PROLOG
Pria itu berlari dengan kecepatan luar biasa. Wajahnya pucat, menampakkan kelelahan dan ketakutan. Kedua tangannya memeluk sebuah buntalan yang dijaganya dengan sangat hati-hati. Ia tidak berhenti meski kedua kakinya terasa amat sakit bagai ditusuk-tusuk. Jantungnya berdebar, campuran antara lelah dan cemas.
Buntalan di tangannya bergerak sedikit. Ia memeluknya semakin erat.
“Kau aman bersamaku,” gumamnya sambil mempercepat larinya. Hutan Bambu tidak jauh lagi.
Kakinya baru saja menginjak tanah Hutan Bambu saat sesuatu berkelebat. Bayangan hitam yang bergerak demikian lihay. Dan berhenti di depannya, menghadang langkahnya.
Pria itu berhenti, tersengal-sengal. Keringat menetes-netes di dagunya. Pandangan matanya liar. “Siapa kau? Dia yang menyuruhmu?” bentaknya geram bercampur cemas.
“Serahkan buntalan itu.”
“Langkahi dulu mayatku!”
Dengan nekad, pria yang membawa buntalan itu menyerang terlebih dahulu. Serangannya membabi-buta. Dia memiliki ilmu silat yang tinggi dan akan mudah bergerak jika saja ia tidak terlalu letih dan buntalan itu tidak menghambatnya.
Pengejarnya yang berbaju hitam itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa. Ia berkelit dan balas menyerang. Hutan yang biasanya selalu tenang itu kini bagai diterpa angin ****** beliung akibat perkelahian hebat itu. Suara bak-buk-bak-buk pukulan membuat pekak telinga yang mendengar, jika memang ada yang mendengar.
Pertempuran yang hebat itu berlangsung beberapa lama. Namun semakin lama, semakin jelas terlihat siapa yang lebih unggul. Pria itu mulai terdesak dan hanya bisa menangkis atau mengelak.
BUK! Sebuah tendangan bersarang di punggungnya. Ia terjungkal dan menyemburkan darah segar.
Penyerangnya merangsek dan kembali menghajarnya, kali ini di bagian pundak. Ia kembali terjungkal. Namun tidak sekali pun ia melonggarkan pelukannya pada buntalan itu. Penyerangnya kembali menghajarnya. Kali ini begitu keras mengenai rahangnya. Dan ia tidak sanggup bertahan lagi. Ia pun diam tak bergerak.
Si penyerang membungkuk dan menarik buntalan itu. Tetapi rupanya pelukan pria itu begitu erat sehingga ia tidak bisa melepaskan buntalan itu dari tangannya. Penyerang itu mengangkat tangannya hendak menghantam bungkusan itu.
Tetapi, suara tangisan membahana. Si penyerang menghentikan gerakannya. Tangannya bergetar. Dan ia berdiri. Lalu berkelebat pergi.
Rupanya pria itu belum mati. Ia tidak sanggup berjalan karena tulang kakinya patah. “Wisma Bambu… Wisma Bambu…,” gumamnya setengah tidak sadarkan diri. Ia pun merangkak.
Belum jauh ia merangkak, dan saat itulah seorang perempuan pencari kayu datang.
“Astaga!” teriak perempuan itu terkejut.
“Ba… bawa… ke Wisma… Bambu…!” Pria itu memohon.
Perempuan itu mendekat setengah ketakutan. Dengan tangan gemetar ia mengambil buntalan di tangan yang bersimbah darah itu.
Dengan susah payah pria itu mengambil sesuatu dari balik kelepak bajunya. Sesuatu yang berkilauan itu diulurkannya kepada si perempuan yang hanya bisa membelalak ketakutan sambil mendekap buntalan itu erat-erat. “I... ini... miliknya..., pemberi...an ayahnya...!”
Pria itu pun tewas.
***
Suasana di Hutan Bambu yang biasanya damai dan tenang, kini hiruk pikuk oleh bunyi hujan teramat deras yang mengguyur bumi. Kilat menyambar dan geledek menggelegar, seolah saling berlomba hendak menghantam apa saja yang ada. Bunyi air hujan memukul tanah amat memekakkan telinga. Batang-batang bambu yang langsing bergerak-gerak dahsyat tertiup angin, daun-daunnya saling bergesek tertimpa guyuran hujan. Langit gelap gulita, hanya sesekali diterangi oleh cahaya kilat yang menyeramkan.
Di tengah-tengah Hutan Bambu terdapat sebuah kediaman yang luas dan indah yang bernama Wisma Bambu. Tempat tersebut dihuni oleh sejumlah penduduk dengan sebuah keluarga sebagai majikannya. Keadaan di sana sepi, tak ada kegiatan apa pun yang berlangsung. Tentu saja. Dengan cuaca semacam ini, siapa yang mau melakukan aktifitas selain menggulung diri dalam kehangatan tempat tidur dan selimut tebal nan nyaman? Tak ada seorang pun yang mau melewatkan malam dengan berkeliaran di luar rumah—termasuk para penjaga malam. Mereka lebih memilih diam di kamar masing-masing.
Namun tepat di depan Wisma Bambu, seorang bocah tengah duduk sambil mengerutkan tubuhnya. Bocah itu tampak amat kedinginan dan menderita. Tubuhnya yang kurus hanya dibalut oleh sehelai pakaian lusuh yang tipis dan basah kuyup. Kepalanya ditutupi oleh sebuah caping yang sudah berlubang di sana-sini.
