Suling Maut

Suling Maut

Wisma Bambu

PROLOG

Pria itu berlari dengan kecepatan luar biasa. Wajahnya pucat, menampakkan kelelahan dan ketakutan. Kedua tangannya memeluk sebuah buntalan yang dijaganya dengan sangat hati-hati. Ia tidak berhenti meski kedua kakinya terasa amat sakit bagai ditusuk-tusuk. Jantungnya berdebar, campuran antara lelah dan cemas.

Buntalan di tangannya bergerak sedikit. Ia memeluknya semakin erat.

“Kau aman bersamaku,” gumamnya sambil mempercepat larinya. Hutan Bambu tidak jauh lagi.

Kakinya baru saja menginjak tanah Hutan Bambu saat sesuatu berkelebat. Bayangan hitam yang bergerak demikian lihay. Dan berhenti di depannya, menghadang langkahnya.

Pria itu berhenti, tersengal-sengal. Keringat menetes-netes di dagunya. Pandangan matanya liar. “Siapa kau? Dia yang menyuruhmu?” bentaknya geram bercampur cemas.

“Serahkan buntalan itu.”

“Langkahi dulu mayatku!”

Dengan nekad, pria yang membawa buntalan itu menyerang terlebih dahulu. Serangannya membabi-buta. Dia memiliki ilmu silat yang tinggi dan akan mudah bergerak jika saja ia tidak terlalu letih dan buntalan itu tidak menghambatnya.

Pengejarnya yang berbaju hitam itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa. Ia berkelit dan balas menyerang. Hutan yang biasanya selalu tenang itu kini bagai diterpa angin ****** beliung akibat perkelahian hebat itu. Suara bak-buk-bak-buk pukulan membuat pekak telinga yang mendengar, jika memang ada yang mendengar.

Pertempuran yang hebat itu berlangsung beberapa lama. Namun semakin lama, semakin jelas terlihat siapa yang lebih unggul. Pria itu mulai terdesak dan hanya bisa menangkis atau mengelak.

BUK! Sebuah tendangan bersarang di punggungnya. Ia terjungkal dan menyemburkan darah segar.

Penyerangnya merangsek dan kembali menghajarnya, kali ini di bagian pundak. Ia kembali terjungkal. Namun tidak sekali pun ia melonggarkan pelukannya pada buntalan itu. Penyerangnya kembali menghajarnya. Kali ini begitu keras mengenai rahangnya. Dan ia tidak sanggup bertahan lagi. Ia pun diam tak bergerak.

Si penyerang membungkuk dan menarik buntalan itu. Tetapi rupanya pelukan pria itu begitu erat sehingga ia tidak bisa melepaskan buntalan itu dari tangannya. Penyerang itu mengangkat tangannya hendak menghantam bungkusan itu.

Tetapi, suara tangisan membahana. Si penyerang menghentikan gerakannya. Tangannya bergetar. Dan ia berdiri. Lalu berkelebat pergi.

Rupanya pria itu belum mati. Ia tidak sanggup berjalan karena tulang kakinya patah. “Wisma Bambu… Wisma Bambu…,” gumamnya setengah tidak sadarkan diri. Ia pun merangkak.

Belum jauh ia merangkak, dan saat itulah seorang perempuan pencari kayu datang.

“Astaga!” teriak perempuan itu terkejut.

“Ba… bawa… ke Wisma… Bambu…!” Pria itu memohon.

Perempuan itu mendekat setengah ketakutan. Dengan tangan gemetar ia mengambil buntalan di tangan yang bersimbah darah itu.

Dengan susah payah pria itu mengambil sesuatu dari balik kelepak bajunya. Sesuatu yang berkilauan itu diulurkannya kepada si perempuan yang hanya bisa membelalak ketakutan sambil mendekap buntalan itu erat-erat. “I... ini... miliknya..., pemberi...an ayahnya...!”

Pria itu pun tewas.

