Udara sore mulai terasa hangat, perlahan lahan sinar matahari meredup, menyirami bumi dengan cahaya jingga menghias langit. Angga buru buru merapikan meja kerja. Hari ini cuti besar pertama Angga telah di setujui.
Sudah tiga tahun ini Angga bekerja di sebuah perusahaan multi nasional milik Asing. Kesibukan membuatnya jauh dari kata santai, itu sebabnya dia tidak ingin melewatkan cuti besar pertama yang jatuh pada hari ini.
Dengan cepat Angga menyusun rencana kegiatan liburan. Dia akan pergi menuju kota Malang untuk tujuan utama, kemudian pergi ke kota Banyuwangi untuk memenuhi undangan seorang teman lama bernama Herly.
"Aku harus cepat cepat packing. Kalau tidak, aku akan ketinggalan pesawat."
Angga terlihat gusar, dia segera melajukan mobilnya menembus kemacetan. Seperti biasa jalanan ibu kota selalu macet di jam pulang kantor. Mobil yang ia kemudikan melaju sangat lambat, merayap, namun Angga tidak terbawa emosi, karena ia telah terbiasa dengan hal itu. Angga sabar berlama lama di jalan agar tiba di rumah dengan selamat.
Bagi para pekerja kantoran seperti Angga, fenomena ini tidak dapat dihindari. Untungnya Angga adalah tipe pribadi yang memiliki cukup banyak stok sabar. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Angga berhasil juga menerobos macet. Dia segera tancap gas agar tiba di rumah tepat waktu.
Sesuai perkiraan, Angga tiba di rumah tepat waktu. Jam tangannya menunjukkan pukul tujuh malam. Dia bergegas pergi ke kamar untuk berganti pakaian, kemudian cepat cepat menghabiskan makan malam yang terhidang di meja.
Setelah semuanya beres, Angga segera memesan taxi online. Dia buru buru mengambil koper kecil miliknya, begitu taxi yang di pesan tiba. Tepat jam tujuh tiga puluh Angga berangkat menuju bandara.
"Syukurlah masih sempat, untung si bapak driver online lincah, kalau tidak aku pasti sudah ketinggalan pesawat sekarang."
Angga bergumam lirih. Setelah melewati beberapa pemeriksaan Angga segera masuk menuju ruang tunggu, dan berbaur dengan calon penumpang tujuan Surabaya.
Tak di sangka sangka, dia bertemu Ryo dan Jaka disana. Rupanya mereka berdua juga mendapat undangan yang sama dari Herly.
"Kamu Ryo kan, astaga bro sudah tiga tahun lebih kita nggak ketemu, kamu gemuk sekali sekarang. Pasti bisnismu lancar, ya kan?"
Angga menjabat tangan Ryo lalu memeluk teman sekelas, sewaktu mereka masih sama sama belajar di bangku kuliah. Ryo dan Jaka adalah sahabat kental semasa kuliah. Setelah sama sama lulus dari universitas, mereka berdua memutuskan untuk membuka bisnis kuliner di kawasan Jakarta Timur.
"Kamu kerja di mana Ngga, dari tampilan perlente begini sih, aku boleh tebak, kalau kamu bekerja di sebuah perusahaan besar milik investor asing, ya kan bro?"
"Hehehe... Iya Jak, aku diterima kerja di perusahaan asing, begitu kita lulus kuliah."
"Kamu belum berubah bro, masih saja suka aneh, tanya sendiri, jawab juga sendiri."
Angga tertawa kecil menjawab pertanyaan Jaka yang tiba tiba saja muncul dari arah toilet. Pria kekar bernama jaka langsung menjabat hangat tangan Angga, dan segera bergabung dalam obrolan mereka.
Angga yang tidak punya bahan obrolan, sepontan saja membahas soal undangan Herly. Teman satu angkatan mereka, yang hilang kabar setelah ia lulus lebih awal dari rekan rekan seangkatannya.
Tiga tahun lebih sudah mereka tidak tahu kabarnya. Tapi sekarang, tiba tiba saja dia muncul dengan sebuah undangan untuk vacation di desa orang tua Herly yang berada jauh di pelosok kota Banyuwangi.
Walau pada awalnya undangan Herly itu terkesan agak misterius, tapi kemudian Angga, Ryo, dan Jaka, mereka semua setuju untuk datang memenuhi undangan tersebut.
Secara kebetulan hari ini mereka bertemu di penerbangan yang sama. Ryo mencoba membujuk Angga agar mereka sama sama ke Banyuwangi, lalu melanjutkan rencana liburan Angga ke kota Malang.
"Ngga, kamu ke Banyuwangi bareng sama kita saja, nanti dari sana baru ke Malang, sekalian kita langsung pulang ke Jakarta, bagaimana?"