Bocah laki-laki itu berusia sekitar sepuluh tahun. Parasnya cukup tampan, namun sepasang matanya tampak tak bergairah dan hampir-hampir kosong. Raut wajahnya kaku dan membatu, membuatnya kelihatan lebih dewasa dari usianya yang sebenarnya.
Ia merasa kelelahan setelah berlari menembus hujan sejak dari depan Hutan Bambu tadi. Entah mengapa ia nekat mendatangi Wisma Bambu hanya karena kata-kata tak jelas yang diucapkan ibunya sesaat menjelang kematiannya karena penyakit demam yang sangat parah. Mungkin karena di dunia ini ia tak memiliki keluarga sehingga ia mempertaruhkan nasibnya dengan mendatangi tempat ini.
Ia menggeletar kedinginan namun tak berani masuk atau mengetuk pintu. Ia menunggu di depan pintu gerbang dan berharap kalau-kalau ada seseorang yang datang mau membukakan pintu baginya. Tetapi harapan tinggal harapan. Di saat hujan lebat seperti sekarang ini, mana ada orang yang mau keluar rumah?
Sudah sangat lama bocah itu duduk di sana, namun hujan tak kunjung reda. Akhirnya bocah itu tak dapat menahan dirinya lagi. Ia terkulai pingsan.
* * *
Dua orang pelayan Wisma Bambu keluar kamar sambil menguap lebar. Saat itu masih sangat pagi. Hujan baru saja reda, dan mentari sudah terbit di ufuk timur. Cuaca begitu indah dan bersih pagi itu, seolah-olah kekuatan hujan semalam telah mencuci bersih langit dan membuatnya kelihatan baru seperti saat pertama kali diciptakan.
“Huaaah! Tadi malam hujan deras sekali, ya?” ujar salah satu pelayan sambil merentangkan tangan dengan puas.
Temannya mengangguk. “Untung sekarang sudah berhenti sama sekali,” katanya.
Mereka melangkah menuju gerbang untuk membukanya dan mulai melakukan tugas mereka menyapu halaman luar. Keadaannya kacau sekali. Daun-daun bambu pasti berserakan di mana-mana bekas tertimpa hujan.
Saat pintu gerbang dibuka, mereka terkejut sekali. Ada seorang bocah laki-laki yang terbaring pingsan dan tampak sangat lemah. Kedua pelayan itu melompat dan memeriksa bocah itu.
“A Sam, bocah ini masih bernapas. Cepat beritahu Tuan Besar dan Nyonya!” seru salah satu pelayan.
A Sam berlari ke dalam tanpa banyak bicara.
Tak lama kemudian A Sam kembali diikuti oleh dua orang dewasa dan dua anak kecil yang masih mengenakan pakaian tidur. Kedua orang dewasa itu segera berlutut dan memeriksa keadaan si bocah.
Yang pria memeriksa denyut nadi si bocah, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Dia demam tinggi,” ucapnya.
Perempuan di sampingnya memandangnya. “Lalu bagaimana?”
“Kita bawa masuk saja,” putus si pria sambil mengangkat tubuh bocah itu dengan hati-hati. Ia membawa bocah itu masuk ke dalam rumah, lalu memasuki sebuah kamar. Yang lain mengikutinya.
Pria itu memerintahkan pelayannya untuk menggantikan pakaian si bocah dengan pakaian yang kering dan bersih. Ia mulai sibuk meramu obat untuk meringankan demam si bocah. Istrinya menggiring anak-anak mereka yang penasaran keluar dari kamar.
Pria itu memeriksa lagi keadaan si bocah, takut kalau-kalau menemukan adanya kelainan. Tetapi sejauh ini bocah itu tak apa-apa.
Menjelang siang, bocah itu mulai sadar. Mula-mula, ia melihat beberapa orang di hadapannya namun pandangannya masih kabur. Dikerjap-kerjapkannya matanya, barulah ia dapat melihat orang-orang itu dengan jelas.
Seorang pria dewasa yang gagah dan berwibawa, perempuan dewasa yang cantik jelita dan lembut, seorang bocah laki-laki yang sebaya dengan dirinya sendiri, serta seorang anak perempuan yang mungil dan manis. Mereka semua menatapnya dengan pandangan ramah bercampur lega.
Bocah itu memandangi dirinya sendiri. Dia terbaring di atas pembaringan yang bagus, memakai pakaian yang sebelumnya tak terpikirkan untuk dikenakannya. Bocah itu terkejut dan bangkit dengan tergesa-gesa. Tetapi kepalanya sakit sekali dan segalanya tampak berputar-putar.
Tak tahan, ia memegangi kepalanya. “Aduh!” rintihnya.
“Jangan bangun dulu, Nak,” ucap perempuan dewasa itu sambil memegangi lengannya dan membimbingnya supaya kembali berbaring. Suaranya ramah dan lembut menenangkan.
“Di... di mana saya?” tanya si bocah dengan gugup dan bingung sambil memandangi keempat orang itu.
“Kau ada di Wisma Bambu,” jawab si pria dewasa. “Aku Luo Siu Man, ini istriku Yi Lan, dan mereka adalah anak-anakku, Luo Sen Khang dan Luo Ting Ting.”