***

Suasana di Hutan Bambu yang biasanya damai dan tenang, kini hiruk pikuk oleh bunyi hujan teramat deras yang mengguyur bumi. Kilat menyambar dan geledek menggelegar, seolah saling berlomba hendak menghantam apa saja yang ada. Bunyi air hujan memukul tanah amat memekakkan telinga. Batang-batang bambu yang langsing bergerak-gerak dahsyat tertiup angin, daun-daunnya saling bergesek tertimpa guyuran hujan. Langit gelap gulita, hanya sesekali diterangi oleh cahaya kilat yang menyeramkan.

Di tengah-tengah Hutan Bambu terdapat sebuah kediaman yang luas dan indah yang bernama Wisma Bambu. Tempat tersebut dihuni oleh sejumlah penduduk dengan sebuah keluarga sebagai majikannya. Keadaan di sana sepi, tak ada kegiatan apa pun yang berlangsung. Tentu saja. Dengan cuaca semacam ini, siapa yang mau melakukan aktifitas selain menggulung diri dalam kehangatan tempat tidur dan selimut tebal nan nyaman? Tak ada seorang pun yang mau melewatkan malam dengan berkeliaran di luar rumah—termasuk para penjaga malam. Mereka lebih memilih diam di kamar masing-masing.

Namun tepat di depan Wisma Bambu, seorang bocah tengah duduk sambil mengerutkan tubuhnya. Bocah itu tampak amat kedinginan dan menderita. Tubuhnya yang kurus hanya dibalut oleh sehelai pakaian lusuh yang tipis dan basah kuyup. Kepalanya ditutupi oleh sebuah caping yang sudah berlubang di sana-sini.

Bocah laki-laki itu berusia sekitar sepuluh tahun. Parasnya cukup tampan, namun sepasang matanya tampak tak bergairah dan hampir-hampir kosong. Raut wajahnya kaku dan membatu, membuatnya kelihatan lebih dewasa dari usianya yang sebenarnya.

Ia merasa kelelahan setelah berlari menembus hujan sejak dari depan Hutan Bambu tadi. Entah mengapa ia nekat mendatangi Wisma Bambu hanya karena kata-kata tak jelas yang diucapkan ibunya sesaat menjelang kematiannya karena penyakit demam yang sangat parah. Mungkin karena di dunia ini ia tak memiliki keluarga sehingga ia mempertaruhkan nasibnya dengan mendatangi tempat ini.

Ia menggeletar kedinginan namun tak berani masuk atau mengetuk pintu. Ia menunggu di depan pintu gerbang dan berharap kalau-kalau ada seseorang yang datang mau membukakan pintu baginya. Tetapi harapan tinggal harapan. Di saat hujan lebat seperti sekarang ini, mana ada orang yang mau keluar rumah?

Sudah sangat lama bocah itu duduk di sana, namun hujan tak kunjung reda. Akhirnya bocah itu tak dapat menahan dirinya lagi. Ia terkulai pingsan.

* * *

Dua orang pelayan Wisma Bambu keluar kamar sambil menguap lebar. Saat itu masih sangat pagi. Hujan baru saja reda, dan mentari sudah terbit di ufuk timur. Cuaca begitu indah dan bersih pagi itu, seolah-olah kekuatan hujan semalam telah mencuci bersih langit dan membuatnya kelihatan baru seperti saat pertama kali diciptakan.

“Huaaah! Tadi malam hujan deras sekali, ya?” ujar salah satu pelayan sambil merentangkan tangan dengan puas.

Temannya mengangguk. “Untung sekarang sudah berhenti sama sekali,” katanya.

Mereka melangkah menuju gerbang untuk membukanya dan mulai melakukan tugas mereka menyapu halaman luar. Keadaannya kacau sekali. Daun-daun bambu pasti berserakan di mana-mana bekas tertimpa hujan.

Saat pintu gerbang dibuka, mereka terkejut sekali. Ada seorang bocah laki-laki yang terbaring pingsan dan tampak sangat lemah. Kedua pelayan itu melompat dan memeriksa bocah itu.

“A Sam, bocah ini masih bernapas. Cepat beritahu Tuan Besar dan Nyonya!” seru salah satu pelayan.