Untuk beberapa saat Angga hanya terdiam. Dia berpikir sejenak, lalu menyetujui usulan Ryo. Panggilan untuk memasuki kabin pesawat telah terdengar, mereka mengakhiri percakapan lalu bergegas masuk menuju pesawat.
Tak lama pesawat lepas landas. Setiap orang sibuk dengan urusan masing masing. Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat pesawat tiba di Surabaya. Angga, Ryo, dan Jaka memutuskan menginap di hotel yang sama malam ini.
Besok pagi mereka akan menuju stasiun untuk melanjutkan perjalanan dengan kereta. Ryo dan Jaka memilih tidur dalam satu kamar yang sama. Sedangkan Angga tidur sendiri di kamar yang berbeda.
Pagi pagi sekali ketiganya telah siap untuk cek out. Usai sarapan, mereka langsung pergi menuju stasiun kereta. Angga berjalan menuju loket untuk mencetak tiket perjalanan mereka, sedangkan Ryo dan Jaka hanya duduk menunggu di kursi calon penumpang.
"Gimana bro, kita dapat gerbong nomor berapa, duduknya nggak pisah kan?"
Jaka berjalan menghampiri Angga kemudian bertanya nomor gerbong dan kursi mereka. Angga tidak menjawab pertanyaan Jaka, dia hanya memberikan tiket kepada masing masing orang, kemudian menunjuk ke arah gerbong yang akan mereka tumpangi. Kereta jurusan Banyuwangi akan segera di berangkatkan. Mereka bergegas masuk ke dalam gerbong dan duduk di tempat masing masing.
"Perjalanannya cukup panjang, sepertinya aku bakal bosan kalau hanya duduk selama tujuh jam."
Ryo membuka obrolan, sementara Jaka yang masih mengantuk, dia memilih untuk langsung tidur dengan bantal kecil yang dia sandarkan di dinding kaca kereta.
Sementara itu, Angga yang tidak punya pilihan lain, akhirnya mau tak mau, pemuda itu hatus meladeni Ryo untuk mengobrol.
"Tujuh jam itu tak lama Yo, di bawa santai saja, nanti juga pasti bakal sampai."
"Eh iya dari kemarin, kita cuma membahas soal Herly, keluarga kamu apa kabarnya Yo?"
Angga mencoba basa basi untuk mengisi waktu. Ia bertanya tentang keluarga Ryo. Pria tambun yang memang senag sekali mengobrol itu, lantas menjawab pertanyaan Angga dengan antusias.
"Orang tua ku sehat, mereka baik baik saja, masih tinggal di rumah yang lama. Kalau aku tinggal di Bekasi. Sejak putus dengan Mila, aku tidak pernah pacaran lagi Ngga, jadi aku belum menikah sampai sekarang."
"Hampir seluruh Waktu yang aku punya, habis untuk bekerja di resto. Ya... seperti yang kamu tahu, kami merintis bisnis kuliner ini berdua dari nol. Jadi aku belum sempat berpikir untuk punya pasangan."
"Tidak seperti si kutu kupret satu ini, dia awet pacaran sama Raina, padahal aku tahu cewek model, seperti Raina, cuma mau jajan saja sama dia."
Ryo menceritakan kisah cintanya yang telah kandas. Angga hanya menyimak, sebenarnya dia tidak terlalu perduli dengan kisah asmara mereka. Dia sendiri mempunyai lika liku percintaan yang kurang lebih sama dengan Ryo.
Pluit petugas berbunyi, suara mesin lokomotif kereta berderu melambat. Kereta yang mereka tumpangi telah tiba di stasiun kecil. Angga cepat cepat turun, kemudian bertanya kepada petugas, berapa lama kereta akan berhenti.
"Maaf mas, kereta ini berangkat berapa menit lagi ya, kalau masih lama, saya mau pergi ke kamar kecil sebentar."
"Sepuluh menit lagi mas, jangan telat ya, kereta tidak akan mau menunggu penumpang yang terlambat."
"Kalau sampean sampai terlambat naik ke gerbong, pasti akan kami tinggalkan."
Sepuluh menit waktu yang cukup untuk sekedar buang air kecil dan basuh muka pikir Angga. Dia lalu segera berlari menuju toilet, dan berencana akan membeli makanan ringan untuk bekal mendengarkan cerita Ryo.
Sementara itu Ryo mengikuti Angga turun dari kereta. Pemuda tambun itu berjalan mondar mandir untuk meluruskan kakinya yang pegal.
Sesekali Ryo terlihat menyapa calon penumpang yang akan naik kereta. Pemuda tambun itu tersenyum ramah, sambil menghisap sebatang rokok di tangan kanannya.
Ryo benar benar dapat menikmati perjalanannya kali ini. Suasana stasiun yang agak sepi, membuat semua orang bisa sedikit lebih santai. Ryo memutuskan duduk di sebuah bangku kayu.