“Siapa namamu, Nak?” tanya Nyonya Luo. “Dan, mengapa sampai berada di Hutan Bambu?”
Bocah itu menelan ludahnya, lalu mulai bercerita, “Nama saya Chien Wan. Saya tinggal di desa di dekat Hutan Bambu bersama ibu saya. Ibu saya... terserang demam dan meninggal beberapa hari yang lalu. Saya tak punya siapa-siapa. Maka saya....” Bocah itu tertunduk sedih.
Tuan dan Nyonya Luo berpandangan.
“Lalu, ke mana tujuanmu?” tanya Tuan Luo.
“Saya tidak tahu, Tuan....”
Kembali Tuan dan Nyonya Luo berpandangan.
“Ayah, suruh saja dia tinggal di sini!” cetus Sen Khang tiba-tiba.
Tuan Luo memandang putranya sambil mengangkat alisnya. “Tinggal di sini?”
Sen Khang mengangguk. “Dia bisa menjadi temanku dan Ting Ting. Lagi pula, dia kan bisa bantu-bantu di dapur.”
Tuan Luo menoleh pada istrinya. “Bagaimana menurutmu?”
Nyonya Luo mengangguk senang. “Kurasa usul Sen Khang bagus juga. Kita memang tak memerlukan pelayan baru, tapi anak ini bisa menemani Sen Khang berlatih.”
Tuan Luo berpikir-pikir. Ditatapnya wajah Chien Wan dengan penuh minat. Anak yang kurus dan pucat, yang entah bagaimana menimbulkan perasaan mendalam dalam dirinya. Sepasang mata yang kosong itu membuatnya terpukau karena mengingatkannya akan seseorang. Hatinya meleleh oleh perasaan sayang.
Chien Wan menunduk. Ia tak berani berharap akan diterima tinggal di sana. Saat ini, nasibnya tidak lagi menjadi miliknya melainkan milik penolongnya.
Tuan Luo mengangguk. “Baiklah, dia boleh tinggal di sini,” putusnya. Lalu ia menoleh dan memandang ramah pada Chien Wan. “Bagaimana, Chien Wan? Maukah kau tinggal di sini?”
Chien Wan menatap Tuan Luo dengan penuh terima kasih. “Tentu saja, Tuan. Terima kasih, Tuan baik sekali,” ucapnya lirih.
Tuan Luo tertawa.
Tak lama kemudian, datanglah seorang pelayan membawakan obat dalam mangkuk. Nyonya Luo mengambil mangkuk obat itu lalu mulai membantu Chien Wan duduk untuk meminumkan obat itu.
Chien Wan agak risih, karena itu ia menolak. “Biar saya minum sendiri, Nyonya.”
Nyonya Luo tersenyum mengerti, lalu diserahkannya mangkuk itu. “Pelan-pelan saja, Chien Wan,” ujarnya karena ia tahu obat itu masih panas dan rasanya sangat pahit.
Dengan disaksikan oleh keluarga Luo, Chien Wan meneguk obatnya perlahan-lahan. Obat itu sangat pahit, namun Chien Wan seolah tidak merasakan apa-apa.
Ting Ting bergidik ngeri. “Ih! Obat itu pasti pahit!” serunya.
Tuan Luo dan istrinya tertawa.
“Ting Ting, obat mujarab tentu saja pahit,” kata Tuan Luo sabar.
“Apa kau tidak merasa pahit?” tanya Sen Khang pada Chien Wan. Ia heran karena Chien Wan tidak menampakkan ekspresi apa pun pada wajahnya ketika meminum obat tadi.
Chien Wan menggeleng.
Diam-diam hal ini membuat Tuan dan Nyonya Luo kaget. Biasanya anak seusia Chien Wan sangat peka terhadap rasa. Tetapi bahkan obat sepahit ini tidak membuat Chien Wan meringis.
“Coba perlihatkan lidahmu, Chien Wan,” perintah Tuan Luo.
Chien Wan agak ragu sejenak sebelum menjulurkan lidahnya keluar.
Tuan Luo memperhatikan lidah yang berwarna merah muda itu dengan cermat. Tampaknya biasa saja, seperti lidah pada umumnya, hingga akhirnya Tuan Luo mendapati bahwa pada lapisan atas lidah itu tampak ada selaput sangat tipis dan tembus pandang.
“Cukup, Chien Wan.”
Chien Wan menarik kembali lidahnya.
“Sejak kapan kau tidak merasakan apa-apa pada lidahmu?” tanya Tuan Luo.
“Saya tidak bisa merasakan apa-apa sejak dulu, Tuan. Saya tidak bisa mengecap sesuatu pun. Sampai kini saya tidak tahu apa itu manis, asin, asam, pahit, dan lain-lain,” jelas Chien Wan polos.
Tuan dan Nyonya Luo berpandangan. Suatu kasus yang amat aneh. Mereka belum pernah mendengar kasus serupa selama ini.
Chien Wan menunggu dengan kalut. Jangan-jangan karena keanehannya itu, mereka batal menerimanya. Ia menggigit-gigit bibirnya sambil menanti keputusan.
Tuan dan Nyonya Luo bangkit. “Kau istirahat saja dulu sampai demammu hilang. Nanti akan ada pelayan mengantarkan makanan untukmu,” ujar Nyonya Luo sambil membelai rambut Chien Wan sekilas.
Chien Wan mengangguk dengan perasaan lega dan terharu. “Terima kasih, Nyonya.”