A Sam berlari ke dalam tanpa banyak bicara.

Tak lama kemudian A Sam kembali diikuti oleh dua orang dewasa dan dua anak kecil yang masih mengenakan pakaian tidur. Kedua orang dewasa itu segera berlutut dan memeriksa keadaan si bocah.

Yang pria memeriksa denyut nadi si bocah, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Dia demam tinggi,” ucapnya.

Perempuan di sampingnya memandangnya. “Lalu bagaimana?”

“Kita bawa masuk saja,” putus si pria sambil mengangkat tubuh bocah itu dengan hati-hati. Ia membawa bocah itu masuk ke dalam rumah, lalu memasuki sebuah kamar. Yang lain mengikutinya.

Pria itu memerintahkan pelayannya untuk menggantikan pakaian si bocah dengan pakaian yang kering dan bersih. Ia mulai sibuk meramu obat untuk meringankan demam si bocah. Istrinya menggiring anak-anak mereka yang penasaran keluar dari kamar.

Pria itu memeriksa lagi keadaan si bocah, takut kalau-kalau menemukan adanya kelainan. Tetapi sejauh ini bocah itu tak apa-apa.

Menjelang siang, bocah itu mulai sadar. Mula-mula, ia melihat beberapa orang di hadapannya namun pandangannya masih kabur. Dikerjap-kerjapkannya matanya, barulah ia dapat melihat orang-orang itu dengan jelas.

Seorang pria dewasa yang gagah dan berwibawa, perempuan dewasa yang cantik jelita dan lembut, seorang bocah laki-laki yang sebaya dengan dirinya sendiri, serta seorang anak perempuan yang mungil dan manis. Mereka semua menatapnya dengan pandangan ramah bercampur lega.

Bocah itu memandangi dirinya sendiri. Dia terbaring di atas pembaringan yang bagus, memakai pakaian yang sebelumnya tak terpikirkan untuk dikenakannya. Bocah itu terkejut dan bangkit dengan tergesa-gesa. Tetapi kepalanya sakit sekali dan segalanya tampak berputar-putar.

Tak tahan, ia memegangi kepalanya. “Aduh!” rintihnya.

“Jangan bangun dulu, Nak,” ucap perempuan dewasa itu sambil memegangi lengannya dan membimbingnya supaya kembali berbaring. Suaranya ramah dan lembut menenangkan.

“Di... di mana saya?” tanya si bocah dengan gugup dan bingung sambil memandangi keempat orang itu.

“Kau ada di Wisma Bambu,” jawab si pria dewasa. “Aku Luo Siu Man, ini istriku Yi Lan, dan mereka adalah anak-anakku, Luo Sen Khang dan Luo Ting Ting.”

“Siapa namamu, Nak?” tanya Nyonya Luo. “Dan, mengapa sampai berada di Hutan Bambu?”

Bocah itu menelan ludahnya, lalu mulai bercerita, “Nama saya Chien Wan. Saya tinggal di desa di dekat Hutan Bambu bersama ibu saya. Ibu saya... terserang demam dan meninggal beberapa hari yang lalu. Saya tak punya siapa-siapa. Maka saya....” Bocah itu tertunduk sedih.

Tuan dan Nyonya Luo berpandangan.

“Lalu, ke mana tujuanmu?” tanya Tuan Luo.

“Saya tidak tahu, Tuan....”

Kembali Tuan dan Nyonya Luo berpandangan.

“Ayah, suruh saja dia tinggal di sini!” cetus Sen Khang tiba-tiba.

Tuan Luo memandang putranya sambil mengangkat alisnya. “Tinggal di sini?”

Sen Khang mengangguk. “Dia bisa menjadi temanku dan Ting Ting. Lagi pula, dia kan bisa bantu-bantu di dapur.”

Tuan Luo menoleh pada istrinya. “Bagaimana menurutmu?”

Nyonya Luo mengangguk senang. “Kurasa usul Sen Khang bagus juga. Kita memang tak memerlukan pelayan baru, tapi anak ini bisa menemani Sen Khang berlatih.”