Udara pagi yang sejuk, membuat Ryo dapat lebih tenang menikmati pemandangan stasiun sambil terus menyesap rokoknya.
Usai menghabiskan dua batang rokok, Ryo berjalan ke arah toilet. Tiba tiba fokusnya teralihkan pada sosok wanita tua berkebaya serba hitam yang sedang berdiri bungkuk di samping lorong menuju toilet.
Nenek tua itu seperti sedang fokus mengawasi Ryo. Sorot matanya tajam seolah memendam amarah. Angga yang baru saja keluar dari toilet langsung menghampiri Ryo.
"Kamu lihat apa bro, matamu dari tadi melotot nggak berkedip sama sekali. Apa ada cewek cakep di toilet itu?"
Ryo tak merespon, dia tetap diam mematung, sementara matanya terus fokus ke arah nenek yang mengenakan kebaya hitam. Kesal tidak mendapatkan jawaban, Angga lalu menepuk bahu Ryo, mengajak pria tambun itu untuk naik kembali ke kereta.
"Hey Yo..., ayo masuk, keretanya sudah mau berangkat lagi!"
Tepukan di bahunya membuat Ryo tersadar seketika, dan si nenek misterius, sudah tidak ada lagi di tempat itu.
"Pulang...!"
"Jangan teruskan perjalanan ini, kalau kalian semua mau selamat."
Tiba tiba Ryo mendengar suara parau wanita tua di telinganya. Sura itu terdengar sangat jelas membentak. Ryo yang kebingungan langsung mengedarkan pandangan ke arah sekitar. Namun tidak ada orang lain di tempat itu, kecuali dirinya sendiri.
Pluit telah berbunyi Ryo cepat cepat naik ke dalam kereta. Wajahnya pucat, tampak raut kecemasan yang tidak dapat ia sembunyikan.
"Kamu kenapa lagi Yo, hari ini tingkah lakumu benar benar sangat aneh, ada apa sebenarnya?"
"Aku lihat ada seorang nenek nenek mengenakan kebaya hitam berdiri di lorong dekat pintu toilet Ngga. Sorot matanya tajam, seolah olah dia benci sekali padaku."
"Dan tadi, saat kamu menepuk bahuku, tiba tiba nenek tua itu menghilang, tapi kemudian aku mendengar suara serak seorang wanita yang berbisik di telingaku."
"Kamu tahu dia bilang apa Ngga?"
"Suara wanita itu bilang, kita harus pulang. Dia seperti melarang kita melanjutkan perjalanan ini Ngga. Sumpah demi apa, aku dengar jelas suara parau wanita itu di telinga ini bro."
Angga tertawa kecil, menutup mulutnya. Dia tidak percaya dengan ucapan Ryo. Menurutnya pria tambun itu hanya mengada ada. Baginya Ryo hanya sedang lelah, sehingga berhalusinasi.
"Kamu ada ada saja Yo, aku kan baru keluar dari toilet, dan waktu aku menepuk bahumu, tidak ada siapa siapa disana men."
"Cuma kamu dan petugas kereta yang bersiap siap untuk memberi tanda kereta berangkat. Hanya itu saja, tidak ada lagi yang lain."
Ryo mulai ragu dengan dirinya sendiri. Dia memilih mempercayai perkataan Angga, lalu mencoba tenang dan mengabaikan saja peristiwa yang baru dia alami di stasiun kecil. Sementara itu Angga memilih tidur sambil mendengar musik dari headset yang terpasang di telinganya.
Kereta terus melaju kencang menuju stasiun bayangan. Ryo yang mulai bosan memilih memejamkan mata, dan tidur pulas. Sedangkan Jaka yang terjaga karena perutnya yang terasa lapar, memutuskan untuk pergi menuju gerbong belakang. Ia berencana membeli makanan di kantin kereta.
Setelah melewati gerbong tiga, entah mengapa perasaan Jaka jadi tidak enak. Dia ragu ragu untuk melanjutkan langkahnya. Jaka memutuskan untuk berdiri sejenak di depan pintu toilet, yang terletak di antara pintu gerbong tiga dan empat.
Matanya fokus menelisik gerbong empat yang terasa ganjil baginya. Sekilas semua tampak normal, tak ada yang aneh di dalam gerbong empat. Semua penumpang terlihat sedang tidur pulas. Namun Jaka merasa keadaan itu justru aneh. Menurutnya situasi di gerbong empat terlalu hening.
Jaka mulai menemukan beberapa keanehan yang membuat bulu kuduknya meremang. Di gerbong empat, Jaka melihat orang orang itu seperti terhipnotis.
Semua orang terlihat tidur dalam posisi yang sama. Mereka tidur dengan posisi duduk, dan kepala tertunduk, kecuali satu orang yang terlihat masih terjaga. Dia adalah seorang wanita tua renta yang mengenakan setelan kebaya serba hitam.
