Suling Maut
PROLOG
Pria itu berlari dengan kecepatan luar biasa. Wajahnya pucat, menampakkan kelelahan dan ketakutan. Kedua tangannya memeluk sebuah buntalan yang dijaganya dengan sangat hati-hati. Ia tidak berhenti meski kedua kakinya terasa amat sakit bagai ditusuk-tusuk. Jantungnya berdebar, campuran antara lelah dan cemas.
Buntalan di tangannya bergerak sedikit. Ia memeluknya semakin erat.
“Kau aman bersamaku,” gumamnya sambil mempercepat larinya. Hutan Bambu tidak jauh lagi.
Kakinya baru saja menginjak tanah Hutan Bambu saat sesuatu berkelebat. Bayangan hitam yang bergerak demikian lihay. Dan berhenti di depannya, menghadang langkahnya.
Pria itu berhenti, tersengal-sengal. Keringat menetes-netes di dagunya. Pandangan matanya liar. “Siapa kau? Dia yang menyuruhmu?” bentaknya geram bercampur cemas.
“Serahkan buntalan itu.”
“Langkahi dulu mayatku!”
Dengan nekad, pria yang membawa buntalan itu menyerang terlebih dahulu. Serangannya membabi-buta. Dia memiliki ilmu silat yang tinggi dan akan mudah bergerak jika saja ia tidak terlalu letih dan buntalan itu tidak menghambatnya.
Pengejarnya yang berbaju hitam itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa. Ia berkelit dan balas menyerang. Hutan yang biasanya selalu tenang itu kini bagai diterpa angin ****** beliung akibat perkelahian hebat itu. Suara bak-buk-bak-buk pukulan membuat pekak telinga yang mendengar, jika memang ada yang mendengar.
Pertempuran yang hebat itu berlangsung beberapa lama. Namun semakin lama, semakin jelas terlihat siapa yang lebih unggul. Pria itu mulai terdesak dan hanya bisa menangkis atau mengelak.
BUK! Sebuah tendangan bersarang di punggungnya. Ia terjungkal dan menyemburkan darah segar.
Penyerangnya merangsek dan kembali menghajarnya, kali ini di bagian pundak. Ia kembali terjungkal. Namun tidak sekali pun ia melonggarkan pelukannya pada buntalan itu. Penyerangnya kembali menghajarnya. Kali ini begitu keras mengenai rahangnya. Dan ia tidak sanggup bertahan lagi. Ia pun diam tak bergerak.
Si penyerang membungkuk dan menarik buntalan itu. Tetapi rupanya pelukan pria itu begitu erat sehingga ia tidak bisa melepaskan buntalan itu dari tangannya. Penyerang itu mengangkat tangannya hendak menghantam bungkusan itu.
Tetapi, suara tangisan membahana. Si penyerang menghentikan gerakannya. Tangannya bergetar. Dan ia berdiri. Lalu berkelebat pergi.
Rupanya pria itu belum mati. Ia tidak sanggup berjalan karena tulang kakinya patah. “Wisma Bambu… Wisma Bambu…,” gumamnya setengah tidak sadarkan diri. Ia pun merangkak.
Belum jauh ia merangkak, dan saat itulah seorang perempuan pencari kayu datang.
“Astaga!” teriak perempuan itu terkejut.
“Ba… bawa… ke Wisma… Bambu…!” Pria itu memohon.
Perempuan itu mendekat setengah ketakutan. Dengan tangan gemetar ia mengambil buntalan di tangan yang bersimbah darah itu.
Dengan susah payah pria itu mengambil sesuatu dari balik kelepak bajunya. Sesuatu yang berkilauan itu diulurkannya kepada si perempuan yang hanya bisa membelalak ketakutan sambil mendekap buntalan itu erat-erat. “I... ini... miliknya..., pemberi...an ayahnya...!”
Pria itu pun tewas.
***
Suasana di Hutan Bambu yang biasanya damai dan tenang, kini hiruk pikuk oleh bunyi hujan teramat deras yang mengguyur bumi. Kilat menyambar dan geledek menggelegar, seolah saling berlomba hendak menghantam apa saja yang ada. Bunyi air hujan memukul tanah amat memekakkan telinga. Batang-batang bambu yang langsing bergerak-gerak dahsyat tertiup angin, daun-daunnya saling bergesek tertimpa guyuran hujan. Langit gelap gulita, hanya sesekali diterangi oleh cahaya kilat yang menyeramkan.