Tuan Luo berpikir-pikir. Ditatapnya wajah Chien Wan dengan penuh minat. Anak yang kurus dan pucat, yang entah bagaimana menimbulkan perasaan mendalam dalam dirinya. Sepasang mata yang kosong itu membuatnya terpukau karena mengingatkannya akan seseorang. Hatinya meleleh oleh perasaan sayang.

Chien Wan menunduk. Ia tak berani berharap akan diterima tinggal di sana. Saat ini, nasibnya tidak lagi menjadi miliknya melainkan milik penolongnya.

Tuan Luo mengangguk. “Baiklah, dia boleh tinggal di sini,” putusnya. Lalu ia menoleh dan memandang ramah pada Chien Wan. “Bagaimana, Chien Wan? Maukah kau tinggal di sini?”

Chien Wan menatap Tuan Luo dengan penuh terima kasih. “Tentu saja, Tuan. Terima kasih, Tuan baik sekali,” ucapnya lirih.

Tuan Luo tertawa.

Tak lama kemudian, datanglah seorang pelayan membawakan obat dalam mangkuk. Nyonya Luo mengambil mangkuk obat itu lalu mulai membantu Chien Wan duduk untuk meminumkan obat itu.

Chien Wan agak risih, karena itu ia menolak. “Biar saya minum sendiri, Nyonya.”

Nyonya Luo tersenyum mengerti, lalu diserahkannya mangkuk itu. “Pelan-pelan saja, Chien Wan,” ujarnya karena ia tahu obat itu masih panas dan rasanya sangat pahit.

Dengan disaksikan oleh keluarga Luo, Chien Wan meneguk obatnya perlahan-lahan. Obat itu sangat pahit, namun Chien Wan seolah tidak merasakan apa-apa.

Ting Ting bergidik ngeri. “Ih! Obat itu pasti pahit!” serunya.

Tuan Luo dan istrinya tertawa.

“Ting Ting, obat mujarab tentu saja pahit,” kata Tuan Luo sabar.

“Apa kau tidak merasa pahit?” tanya Sen Khang pada Chien Wan. Ia heran karena Chien Wan tidak menampakkan ekspresi apa pun pada wajahnya ketika meminum obat tadi.

Chien Wan menggeleng.

Diam-diam hal ini membuat Tuan dan Nyonya Luo kaget. Biasanya anak seusia Chien Wan sangat peka terhadap rasa. Tetapi bahkan obat sepahit ini tidak membuat Chien Wan meringis.

“Coba perlihatkan lidahmu, Chien Wan,” perintah Tuan Luo.

Chien Wan agak ragu sejenak sebelum menjulurkan lidahnya keluar.

Tuan Luo memperhatikan lidah yang berwarna merah muda itu dengan cermat. Tampaknya biasa saja, seperti lidah pada umumnya, hingga akhirnya Tuan Luo mendapati bahwa pada lapisan atas lidah itu tampak ada selaput sangat tipis dan tembus pandang.

“Cukup, Chien Wan.”

Chien Wan menarik kembali lidahnya.

“Sejak kapan kau tidak merasakan apa-apa pada lidahmu?” tanya Tuan Luo.

“Saya tidak bisa merasakan apa-apa sejak dulu, Tuan. Saya tidak bisa mengecap sesuatu pun. Sampai kini saya tidak tahu apa itu manis, asin, asam, pahit, dan lain-lain,” jelas Chien Wan polos.

Tuan dan Nyonya Luo berpandangan. Suatu kasus yang amat aneh. Mereka belum pernah mendengar kasus serupa selama ini.

Chien Wan menunggu dengan kalut. Jangan-jangan karena keanehannya itu, mereka batal menerimanya. Ia menggigit-gigit bibirnya sambil menanti keputusan.

Tuan dan Nyonya Luo bangkit. “Kau istirahat saja dulu sampai demammu hilang. Nanti akan ada pelayan mengantarkan makanan untukmu,” ujar Nyonya Luo sambil membelai rambut Chien Wan sekilas.