“Kalau demammu sudah hilang, kau bisa mulai membantu-bantu di dapur. Atau kalau tidak, kau menemani Sen Khang berlatih,” tambah Tuan Luo.
“Baik, Tuan.”
Tuan dan Nyonya Luo meninggalkan kamar. Sen Khang dan Ting Ting tetap di sana untuk mengobrol.
“Chien Wan, umurmu berapa?” tanya Sen Khang.
“Aku sepuluh tahun.”
“Oh, aku juga sepuluh tahun!” seru Sen Khang bersemangat. “Itu artinya kita sebaya. Kalau Ting Ting, usianya tujuh tahun.”
Chien Wan menatap Ting Ting yang tampak begitu cantik dan lucu. Ting Ting mengenakan pakaian yang terbuat dari sutra berwarna merah muda. Rambutnya dihias dengan pita merah dan tusuk rambut indah. Chien Wan belum pernah melihat gadis secantik itu.
Sedangkan Sen Khang mengenakan pakaian berwarna biru tua bergaris pinggir perak. Rambutnya diikat dengan tali berwarna perak menyerupai gelung putra bangsawan. Sen Khang berwajah tampan dan selalu tersenyum. Dia juga ramah dan baik hati. Chien Wan menyukainya.
Pada saat itu mereka belum mengetahui bahwa kelak di masa depan, mereka akan mengalami peristiwa yang akan mengubah kehidupan mereka secara drastis. Bahwa suatu saat nanti kehidupan mereka akan dipenuhi dengan persahabatan, kisah cinta, serta persaudaraan yang sejati. Dan juga tragedi.
Bersambung
Berkat rawatan yang diberikan oleh para penghuni Wisma Bambu, keadaan Chien Wan berangsur-angsur membaik. Ia mulai bekerja membantu-bantu di dapur. Tugas Chien Wan adalah membelah-belah kayu bakar dan mengangkutnya ke dapur. Chien Wan mengerjakan tugasnya dengan baik. Tampak sekali kalau ia memang sudah terbiasa bekerja keras.
Chien Wan anak yang pendiam, tidak banyak bicara. Akan tetapi ia rajin dan selalu mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik. Pelayan-pelayan yang lain menyukainya.
Sen Khang dan Ting Ting baik padanya. Sen Khang selalu mengajaknya berlatih bersama-sama. Chien Wan tak pernah menolak ajakan Sen Khang, namun ia tak pernah ikut berlatih. Ia hanya melihat saja. Ia cukup tahu diri. Ia sadar bahwa dirinya bukanlah anggota keluarga ataupun murid Tuan Luo, melainkan hanya pelayan saja.
“Chien Wan, lihat gerakanku!” seru Sen Khang, memamerkan jurus baru yang diajarkan ayahnya.
Chien Wan tidak menyahut. Ia memang melihat gerakan-gerakan silat Sen Khang, namun ia tidak memperhatikannya. Pikirannya melayang pada peristiwa waktu ibunya meninggal.
Waktu itu ibunya terbaring sakit karena demam yang amat tinggi sementara mereka tidak punya uang untuk membeli obat.
“Anakku... ini diberikan oleh ayah kandungmu....” desah ibunya dengan suara lemah sambil mengulurkan seuntai kalung dengan leontin berukir burung hong. Tangannya gemetar hebat.
Chien Wan terpana. “A... ayah kandung?”
“Be... benar, Nak. Waktu itu... aku sedang mencari kayu di pinggir Hutan Bambu. Aku melihat seorang... laki-laki terbaring hampir mati. Kau ada di pelukannya, keadaanmu... juga lemah. Aku berusaha menolong, tapi dia sudah hampir mati. Aku mengambilmu dari tangannya. Dia juga memberikan leontin yang kau... kenakan. Katanya, itu pemberian dari ayahmu. Lalu dia... mengatakan Wisma Bambu. Setelah itu dia mati.”
Chien Wan ternganga.
“Maaf, aku tidak menceritakan ini dari dulu, Nak.” Air mata meleleh di pipi perempuan tua itu. “Aku takut kau meninggalkanku.”
“Ibu....” Bibir Chien Wan bergetar menahan tangis.
“Anakku, aku menceritakan semua ini sekarang karena aku tahu... sebentar lagi aku akan mati. Aku tidak... ingin kau sebatang kara karena tidak mengetahui asal usulmu. Aku... tidak mau... kau sendirian di dunia ini....”
Sampai sini, lamunan Chien Wan terputus karena Sen Khang tiba-tiba memanggilnya, “Chien Wan!”
Chien Wan terkejut. “Eh, ya?”
Sen Khang menghampiri sambil bersungut-sungut. “Kau ini bagaimana sih? Kusuruh perhatikan malah melamun!”
“Maaf...,” ujar Chien Wan pelan.
Sen Khang duduk di samping Chien Wan sambil mengelap keringatnya. “Ada apa sih? Kau kelihatan sedih.”
Chien Wan menggeleng. “Tak apa-apa,” jawabnya. Ia anak yang tertutup, tak terbiasa mengungkapkan perasaannya.
Sen Khang kesal melihatnya karena ia sendiri adalah seorang anak yang terbuka, selalu berterus-terang, dan tak bisa menyembunyikan sesuatu. Sejak pertama kali bertemu Chien Wan, ia selalu bercerita mengenai dirinya dan keluarganya kepada Chien Wan. Tetapi Chien Wan sama sekali tidak pernah bercerita apa-apa padanya.
