Sesat : Teror!

Sesat : Teror!

Prolog

Sreeenggg... sreengggg... sreeenggg....

"Hmmmm baunyaa harum... Masak apa simbokku sayang? Keliatannya enak nih.." Seruku seraya mendekati wanita berdaster yang masih memakai celemek lusuh di pinggangnya.

"Oalah gita gita.. kamu itu ngagetin simbok aja. cewek kok jam segini baru bangun! Pantes sampai sekarang masih jadi pengganguran. Udah kalah sama yang lain." Gerutu simbokku seperti biasa.

"Hehehehe nanti aku cari kerja lagi mbok. Maklum lagi belum ada panggilan. Nah.. kalau sekarang ini perut mau minta di isi dulu nih mbok. Hehehe.." Celetukku.

"Heleh kamu ini nduk. Kalo di suruh cari kerja, ada aja alasannya." Balas simbok sembari meniup api kayu bakar yang hampir padam di dalam tungku tanah liat. Asap hitam mengepul tinggi memenuhi dapur sederhana kami yang hanya berdinding anyaman bambu.

"Gita, ini tempenya yang sudah matang bawa kesana, ke meja makan. Simbok disana juga sudah buatin sambal kesukaanmu. Sama sekalian panggil juga itu adik-adikmu." Titah simbok. Wajahnya terlihat amat kuyu di pagi yang cerah ini.

"Emmm.. Hari ini cuma goreng tempe ini aja mbok?" Ucapku melirik wajan yang masih bertengger di atas wajan.

"Masih mending nduk, cah ayu, kita bisa makan ini. Kamu harus banyak belajar bersyukur. Daripada kemarin kita cuma bisa makan sama sambel saja. Ini Alhamdulillah kita bisa makan sama tempe goreng." Lirih simbok.

"Iya mbok. Alhamdulillah. Maafin gita ya mbok." Balasku tersenyum. Entah mengapa tak tega rasanya jika melihat wajah satu-satunya orang tuaku itu bersedih.

"Nggak apa-apa nduk. Sana panggil dulu adik-adikmu biar kita bisa makan sama-sama. Biar simbok beresin ini dulu." Ucap simbokku kembali.

"Siap mbok! Hehehe"

Kemudian aku segera beranjak pergi dengan membawa sepiring tempe goreng ala simbok. Aku berjalan menuju meja kayu lawas yang di atasnya sudah tersaji sebakul nasi yang masih mengepul asapnya. Setelah membantu menyiapkan segala sesuatunya aku segera memanggil kedua adik-adikku untuk sarapan bersama. Mereka terlihat tengah bermain dengan mainan mereka masing-masing.

"Dewi, intan, ayo makan dulu. Nanti lagi mainannya." Panggilku. Mereka pun sepertinya juga sudah menanti saat-saat sarapan seperti ini. Terbukti hanya sekali panggil mereka langsung bergegas cepat untuk bangkit dari keasyikan mereka.

Kali ini kami berempat sudah duduk di meja makan sederhana ini bersama. Terlihat adik-adikku begitu lahap menyantap hidangan sederhana ini. Hanya dengan tempe goreng dan sambal terasi mereka dengan penuh syukur melahap sesuap demi sesuap. Selesai makan iya mereka lanjut lagi dengan mainannya.

"Kalian berdua mulai sekarang harus hati-hati ya kalau mau main diluar rumah. Bahaya." Tegur simbok agak berteriak pada kedua adikku.

"Emang kenapa mbok? Ada badut jahat ya?" Tanya intan dengan polosnya.

"Iya! Pokoknya kalian harus hati-hati sama orang yang nggak kenal! Jangan sembarang mau di ajak pergi-pergi. Terutama kamu dewi!" Ujar simbok kembali menasehati.

"Emang ada sih mbok? Tumben simbok bilang gitu." Tanyaku keheranan.

"Itu lho nduk. Di kampung sebelah tadi simbok dengar-dengar ada m*yat anak kecil tanpa identitas di ketemuin di kebun kopi. Katanya sih korban penculikan." Bisik simbok lirih.

"Oh.. gitu to mbok.." ujarku seraya manggut-manggut meski tak terlalu paham juga.

"Lho simbok kok nggak makan pake tempenya? kok cuma makan sama nasi tok?" Ucapku sembari menyendok sesuap nasi ke mulutku.