Chien Wan mengangguk dengan perasaan lega dan terharu. “Terima kasih, Nyonya.”

“Kalau demammu sudah hilang, kau bisa mulai membantu-bantu di dapur. Atau kalau tidak, kau menemani Sen Khang berlatih,” tambah Tuan Luo.

“Baik, Tuan.”

Tuan dan Nyonya Luo meninggalkan kamar. Sen Khang dan Ting Ting tetap di sana untuk mengobrol.

“Chien Wan, umurmu berapa?” tanya Sen Khang.

“Aku sepuluh tahun.”

“Oh, aku juga sepuluh tahun!” seru Sen Khang bersemangat. “Itu artinya kita sebaya. Kalau Ting Ting, usianya tujuh tahun.”

Chien Wan menatap Ting Ting yang tampak begitu cantik dan lucu. Ting Ting mengenakan pakaian yang terbuat dari sutra berwarna merah muda. Rambutnya dihias dengan pita merah dan tusuk rambut indah. Chien Wan belum pernah melihat gadis secantik itu.

Sedangkan Sen Khang mengenakan pakaian berwarna biru tua bergaris pinggir perak. Rambutnya diikat dengan tali berwarna perak menyerupai gelung putra bangsawan. Sen Khang berwajah tampan dan selalu tersenyum. Dia juga ramah dan baik hati. Chien Wan menyukainya.

Pada saat itu mereka belum mengetahui bahwa kelak di masa depan, mereka akan mengalami peristiwa yang akan mengubah kehidupan mereka secara drastis. Bahwa suatu saat nanti kehidupan mereka akan dipenuhi dengan persahabatan, kisah cinta, serta persaudaraan yang sejati. Dan juga tragedi.