Jaka menelan ludahnya, rasa takut mulai terasa menteror mental pemuda kekar itu. Untuk sesaat ia hanya diam terpaku. Ruang di gerbong empat membuatnya kaku tak sanggup bergerak. Otak jaka memerintahkan, agar ia cepat cepat pergi dari sana. Tapi tubuhnya tak mau digerakkan, walau sekedar untuk menoleh.
"Celaka..., bagaimana ini, kenapa seluruh badanku jadi kaku begini, oh Tuhan wanita itu menoleh kesini, aku harus apa sekarang?"
Tiba tiba wanita tua berkebaya hitam berdiri. wajah pucatnya menyeringai, matanya yang hitam menyorot tajam ke arah Jaka, dan lalu bertiak menyuruh Jaka untuk pergi. Tentu saja pemuda itu jadi panik dan terkejut. Dia ingin segera melarikan diri dari sana, tapi kaki Jaka terasa lemas. Pandangan matanya memudar, dan Jaka langung jatuh pingsan di sebelah toilet antara gerbong tiga dan empat.
Angga yang telah terbangun dari tidurnya, sedikit bingung melihat tempat duduk Jaka yang sudah kosong. Dia lalu berdiri, monoleh ke sekelilingnya. Berpikir kalau Jaka berada diantara penumpang. Tapi setelah menoleh kanan kiri, dia tak menemukan pemuda itu.
Angga lalu berpikir, kalau Jaka pasti sedang pergi ke toilet atau kantin kereta. Tapi setelah satu jam berlalu, Angga mulai resah sebab Jaka belum juga kembali. Dia merasa ada yang tak beres dengan Jaka. Dia lalu membangunkan Ryo.
"Yo... bangun Yo, Jaka hilang, sebaiknya kita cari dia. Aku khawatir terjadi sesuatu padanya."
"Kita ini sedang berada di kereta Ngga, anak itu mau pergi kemana, kalau tidak ke toilet, ya pasti pergi ke kantin kereta."
Ryo menjawab dengan mata yang masih terpejam. Angga tidak mau menyerah begitu saja. Dia terus berusaha membangunkan Ryo.
"Hey Yo, ini sudah satu jam, tapi jaka belum juga kembali."
Ryo memicingkan matanya, lalu melihat jam tangan. Untuk beberapa detik ia mengusap wajah dan memulihkan kesadarannya.
"Ada apa sih Ngga, perjalanan kita masih tiga jam lagi, aku masih ngantuk"
"Heh dengar, sudah satu jam sejak aku bangun, dan selama itu Jaka tidak ada di tempat duduknya. Aku khawatir dengan dia Yo."
Ryo masih menelaah ucapan Angga, dia berpikir Jaka pergi ke kantin atau toilet. Tapi bila di pikir pikir lagi, tidak mungkin juga satu jam lebih. Ryo mendadak panik, dia berpikir yang sama dengan Angga.
"Itu anak pergi kemana sih, bikin panik orang saja."
"Ya sudah ayo, kita cari Yo, kamu ke depan, aku ke belakang."
Angga lalu mengajak Ryo untuk berpencar. Dia akan mencari ke gerbong belakang, sementara Ryo akan mencari Jaka ke depan.
Angga melintasi para penumpang, matanya fokus memperhatikan wajah setiap penumpang kereta dengan seksama. Tapi tidak ada tanda tanda keberadaan Jaka diantara mereka. Angga terus mencari hingga ke gerbong akhir dimana kantin kereta berada.
Setiap toilet telah di periksa, tapi Jaka tak ada dimana mana. Karena melihat Angga yang terlihat sedang kebingungan, seorang petugas kereta, lalu datang menghampiri pemuda tampan itu.
"Ada apa ya mas, saya perhatikan kalian mondar mandir, seperti mencari sesuatu. Apa ada barang kalian yang hilang?"
"Bukan barang pak, tapi teman kami Jaka yang hilang, dari tadi saya sudah mencari dia kemana mana. Tapi Jaka seperti tidak ada di dalam gerbong ini."
"Entah kemana, jagan jangan dia...?"
Tanpa basa basi, Angga langsung menceritakan kronologi hilangnya Jaka, dan pikiran negatif yang terlintas dalam benaknya. Angga khawatir Jaka melakukan sesuatu, atau jangan jangan ada orang jahat yang mengincarnya.
Petugas kereta mendengarkan uraian Angga sambil tersenyum tipis penuh arti. Pria itu seperti tak heran dengan yang terjadi. Dia lalu mengajak Angga dan Ryo menuju toilet yang berada di antara gerbong tiga dan empat.
"Kalian berdua tunggu disini sebentar. Saya mau ke kantin untuk buat kopi dan ambil rokok."
Angga yang tak mengerti dengan ucapan aneh petugas kereta, tidak ingin ambil pusing. Dia hanya mengangguk setuju, lalu membiarkan petugas kereta itu pergi berlalu menuju kantin.