Di tengah-tengah Hutan Bambu terdapat sebuah kediaman yang luas dan indah yang bernama Wisma Bambu. Tempat tersebut dihuni oleh sejumlah penduduk dengan sebuah keluarga sebagai majikannya. Keadaan di sana sepi, tak ada kegiatan apa pun yang berlangsung. Tentu saja. Dengan cuaca semacam ini, siapa yang mau melakukan aktifitas selain menggulung diri dalam kehangatan tempat tidur dan selimut tebal nan nyaman? Tak ada seorang pun yang mau melewatkan malam dengan berkeliaran di luar rumah—termasuk para penjaga malam. Mereka lebih memilih diam di kamar masing-masing.
Namun tepat di depan Wisma Bambu, seorang bocah tengah duduk sambil mengerutkan tubuhnya. Bocah itu tampak amat kedinginan dan menderita. Tubuhnya yang kurus hanya dibalut oleh sehelai pakaian lusuh yang tipis dan basah kuyup. Kepalanya ditutupi oleh sebuah caping yang sudah berlubang di sana-sini.
Bocah laki-laki itu berusia sekitar sepuluh tahun. Parasnya cukup tampan, namun sepasang matanya tampak tak bergairah dan hampir-hampir kosong. Raut wajahnya kaku dan membatu, membuatnya kelihatan lebih dewasa dari usianya yang sebenarnya.
Ia merasa kelelahan setelah berlari menembus hujan sejak dari depan Hutan Bambu tadi. Entah mengapa ia nekat mendatangi Wisma Bambu hanya karena kata-kata tak jelas yang diucapkan ibunya sesaat menjelang kematiannya karena penyakit demam yang sangat parah. Mungkin karena di dunia ini ia tak memiliki keluarga sehingga ia mempertaruhkan nasibnya dengan mendatangi tempat ini.
Ia menggeletar kedinginan namun tak berani masuk atau mengetuk pintu. Ia menunggu di depan pintu gerbang dan berharap kalau-kalau ada seseorang yang datang mau membukakan pintu baginya. Tetapi harapan tinggal harapan. Di saat hujan lebat seperti sekarang ini, mana ada orang yang mau keluar rumah?
Sudah sangat lama bocah itu duduk di sana, namun hujan tak kunjung reda. Akhirnya bocah itu tak dapat menahan dirinya lagi. Ia terkulai pingsan.
* * *
Dua orang pelayan Wisma Bambu keluar kamar sambil menguap lebar. Saat itu masih sangat pagi. Hujan baru saja reda, dan mentari sudah terbit di ufuk timur. Cuaca begitu indah dan bersih pagi itu, seolah-olah kekuatan hujan semalam telah mencuci bersih langit dan membuatnya kelihatan baru seperti saat pertama kali diciptakan.
“Huaaah! Tadi malam hujan deras sekali, ya?” ujar salah satu pelayan sambil merentangkan tangan dengan puas.
Temannya mengangguk. “Untung sekarang sudah berhenti sama sekali,” katanya.
Mereka melangkah menuju gerbang untuk membukanya dan mulai melakukan tugas mereka menyapu halaman luar. Keadaannya kacau sekali. Daun-daun bambu pasti berserakan di mana-mana bekas tertimpa hujan.
Saat pintu gerbang dibuka, mereka terkejut sekali. Ada seorang bocah laki-laki yang terbaring pingsan dan tampak sangat lemah. Kedua pelayan itu melompat dan memeriksa bocah itu.
“A Sam, bocah ini masih bernapas. Cepat beritahu Tuan Besar dan Nyonya!” seru salah satu pelayan.
A Sam berlari ke dalam tanpa banyak bicara.
Tak lama kemudian A Sam kembali diikuti oleh dua orang dewasa dan dua anak kecil yang masih mengenakan pakaian tidur. Kedua orang dewasa itu segera berlutut dan memeriksa keadaan si bocah.
Yang pria memeriksa denyut nadi si bocah, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Dia demam tinggi,” ucapnya.
Perempuan di sampingnya memandangnya. “Lalu bagaimana?”
“Kita bawa masuk saja,” putus si pria sambil mengangkat tubuh bocah itu dengan hati-hati. Ia membawa bocah itu masuk ke dalam rumah, lalu memasuki sebuah kamar. Yang lain mengikutinya.
Pria itu memerintahkan pelayannya untuk menggantikan pakaian si bocah dengan pakaian yang kering dan bersih. Ia mulai sibuk meramu obat untuk meringankan demam si bocah. Istrinya menggiring anak-anak mereka yang penasaran keluar dari kamar.