Bersambung

Terpopuler

Comments

Amelia

Amelia

❤️❤️👍🙏

2024-02-21

0

Yanka Raga

Yanka Raga

oke juga 😍

2024-02-14

0

Eros Hariyadi

Eros Hariyadi

Lanjuuuutt 😝😄💪👍🙏

2024-01-13

0

lihat semua
Episodes
1 Wisma Bambu
2 Paviliun Taman Belakang
3 Paman Khung
4 Chi Meng Huan
5 Suling Bambu Hitam
6 Ting Ting Diculik
7 Ketua Persilatan
8 Misi ke Lembah Nada
9 Empat Tambur Perak
10 Ouwyang Ping
11 Diangkat Menjadi Murid
12 Latihan Keras
13 Dilema Cinta Pertama
14 Bahagia di Lembah Nada
15 Berpetualang Bersama
16 Tiba di Kota Lok Yang
17 Reuni
18 Pertemuan Para Pendekar
19 Tuan Muda Chang
20 Penampilan Perdana
21 Hati ke Hati
22 Hati yang Luka
23 Di Bukit Merak
24 Dewa Seribu Wajah
25 Mencari Chi Meng Huan
26 Terperangkap
27 Rencana Chang Fei Yu
28 Kelelawar Hitam
29 Bebas
30 Melarikan Diri
31 Pertarungan
32 Pertarungan di Perbatasan
33 Menuju Wisma Bambu
34 Berjumpa Paman Khung
35 Penolakan Paman Khung
36 Kemball ke Lembah Nada
37 Pulang
38 Paman Khung Sakit Keras
39 Menuju Wisma Bambu
40 Mengurus Paman Khung
41 Luo Sui She Sembuh!
42 Ibu?
43 Leontin Penguak Rahasia
44 Terkuaknya Rahasia Masa Lalu
45 Dia Adikku
46 Berpisah
47 Kewajiban
48 Merindukannya
49 Harpa Kencana
50 Masa Lalu Sung Cen I
51 Masa Lalu Sung Cen II
52 Masa Lalu Sung Cen III
53 Keputusan A Ming
54 Dua Tahun Kemudian
55 Partai Kupu-Kupu
56 Luo Sen Khang Bertemu Ouwyang Ping
57 Pulang ke Lembah Nada
58 Kenangan Masa Silam
59 Reuni Dengan Sung Siu Hung
60 Di Lembah Nada
61 Cemburu
62 Rencana Tuan Ouwyang Cu
63 Berseteru
64 Perjodohan
65 Amarah Chang Fei Yu
66 Perjalanan Luo Sen Khang dan Ouwyang Ping
67 Di Partai Kupu Kupu
68 Pengkhianatan Cheng Sam
69 Penyelidikan
70 Berita Tentang Bukit Merak
71 Berselisih Jalan
72 Awal Bencana
73 Prahara di Wisma Bambu
74 Amarah dan Nestapa
75 Duka Hati Chien Wan
76 Wisma Bambu Berkabung
77 Kebencian dan Amarah
78 Isu di Dunia Persilatan
79 Berpisah Dengan Kui Fang
80 Wu Kui Fang Mencari Bukti
81 Rencana Pendekar Sung
82 Ke Lembah Nada
83 Ouwyang Kuan dan Luo Sui She ke Wisma Bambu
84 Mencari Kamus Silat Tung Pei
85 Orangtua Chien Wan Disandera
86 Luo Sen Khang Gusar
87 Para Pendekar di Wisma Bambu
88 Luo Sen Khang Menyandera Ouwyang Ping
89 Luo Sen Khang Terjebak
90 Dua Luo Sen Khang
91 Derita Luo Ting Ting
92 Penyesalan Luo Sen Khang
93 Pertengkaran Dua Pecinta