"Orang aneh, teman kita hilang, dia malah sibuk bikin kopi dan mau merokok."
Angga menggerutu kesal, menekuk wajahnya. Dia merasa sia sia telah melaporkan hilangnya Jaka kepada petugas.
Berbanding terbalik dengan Ryo, pria tambun itu justru terlihat lebih tenang, menghadapi masalah hilangnya Jaka.
Di bandingkan Angga yang skeptis dengan dunia mistis. Ryo memang tipe orang yang percaya akan hal hal gaib, berbau klenik. Apa lagi dirinya baru saja mengalami sendiri fenomena astral di stasiun kecil beberapa waktu yang lalu.
Dengan adanya petugas kereta yang mengerti perkara gaib, Ryo menjadi lebih tenang. Dia yakin Jaka bisa ditemukan.
"Maaf lama menunggu, soalnya saya harus membuat kopi hitam, dengan sedikit ritual."
"Tidak apa apa pak, yang penting teman kami selamat, itu sudah cukup."
Ryo memasrahkan pencarian Jaka kepada petugas kereta. Sedangkan Angga tampak, seperti tidak perduli. Dia memilih diam, tak berkomentar. Baginya ini hanya sebuah kekonyolan yang membuang buang waktu.
Angga ingin sekali kembali ke tempat duduknya, tapi dia enggan dikatakan tak memiliki empati. Dengan sangat terpaksa Angga harus menyaksikan sebuah ritual yang menurut nalarnya, terlihat aneh.
"Sekarang coba buka pintu toilet itu, teman kalian pasti ada di dalam."
"Di dalam pak?"
"Iya di dalam... toilet ini memang portal antar dimensi, jangan melamun kalau sedang berada dalam toilet ini."
"Maaf sebelumnya pak, bukannya saya tidak percaya, tapi saya sudah dua kali bolak balik memeriksa toilet ini, dan Jaka teman kami tidak ada disana."
Angga segera menyanggah ucapan petugas kereta. Dia yakin sudah memeriksa semua toilet berkali kali, dan Jaka memang tak ada di semua toilet. Berbeda dengan Ryo, dia tak ingin berdebat dengan orang yang sudah berniat baik membantu mereka.
Pemuda bertubuh tambun itu buru buru melangkah, dan membuka pintu toilet. Angga terkejut pupil matanya melebar. Mereka sama sama melihat Jaka terkulai lemas di lantai toilet yang sempit.
Mulut petugas kereta komat kamit membaca doa dalam hati. Setelah itu, dia langsung jongkok dan membasuh wajah Jaka dengan air mineral. Tak butuh waktu lama, Jaka segera tersadar dari pingsan, dan terlihat linglung.
"Kita harus pulang Ngga, nenek berkebaya hitam itu bilang, kita semua sedang pergi menjemput maut sendiri."
Tiba tiba saja Jaka mengucapkan sesuatu yang ganjil. Angga bingung dengan perkataan Jaka, sedangkan Ryo justru terkejut, ucapan Jaka sama persis dengan yang ia alami, di stasiun satu setengah jam yang lalu. Dia sadar ada sesuatu yang tak beres dengan Herly, tapi entah kenapa dia tidak bisa merubah keputusan, dan tetap melanjutkan perjalanan mereka.
Sebaliknya Angga masih terlihat bingung mengartikan ucapan Jaka. Dia masih harus mencerna lagi fenomena yang berlangsung di depan matanya. Aneh tapi nyata, itu yang terlintas dalam benak seorang Angga.
Semua seperti sulap, tapi mereka tidak sedang menyaksikan pertunjukkan di panggung. Angga tak bisa berkata kata, selain menguntai kata Maaf, dan terima kasih, karena petugas kereta telah sudi membantu mereka.
Ryo segera kembali ke gerbong satu tempat duduk mereka. Dia mengambil pakaian bersih untuk Jaka. Sementara Angga masih berdiri di tempat, menemani Jaka yang duduk lemas di lantai kereta. Kejadian itu tak pelak jadi tontonan para penumpang yang hendak masuk ke toilet.
Petugas kereta segera menetralisir keadaan dengan mengatakan, kalau Jaka hanya jatuh terpeleset di dalam toilet. Orang orang yang berkerumun akhirnya mengerti dan kembali ke tempat duduk masing masing.
Ryo datang memberikan pakaian kering untuk Jaka. Pemuda itu perlahan bangkit dan menutup pintu toilet. Setelah berganti pakaian, suasana tegang di kereta berangsur angsur pulih kembali.
Angga dan Ryo memapah Jaka kembali ke tempat duduk mereka. Pemuda itu masih terlihat trauma, dia yakin wanita berkebaya hitam itu benar benar nyata dan dia telah menterornya.