"simbok suka pakai sambel aja nduk. Tempenya buat kamu sama adik-adikmu saja. Simbok nggak usah." Ucap simbok lembut sembari tersenyum. Senyum tulus yang tidak pernah luntur tergerus masa.

Jujur saja, aku hanya bisa menahan tangis ketika benar tempe yang sedari pagi tadi, susah payah di goreng simbokku sudah habis. Menyisakan dua lembar tempe goreng di piringku. Tanpa pikir panjang aku ambil kedua tempe itu dan memberikannya ke piring simbok.

"Lho lah kok nggak di makan nduk?" Tanya simbok keheranan.

"Ini belum aku gigit kok mbok. Aku sudah merasa kenyang. Lagipula aku mau diet nih mbok udah kegendutan kayaknya.. Hehehehe." Ucapku dengan mata yang mulai memerah menahan hujan tangis yang hampir tumpah.

Terlintas sejenak bayangan bagaimana susahnya hidup keluargaku. Bagaimana sengsaranya hidup keluarga kami selama ini. Bahkan hanya untuk bisa menikmati sepotong tempe seperti ini saja simbok harus banting tulang menjadi buruh cuci atau tenaga serabutan di tetangga-tetangga kami yang berkecukupan. Apalagi semenjak bapak kami meninggal dunia setahun yang lalu, hal yang sontak saja membuat simbok harus berubah menjadi tulang punggung keluarga. Sementara aku? Semenjak bulan lalu saat toko yang kujadikan tempat mencari rezeki sudah bangkrut, aku terpaksa menganggur sementara waktu. Mau bagaimana lagi? Aku hanya seorang wanita biasa yang terbatas pendidikannya. Mencari lapangan pekerjaan bukanlah hal yang mudah semudah membalik telapak tangan. Mau berjualan pun juga harus mempunyai modal juga kan. Ya beginilah kehidupan. Huftt.. Betapa sulitnya hidup di negara yang katanya "tanah surga" ini.

Oh iya, dan untuk makan sehari-hari, tak pernah ada hal yang mewah di atas meja tua ini. Karena biasanya kami hanya mengandalkan sayur-sayuran yang di tanam di kebun belakang rumah. Dan itupun jika ada. Bahkan pernah satu waktu, kami hanya bisa makan dengan nasi yang di cocol garam kasar. Enak? Tentu tidak! rasanya hanya asin bercampur nelangsa. Namun heran, tak pernah aku temui ada semburat kesedihan di wajah simbok. Meski kehidupan keluarga kami seperti ini. Terseok-seok di lubang kemiskinan.

Hanya sesekali tangis lirih yang beliau keluarkan saat malam sudah beranjak larut. Di atas sajadah lusuh beliau menangis pelan agar tidak ada satupun anak-anaknya yang tahu. Betapa beratnya beban yang ada di atas pundaknya. Simbok adalah orang yang kuat bagiku dan kedua adik-adik kecilku.

"Nduk?" Panggil simbok membuyarkan sejenak lamunanku.

"Eh iya mbok. Kenapa?" Ucapku sedikit terkejut.

"Kamu nangis kenapa nduk? Maafin simbok ya nduk. Simbok cuma bisa ngasih makan ini. Simbok..simbok... Hiksss...hiksss..hikss.." tiba-tiba tangis simbok pecah di atas meja makan.

"Mbok.... anu.. ini gita matanya perih saja kok mbok..." Ujarku berkilah.

"Nduk.. kamu itu anak kebanggaan simbok." Balas simbok singkat. Matanya terlihat berkaca-kaca. Bias air mata masih menganak di sudut netranya.

"Mbok... emmm... Gita janji.... Janji.. bakal bahagiain simbok.... Gita....." Ucapku tak kuasa melanjutkan kata-kata. Menatap wajah simbok pun rasanya sudah tak kuasa lagi.

"Ssstttt.. doa simbok selalu meminta yang terbaik untuk kamu nduk. Semoga kamu sukses lalu di berikan jodoh yang mapan, sayang sama keluarga, supaya hidupmu tidak merasakan getir seperti simbokmu ini." Ujar simbok dengan mengusap air matanya.

"Terimakasih mbok.."

Tokkk...tokkk...tokkk...

(Tiba-tiba terdengar suara pintu depan di ketuk dengan cukup keras)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!