“Kakak!” seru sebuah suara merdu kekanak-kanakkan.
Sen Khang menoleh dan tersenyum melihat adiknya berlari-lari sambil membawa tiga tusuk manisan berwarna merah.
“Ting Ting, apa yang kaubawa?”
Ting Ting mengacungkan ketiga tusuk manisan itu dengan wajah berseri-seri. “Tadi Paman A Fuk pulang dari pasar desa dan membawa ini untuk kita!” lapornya bersemangat. Gadis kecil itu jadi terlihat lucu sekali.
“Waaah!” Sen Khang menggosok-gosok tangannya dengan gembira. “Manisan! Sudah lama kita tidak memakannya.”
Ting Ting menyerahkan manisan itu pada Sen Khang dan Chien Wan masing-masing satu. Sen Khang langsung mencicipi.
“Wah enaknya!” serunya.
“Hm... ya, enak!” sambung Ting Ting.
Chien Wan tidak memakan manisannya, melainkan hanya memandanginya saja. Tercium olehnya harum manisan itu begitu semerbak.
Ting Ting memandang heran. “Kakak Wan, mengapa manisannya tidak dimakan?” tanyanya.
Chien Wan tersenyum pahit. “Aku tak bisa merasakan apa-apa. Jadi percuma saja kalau manisan ini kumakan,” ujarnya ringan. Lalu ia kembali menyerahkan manisan itu pada Ting Ting. “Untuk Nona saja.”
Ting Ting terpana.
Sen Khang menelan ludahnya. Ia lupa indera pengecap Chien Wan tidak berfungsi. Ia jadi merasa bersalah.
Chien Wan berdiri. “Aku ke belakang dulu,” pamitnya.
Sen Khang dan Ting Ting saling berpandangan.
Chien Wan pergi ke belakang untuk menimba air. Ia berpapasan dengan seorang tua yang merupakan pelayan senior di Wisma Bambu, Paman Khung panggilannya. Chien Wan menepi untuk membiarkan Paman Khung lewat. Paman Khung menatapnya sekilas, lalu berjalan melewatinya.
* * *
Waktu bergulir dan sudah genap dua bulan Chien Wan tinggal di sana.
Selama ini, diam-diam Tuan Luo mengamati anak itu. Segala gerak-gerik Chien Wan diperhatikan olehnya. Dari luar Chien Wan tampak lemah. Tubuhnya agak kurus dan kulit wajahnya pucat. Sorot matanya tampak murung dan tak bersemangat. Tetapi Tuan Luo tahu, di balik penampilannya yang ringkih itu tersembunyi tekad dan semangat membaja. Chien Wan seorang anak yang keras hati dan pantang menyerah, dua sifat yang selayaknya dimiliki para pendekar.
Tuan Luo berniat mengangkatnya sebagai murid.
Chien Wan tak tahu menahu akan niat Tuan Luo. Ia tak berminat belajar silat. Ia hanya ingin terus menjalani hidup yang damai sebagai pelayan Keluarga Luo.
Pada suatu hari, Chien Wan hendak mengantar makanan ke kamar Sen Khang yang saat itu sedang kurang sehat. Ia mengambil jalan memutar lewat taman belakang. Dari dapur ke kamar Sen Khang agak jauh jika harus lewat depan, akan lebih dekat lewat taman belakang.
Sebelumnya ia tak pernah masuk ke taman belakang, tapi kali ini ia nekat memasukinya. Ia sudah terlambat dan sebentar lagi waktu makan malam. Ia tak mau Sen Khang kelaparan menunggunya.
Tiba-tiba langkahnya terhenti mendapati sebuah paviliun kecil di dalam taman belakang itu. Paviliun itu kecil, besarnya hanya sekitar tiga kali kamar Chien Wan. Namun bagi Chien Wan paviliun itu sangat indah, berukir-ukir menawan dan dilengkapi dengan tirai-tirai sutra yang halus dan melambai-lambai tertiup angin malam. Semuanya berwarna putih. Keharuman yang anggun menerpa penciuman Chien Wan yang tajam.
Chien Wan menatap penuh kekaguman.
Saat itu, sesuatu berkelebat keluar dari dalam paviliun. Sesosok bayangan berwarna putih bagaikan kabut. Chien Wan merasa ngeri dan bergegas kabur, namun sosok itu menghadangnya.
Chien Wan terbelalak. Sosok itu adalah seorang perempuan bergaun putih. Perempuan itu begitu cantik dan anggun, rambutnya panjang terurai sampai pinggul tanpa hiasan apa pun, dan warnanya hitam pekat. Wajahnya halus dan mempesona seperti dewi-dewi dalam lukisan di ruang kerja Tuan Luo. Namun sayang, sepasang mata yang sebenarnya sangat indah itu tampak beku dan tak ada sinar kehidupan. Kesan yang ditimbulkan olehnya, mengerikan sekaligus menakjubkan!
“Siapa kau?” tanya perempuan itu. Suaranya merdu, namun dingin dan menyeramkan.
Chien Wan menelan ludah. “Sa... saya Chien Wan, pelayan baru...,” jawabnya.
“Kau dikirim olehnya? Bagaimana keadaannya?” tanya perempuan itu dengan suara melembut.