Perjalanan mereka sudah tak jauh lagi, hanya tinggal tersisa satu jam, sebelum mereka sampai di stasiun kota banyuwangi. Angga duduk santai sambil menatap kosong ke luar jendela. Fikirannya melayang pada rentetan peristiwa yang baru saja mereka lewati.
Dia sebagai seorang yang lahir di era modern, mau tidak mau harus mengakui, ada dunia lain di luar sana, dunia abstrak yang bersinggungan dengan kehidupan manusia.
Bell kereta berbunyi, bertanda kereta akan segera berheti di stasiun tujuan. Semua penumpang berkemas, bersiap siap untuk turun di Stasiun terakhir.
Angga berdiri sejenak untuk melemaskan otot ototnya yang kaku. Penumpang Kereta telah turun seluruhnya, kecuali satu orang di gerbong empat. Seorang nenek masih tetap duduk di kursi penumpang.
Dia adalah wanita tua yang dilihat oleh Jaka dan Ryo. Wanita tua itu terus menatap tajam ke arah Angga dengan wajah yang diliputi amarah.
"Muleh...!"
Jam satu siang, Angga dan teman teman tiba di stasiun kota tujuan. Seluruh penumpang telah turun, kecuali seorang wanita tua renta yang mengenakan kebaya hitam. Tanpa sengaja mata Angga bertemu pandang dengan sorot tajam mata sang nenek.
"Muleh...!"
Kata itu terdengar jelas mengiang di telinga Angga. Pria ramping berotot itu cepat cepat menundukan wajah, menghindari tatapan tajam sang nenek yang membuatnya segan.
"Ayo Ngga, kita harus menunggu jemputan dari orang suruhan Herly."
Suara keras Ryo terdengar memekakkan telinga. Angga mengangkat wajahnya dan wanita tua itu sudah tidak ada lagi di tempat duduknya. Bulu kuduk Angga meremang, tengkuknya terasa dingin. Kata muleh yang berarti pulang masih terekam di dalam otaknya.
Di tengah tengah keramaian orang di stasiun, Angga merasa hening, dia tak lagi melihat orang orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Stasiun itu benar benar kosong, hanya menyisakan Angga seorang diri.
"Ndang muleh, yen kue pengen selamet!"
Suara serak wanita tua terdengar lagi di telinga Angga. Pemuda itu langsung mengedarkan pandangan ke sekitar, tapi tidak ada siapa siapa disana, kecuali dirinya.
"Sial... ada apa lagi sekarang, dari tadi keanehan ini tak henti hentinya menteror kami, aku yang edan, atau sesuatu di kota ini sedang menipu panca indraku, keanehan ini, apa semua ini, kenapa stasiun ini jadi mendadak sepi?"
"Aku ini sebenarnya kenapa, sejak naik kereta itu, semua terasa aneh. Tidak mungkin gangguan jin kan?"
Tiba tiba Ryo datang menghampiri Angga. Pemuda tambun itu segera menarik lengan temannya, yang masih diam mematung di tempat.
Angga merasakan tangannya di seret seseorang, dan semuanya berubah kembali normal seperti sedia kala.
"Heh, ayo jalan... malah bengong sih?"
Angga baru sadar, dia bisa melihat lagi hiruk pikuk aktifitas stasiun. Ia buru buru menjinjing koper kecil miliknya, lalu mengikuti Ryo keluar stasiun.
Di depan Jaka terlihat sedang bercakap cakap dengan seorang pria kurus yang mengenakan setelan safari biru gelap. Pria itu langsung bisa mengenali Angga dan Ryo.
"Kita berangkat sekarang mas, biar nanti tidak terlalu sore sampai di desa. Bapak sudah menunggu kalian di rumah."
"Kami semua ini belum makan Yon, kamu antarkan kami ke warung di dekat dekat sini dulu ya. Nanti habis makan, baru kita berangkat ke desa Herly."
Yono mengangguk setuju. Supir suruhan Herly itu segera membuka bagasi mobil, kemudian membantu memasukkan barang bawaan Angga dan teman teman.
Setelah lima belas menit keluar dari stasiun, mobil yang dikemudikan Yono parkir di halaman sebuah rumah makan yang cukup ramai pengunjung.
Yono memandu ketiga tamunya memesan makanan. Suara khas musisi jalanan mewarnai istirahat makan siang mereka. Setelah sempat buang air, dan beribadah di mushola rumah makan, Angga keluar lebih dulu menuju mobil.
"Sebaiknya kamu pulang sekarang nak, tempat yang akan kalian tuju, bukan rumah yang layak untuk disinggahi."
Seorang kakek berpenampilan lusuh berdiri dengan tongkat kayu menghadang langkah Angga. Pria tua itu menyarankan agar Angga tak usah melanjutkan perjalanan mereka ke desa Herly.
