, baru tanda tangani berkas itu."
"Saya tidak akan memaksa, jika salah satu, atau semuanya ingin mundur."
Setelah mendapat arahan dari pengacara keluarga Herly, setiap orang menghubungi keluarga mereka. Masing masing langsung menanyakan tentang isi kontrak, dan uang pembayaran yang telah di janjikan.
Mereka sempat bertukar pandang, sebelum akhirnya menandatangani surat perjanjian yang disodorkan oleh pengacara. Sementara Herly hanya memperhatikan kejadian itu, dengan tanda tanya yang ada di benaknya.
"Apa benar romo yang meminta, agar semua ini dilakukan?"
"Tapi kenapa romoku harus menyuruh seorang pengacara melakukan semua ide konyol ini?"
"Aku adalah anak satu satunya yang tersisa, dan sekarang, romo malah melarang putra semata wayangnya untuk melaksanakan kewajiban seorang anak, terhadap orang tua yang sudah meninggal. Ini benar benar aneh, di luar nalar, sama sekali tak masuk akal."
"Dulu waktu bunda dan mas ku meninggal, beliau juga tidak menghadiri pemakaman. Lalu sekarang aku juga tidak boleh pergi menghadiri pemakaman beliau, sebenarnya ada apa ini?"
Herly mendekati pengacara yang sedang memasukkan empat belas surat kontrak ke dalam kopernya. Pria muda itu ingin menanyakan, mengapa semua ini harus dia lakukan?
"Pak pengacara, maafkan saya kalau agak lancang mencurigai anda. Tapi jujur saja saya jadi penasaran, apakah benar romo saya meminta anda melakukan semua ini?"
Pengacara itu tidak menjawab, dia tahu kalau Herly akan menanyakan hal ganjil ini. Sang pengacara lalu menyodorkan sebuah map coklat, yang berisi kontrak kerjanya dengan romo.
Disana tertera jelas point point yang harus dilakukan oleh pengacara keluarga tersebut, dengan nilai nominal tertentu, dan dia harus melakukan sesuai perjanjian dalam kontrak.
"Romo anda tahu betul, kalau anda tidak akan sanggup mengatur ini semua. Jadi beliau menggunakan jasa saya, untuk mewakili mas Herly melakukan semua ini."
Herly tertekun melihat isi kontrak kerja yang ada di tangannya. Sementara itu pengacara romo meminta orang orang yang di sewanya, untuk bekerja hari ini juga.
Warga desa bersama sama dengan seorang kyai, melakukan sholat jenazah di masjid. Kemudian mengantarkan jasad romo hanya sampai mobil jenazah. Setelahnya dua belas pria yang telah di sewa pengacara, akan membawa keranda jenazah sang romo ke peristirahatan terakhir di desa kelahirannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Shyfa Andira Rahmi
busyet panjang bnget namanya 'o' semua lagi😅😅😅
2025-01-27
0
Shyfa Andira Rahmi
busyet panjang bnget namanya 'o' semua lagi😅😅😅
2025-01-27
0
Ree Prasetya
good
2025-01-13
0