“Siapa?” tanya Chien Wan bingung.
“Keparaaat!!” Tiba-tiba saja perempuan itu menjerit. “Kau begitu tega! Kau tinggalkan aku demi dia. Padahal aku begitu mencintaimu!!!”
Chien Wan mundur-mundur. Dadanya berdebar kencang, ia merasa ngeri melihat sinar kegilaan pada perempuan itu.
Perempuan itu menatap Chien Wan dengan tajam.
“Kau tak boleh pergi!” bentaknya. Ia mengulurkan tangannya hendak menangkap Chien Wan. Chien Wan melempar nampan berisi makanan ke arah perempuan itu. Perempuan itu mengibaskan lengan bajunya, lalu dikejarnya Chien Wan yang berlari dengan perasaan ngeri.
Perempuan itu hampir berhasil menangkap Chien Wan kalau saja tidak ada orang yang datang menolong.
“Sui She, hentikan!” hardik orang itu yang ternyata adalah Tuan Luo.
Perempuan itu menghentikan langkahnya, lalu ia terjatuh sambil menangis tersedu-sedu. Air mata mengaliri wajahnya yang putih pucat dan sehalus pualam. “Kakak Kuan... Kakak Kuan... kau kejam sekali padaku! Kejam!” tangisnya pilu.
Chien Wan tampak pucat sekali. Lututnya gemetaran.
Tuan Luo segera bertindak. Dengan cepat ia menghampiri perempuan yang dipanggil Sui She tersebut dan menotok jalan darahnya. Kemudian, dengan hati-hati Tuan Luo memondong tubuh Sui She ke dalam paviliun.
Ketika Tuan Luo keluar, ia melihat Chien Wan masih berdiri termangu-mangu di depan paviliun. Ia menghampiri Chien Wan dengan maksud hendak memarahinya. Namun melihat betapa pucat dan terguncangnya Chien Wan, amarahnya mereda.
“Chien Wan, mengapa kau masuk taman ini? Apa mereka tak memberitahumu bahwa tak seorang pun boleh memasuki taman ini?” tegur Tuan Luo serius.
Chien Wan menjawab gugup, “Ma... maafkan saya, Tuan! Saya tak bermaksud memasuki taman. Saya cuma memotong jalan karena takut Sen Khang terlambat makan malam....”
Saat itu datanglah Nyonya Luo, Sen Khang, dan Ting Ting. Tetapi mereka cuma sampai di pintu taman, tak berani melangkah masuk. Rupanya taman itu benar-benar terlarang.
“Suamiku, ada apa?” tanya Nyonya Luo.
Tuan Luo tidak menjawab. Ia hanya memandang Chien Wan dengan serius. “Lain kali kau tak boleh masuk ke sini.”
“Ya, Tuan.”
Tuan Luo menghela napas. “Baiklah. Ayo kita ke luar,” ajaknya sambil menggandeng bahu Chien Wan. Ia merasakan bahu anak itu gemetaran. Perasaan iba menyelimuti hatinya.
Nyonya Luo memandang wajah Chien Wan yang pucat. Ia khawatir. “Chien Wan, kau tak apa-apa?” tanyanya.
Chien Wan menggeleng. “Saya tak apa-apa, Nyonya.”
“Ayo kita masuk ke dalam saja,” ajak Tuan Luo. Lalu ia menoleh pada Sen Khang. “Sen Khang, kau sedang sakit. Kenapa ikut-ikut keluar?” tegurnya.
“Aku mendengar jeritan, Ayah,” ujar Sen Khang membela diri.
Chien Wan merasa bersalah. Gara-gara kelancangannya semua orang menjadi repot. Ia menunduk.
Mereka semua masuk ke dalam rumah dan menuju ruang tengah. Seorang pelayan mengambilkan makanan dan minuman untuk Sen Khang yang memang belum makan.
“Kau sudah makan, Chien Wan?” tanya Nyonya Luo.
Chien Wan mengangguk. Padahal ia belum makan malam.
“Ini menjadi peringatan bagi kalian semua. Taman itu terlarang bagi siapa saja. Hanya aku dan pelayan terpercaya yang boleh memasukinya,” kata Tuan Luo tegas. Lalu ia menoleh pada Chien Wan. “Kau masih baru di sini jadi mungkin kau belum tahu larangan itu. Ketahuilah, Chien Wan. Perempuan di taman itu adalah adikku, namanya Luo Sui She. Dia menderita gangguan jiwa selama bertahun-tahun. Dia bisa melukai orang, makanya aku menempatkannya di taman belakang.”
“Ayah, ada sesuatu yang membuatku heran,” sela Sen Khang.
“Apa itu?”
“Taman belakang tidak pernah dikunci. Mengapa Bibi Sui She tidak melarikan diri? Bukankah dia tidak sadar akan dirinya? Kok dia tenang-tenang saja di sana dan baru menyerang orang yang masuk ke sana?” tanya Sen Khang.
Tuan Luo menghela napas. “Taman belakang sudah menjadi tempat kesayangan Sui She sejak kecil. Dia sendiri yang menempatkan dirinya di sana dan tidak pernah mencoba untuk pergi. Aku sendiri juga tidak tahu mengapa.” Ia mengepalkan kedua tangannya dengan geram. “Semua ini gara-gara orang Lembah Nada!”
“Lembah Nada?” tanya Ting Ting polos. “Tempat apa itu?”