Pria itu memeriksa lagi keadaan si bocah, takut kalau-kalau menemukan adanya kelainan. Tetapi sejauh ini bocah itu tak apa-apa.
Menjelang siang, bocah itu mulai sadar. Mula-mula, ia melihat beberapa orang di hadapannya namun pandangannya masih kabur. Dikerjap-kerjapkannya matanya, barulah ia dapat melihat orang-orang itu dengan jelas.
Seorang pria dewasa yang gagah dan berwibawa, perempuan dewasa yang cantik jelita dan lembut, seorang bocah laki-laki yang sebaya dengan dirinya sendiri, serta seorang anak perempuan yang mungil dan manis. Mereka semua menatapnya dengan pandangan ramah bercampur lega.
Bocah itu memandangi dirinya sendiri. Dia terbaring di atas pembaringan yang bagus, memakai pakaian yang sebelumnya tak terpikirkan untuk dikenakannya. Bocah itu terkejut dan bangkit dengan tergesa-gesa. Tetapi kepalanya sakit sekali dan segalanya tampak berputar-putar.
Tak tahan, ia memegangi kepalanya. “Aduh!” rintihnya.
“Jangan bangun dulu, Nak,” ucap perempuan dewasa itu sambil memegangi lengannya dan membimbingnya supaya kembali berbaring. Suaranya ramah dan lembut menenangkan.
“Di... di mana saya?” tanya si bocah dengan gugup dan bingung sambil memandangi keempat orang itu.
“Kau ada di Wisma Bambu,” jawab si pria dewasa. “Aku Luo Siu Man, ini istriku Yi Lan, dan mereka adalah anak-anakku, Luo Sen Khang dan Luo Ting Ting.”
“Siapa namamu, Nak?” tanya Nyonya Luo. “Dan, mengapa sampai berada di Hutan Bambu?”
Bocah itu menelan ludahnya, lalu mulai bercerita, “Nama saya Chien Wan. Saya tinggal di desa di dekat Hutan Bambu bersama ibu saya. Ibu saya... terserang demam dan meninggal beberapa hari yang lalu. Saya tak punya siapa-siapa. Maka saya....” Bocah itu tertunduk sedih.
Tuan dan Nyonya Luo berpandangan.
“Lalu, ke mana tujuanmu?” tanya Tuan Luo.
“Saya tidak tahu, Tuan....”
Kembali Tuan dan Nyonya Luo berpandangan.
“Ayah, suruh saja dia tinggal di sini!” cetus Sen Khang tiba-tiba.
Tuan Luo memandang putranya sambil mengangkat alisnya. “Tinggal di sini?”
Sen Khang mengangguk. “Dia bisa menjadi temanku dan Ting Ting. Lagi pula, dia kan bisa bantu-bantu di dapur.”
Tuan Luo menoleh pada istrinya. “Bagaimana menurutmu?”
Nyonya Luo mengangguk senang. “Kurasa usul Sen Khang bagus juga. Kita memang tak memerlukan pelayan baru, tapi anak ini bisa menemani Sen Khang berlatih.”
Tuan Luo berpikir-pikir. Ditatapnya wajah Chien Wan dengan penuh minat. Anak yang kurus dan pucat, yang entah bagaimana menimbulkan perasaan mendalam dalam dirinya. Sepasang mata yang kosong itu membuatnya terpukau karena mengingatkannya akan seseorang. Hatinya meleleh oleh perasaan sayang.
Chien Wan menunduk. Ia tak berani berharap akan diterima tinggal di sana. Saat ini, nasibnya tidak lagi menjadi miliknya melainkan milik penolongnya.
Tuan Luo mengangguk. “Baiklah, dia boleh tinggal di sini,” putusnya. Lalu ia menoleh dan memandang ramah pada Chien Wan. “Bagaimana, Chien Wan? Maukah kau tinggal di sini?”
Chien Wan menatap Tuan Luo dengan penuh terima kasih. “Tentu saja, Tuan. Terima kasih, Tuan baik sekali,” ucapnya lirih.
Tuan Luo tertawa.
Tak lama kemudian, datanglah seorang pelayan membawakan obat dalam mangkuk. Nyonya Luo mengambil mangkuk obat itu lalu mulai membantu Chien Wan duduk untuk meminumkan obat itu.
Chien Wan agak risih, karena itu ia menolak. “Biar saya minum sendiri, Nyonya.”
Nyonya Luo tersenyum mengerti, lalu diserahkannya mangkuk itu. “Pelan-pelan saja, Chien Wan,” ujarnya karena ia tahu obat itu masih panas dan rasanya sangat pahit.