Angga mengamati tampilan lusuh pria tua yang mirip pengemis di hadapannya. Dia lalu mengambil uang pecahan sepuluh ribu rupiah dari dompetnya, dan kemudian memberikan uang itu kepada pria tua tersebut.
Tanpa menoleh lagi, Angga buru buru melanjutkan langkah kakinya menuju mobil. Ia segera masuk dan menunggu di dalam. Tapi tiba tiba pria tua itu berteriak lantang, Angga sempat melirik ke arahnya melalui jendela, namun dia tak ingin ambil pusing, Angga hanya duduk santai bersandar dan mengabaikan pria tua itu begitu saja.
"Hati hati anak muda, rumah yang kamu tuju itu bukan rumah yang semestinya kamu kunjungi!"
Angga menoleh lagi dari jendela mobil. Dia tak mengerti apa arti ucapan pria tua itu. Tapi keanehan kembali terjadi, pria pengemis tua yang sempat di beri uang oleh Angga tiba tiba menghilang. Dia tak lagi berada di tempatnya berdiri.
Uang pecahan sepuluh ribu rupiah yang diberikan Angga, tergeletak di tanah tersapu angin. Uang itu terus melayang jauh hingga tergeletak di dekat kaki Jaka.
"Ini Ngga, tadi aku lihat kamu menjatuhkan uang sepuluh ribu ini di sana. Jangan lalai walaupun nominalnya kecil. Uang ini tetap memiliki nilai besar bagi orang orang yang membutuhkan."
Angga diam tidak menjawab, tangannya menerima uang yang di sodorkan Jaka, tapi pikirannya terus mengembara jauh, mencerna setiap peristiwa yang telah mereka lewati.
"Nenek di stasiun, Jaka yang sempat hilang di kereta, dan kakek tua tadi, apakah ini sebuah pertanda atau hanya kebetulan semata?"
Angga mengusap wajahnya. Dia ingin sekali menayakan hal aneh ini kepada Yono. Tapi entah kenapa bibirnya berat sekali untuk berucap. Dia takut Yono tersinggung dan mengira dirinya cari cari masalah.
Sejak dahulu kala, kota itu memang terkenal kental dengan sesuatu yang berbau mistis. Angga berpikir, apa yang sedang dia alami sekarang, adalah bagian dari itu semua.
Tapi sekali lagi, Angga tidak ingin punya masalah dengan orang lain. Dia memilih menyimpannya sendiri dalam hati.
Mobil semakin jauh meninggalkan kota. Suasana desa mulai terasa. Pemandangan indah sawah dan sungai sungai kecil tersaji di depan mata. Mereka mulai bisa menikmati perjalanan. Semua orang dapat melupakan peristiwa ganjil yang pernah mereka alami.
Jalanan desa mulai menyempit, pemandangan hijau hutan lindung terhampar luas di hadapan mata mereka. Matahari kian meredup, udara dingin terasa menembus kulit. Angga masih terbius, takjub dengan bentang alam yang mengagumkan.
Di kota besar seperti Jakarta, dia tidak akan pernah mendapatkan view indah seperti ini. Meskipun jalan mulai rusak, namun mereka tetap bisa menikmati perjalanan.
"Kreakk...!"
Tiba tiba saja roda mobil berhenti bergerak. Yono turun memeriksa apa yang baru saja di tabraknya. Dengan teliti mata pemuda desa itu memeriksa body mobil. Yono berjalan memutar, mencari tahu benda apa yang tertabrak olehnya.
Setelah dua kali memutari body mobil, Yono memastikan mobil mini bus juragannya aman, tanpa noda gores sedikitpun. Ryo yang bosan menunggu, kemudian turun, dan ikut memeriksa.
"Kamu berhenti kenapa Yon, mobil ini aman kok, nggak ada yang lecet sedikitpun. Batu, kayu, atau benda lain juga tidak ada."
"Iya mas, semuanya aman, tapi saya yakin telah menabrak sesuatu. Tak mungkin hanya sekedar halusinasi, sebab saya mendengar jelas suara benda itu."
Ryo tak menyanggah ucapan Yono, karena dia yang duduk di sebelah Yono, juga mendengar suara yang sama persis dengan apa yang di katakan Yono.
Seperti Yono, dia juga heran dengan keadaan itu. Ryo masuk kembali ke dalam mobil, dengan rasa heran bercampur was was ia mengawasi sekeliling mereka.
Mobil yang di kemudikan Yono kembali melaju. Langit sore berwarna jingga keemasan. Malam akan segera tiba, Yono tampak mulai gelisah, dan mempercepat laju mobilnya.
"Pelan pelan saja Yon, hati hati, jangan sampai kita semua celaka, hanya karena kamu ingin buru buru tiba di rumah."
Jaka mengingatkan Yono yang mulai melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Yono tak mau menghiraukannya. Pemuda kurus itu, seperti menyimpan sesuatu, yang tidak ingin ia bagikan kepada tamu tamu majikannya.