Diam-diam Chien Wan juga penasaran. Entah mengapa, mendengar nama itu membuatnya hatinya tergerak.
“Bukan apa-apa!” sergah Tuan Luo galak, membuat putrinya segera berlindung di pelukan ibunya.
“Sudahlah,” sela Nyonya Luo lembut. “Itu tidak penting. Yang penting, kalian jangan sampai melarang pantangan itu. Mengerti?”
Ketiga bocah itu mengangguk.
Tuan Luo kembali menatap Chien Wan. “Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu, Chien Wan.”
Jantung Chien Wan berdegup kencang. Apakah aku akan diusir dari tempat ini? pikirnya gelisah. Ia sungguh takut jika hal itu sampai terjadi.
“Apa kau mau belajar silat?”
Chien Wan tercengang. Pertanyaan itu sama sekali tidak seperti yang dipikirkannya. Sesaat lamanya, ia hanya mampu ternganga memandangi Tuan Luo. Tampangnya saat itu terlihat bodoh sekali, membuat Tuan Luo tersenyum geli.
“Hei, Chien Wan!” seru Sen Khang tertawa. “Jawab pertanyaan ayahku, jangan cuma bengong begitu!”
“Eh, iya Tuan.” Chien Wan akhirnya mengangguk-angguk.
“Bagus!” angguk Tuan Luo puas.
Bersambung.
Tuan Luo ternyata sangat serius dengan niatnya mengajarkan ilmu silat pada Chien Wan. Ia melatih Chien Wan dengan cara yang sama seperti ketika ia melatih kedua anaknya. Maka mulailah Chien Wan berlatih kuda-kuda dan dasar-dasar ilmu silat bersama Ting Ting dan Sen Khang.
Di antara mereka bertiga, Sen Khang-lah yang paling mahir. Ia yang paling paling dulu belajar ilmu silat dan ia sangat cerdas. Maka ia maju mengungguli kedua anak lainnya. Ia sudah mulai melatih jurus yang lebih rumit.
Chien Wan berlatih dengan tekun walau sejujurnya ia kurang suka mempelajari ilmu silat. Sebenarnya ia kurang antusias dengan tawaran Tuan Luo, namun ia harus menerimanya supaya tidak dianggap tidak tahu terima kasih. Meskipun demikian, ternyata ia memang sangat cerdas dan berbakat. Mata Tuan Luo sungguh tidak salah kala menilainya.
Suatu sore, Chien Wan tengah mencari ranting untuk kayu bakar. Ia tetap melakukan tugasnya seperti biasa—membantu pelayan dapur. Walau ia telah diangkat menjadi murid, ia tetap menganggap dirinya pelayan di Wisma Bambu. Ia bahkan tetap memanggil ‘tuan dan nyonya’ pada Tuan dan Nyonya Luo, bukan ‘guru dan bibi’ seperti semestinya.
Hari sudah gelap karena selain sudah sore, cuaca hari itu juga agak mendung. Chien Wan cepat-cepat mengumpulkan ranting-ranting menjadi satu dan mengikatnya. Sekilas ia melihat sekelilingnya. Namanya memang Hutan Bambu, namun pepohonan di sini tidak melulu bambu. Ada pohon-pohon besar nan rimbun, membuat keadaan di dalam hutan ini menjadi gelap.
Angin bertiup lumayan kencang. Chien Wan cepat-cepat mengangkat ranting-ranting yang telah diikat itu dan memanggulnya. Ia berbalik dan beranjak hendak menuju Wisma Bambu.
Saat itulah ia mendengar suara yang amat indah.
Chien Wan menghentikan langkah. Diturunkannya ranting-ranting kayu itu dan ia tertegun di tempat. Betapa merdunya suara itu. Tinggi melengking, berganti-ganti nada. Iramanya sangat indah. Chien Wan mengenalinya sebagai lagu rakyat yang biasa dinyanyikan gadis-gadis di desanya dulu. Hanya saja lagu ini terdengar jauh lebih indah daripada ketika dinyanyikan gadis-gadis itu.
Tanpa disadarinya, ia melangkahkan kakinya mencari asal suara. Tak jauh dari tempatnya mencari kayu bakar, seseorang duduk di bawah pohon. Ternyata orang itu Paman Khung.
Chien Wan terpukau. Paman Khung-lah yang menimbulkan suara yang demikian menggugah perasaannya itu. Paman Khung meniup sebatang bambu langsing panjang yang tebalnya kira-kira sama dengan ibu jari orang dewasa. Ternyata benda itu yang mengeluarkan irama yang sedemikian menyentuh.
Paman Khung tidak mengacuhkannya. Ia ganti memainkan lagu lain. Kalau tadi lagunya berirama riang, kali ini lagu yang dimainkannya begitu memilukan.
Chien Wan terperangah mendengar untaian nada yang menyayat-nyayat itu. Nadanya kadang lembut, kadang keras, kadang cuma menyerupai *******. Lagu itu menyuarakan jeritan hati si peniup, menyuarakan kesedihan, kemarahan, kebencian, dan juga kesepian. Sungguh mengharukan!
Kaki Chien Wan seolah bergerak dengan sendirinya, melangkah mendekati Paman Khung. Ia tidak berniat mengusik Paman Khung sedikit pun. Ia hanya ingin memandangi Paman Khung yang terus meniup sulingnya, menatap jari-jari Paman Khung yang bergerak-gerak di sekitar lubang-lubang kecil pada batang suling.