94 Luo Ting Ting Mengandung
95 Wu Kui Fang Bertemu Chien Wan
96 Di Partai Kupu Kupu
97 Wu Kui Fang Diculik
98 Selamat
99 Mendiskusikan Bukti yang Didapat
100 Cheng Sam Kembali Berulah
101 Upaya Mencari Jejak Cheng Sam
102 Hati yang Berbunga
103 Perguruan Elang Merah
104 Keluarga Kam
105 Cheng Sam Kembali Lolos
106 Masa Lalu Cheng Sam
107 Niat Luo Sui She
108 Kedatangan Chien Wan
109 Kasih Persaudaraan
110 Kesalahpahaman
111 Kegelisahan Wu Kui Fang
112 Kisah Masa Lalu
113 Rencana Pertunangan
114 Cinta Chi Meng Huan
115 Dua Hati Menyatu
116 Perjanjian di Kotaraja
117 Perjalanan Chang Fei Yu
118 Kabar Pernikahan Luo Ting Ting
119 Kedatangan Tuan Ouwyang Cu
120 Kehamilan A Ming
121 Musuh yang Sebenarnya
122 Kebencian yang Mendalam
123 Chien Wan Terluka
124 Ketulusan Hati Chang Fei Yu
125 Chien Wan Sadarkan Diri
126 Rencana Keberangkatan
127 Menuju Pulau Ginseng
128 Guru Chi Meng Huan
129 Tiba di Pulau Ginseng
130 Menetap Sementara di Pulau Ginseng
131 Berlatih di Pulau Ginseng
132 Chien Wan Sembuh
133 Janji Tuan Ouwyang Cu
134 Bakat Sung Siu Hung
135 Kesedihan A Ming
136 Derita Luo Ting Ting
137 Tuan Chang Mengunjungi Putranya
138 Chang Fei Yu Melamar
139 Hari-Hari Bahagia di Pulau Ginseng
140 Buah Dewa
141 Janji Tuan Ouwyang Cu
142 Pulang
143 Pernikahan
144 Amarah Chi Meng Huan
145 Penyusup
146 Masalah di Partai Kupu-Kupu
147 Wu Kui Fang Membela Sam Hui
148 Sam Hui Diserang
149 Pertemuan Tahunan
150 Pengkhianatan Wie Yun Cun
151 Kemunculan Para Pendekar
152 Pertempuran
153 Luo Sen Khang Galau
154 Ketua Persilatan Mengundurkan Diri
155 Tuan Ouwyang Melamar
156 Kelelawar Hitam Membawa Berita
157 Chi Sien Lung
158 Kelahiran Anak Ting Ting
159 Menjenguk Ting Ting
160 Meninggalkan Partai Kupu-Kupu
161 Bukit Ayam Emas
162 Nyaris Celaka
163 Serangan Chi Meng Huan
164 Ketua Persilatan yang Baru
165 Kembali ke Wisma Bambu
166 A Ming Melarikan Diri
167 A Ming Terkena Racun
168 Peringatan Setahun Kematian Tuan dan Nyonya Luo
169 A Ming Pergi
170 Bencana di Partai Kupu-Kupu
171 Duka yang Mendalam
172 Kelelawar Hitam
173 Chang Yi Hang Diculik
174 Usaha Pencarian
175 Menitipkan Sien Lung
176 Pertempuran
177 Tuan Ouwyang Cu Tewas
178 Terbersit Penyesalan
179 Akhir Hidup Chi Meng Huan
180 Pernikahan di Lembah Nada (End)
181 Terima Kasih
182 Epilog
Episodes