Dengan disaksikan oleh keluarga Luo, Chien Wan meneguk obatnya perlahan-lahan. Obat itu sangat pahit, namun Chien Wan seolah tidak merasakan apa-apa.
Ting Ting bergidik ngeri. “Ih! Obat itu pasti pahit!” serunya.
Tuan Luo dan istrinya tertawa.
“Ting Ting, obat mujarab tentu saja pahit,” kata Tuan Luo sabar.
“Apa kau tidak merasa pahit?” tanya Sen Khang pada Chien Wan. Ia heran karena Chien Wan tidak menampakkan ekspresi apa pun pada wajahnya ketika meminum obat tadi.
Chien Wan menggeleng.
Diam-diam hal ini membuat Tuan dan Nyonya Luo kaget. Biasanya anak seusia Chien Wan sangat peka terhadap rasa. Tetapi bahkan obat sepahit ini tidak membuat Chien Wan meringis.
“Coba perlihatkan lidahmu, Chien Wan,” perintah Tuan Luo.
Chien Wan agak ragu sejenak sebelum menjulurkan lidahnya keluar.
Tuan Luo memperhatikan lidah yang berwarna merah muda itu dengan cermat. Tampaknya biasa saja, seperti lidah pada umumnya, hingga akhirnya Tuan Luo mendapati bahwa pada lapisan atas lidah itu tampak ada selaput sangat tipis dan tembus pandang.
“Cukup, Chien Wan.”
Chien Wan menarik kembali lidahnya.
“Sejak kapan kau tidak merasakan apa-apa pada lidahmu?” tanya Tuan Luo.
“Saya tidak bisa merasakan apa-apa sejak dulu, Tuan. Saya tidak bisa mengecap sesuatu pun. Sampai kini saya tidak tahu apa itu manis, asin, asam, pahit, dan lain-lain,” jelas Chien Wan polos.
Tuan dan Nyonya Luo berpandangan. Suatu kasus yang amat aneh. Mereka belum pernah mendengar kasus serupa selama ini.
Chien Wan menunggu dengan kalut. Jangan-jangan karena keanehannya itu, mereka batal menerimanya. Ia menggigit-gigit bibirnya sambil menanti keputusan.
Tuan dan Nyonya Luo bangkit. “Kau istirahat saja dulu sampai demammu hilang. Nanti akan ada pelayan mengantarkan makanan untukmu,” ujar Nyonya Luo sambil membelai rambut Chien Wan sekilas.
Chien Wan mengangguk dengan perasaan lega dan terharu. “Terima kasih, Nyonya.”
“Kalau demammu sudah hilang, kau bisa mulai membantu-bantu di dapur. Atau kalau tidak, kau menemani Sen Khang berlatih,” tambah Tuan Luo.
“Baik, Tuan.”
Tuan dan Nyonya Luo meninggalkan kamar. Sen Khang dan Ting Ting tetap di sana untuk mengobrol.
“Chien Wan, umurmu berapa?” tanya Sen Khang.
“Aku sepuluh tahun.”
“Oh, aku juga sepuluh tahun!” seru Sen Khang bersemangat. “Itu artinya kita sebaya. Kalau Ting Ting, usianya tujuh tahun.”
Chien Wan menatap Ting Ting yang tampak begitu cantik dan lucu. Ting Ting mengenakan pakaian yang terbuat dari sutra berwarna merah muda. Rambutnya dihias dengan pita merah dan tusuk rambut indah. Chien Wan belum pernah melihat gadis secantik itu.
Sedangkan Sen Khang mengenakan pakaian berwarna biru tua bergaris pinggir perak. Rambutnya diikat dengan tali berwarna perak menyerupai gelung putra bangsawan. Sen Khang berwajah tampan dan selalu tersenyum. Dia juga ramah dan baik hati. Chien Wan menyukainya.
Pada saat itu mereka belum mengetahui bahwa kelak di masa depan, mereka akan mengalami peristiwa yang akan mengubah kehidupan mereka secara drastis. Bahwa suatu saat nanti kehidupan mereka akan dipenuhi dengan persahabatan, kisah cinta, serta persaudaraan yang sejati. Dan juga tragedi.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 182 Episodes
Comments
Amelia
❤️❤️👍🙏
2024-02-21
0
Yanka Raga
oke juga 😍
2024-02-14
0
Eros Hariyadi
Lanjuuuutt 😝😄💪👍🙏
2024-01-13
0