Paman Khung menyudahi permainannya, lalu menurunkan sulingnya dan menarik napas dalam-dalam. Ia menoleh dan baru menyadari kehadiran Chien Wan. Matanya menyipit. “Apa yang kaulakukan di sini? Sebentar lagi akan ada badai, sana pulang!” usirnya galak. Ia menyelipkan sulingnya ke ikat pinggang.
Wajah Chien Wan memerah. Ia tergagap-gagap, “Maaf, Paman... Saya cuma ingin mendengarkan musik....”
Saat itu, seberkas cahaya menyambar di kejauhan disusul oleh suara geledek yang menggelegar. Dan sebelum Chien Wan dan Paman Khung sempat melakukan apa-apa, hujan sudah turun dengan sangat deras dan tiba-tiba.
Secepat kilat Paman Khung menarik lengan Chien Wan dan menyeretnya pergi. Chien Wan tak mampu berontak walau lengannya nyeri, karena cekalan Paman Khung begitu kuat—hal yang agak mengherankan untuk orang seusianya. Karena hujan lebat, penglihatan Chien Wan pun kabur sehingga ia tidak tahu hendak dibawa ke mana.
Paman Khung tahu pasti arah yang hendak ditujunya, yakni gubuknya sendiri yang letaknya tidak jauh dari kediaman utama Wisma Bambu. Tangan kanannya masih mencekal lengan Chien Wan sementara tangannya yang bebas mendorong pintu gubuk itu. Lalu ia menggiring Chien Wan masuk.
Chien Wan berdiri di tengah ruangan kecil itu dengan tubuh menggeletar menahan dingin. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Paman Khung masuk ke dalam ruangan kecil yang tampaknya merupakan kamar tidurnya, lalu tak lama kemudian keluar lagi dengan membawa sehelai selimut tebal.
“Buka bajumu! Nanti kau bisa sakit.”
Dengan patuh, Chien Wan membuka pakaiannya. Tubuhnya yang telanjang dari pinggang ke atas tampak kurus, namun sudah tak terlalu menyedihkan seperti waktu pertama kali ia datang ke Wisma Bambu. Di lehernya tergantung kalung berleontin burung hong yang tak pernah dilepasnya semenjak ibunya menyerahkannya padanya.
Mata Paman Khung melebar menatapnya. Dengan cepat ia mencekal kedua bahu Chien Wan dan membalikkan tubuh anak itu.
“Pa... Paman Khung...!”
Suara Chien Wan yang panik menyadarkan Paman Khung. Seketika, ia melepaskan cekalan tangannya dari bahu Chien Wan. Sepasang matanya bersinar aneh. Lalu ia mengambil selimut tebal yang dibawanya tadi dan menyelubungi tubuh Chien Wan dengan itu.
“Paman?”
“Kau suka musik, Chien Wan?” sela Paman Khung.
Chien Wan terperanjat. Kali ini Paman Khung berbicara dengan nada ramah. Raut wajah yang biasanya kaku itu melembut dan penuh sayang.
“Kalau suka,” lanjut Paman Khung tanpa merasa perlu untuk mendengarkan jawaban Chien Wan, “aku bisa mengajarimu meniup suling.”
Suling! Sepasang mata Chien Wan yang murung berubah bercahaya. Meniup suling! Memainkan lagu seperti yang tadi Paman Khung mainkan!
“Bagaimana?”
“Mau, Paman! Saya suka sekali musik! Dulu sewaktu di desa, ada orang yang pandai memainkan kecapi, saya suka datang untuk mendengarkannya,” cerita Chien Wan penuh semangat. Ini pertama kalinya ia berbicara sepanjang dan penuh semangat seperti itu.
Mata Paman Khung berkaca-kaca. “Takdir... ini memang takdir....”
Chien Wan bingung sekali mendengarnya. “Takdir apa, Paman?”
Paman Khung menggeleng kuat-kuat untuk mengusir air mata di pelupuk matanya. Sikapnya berubah, kembali seperti semula. “Kalau memang mau belajar meniup suling, kau harus berlatih dengan keras. Apa kau sanggup?”
Ketegasan suara Paman Khung membuat Chien Wan menegakkan tubuh. “Sanggup, Paman!”
“Bagus!” angguk Paman Khung puas. “Mulai besok, saat matahari terbenam, kau datang ke gubuk ini. Kita mulai pelajaranmu secepatnya. Kau harus mengejar ketinggalanmu.”
Chien Wan mendengarkannya dengan separuh bingung. Ketinggalan bagaimana yang dimaksud oleh Paman Khung? Namun ia tidak menanyakan lebih lanjut. Ia mengangguk patuh.
“Dan ada satu hal lagi, Chien Wan,” tambah Paman Khung. Suaranya begitu tegas membuat Chien Wan waspada. “Kau tidak boleh memberitahukan perihal latihanmu kepada siapa pun. Nanti jika saatnya sudah tiba, akan kukatakan kapan kau boleh berterus terang. Paham?”
Ini sama sekali tidak sulit bagi Chien Wan. Ia tidak pernah banyak bicara. Yang agak sulit adalah mencegah Sen Khang dan Ting Ting mengikutinya. Namun semua itu bisa diatur. Chien Wan benar-benar ingin belajar meniup suling. “Baiklah, Paman.”
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!