Angga merasa keadaan mulai tak nyaman, tak ada penerangan di jalan yang mereka lalui. Yono diam diam melirik kaca spion, dan keringat dingin mulai membanjiri wajahnya.
"Astaga matahari akan tenggelam, mereka sudah menampakkan diri. aku harus cepat cepat sampai di desa sebelum mahluk mahluk itu menjadikan kami semua sebagai tumbal mereka."
Yono menambah kecepatan mobil, wajah pemuda desa itu terlihat lebih tegang, menatap lurus jauh ke depan. Ryo yang melihat gelagat aneh dari gerak tubuh Yono, di buat penasaran. Berkali kali ia melirik ke arah spion, tapi dia tak melihat apa apa selain warna pekat malam yang mulai berkabut.
"Anak ini kenapa ya, aku curiga dia sedang menyembunyikan sesuatu. Ada apa di hutan ini?"
Ryo menyimpan teka teki itu di dalam benaknya. Dia hanya fokus memperhatikan jalan, agar Yono tak sampai membuat mereka celaka.
"Hah... akhirnya kita sampai juga di desa!"
Yono mendesah, sembari berseru. Dia merasa lega karena mobilnya sampai di batas desa tepat waktu. Ryo yang masih bingung dengan sikap Yono ikut merasa senang, karena mereka mulai dapat melihat rumah rumah penduduk, walaupun jarak antar rumah saling berjauhan.
"Syukurlah akhirnya kita berhasil lolos dari bahaya yang mengintai."
Yono bergumam lirih, dia mulai menurunkan laju kecepatan mobilnya sambil sesekali melirik kaca spion, seperti sedang memastikan, kalau mereka benar benar aman, dan tidak ada sesuatu yang mengikuti ke desa.
"Berapa lama lagi Yon, sudah enam jam lebih kita berkendara, tapi rumah Herly kok belum kelihatan juga?"
Jaka mulai lelah, dia ingin cepat cepat sampai di rumah Herly dan beristirahat. Menyetujui ide Ryo, adalah sebuah kesalahan terbesar bagi Jaka. Pengalaman gaib di kereta hari ini tak mungkin bisa di lupakan begitu saja olehnya.
"Pinggangku sakit sekali, tubuh ini kaku semua rasanya. Semoga saja rumah Herly nyaman untuk istirahat malam ini. Aku tak sabar berbaring di ranjang yang empuk."
Jaka terus saja meracau sambil meregangkan otot otot tangannya yang terasa kaku. Mobil yang di kemudikan Yono perlahan masuk ke halaman rumah besar bergaya gotik, jauh dari kesan mewah.
Pekarangan rumah itu sangat luas dengan beberapa pohon yang tertata rapi. Namun entah mengapa Angga melihat rumah itu terkesan suram dan angker.
"Kita sudah sampai mas, ini rumah bapak Herly, beliau pasti sudah menunggu di dalam."
Yono membuka bagasi mobil dan menurunkan barang barang bawaan tamunya. Angga berdiri terpaku menengadahkan wajahnya ke arah lantai dua rumah yang terkesan angker itu.
"Kriek..!"
Pintu ruang tamu terbuka lebar, sosok pria sepantaran Angga muncul dari ruang tamu. Pria kurus berkaca mata itu berjalan sambil mengulas senyum di bibir. Dia langsung menjabat tangan Ryo lalu mengajaknya masuk ke dalam.
Di belakang Angga dan Jaka berjalan menaiki anak tangga, sambil membawa barang barang bawaan mereka.
"Apa kabar kalian semua, sudah lama sekali tak jumpa, aku pangling lihat wajah tampan kalian. Ayo.. Ayo masuk, istriku sudah menyiapkan makan malam yang lezat untuk kalian."
"Di dalam juga sudah ada Bagus, dia datang lebih awal dari kalian."
Pria itu adalah Herly sang pemilik rumah yang mengundang Angga dan teman teman untuk reuni. Herly membimbing tamunya menuju meja makan.
Bangunan luas bergaya gotik dengan koleksi barang barang antik, membuat Angga, Ryo, dan Jaka jadi merinding. Mereka bertiga saling memandang satu sama lain. Aura magis di ruangan itu menimbulkan perasaan yang sulit untuk di lukiskan.
"Ayo silahkan duduk, jangan sungkan. Semua hidangan disini di masak khusus untuk menjamu kalian."
"Nikmati hidangannya, saya akan menemui romo sebentar, dan segera kembali."
Ryo, Jaka, dan Angga saling bertukar pandang. Mereka sama sama merasakan ada yang tidak beres dengan rumah itu.
"Sebaiknya kita jangan lama lama disini, entah mengapa aku tidak suka dengan aura rumah ini."
Jaka berbisik kepada Ryo, dia mengutarakan perasaan tak nyaman sejak masuk ke dalam rumah itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!