Updated 182 Episodes

1
Wisma Bambu
2
Paviliun Taman Belakang
3
Paman Khung
4
Chi Meng Huan
5
Suling Bambu Hitam
6
Ting Ting Diculik
7
Ketua Persilatan
8
Misi ke Lembah Nada
9
Empat Tambur Perak
10
Ouwyang Ping
11
Diangkat Menjadi Murid
12
Latihan Keras
13
Dilema Cinta Pertama
14
Bahagia di Lembah Nada
15
Berpetualang Bersama
16
Tiba di Kota Lok Yang
17
Reuni
18
Pertemuan Para Pendekar
19
Tuan Muda Chang
20
Penampilan Perdana
21
Hati ke Hati
22
Hati yang Luka
23
Di Bukit Merak
24
Dewa Seribu Wajah
25
Mencari Chi Meng Huan
26
Terperangkap
27
Rencana Chang Fei Yu
28
Kelelawar Hitam
29
Bebas
30
Melarikan Diri
31
Pertarungan
32
Pertarungan di Perbatasan
33
Menuju Wisma Bambu
34
Berjumpa Paman Khung
35
Penolakan Paman Khung
36
Kemball ke Lembah Nada
37
Pulang
38
Paman Khung Sakit Keras
39
Menuju Wisma Bambu
40
Mengurus Paman Khung
41
Luo Sui She Sembuh!
42
Ibu?
43
Leontin Penguak Rahasia
44
Terkuaknya Rahasia Masa Lalu
45
Dia Adikku
46
Berpisah
47
Kewajiban
48
Merindukannya
49
Harpa Kencana
50
Masa Lalu Sung Cen I
51
Masa Lalu Sung Cen II
52
Masa Lalu Sung Cen III
53
Keputusan A Ming
54
Dua Tahun Kemudian
55
Partai Kupu-Kupu
56
Luo Sen Khang Bertemu Ouwyang Ping
57
Pulang ke Lembah Nada
58
Kenangan Masa Silam
59
Reuni Dengan Sung Siu Hung
60
Di Lembah Nada
61
Cemburu
62
Rencana Tuan Ouwyang Cu
63
Berseteru
64
Perjodohan
65
Amarah Chang Fei Yu
66
Perjalanan Luo Sen Khang dan Ouwyang Ping
67
Di Partai Kupu Kupu
68
Pengkhianatan Cheng Sam
69
Penyelidikan
70
Berita Tentang Bukit Merak
71
Berselisih Jalan
72
Awal Bencana
73
Prahara di Wisma Bambu
74
Amarah dan Nestapa
75
Duka Hati Chien Wan
76
Wisma Bambu Berkabung
77
Kebencian dan Amarah
78
Isu di Dunia Persilatan
79
Berpisah Dengan Kui Fang
80
Wu Kui Fang Mencari Bukti
81
Rencana Pendekar Sung
82
Ke Lembah Nada
83
Ouwyang Kuan dan Luo Sui She ke Wisma Bambu
84
Mencari Kamus Silat Tung Pei
85
Orangtua Chien Wan Disandera
86
Luo Sen Khang Gusar
87
Para Pendekar di Wisma Bambu
88
Luo Sen Khang Menyandera Ouwyang Ping
89
Luo Sen Khang Terjebak
90
Dua Luo Sen Khang
91
Derita Luo Ting Ting
92
Penyesalan Luo Sen Khang
93
Pertengkaran Dua Pecinta
94
Luo Ting Ting Mengandung
95
Wu Kui Fang Bertemu Chien Wan
96
Di Partai Kupu Kupu
97
Wu Kui Fang Diculik
98
Selamat
99
Mendiskusikan Bukti yang Didapat
100
Cheng Sam Kembali Berulah
101
Upaya Mencari Jejak Cheng Sam
102
Hati yang Berbunga
103
Perguruan Elang Merah
104
Keluarga Kam
105
Cheng Sam Kembali Lolos
106
Masa Lalu Cheng Sam
107
Niat Luo Sui She
108
Kedatangan Chien Wan
109
Kasih Persaudaraan
110
Kesalahpahaman
111
Kegelisahan Wu Kui Fang
112
Kisah Masa Lalu
113
Rencana Pertunangan
114
Cinta Chi Meng Huan
115
Dua Hati Menyatu
116
Perjanjian di Kotaraja
117
Perjalanan Chang Fei Yu
118
Kabar Pernikahan Luo Ting Ting
119
Kedatangan Tuan Ouwyang Cu
120
Kehamilan A Ming
121
Musuh yang Sebenarnya
122
Kebencian yang Mendalam
123
Chien Wan Terluka
124
Ketulusan Hati Chang Fei Yu
125
Chien Wan Sadarkan Diri
126
Rencana Keberangkatan
127
Menuju Pulau Ginseng
128
Guru Chi Meng Huan
129
Tiba di Pulau Ginseng
130
Menetap Sementara di Pulau Ginseng
131
Berlatih di Pulau Ginseng
132
Chien Wan Sembuh
133
Janji Tuan Ouwyang Cu
134
Bakat Sung Siu Hung
135
Kesedihan A Ming
136
Derita Luo Ting Ting
137
Tuan Chang Mengunjungi Putranya
138
Chang Fei Yu Melamar
139
Hari-Hari Bahagia di Pulau Ginseng
140
Buah Dewa
141
Janji Tuan Ouwyang Cu
142
Pulang
143
Pernikahan
144
Amarah Chi Meng Huan
145
Penyusup
146
Masalah di Partai Kupu-Kupu
147
Wu Kui Fang Membela Sam Hui
148
Sam Hui Diserang
149
Pertemuan Tahunan
150
Pengkhianatan Wie Yun Cun
151
Kemunculan Para Pendekar
152
Pertempuran
153
Luo Sen Khang Galau
154
Ketua Persilatan Mengundurkan Diri
155
Tuan Ouwyang Melamar
156
Kelelawar Hitam Membawa Berita
157
Chi Sien Lung
158
Kelahiran Anak Ting Ting
159
Menjenguk Ting Ting
160
Meninggalkan Partai Kupu-Kupu
161
Bukit Ayam Emas
162
Nyaris Celaka
163
Serangan Chi Meng Huan
164
Ketua Persilatan yang Baru
165
Kembali ke Wisma Bambu
166
A Ming Melarikan Diri
167
A Ming Terkena Racun
168
Peringatan Setahun Kematian Tuan dan Nyonya Luo
169
A Ming Pergi
170
Bencana di Partai Kupu-Kupu
171
Duka yang Mendalam
172
Kelelawar Hitam
173
Chang Yi Hang Diculik
174
Usaha Pencarian
175
Menitipkan Sien Lung
176
Pertempuran
177
Tuan Ouwyang Cu Tewas
178
Terbersit Penyesalan
179
Akhir Hidup Chi Meng Huan
180
Pernikahan di Lembah Nada (End)
181
Terima Kasih
182
Epilog

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!